Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 28 Desember 2014

PIRANTI-PIRANTI ANALISIS WACANA

BAB IV

PIRANTI-PIRANTI ANALISIS WACANA

  OLEH 
DOSEN HABIBURRAHMAN
UMMataram


Kompetensi Dasar :
Mengetahui piranti-piranti dalam analisis wacana struktural, fungsional, dan dialektis (wacana kritis).

Indikator:

1.         Menjelaskan piranti-piranti dalam analisis wacana struktural.
2.         Menjelaskan piranti-piranti dalam analisis wacana fungsional.
3.      Menjelaskan piranti-piranti dalam analisis wacana dialektis (analisis wacana kritis).

A. Uraian Materi
1. Pengantar  
Pada dasarnya ada beberapa sudut pandang yang berbeda terhadap wacana, yaitu berdasarkan pandangan formal, fungsional, dan dialektis. Wacana berdasarkan pandangan strukturaldipandang sebagai satuan bahasa di atas kalimat.Bahasa pada tataran ini sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari unsur-unsur yang lebih kecil pada tataran klausa dan kalimat. Pandangan fungsional memandang wacana sebagai bahasa dalam penggunaannya, dalam hal ini wacana dipandang sebagai alat komunikasi.Pandangan yang terakhir yaitu pandangan dialektis memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue/ produk sosial yang masih tersimpan dalam pikiran manusia) tetapi juga dipandang sebagai (parole/ ujaran yang diproduksi oleh penutur).
Berdasarkan sudut pandang terhadap wacana tersebut kemudian lahir analisis wacana struktural, fungsional, dan dialektis. Cara pandang yang berbeda membuat focus analisis ketiga analisis wacana tersebut juga berbeda. Analisis wacana struktural memfokuskan kajiannya pada unit kata, frase, atau kalimat yang membentuk sebuah wacana.Analisis wacana fungsional memfokuskan analisisnya pada penggunaan bahasa senyatanya sebagai alat komunikasi.Terakhir, analisis wacana dialektis yang focus kajiannya pada struktur bahasa dan konteks.
Ketiga analisis wacana tersebut memiliki piranti analisis yang berbeda sesuai dengan fokus kajiannya masing-masing. Untuk mengetahui piranti-piranti apa saja yang dianalisis dalam ketiga analisis wacana tersebut dalam makalah ini akan mencoba menguraikannya. Dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman akan piranti-piranti analisis yang terdapat dalam ketiga analisis wacana tersebut pembaca dapat semakin memahami piranti-piranti apa yang perlu dianalisis dalam kwtiga analisis wacana tersebut. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman akan perbedaaan ketiga analisis wacana tersebut.

2. Piranti Analisis Wacana Struktural
Pandangan struktural memandang wacana sebagai sebuah satuan bahasa yang lengkap, terbesar, dan tertinggi yang berada di atas kalimat.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian wacana dalam konteks ini mengacu pada sebuah paragraf yang lengkap.Sebagai sebuah paragraf yang dianggap wacana tentu saja paragraf itu memiliki sebuah ide pokok (main ide) dan ide pendukung (supporting idea).Keduanya berkolaborasi merangkai pesan. Dengan cara demikian, pesan yang disampaikan dalam sebuah wacana terkemas dengan baik sehingga mudah dipahami dan pandangan ini dipahami sebagai lebih mengarah pada pandangan formal.
Pandangan formal tersebut kemudian melahirkan analisis wacana struktural.Analisis wacana ini seluruhnya terfokus pada unit kata, frase, atau kalimat yang membentuk sebuah wacana. Berikut akan dipaparkan secara rinci piranti analisis wacana struktural tersebut.

2.1 Topik
            Topik berarti “pokok pembicaran”, pokok permasalahan, atau masalah yang dibicarakan (Finoza, 2010:217).Istilah topik juga dapat didefinisikan ke dalam beberapa pengertian yang bebeda yaitu(1) frasa dalam satu klausa yang terpahami, (2) frasa dalam satu wacana yang terpahami, (3) memiliki posisi khusus dalam satu wacana.
Topik merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah wacana.Dikatakan demikian karena topik memuat bagian inti atau perihal yang dibicarakan dalam sebuah wacana.Topik menunjukkan informasi paling penting atau inti pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.Secara keseluruhan sebuah wacana memiliki sebuah topik.

2.2 Tuturan Pengungkap Topik
            Tuturan pengungkap topik menurut Gillian Brown dan George Yule disebut kerangka topik (1996:73).Ujaran-ujaran tersebut memiliki arah untuk menuju bagaimana sebuah topik bisa diungkap.Topik itu bisa diungkap berdasarkan unsur-unsur kerangka topik. Unsur –unsur tersebut adalah orang, tempat, wujud, peistiwa, fakta.Dengan unsur-unsur tersebut sebuah topik wacana dapat diungkap.
            Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa tuturan pengungkap topik adalah ujaran-ujaran yang dapat mengarahkan kita pada pengungkapan topik dalam sebuah wacana.dengan kata lain tutran pengembang topik tersebut berpusat pada topik untuk menciptakan kesatuan gagasan dalam sebuah wacana. Adanya tuturan pengungkap topik yang menyeleweng dari topik hendaknya dihindari.Untuk itu langkah yang harus ditempuh ialah perumusan butir-butir pengembangan secara ringkas di bawah topik, sehingga terbentuk wacana yang apik. Gagasan yang terkandung dalam tuturan pengungkap  topik pada dasarnya merupakan pengungkapan dari :
1)      “Apa yang akan dibicarakan” dengan mengajukan pernyataan sehubungan dengan ‘apa yang dibicarakan’.
2)      Jawaban ringkas yang dapat dijadikan butir-butir pengembanganya. Adapun pertanyaan yang dapat diajukan itu ialah mengenai ‘bagaimana’. ‘mengapa’, dan pertanyaan lain yang relevan.
3)      Langkah selanjutnya adalah mengecek apkah butir-butir itu sudah lengkap ataukah masih ada yang terlewatkan, dan kemudian menyusun kembali butir-butir itu dalam susunan yang dipandang paling tepat.

2.3 Kohesi dan Koherensi
            Piranti analisis wacana struktural yang ketiga adalah kohesi dan koherensi. Kohesi dan koherensi merupakan salah satu unsur pembentuk wacana yang sangat penting. Aspek kohesi akan merangkai hubungan anatarbagian dalam wacana yang ditandai dengan penggunaan bahasa, sedangkan aspek koherensi merupakan kepaduan hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam wacana (Rani dkk, 2006:89). Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca, berikut disajikan pemaparan mengenai kedua aspek tersebut.

2.3.1 Kohesi
            Kohesi merupakan hubungan formal (hubungan yang tampak pada bentuk).Widdowson  (1988) mendefinisikan kohesi itu sebagai hubungan yang ditandai secara lahir. Samsuri (1988) mendefinisikan kohesi itu sebagai hubungan yang ditandai oleh penanda-penanda(lahir), yakni penanda yang menghubungkan apa yang dinyatakan dengan apa yang dinyatakan dalam wacana yang bersangkutan.
Sebuah teks (terutama teks tulis) memerlukan unsur pembentuk teks.Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk tersebut. Konsep kohesi mengacu pada serangkaian kemungkinan  makna yang ada untuk menghubungkan suatu unsur teks dengan apa yang disebutkan sebelumnya, dengan apa yang disebutkan sesudahnya (Zaimar dan Harahap, 2009:116). Kohesi menampilkan keberlangsungan makna yang terjalin dalam sebuah wacana dengan bagian lainnya. Itulah sebabnya  keberadaan Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk wacana yang penting( Rani dkk, 2006:87). Lebih lanjut Brown dan Yule (dalam ku:87) menyatakan bahwa unsur pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks atau bukan teks.
            Hubungan kohesif ditandai dengan penggunaan piranti formal yang berupa bentuk linguistik. Pirnati yang digunakan sebagai sarana penghubung tersebut sering disebut dengan piranti kohesi (Rani dkk, 2006:94). Menurut Halliday dan Hasan  dalam (Rani dkk, 2006:94) unsur kohesi dalam sebuah wacana terdiri atas dua macam, yaitu unsur gramatikal dan leksikal. Untuk memberikan pemahaman yang mendaam mengenai dua jenis kohesi tersebut berikut dipaparkan penjelasan mengenai kedua jenis kohesi tersebut.
1.      Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal didasarkan pada bentuk bahasa yang digunakan (Rani dkk, 2006:94). Piranti kohesi gramatikal digunakan untuk menghubungkan ide antarkalimat dalam sebuah wacana. Oleh karena itu kohesi ini dapat  membantu kita menjelaskan hubungan semantik antara bagian wacana yang kurang jelas dengan bagian wcana yang lain, sehingga sebuah unsur wacana dapat menjelaskan unsur wacana lainnya atau teks secara keseluruhan (Zaimar dan Harahap, 2009:116).      
Halliday dan Hasan ( dalam Rani dkk, 2006:117) mengklasifikasikan kohesi gramatikal ke dalam beberapa kategori, yaitu referensi (pengacuan), substitusi (penyulihan), elipsis (pelesapan), dan konjungsi (penyambungan). Kategori-kategori tersebut tidak hanya memiliki dasar teoretis sebagai jenis-jenis hubungan kohesif, melainkan juga mempersiapkan suatu cara yang praktis untuk menggambarkan dan menganalisis sebuah wacana. Setiap kategori tersebut menampilkan ciri-ciri tertentu dalam sebuah wacana.Berikut disampaikan secara singkat kategori – kategori kohesi tersebut.
a.         Referensi (Pengacuan)
Secara tradisional referensi adalah hubungan antara kata dan benda (Rani dkk, 2006:97). Kata penggaris misalnya memiliki referensi kepada sebuah alat yang digunakan untuk mengukur. Pandangan kaum tradisional tersebut terus berpengaruh dalam bidang linguistik  (seperti semantik leksikal) yang menerangkan hubungan yang ada itu adalah hubungan antara bahasa dengan dunia (benda) tanpa memerhatikan si pemakai bahasa. Pandangan tersebut kemudian dianggap tidak benar, Lyons ( dalam Rani dkk, 2006: 217) berpandangan bahwa ketika membicarakan referensi penuturlah yang sebenarnya paling tahu mengenai referensi dalam kalimatnya.
Kohesi sebuah wacana terletak pada kontinuitas acuannya, ketika sebuah hal masuk ke dalam sebuah wacana untuk ke dua kalinya, ke tiga kalinya, dan seterusnya. Di sini  terdapat pertautan makna antara unsur dalam sebuah wacana yang mengacu dengan hal lain yang diacu (Zaimar dan Harahap, 2009:117). Halliday dan Hassan (dalam Rani dkk, 2006:97) membedakan referensi menjadi dua macam, yaitu eksofora dan endofora.
Sebelum penulis memaparkan lebih jauh mengenai Janis referensi tersebut, berikut disajikan bagan mengenai pembagian referensi yang sekiranya dapat membantu pembaca dalam memahami jenis-jenis referensi.




(Dikutip dari Zaimar dan Harahap, 2009:118)
1)   Referensi Tekstual (Endofora)
Referensi tekstual atau endofora merupakan pengacuan terhadap anteseden yang terletak di dalam teks ( Rani dkk, 2006:99). Referensi tekstual ini mengenal dua macam rujukan yaitu anafora dan katafora. Hubungan anafora terjadi apabila unsur yang ditunjuk sudah lebih dahulu ada pada kalimat sebelumnya

Contoh:
Irma adalah mahasiswi di Universitas Pendidikan Ganesha.Meskipun dia bukan anak yang pandai, nilainya selalu baik, karena dia selalu rajin dan tekun belajar.Dia juga pandai bergaul, sehingga teman-temannya banyak.

Pada contoh di atas, pronominal dia (terdapat dua kali pada kalimat yang kedua dan sekali pada kalimat ketiga) dan nya (terdapat satu kali pada kalimat ketiga) tidak memberi informasi yang jelas, kita hanya tahu bahwa ada seseorang yang dibicarakan. Untuk mendapatkan informasi siapa yang dibicarakan tersebut pembaca harus mengacu pada kalimat yang terdahulu,yaitu pada subjek kalimat pertama yaitu Irma.
Hubungan anafora dapat beracuan tetap (seperti contoh di atas) dapat juga memiliki acuan yang bervariasi. Perhatikan paragraf di bawah ini.
Kemarin paman datang dari desa (1).Iamembawa banyak oleh-oleh (2). Ibu memasak soto ayam, makanan kesukaan paman, di dapur (3). Aku membantunya memasak (4).Ketika telah matang, aku membawanya ke meja makan (5). Dengan gembira iamenyantap  soto ayam yang dibuat ibu (6).

Paragraf di atas memiliki enam buah kalimat. Kata ia muncul dua kali pada kalimat kedua dan keenam. Keduanya mengacu pada kata paman, jadi termasuk anafora yang beracuan tetap.Lain halnya dengan pronominal nya pada kalimat keempat dan kelima. Pronominal nya pada kalimat keempat mengacu pada ibu, sedangkan pronominal nya pada kalimat kelima mengacu pada soto ayam. Jadi acuannya tidak tetap. Dalam hal ini, yang diacu tidak harus sama kelas gramatikalnya dengan yang mengacu.
Bila hubungan anafora terjadi apabila unsur yang ditunjuk sudah lebih dahulu ada pada kalimat sebelumnya, hubungan katafora terjadi apabila unsur yang mengacu terdapat lebih dahulu dari unsur yang diacu.
Contoh:
Dia datang dengan gembira (1).Kedua tangannya memegang sebuah bungkusan yang cukup besar sembari melambaikan tangannya padaku (2).Akupun dengan berlari kecil menghampirinya (3).Ternyata Lia ingin menunjukkan hadiah yang baru saja diberikan oleh ayahnya (4).

Contoh di atas memiliki empat buah kalimat.Pronomina persona dia muncul sekali pada kalimat pertama dan pronominal nya muncul sebanyak tiga kali dan semuanya mengacu kepada Lia.
Baik referensi anafora maupun katafora pada umumnya menggunakan tiga jenis pronominal yaitu pronomina persona, pronominal penunjuk, dan pronomina komparatif.

2)   Referensi Situasional (Eksofora)
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa ada unsur wacana yang tidak dipahami apabila tidak dibantu oleh informasi (sesuatu yang lain). Jadi unsur teks itu tidak dipahami berdasarkan dirinya sendiri, melainkan harus mengacu pada sesuatu yang lain. Apabila unsur yang diacu tersebut ada di luar wacana, maka acuan tersebut disebut referensi situasional atau eksofora.Jenis acuan ini biasanya terdapat dalam wacana pidato, surat-menyurat, dan karya sastra.

Contoh:
Pembaca yang setia…di jaman sekarang ini kita harus pandai-pandai membaca situasi dan kondisi kalau tidak kita mungkin tidak akan bisa bertahan.

Pronomina ini pada contoh di atas mengacu kepada sesuatu yang ada di luar wacana. Pronomina ini tersebut harus dapat dipaham pembaca dengan mangaitkannya dengan jaman yang dihadapi oleh pembaca ketika ia membaca wacana tersebut.

b.      Substitusi (Penyulihan)
Halliday dan Hassan ( dalam Rani dkk, 2006:105) menyatakan bahwa substitusi adalah penyulihan unsur wacana dengan unsur yang lain yang acuannya tetap sama, dalam hubungan antarbentuk kata atau bentuk lain yang lebih besar daripada kata seperti frase atau klausa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa substitusi merupakan hubungan leksikogramatikal, yakni hubungan  yang berada  pada level tata bahasa dan kosakata; dengan alat penyulih tersebut dapat berupa kata, frase, atau klausa yang maknanya berbeda dari unsur substitusinya.
Pada umumnya orang ketika menganalisis sebuah wacana seringkali mengalami kesulitan dalam membedakan referensi dengan subsitusi (Zaimar dan Harahap, 2009:124 ) oleh karena itu berikut disampaikan beberapa persamaan  dan perbedaan antara substitusi dan referensi.
1)   Susbsitusi memiliki kemiripan dengan referensi dalam hal sama-sama potensial bersifat anaforis. Pada dasarnya, referensi merupakan hubungan semantis. Dalam referensi, suatu unsur bahasa dapat mengacu ke unsur bahasa yang sudah disebut sebelumnya (anafora), atau ke unsur bahasa yang sudah disebut sesudahnya(katafora) maupun ke luar teks (eksofora). Jadi hubungan antara unsur yang mengacu dan diacu tidak selalu bersifat anaforis. Itu hanya salah satu kemungkinan. Di pihak lain, substitusi merupakan hubungan verbal, sehingga lebih terikat pada teks. Substitusi eksoforis sangat jarang ditemukan, meskipun ada hal tersebut masih memiliki kesan berhubungan dengan apa yang dituturkan sebelumnya.
2)   Substitusi lebih mengemukakan hubungan kata-kata ( baik gramatikal maupun leksikal), sedangkan referensi mengemukakan hubungan makna. Dengan demikian, substitusi adalah hubungan antarunsur linguistik, misalnya hubungan antarkata, frase aau klausa sedangkan substitusi merupakan hubungan yang ada pada tataran leksikogramatikal.
    Contoh:
Rani besok akan pindah sekolah. Ia sangat berat meninggalkan sekolahnya sekarang. Yang paling menyakitkan hatinya adalah ketika ia terkenang masa-masa indah bersama teman-teman sekelasnya.
           
   Pada contoh di atas pronominal ia dan nya mengacu pada Rani. Jadi hubungannya adalah referensial.Sementara itu klausa “terkenang masa-masa indah bersama teman-teman sekelasnya” merupakan substitusi dari klausa “yang paling menyakitkan hatinya”.Di sini tampak jelas bahwa hubungan keduanya terjadi dalam tataran kalusa, berbeda dengan referensi yang mengemukakan hubungan makna.
3)   Subsitusi merupakan hubungan antarunsur yang berada dalam sebuah wacana, sesuatu yang digunakan untuk menggantikan pengulangan. Sebuah wacana yang baik, selalu memiliki unsur pengulangan. Sebuah unsur dalam wacana seringkali diulang untuk memperjelas makna. Agar pembaca tidak bosan karena ada unsur yang diulang terus-menerus dibutuhkanlah substitusi sehingga wacana lebih bervariasi dan tidak terkesan berat. Berbeda halnya dengan referensi, yang dipentingkan dalam referensi adalah bahwa baik unsur mengacu maupun diacu memiliki refren ang sama dalam dunia “nyata”.
    Contoh referensi :
    Mila adalah siswa yang pandai.Ia selalu menerima beasiswa dari sekolahnya
    Dalam referensi yang dipentingkan adalah Mila dan Ia merujuk pada orang yang sama.
    Contoh Substitusi:
    Mereka selalu menjelek-jelekkan Ria di depan guru-guru. Hal itu seringkali membuat Ria sakit hati.
           
Pronomina penunjuk itu merupakan substitusi dari seluruh kalimat sebelumnya.Pronominal penunjuk itu digunakan untuk menghindari pengulangan.

c.       Elipsis (Pelesapan)
Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana, artinya tidak hadirdalam komunikasi, tetapi dapat dipahami(Zaimar dan Harahap, 2009:127 ).
Contoh:
Menjelang hari raya Galungan, banyak orang pulang ke kampungnya masing-masing.Lia juga.
            Kalimat kedua pada paragraf di atas tidak lengkap.Sebenarnya kalimat itu berbunyi” Lia juga pulang ke kampungnya.Keterangan ini didapat dari kalimat pertama.Dalam elipsis, ada unsur yang hilang, dan unsur itu merupakan celah dalam struktur yang harus diisi dari bagian lain teks itu.Jadi elipsis mengacu pada kalimat, klausa, frasa ataupun kata yang hadir dalam teks sebelumnya, yang kemudian menjadi sumber bagi infomasi yang hilang.
            Halliday dan Hassan (dalam Zaimar dan Harahap, 2009:127) elipsis ini sebenarnya sama betul dengan subsitusi, hanya saja, bila dalam substitusi ada unsur bahasa yang menggantikan dalam elipsis sama sekali tidak ada. Dengan kata lain elipsis merupakan subsitusi kosong. Kekosongan tersebut memerlukan praanggapan pembacanya bahwa ada sesuatu yang harus dilengkapi, sesuatu yang perlu dipahami. Dengan kata lain elipsis terjadi bila ada sesuatu unsur yang secara struktural seharusnya hadir, tidak ditampilkan; sehingga terasa bahwa ada sesuatu yang tidak lengkap.
            Satu hal yang harus digarisbawahi bahwa praanggapan di dalam elipsis tidak memiliki hubungan pengacuan baik endofora maupun eksofora.Dikatakan demikian karena praanggapan dalam elipsis muncul dari pemahaman atas makna kata-kata yang muncul di dalam teks. Praanggapan yang muncul perlu mendapat kepastian dari bagian teks lain yang diacu ataupun dari situasi komunikasi (Zaimar dan Harahap, 2009:129).
Contoh :
            Badannya lemas dan wajahnya sangat pucat.Setiap hari Rima hanya terbaring lemas di tempat tidur.Obat-obatan yang harus dikonsumsinya setiap hari jumlahnya sangat banyak.Satu hal yang dirindukannya, yaitu kembali ke sekolah dan bemain bersama teman-temannya.
                       
            Dalam contoh  elipsis di atas, secara implisit dapat diketahui bahwa Rima sedang sakit keras. Praanggapan tersebut muncul dari pemahaman makna kata-kata yang muncul dari kalimat-kalimat yang ada dalam paragraf tersebut.

d.      Konjungsi (Penghubung)
Untuk membentuk sebuah wacana yang baik diperlukan konjungsi atau penghubung.Konjungsi berfungsi untuk merangkai atau mengikat beberapa proposisi dalam wacana agar perpindahan ide dalam wacana lebih terasa lembut. Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan unuk merangkaikan ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun antarkalimat( Rani dkk, 2006: 107).Penggunaan konjungsi dalam sebuah wacana memerlukan pertimbangan logika berpikir untuk membentuk sebuah wacana yang apik (Zaimar dan Harahap, 2009:128).
            Piranti kohesi konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Berikut disajikan klasifikasi konjungsi bedasarkan hubungan proposisi yang diwujudkan dalam dua kalimat.Pengklasifikasian piranti kohesi tersebut didasarkan pada jenis hubungan yang diciptakan.


1)   Piranti Urutan Waktu
Penggunaan piranti kohesi urutan waktu mempunyai ciri-ciri seperti berikut.Pertama, proposisi-proposisi yang dihubungkan membentuk suatu tahapan waktu.Kedua, dalam urutan waktu yang pogresif, proposisi yang ditempatkan dalam urutan pertama atau terdahulu harus proposisi yang mengandung penunjuk waktu lebih awal.

2)   Piranti Pemilihan
            Untuk menyatakan dua buah proposisi yang berurutan yang menunjukkan hubungan pemilihan biasanya digunakan konjungsi: atau, entah…, entahlah).

3)   Piranti Alahan
            Hubungan alahan adalah hubungan sebuah hubunan yang menyatakan sebuah peristiwa dapat menyebabkan peristiwa lain itu tidak belaku seperti biasanya. Konjungsi yang digunakan sebagai penanda hubungan ini adalah :meski(pun) demikian, meski(pun) begitu, kendati (pun) demikian, demikian begitu, biarpun demikian,dll.

4)   Piranti Parafrase
            Dalam sebuah menulis sebuah wacana ada kalanya untuk memperjelas hal yang ingin disampaikan , penulis memperjelas dengan ungkapan lain yang dapat menyempurnakan ungkapan sebelumnya. Apabila proposisi tersebut diungkapkan tersebut tidak berbeda dengan sebelumnya, biasanya digunakan piranti kohesi yang menunjukkan parafrase tersebut. Piranti yang sering digunakan seperti: dengan kata lain dan dengan perkataan lain.

5)   Piranti Ketidakserasian
            Dalam sebuah wacana terkadang sesuatu yang berurutan tidak selalu menunjukan hubungan keserasian.Proposisi yang diurutkan tersebut kadang-kadang tidak menimbulkan hubungan keserasian.Ketidakserasian tersebut pada umumnya ditandai dengan perbedaan proposisi yang terkandung di dalamnya.  Dua proposisi yang tidak serasi tersebut biasanya diurutkan dengan menggunakan piranti tidak serasi seperti: padahal, dalam kenyataannya, dll.

6)   Piranti Serasian
            Piranti keserasian ini digunakan untuk menghubungkan dua buah proposisi untuk menunjukkan hubungan yang selaras atau sama. Hubungan kesamaan ini pada dasarnya berbeda dengan hubungan penambahan. Hubungan kesamaan ini tidak menunjukkan adanya penambhaan informasi sebelumnya, melainkan menunjukkan adanya perlakuan yang sama antara proposisi sebelumnya dan proposisi yang mengikuti. Konjungsi yang digunakan misalnya: demikian juga.

7)   Piranti Tambahan (Aditif)
            Piranti ini berguna untuk menghubungkan bagian yang bersifat menambahkan informasi dan pada umumnya digunakan untuk merangkaikan dua poposisi atau lebih.Proposisi yang dirangkaiakan pada umumnya bersifat setara dan memberi tambahan keterangan proposisi sebelumnya. Contoh: pula, juga, selanjutnya, dan, disamping itu, tambahan lagi, dan selain itu.

8)   Piranti Pertentangan (Kontras)
            Hubungan pertentangan terjadi apabila ada dua ide/proposisi yang menunjukkan kebalikan atau kekontrasan.Untuk mneyatakan adanya hubungan pertentangan dapat digunakan piranti kohesi pertentangan. Piranti tersebut digunakan untuk menghubungkan proposisi yang bertentangan atau kontras dengan bagian lain. Piranti yang biasa digunakan misalnya: akan, tetapi, sebaliknya, namun, dan sebagainya.

9)   Piranti Perbandingan (Komparatif)
            Untuk menunjukkan dua proposisi yang menunjukkan perbandinga, diperlukan pirati kohesi perbandingan. Piranti transisi perbandingan digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan persamaan atau perbedaan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Untuk mengatakan hubungan perbandingan secara eksplisit sering digunakan penghubung antara lain: sama halnya, berbeda dengan itu, seperti, dalam hal itu, lebih dari itu, seperti itu, sejalan dengan itu.

10)    Piranti Sebab Akibat
            Sebab akibat merupakan dua kondisi yang berhubungan.Hubungan sebab akibat terjadi apabila salah satu proposisi menunjukkan penyebab terjadinya suatu kondisi tertentu yang merupakan akibat atau sebaliknya. Hubungan sebab akibat dalam wacana yang apik ditunjukkan oleh piranti sebab-akibat seperti: akibatnya, konsekuensinya, dengan demikian, oleh karena itu, dan sebab itu.

11)    Piranti Harapan (Optatif)
            Hubungan optative terjadi apabila ada ide atau proposisi yang mengancung suatu harapan atau doa. Sebuah ide yang menunjukkan suatu harapan atau doa biasanya didahului dengan pianti optative, seperti: mudah-mudahan, semoga.
.
12)    Piranti Ringkasan dan Simpulan
            Piranti tersebut berguna untuk mengantarkan ringkasan dari bagian yang berisi uraian. Konjungsi yang digunakan untuk mengantarkan ringkasan dan simpulan misalnya singkatannya, pendeknya, pada umumnya, jadi, kesimpulannya, ringkasnya, dan sebagainya.

13)    Piranti Misalan atau Contohan
            Ide atau proposisi yang menunjukkan contohan atau misalan berdasarkan data yang terkumpul didahului oleh piranti misalan atau contoh. Pianti tersebut berguna untuk menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain yang menunjukkan contohan atau misalan. Biasanya konjungsi yang digunakan adalah contohnya, misalnya, umpamanya, dsb.

14)    Piranti Keragu-raguan
            Piranti tersebut digunakan untuk menghantarkan bagian yang masih menimbulkan keragu-raguan.Konjungsi yang digunakan adalah jangan-jangan, barangkali, mungkin, kemungkinan besar, dsb.
15)    Piranti Konsesi: memang, tentu saja
            Dalam memberikan penjelasan adakalanya penulis mengakui kelemahan atau kekurangan yang terjadi di luar jalur yang dibicarakan.Pengakuan ini dapat dinyatakan dengan kata memang atau tentu saja.Proposisi pengakuan ini disadari oleh penulis, tetapi yang bersangkutan tidak dapat mengatasi hal yang diakui itu (meskipun pengakuan tersebut bersifat negatif).

16)    Piranti Tegasan
            Dalam menulis wacana penulis seringakali menyampaikan preposisi yang diajukannya dengan berbagai cara agar pembaca segera memahami proposisi yang disampaikan. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan penegasan. Proposisi yang ditegaskan tersebut pada dasarnya sama dengan proposisi sebelumnya. Perbedaannya, pada proposisi yang ditegaskan, ada suatu usaha kesengajaan untuk menyangatkan. Konjungsi yang digunakan misalnya: bahkan, apalagi.

17)    Piranti Jelasan
            Piranti jelasan ini dipergunkan untuk memberikan penjelasan lanjutan pada hal-hal yang sebelumnya dinyatakan. Konjungsi yang digunakan antara lain: artinya, yang dimaksud, dsb.

2.    Kohesi Leksikal
            Selain kohesi gramatikal, keterpautan  atau keterjalinan makna di dalam sebuah wacana dapat dilihat dari segi kosakatanya atau kohesi leksikalnya (Zaimar dan Harahap, 2009:140). Aspek yang terdiri dari jalinan kata-kata ini akan menjadikan sebuah teks padu, tanpa mengabaikan konteksnya. Konsep semantik sangat berperan dalam leksikal ini. Berkat adanya keterkaitan makna ini, ketidakjelasan satu bagian teks dapat ditopang oleh bagian teks yang lain. Rentel( dalam Rani dkk, 2006:129) mengemukakan bahwa piranti kohesi leksikan terdiri atas dua macam yaitu reiterasi dan kolokasi. Berikut diapaparkan mengenai dua macam kohesi leksikal tersebut.

a.      Reiterasi (Pengulangan)
            Reiterasi (pengulangan) merupakan cara untuk mencipatakan hubungan yang kohesif. Reiterasi ini pada umumnya lebih mudah digunakan.Meski demikian penggunaan kohesi ini hanya bisa digunakan dalam jumlah yang terbatas.Penggunaan reiterasi yang berlebihan dapat merusak keapikan sebuah wacana (Zaimar dan Harahap, 2009:142).
Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu : (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonim (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponim (hubungan atas bawah), (5) antonim (lawan kata), (6) ekuivalensi (kesepadanan).
(1.)Repetisi (pengulangan)
            Repetisi adalah pengulangan suatu lingual yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Keraf (1994:127-128) membedakan repetisi menjadi delapan macam yaitu;
a.Repetisi Epizeuksis
Repetisi epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.
Contoh: Sebagai siswa yang baik, selagi diberi kesempatan untuk bersekolah, rajinlah belajar, gali pengetahuan sebanyak-banyaknya, sebagai bekal hari tua nanti.
b. Repetisi Tautotes.
Repetisi tautotesadalah pengulangan satuan lingual beberapa kali dalam sebuah konstruksi.
Contoh: Roni sangat suka berteman dengan Lani karena Lani orangnya sangat menyenangkan, Lani  juga suka berteman dengan Roni karena Roni sangat baik pada Lani. Tidak heran jika mereka berteman baik.
c. Repetisi Anafora
            Repetisi anafora adalah pengulangan satuan lingual beberapa kata atau frasa pertama pada setiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan seperti ini biasanya terdapat pada puisi, sedangkan pada prosa pengulangannya setiap kalimat.



Contoh:
Hujan
Hujan mengapa dirimu tak kunjung datang
Hujan basahilah bumi ini
Hujan…
Hujan…
Oh hujan…

d. Repetisi Epistrofa
            Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris ( dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut.
Contoh:
                        Gunung kan kudaki, ngarai kusebrangi, adalah puisi.
                        Nasi kan ku makani, air  kuteguki, adalah puisi,
                        Sawah kan kutanami, lading kucabuti, adalah puisi.

e. Repetisi Simploke
            Repetisi Simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut.
Contoh:
                        Kau bilang aku ini brengsek, tak apa.
                        Kau bilang aku ini pengecut, tak apa.

f. Repetisi Mesodiplosis
            Repetisi Mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.
Contoh:
                        Guru-guru jangan korupsi waktu.
                        Pegawai kecil jangan korupsi kertas ketik.
                        Para bupati jangan korupsi uang rakyat.
                        Petani jangan korupsi hasil panen sendiri.

g. Repetisi Epanalepsis
            Repetisi Epanalepsis adalah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama.



Contoh:
                        Tersenyumlah kepada dia sebelum dia tersenyum.

h. Repetisi Anadiplosis
            Repetisi Anadiplosis adalah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya.
Contoh:
                        Dalam hidup ada tujuan
                        Tujuan dicapai dengan usaha
                        Usaha disertai doa
                        Doa berarti harapan
                        Harapan adalah perjuangan
                        Perjuangan adalah pengorbanan

(2) Sinonim (Padan Kata)
                  Sinonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain ( Chaer, 1990:85). Sinonim merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.Berbeda dengan repetisi/ pengulangan, sinonim tidak menampilkan kata yang sama, komponen makna yang ditampilkan pun ttidak sepenuhnya sama.
            Berdasarkan wujud satuan lingualnya sinonim dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu;
(a)  Sinonim antara morfem bebas dengan morem terikat
Contoh: Aku harap kamu menghargai kerja kerasku.
(b)   Sinonim kata dengan kata.
Contoh: Semua soal ujian tadi bisa aku jawab dengan mudah, bahkan soal logika matematika yag sulit pun dapat aku kerjakan.
(c) Sinonim kata dengan frasa atau sebaliknya,
Contoh: Pulau Sumatra dilanda musibah. Akibat adanya bencana itu banyak  penduduk yang kehilangan tempat tinggal dan sanak saudara.
(d) Sinonim frasa dengan frasa,
Contoh: Karyawan baru itu memang pandai bergaul. Baru satu hari bekerja di kantor dia sudah bisa beradaptasi.
(e) Sinonim klausa/kalimat denga klausa/kalimat.
Contoh :Mahasiswa berusaha memecahkan masalah yang dihadapinya. Berbagai upaya dilakuakan untuk menyelesaikan persoalan itu agar cepat selesai.

(3)  Kolokasi (Sanding kata)
            Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan, ekonomi,  dan sebagainya.
Contoh:
Seorang pengacara yang baik harus mampu membela kliennya di pengadilan. Sebisa mungkin pengacara harus mampu membuktikan kliennya bersalah atau tidak di depan majelis hakim.

(4)  Hiponimi (Hubungan Atas -Bawah)
                  Baylon dan Fabre (dalam Zaimar dan Harahap, 2009:127) mengemukakan bahwa hiponimi adalah hubungan yang memeprlihatkan pencakupan makna bebeapa unsur leksikal tertentu. Hubungan itu dapat bersifat vertical yaitu superordinat (hiperonim) dan hubungan superordinate (hiponim), dapat pula bersifat horizontal, yang disebut dengan kohiponim. Sejalan dengan pendapat tersebut Tutescu (Zaimar dan Harahap, 2009:144) megemukakan bahwa hiponimi adalah suatu pencakupan makna.Hubungan pencakupan makna ini bersifat tidak simetris. Dua kata atau lebih tercakup ke dalam satu kata lain; dapat dikatakan bahwa leksem yang lebih spesifik tercakup ke dalam leksem yang lebih umum. Misalnya; manga, pisang, manggis, salak tercakup ke dalam leksem buah tropis.

(5)  Antonimi (Lawan Kata)
            Antonimi adalah nama lain untuk benda atau hal lain; atau satuan lingual yang memiliki makna yang berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi sering juga disebut oposisi makna. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
a. Oposisi Mutlak
Contoh: Hidup mati hanya masalah waktu
b. Opsisi Kutub
     Contoh: Besar kecil gaji yang aku terima tidak menjadi masalah.            
c. Oposisi Hubungan (saling melengkapi)
Contoh: Dokter itu sangat terkenal, tidak heran pasien yang datang setiap hari jumlahnya sangat banyak.
d. Oposisi Hirarkial (Deret jenjang atau tingkatan)
Contoh: Sewaktu ia masih kecil ibuku yang selalu mengasuhnya. Ketika ia beranjak dewasa sedikitpun ia tidak mengenag jasa ibuku.
e. Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Bedanya dengan oposisi kutub adalah terletak pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub. Pada oposisi majemuk hal tersebut tidak terdapat. Bedanya dengan oposisi hirarkial adalah  ada tingkatan pada oposisi hirarkial, sedangkan oposisi majemuk tidak ada tingkatan.
Contoh: Awalnya aku sangat senang menabung di BNI. Setelah berjalan beberapa tahun aku mulai berubah pikiran.Bunga bank yang aku terima jumlahnya semakin menurun. Akhinya akupun berpikir untuk menabung di tempat lain.

(6) Ekuivalensi
            Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan hubungan kesepadanan.
Contoh:
Suci bertemu marpel di sebuah restoran. Mereka dipertemukan oleh orang tuanya. Pertemuan itu sangat membahagiakan keduanya.

2.3.2 Koherensi
Koherensi adalah keterkaitan unsur-unsur dunia wacana, misalnya susunan konsep atau gagasan; dan berat hubungan –hubungan yang menggarisbawahi hal tersebut, isi teks dapat dipahami dengan relevan (Zaimar dan Harahap, 2009:85).Koherensi dalam wacana ada beberapa macam yaitu (1) koherensi pada tataran klausa dan kalimat (2) koherensi pada tataran wacana (3) koherensi pada setiap jenis wacana.Berikut diapaprkan ketiga jenis koherensi tersebut.

1.      Koherensi pada Tataran Klausa dan Kalimat
Perhatikan contoh di bawah ini
·      Rima bermain boneka.
·      Boneka memainkan Rima.

     Kalimat pertama pada contoh di atas berteirma, sedangkan yang kedua tidak.ini karena memang ada kesesuaian makna antara kata bermain dengan boneka yang memang biasa dimainkan oleh anak perempuan. Sementara itu, contoh kedua tidak berterima karena tidak ada kesesuaian makna yang terjalin antara kata memainkan dengan boneka,.Dalam kalimat kedua seharusnya yang dimainkan adalah boneka bukan Rima.

2.      Koherensi pada Tataran Wacana (Antar Kalimat)
 Koherensi pada tataran wacana (antar kalimat)  sangaat berkaitan dengan konsep atau gagasan yang ditampilkan. Ada beberapa hal yang diperhatikan dalam koherensi ini.
a.       Adanya kontinuitas Konsep dan Relasi yang relevan.
Pada sebuah wacana yang ditampilkan bukan hanya kesesuaian antar makna kata, melainkan juga keberlangsungan atau kontinuitas konsep dan relasinya yang relevan(Zaimar dan Harahap, 2009:87).
                  Contoh:
           Hari ini adalah ulang tahun ayah. Untuk menyambut hari spesial tersebut ibu memasak opor ayam kesukaan ayah. Pagi – pagi sekali ibu sudah pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan opor ayam. Selain memasak makanan kesukaan ayah ibu juga mempersiapkan sebuah hadiah kejutan untuk ayah.Aku sendiri juga menyiapkan sebuah kado istimewa untuk ayah. Tak sabar rasanya menunggu ayah pulang kantor untuk merayakan ulang tahunnya bersama.
      Pada contoh di atas konsep ‘bahan-bahan opor ayam’ dengan ‘pasar’ memiliki hubungan yang erat, karena konsep ‘pasar’ dan ‘bahan-bahan opor ayam’ sejalan.
b.      Adanya perkembangan
Charolles menyatakan perlu adanya perkembangan (progression), agar sebuah teks dianggap koheren, baik secaramacrostructure maupun secara microstructure.Perkembangan itu harus disertai dengan penambahan unsur semantik yang selalu diperbaharui. Hal ini akan tampak pada urutan kalimat yang digunakan maupun pada urutan sekuen (Zaimar dan Harahap, 2009:88). Perhatikan wacana di bawah ini.
Putih telur juga dinilai sebagai sumber protein yang baik karena mampu diserap tubuh secara sempurna untuk digunakan sebagai bahan pembentuk otot Anda. Putih telur juga kaya akan asam amino esensial seperti Lisin, Threonin, Valin, Isoleusin, Leusin, Metionin, Fenilalanin, Tryptophan,  dan Histidin. Leusin sendiri merupakan asam amino penting yang berperan dalam merangsang pembentukan otot.Putih telur juga disarankan sebagai sumber asupan protein berkualitas tinggi dalam pola diet.Konsumsi asupan tinggi protein telur dapat merangsang pembentukan otot (muscle protein synthesis).

Dengan segala manfaat telur diatas, ternyata mengkonsumsi telur juga dapat membahayakan Anda jika dikonsumsi secara mentah. Departemen Kesehatan Inggris menyatakan bahwa mengkonsumsi telur mentah atau pun makanan yang mengandung telur tanpa proses pemasakan, dapat mengakibatkan keracunan. Adapun ciri putih telur yang masih mentah adalah putih telur yang masih berbentuk cair.Hal ini dikarenakan telur mentah mengandung bakteri Salmonella yang dapat menyebabkan penyakit serius, misalnya Salmonella typhimurium yang mengakibatkan penyakit tipes. Jadi, demi kesehatan Anda, sebaiknya Anda menghindari konsumsi telur mentah

(Disarikan dari http://www.l-men.com/the-egg-science)

Wacana di atas memiliki koherensi yang baik.Dikatakan demikian karena dalam wacana tersebut selalu ada unsur semantik yang diperbaharui.Melalui wacana tersebut kita tidak hanya mengetahui bahwa selain memiliki sejumlah manfaat bagi kesehatan, pada kondisi tertentu telur juga bisa berdampak negative pada kesehatan.

c.       Tidak Adanya Kontradiksi
Charolles (dalam Zaimar dan Harahap, 2009:89) juga mengemukan bahwa untuk  membuat sebuah wacana menjadi koheren tidak boleh ada kontradiksi di dalamnya. Oleh karena itu perlu dalam proses analisisnya perlu diperhatikan pola perkembangannya baik secara mikrostruktur (tanpa klausa) maupun secara makrostruktur (tahapan sekuen)  dalam wacana tidak boleh mengandung pertentangan antara unsur semantik dengan isi yang terdapat di bagian lain wacana itu, baik yang ditampilkan makna secara eksplisit maupun implisit.
Romi adalah anak yang pintar dan taat beribadah. Sebagai anak tunggal ia tidak pernah manja pada orang tuanya. Teman-temannya pun sangat senang bergaul dengannya. Hari ini adalah hari raya Idul Fitri pagi-pagi sekali setelah sarapan ia sudah pergi bermain bersama teman-temannya hingga malam menjelang. …..

Contoh di atas tidak koeheren, karena di dalamnya terdapat kontradiksi.Di awal teks dikatakan bahwa Romi adalah anak yang rajin, tetapi di bagian akhir paragraf dikatakan bahwa pada perayaan Idul Fitri Romi bermain seharian bersama teman-temannya dan melupakan sembahyang Idul Fitri.

d.      Perlu Ada Identitas Individual
Dijk (dalam Zaimar dan Harahap, 2009:90) menyatakan bahwa salah satu penentu teks yang koheren adalah identitas individual.Yang dimaksud dengan identitas individual adalah segala hal yang menjelaskan dan mengacu pada “konsep” yang ditampilkan.
Hujan mulai turun ketika Kiki tiba di rumahnya.Ketika masuk ke dalam rumah ia mencium wangi yang sudah dikenalnya dari dapur. Langkahnya kemudian tertuju ke dapur. Di dapur ia melihat sepiring nasi hangat lengkap dengan lauk  kesukaannya tahu dan ayam goreng. Segera ia mengambil piring dan sendok yang ada di atas meja makan. Tanpa pikir panjang ia mulai menyantap makan siangnya dengan lahap.

Pada teks di atas terdapat dua konsep yang dibicarakan yaitu ‘Kiki’ dan ‘dapur’.Yang dimaksud dengan konsep adalah pusat pembicaraan. Wacana di atas koheren karena segala sesuatu yang dijelaskan pada wacana tersebut seperti sendok, piring, lauk, pauk, meja makan, makan siang  semua mengacu pada konsep ‘dapur’ dan ‘Kiki’.

e.       Perlunya Seleksi “ Fakta” yang akan ditampilkan
Selain perlunya identitas individual, Dijk (dalam Zaimar dan Harahap, 2009:91) juga mengungkapkan bahwa untuk membentuk koherensi dalam sebuah wacana perlu adanya “seleksi” pada fakta yang ditampilkan dalam wacana. Dikatakan demikian karena kelengkapan fakta yang tersaji dalam sebuah wacana bisa sangat luas sehingga terkesan tidak praktis, kurang baik, dan menimbulkan kebosanan bagi pembacanya.

3.      Koherensi pada Setiap Jenis Wacana
Dalam semua jenis wacana, harus ada antargagasan, namun masing-masing memiliki kekhasan tersendiri.Dalam menganalisis wacana hal ini perlu mendapatkan perhatian.
a.       Koherensi dalam Wacana Naratif
Zaimar dan Harahap ( 2009:93-94) mengungkapkan bahwa ada tiga macam hubungan yang menyebabkan  wacana narasi menjadi koheren:
1)         Hubungan kausal antarsatuan isi cerita yang merupakan fungsi-fungsi utama. Hubungan ini merupakan kerangka cerita.
2)         Hubungan antara cerita fiksi dan dunia realita. Apabila cerita tersebut menampilkan genre tertentu seperti dongeng, maka perbedaan antara fisik dan realita tidak menjadi masalah. Namun apabila cerita menampilkan genre realis, maka kesenjangan antara cerita fiksidan realita akan berdampak pada koherensi cerita.
3)         Hubungan antarunsur bahasa: apa yang telah dikatakan terlebih dahulu harus sesuai dengan apa yang dikatakan kemudian, agar wacana tersebut menjadi koheren.
b.      Koherensi dalam Wacana Argumentatif
Zaimar dan Harahap ( 2009:94) mengatakan bahwa koherensi dalam wacana argumentatif ada di antara gagasan yang ditampilkan dengan alasan-alasan (argumen-argumennya). Dalam wcana argumentatif yang dipentingkan adalah hubungan antara gagasan tersebut dan alasannya.Gagasan tersebut dapat dikemukakan di awal atau di akhir wacana.
c.       Koherensi dalam Wacana Eksplikatif
Koherensi dalam wacana eksplikatif menurut Zaimar dan Harahap (2009:96) terletak pada hubungan antara uraian dan kesimpulan. Kesimpulan yang disampaikan dalam wacana ekplikatif harus memiliki koheren dengan uraian-uraian yang telah dikemukakan.
d.      Koherensi dalam Wacana Deskriptif
Koherensi di dalam wacana deskriptif umumnya terdapat dalam hubungan ruang dan waktu.Artinya, adalah bahwa yang digambarkan adalah objek pandangan yang berada dalam satu ruang dan satu waktu.Meskipun pandangan dalam deskripsi itu menyebar, namun selalu berada dalam kesatuan ruang (tempat) dan kesatuan waktu, karena pandangan memang dibatasi oleh kedua hal tersebut. Apabila dalam sebuah wacana menampilkan dua objek pandangan yang berbeda secara rinci, maka itu adalah dua deskripsi yang berbeda atau kedua deskripsi tersebut bisa saja tercakup dalam suatu deskripsi objek yang lebih luas (Zaimar dan Harahap  2009:101).
e.       Koherensi dalam Wacana Instruktif
Koherensi dalam wacana instruktif  menurut Zaimar dan Harahap (2009:103) terletak pada hubungan kesejajaran antara satu instruksi dengan yang lainnya, atau setidaknya tidak boleh ada kontadiksi di dalamnya.
f.       Koherensi dalam Wacana Informatif
Dalam wacana informatif yang menyebabkan wacana ini koheren adalah adanya hubungan antara teks dan situasi komunikasi (Zaimar dan Harahap 2009:104).
g.      Koherensi dalam Wacana Dialog
Koherensi dalam wacana dialog terletak pada hubungan sebuah ujaran dengan ujaran lain yang merupakan repliknya (Zaimar dan Harahap  2009:105).

2.1.4   Struktur Gagasan (Penalaran)

Sebuah wacana lahir dari proses bernalar penulisnya. Melalui proses bernalar tersebutlah penulis menghubungkan berbagai fakta untuk mengembangkan topik yang ia pilih menjadi sebuah wacana.  Oleh karena itu secara tidak langsung struktur gagasan atau penalaran penulis akan tergambar pada wacana yang ia susun.
Dalam menganalisis struktur gagasan atau struktur penalaran penulis dalam sebuah wacana, ada beberapa jenis penalaran yang perlu kita pahami terlebih dahulu sebagai pandauan untuk melakukan analisis tersebut. Dilihat dari prosesnya penalaran dapat dibedakan menjadi dua yaitu penalaran induktif dan deduktif (Akhadiah, dkk, 1988:41).

1.      Penalaran Induktif
Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan beupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus (Akhadiah, dkk, 1988:41). Penalaran induktif ini mungkin merupakan generalisasi, analogi, atau sebab akibat. Generaliasi merupakan sebuah proses penalaran berdasarkan pengamatan atas sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu mengenai semua atau sebagian dai gejala serupa itu. Di dalam analogi kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala ditarik berdasarkan pengamatan terhadap semua gejala khusus yang bersamaan .sedangkan hubungan sebab akibat ialah hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang mengikuti pola sebab akibat, akibat sebab, dan akibat-akibat.
      Contoh:
Pisang  Mencegah kanker Ginjal
Sebuah penelitian mengenai diet sayur telah dilakukan dengan melibatkan 61.000 wanita Swedia berusia 40 hingga 76 tahun yang pola makannya terus dipantau selama 13 tahun. Pada awal penelitian, pola makan para wanita itu didata. Mereka diminta melaporkan apa saja yang dimakan selama enam bulan sebelumnya. Selama 13 tahun kemudian, didapati munculnya sel carcinoma renal, bentuk umum dari kanker ginjal, pada 122 wanita.
Dari pengkajian lebih lanjut disimpulkan, konsumsi buah dan sayur yang tinggi berhubungan dengan rendahnya risiko terkena kanker ginjal. Wanita yang mengasup pisang empat sampai enam kali seminggu memiliki risiko setengah lebih rendah terkena kanker ginjal dibanding mereka yang tidak memakannya sama sekali. Konsumsi sayur umbi seperti wortel dan bit yang teratur juga mampu menurunkan risiko hingga 50 sampai 65 persen.
………………………………………………………………………………

Dalam penelitian yang dilaporkan dalam International Journal of Cancer itu Dr Rashidkhani menekankan, yang lebih penting dalam diet itu adalah jenis buah dan sayuran tertentu ketimbang keseluruhan sayur dan buah yang dimakan.Pisang, papar Rashidkhani, mengandung antioksidan khusus yang disebut phenolics.Demikian pula kol putih mengandung isothiocyanates, senyawa kimia yang menurut riset di laboratorium sanggup menghancurkan formasi tumor.
Wacana di atas memapakan hubungan sebab akibat antara mengkonsumsi pisang dan kanker ginjal.Dari pemaparan wacana di atas jelas tergambar struktur penalaran penulis terjadi.Mula-mula penulis mengumpulkan data mengenai penelitian yang dilakukan mengenai diet sayur. Dari bukti-bukti yang penulis kumpulkan kemudian baru ia menaik sebuah simpulan yang berhubungan dengan topik yang ia angkat.
2.      Penalaran Deduktif
Deduksi dimulai dengan suatu premis yaitu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan.Kesimpulannya merupakan implikasi pernyataan dasar tersebut (Akhadiah, dkk, 1988:42). Artinya, apa yang dikemukakan di dalam kesimpulan secara tesirat telah ada di dalam pernyataan itu. Jadi sebenarnya, proses deduksi tidak menghasilkan suatu pengetahuan yang baru melainkan pernyataan/kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya.
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu wacana sebgai hasil proses bernalar mungkin merupakan hasil proses deduksi, induksi, atau gabungan keduanya. Sebuah wacana yang ditulis dengan struktur gagasan atau penalaran deduktif biasanya dibuka dengan suatu pernyataan umum berupa kaidah, teori, atau pernyataan umum lainnya. Selanjutnya pernyataan tersebut akan dikembangkan dengan pernyataan rinian-rincian yang bersifat khusus. Sebaliknya sebuah wacana yang ditulis menggunakan struktur gagasan atau penalaran induktif dimulai dengan rincian-rincian dan diakhiri dengan suatu kesimpulan umum atau generalisasi. Sebuah wacana yang ditulis menggunakan gabungan diantara keduanya akan dimulai dengan pernyataan umum yang diikuti dengan rincian-rincian dan akhirnya ditutup dengan pengulangan pernyataan umum di atas.
Selain dari prosesnya, sruktur gagasan  penulis dalam membuat wacana juga bisa kita lihat dengan menghubungkannya dengan jenis wacana yang dibuat oleh penulis (Akhadiah, dkk, 1988:43).
a.      Urutan Logis
Struktur gagasan penulis dalam jenis wcaana ini dikembangkan dalam urutan yang sistematik, jelas, dan tegas. Dalam hal ini, urutan tersebut dapat disusun berdasarkan waktu, ruang,alur nalar, kepentingan, dan sebagainya.
1)      Urutan Waktu  (Logis)
Struktur gagasan penulis dalam menulis wacana ini ditandai dengan pengungkapan gagasan yang disusun dengan urutan waktu (kronologis). Pengembangan struktur gagasan ini banyak mempergunakan ungkapan –ungkapan seperti dewasa ini, sekarang, bila, sebelum, sementara, sejak itu, selanjutnya, mula-mula, pertama, kedua, akhinya, dan sebagianya. Struktur gagasan ini biasanya digunakan untuk memaparkan sejarah, proses, asal-usul, dan riwayat hidup (biografi).


2)      Urutan Ruang (Spasial)
Struktur gagasan penulis dalam menulis wacana ini dtandai dengan pengungkapan gagasan yang menyatakan tempat atau hubungan dengan ruang. Pengungkapannya ditandai dengan ungkapan-ungkapan :
      Di sana, di sini, di situ, di…, pada…,
      Di bawah, di atas, di tengah, dll
3)      Urutan Alur Penalaran
Berdasarkan alur penalarannya, suatu wacana dapat dikembangkan dalam urutan umum-khusus dan khusus –umum.Struktur gagasan penulis dalam wacana yang dikembangkan dengan urutan umum-khusus dimulai dengan pernyataan yang umum kemudian diikuti dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus.Sebaliknya Struktur gagasan penulis dalam wacana yang dikembangkan dengan urutan khusus-umum dimulai dengan pernyataan – pernyataan yang bersifat khusus kemudian diikuti dengan pernyataan yang bersifat umum.
4)      Urutan Kepentingan
Suatu wacana dapat dikembangkan dengan urutan berdasarkan kepentingan gagasan yang dikemukakan.Dalam hal ini arah pembicaraan ialah dari yang paling penting sampai kepada hal yang paling tidak penting atau sebaliknya.

b.      Isi Wacana
Sebuah wacana bisa menyajikan berbagai macam fakta baik berupa benda, kejadian, gejala, sifat, ciri sesuatu, pendapat/ sikap dan tanggapan, imajinasi ramalan, dan sebagainya. Struktur gagasan penulis dalam penyajian fakta-fakta tersebut berbeda satu sama lain.
1)   Generalisasi
Generalisasi adalah sebuah wacana yang memuat pernyataan umum untuk semua atau untuk sebagian dari gejala yang diamati. Struktur gagasan penulis dalam wacana generalisasi biasanya dimulai dengan penyajian pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus mengenai gejala yang diamati,, kemudian dari penyataan-pernyataan yang bersifat khusus tersebut ditarik kesimpulan yang bersifat umum mengenai gejala yang diamati tersebut.
2)   Klasifikasi
Struktur gagasan penulis dalam wacana ini dikelompokkan berdasarkan patokan atau kiteria tertentu. Patokan tersebut haruslah merupakan ciri esensial yang ada atau tidak ada pada fakta –fakta yang akan diklasifikasikan itu.
3)   Perbandingan dan Pertentangan
Perbandingan adalah pernyataan mengenai persamaan dan kemiripan sedangkan pertentangan adalah pernyataan tentang perbedaan dan ketidakmiripan.Struktur gagasan dalam wacana perbandingan ditunjukkan dengan pengungkapan hal-hal yang berhubungan dengan persamaan atau kemiripan hal-hal yang dibandingkan.Sebaliknya struktur gagasan dalam wacana pertentangan ditunjukkan dengan pengungkapan hal-hal yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan hal-hal yang dipertentangkan.
4)   Hubungan Sebab-Akibat
Hubungan sebab akibat merupakan hubungan ketergantungan antara dua hal atau lebih. Artinya, suatu akibat hanya akan terjadi bila ada sebabnya. Struktur gagasan pada wacana ini ditandai dengan pengungkapan gagasan mengenai penyebab terjadinya sesuatu kemudian diikuti dengan pernyataan mengenai akibat yang ditimbulkan.
5)   Analogi
Pada dasarnya analogi adalah perbandingan.Perbandingan selalu mengenai sekurang-kurangnya dua hal yang berlainan. Dari kedua hal yang berlainan itu kemudian dicari persamaannya (bukan perbedaannya). Struktur gagasan penulis dalam wacana ini dimulai dengan pengungkapan fakta-fakta yang berhubungan dengan dua hal yang dianalogikan baru kemudian diungkap persamaan dari fakta-fakta tersebut.
6)   Ramalan
Ramalan adalah semacam inferensi yang berisi pernyataan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Struktur gagasan penulis beranjak dari pengungkapan fakta-fakta masa kini  yang kemudian diikuti dengan prediksi mengenai kemungkinan terjadinya fakta-fakta yang mungkin terjadi di masa depan.
7)   Gabungan
Dalam praktiknya, pada waktu menulis wacana seoang penulis terkadang tidak hanya menggunakan satu proses berpikir, sehingga tulisan yang dihasilkan juga menunjukkan paagraf-paragraf yang dikembangkan dengan beberapa cara memaparkan hasil macam-maam proses penalaran. Terutama dalam wacana yang panjang.

3. Piranti Analisis Wacana  Fungsional

Analisis wacana fungsional lahir dari pendekatan fungsional.Pendekatan fungsional merupakan sebuah pendekatan yang memandang bahasa sebagai sistem terbuka.Artinya, bahasa mempunyai sistem yang dapat berubah; sifat bahasa heterogen, yaitu bervariasi, berbeda penggunaannya bergantung konteksnya, seperti penutur dan lawan tutur, tujuan, tempat, dan waktunya; fokus deskripsi pada fungsi bahasa, yaitu maksud dan tujuan penggunaan bahasa  sebagai alat komunikasi.
Analisis wacana yang didasarkan pada pandangan fungsional ini difokuskan pada terhadap penggunaan bahasa berupa tuturan dalam penggunaan bahasa secara alami dalam proses komunikasi. Dalam hal ini, piranti analisis wacana berdasarkan pandangan ini yaitu (1) Tuturan pengungkap maksud, (2) Maksud/ fungsi tuturan(tindak tutur), (3) strategi penyampaian tindak tutur, (4) prinsip penggunaan bahasa (5) Komponen Percakapan.

3.1 Tututuran Pengungkap Maksud
Seperti yang sudah diungkap sebelumnya bahwa analisis wacana fungsional lahir dari pendekatan fungsional yang bersifat terbuka dan analisisnya difokuskan pada penggunaan bahasa secara alami dalam proses komunikasi. Proses komunikasi dapat kita pahami sebagai proses penyampaian pesan dari penutur kepada mitra tutur. Sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa tuturan-tuturan dalam proses komunikasi merupakan sebuah sarana pengungkap maksud yang ingin disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur dalam proses komunikasi.
Dalam analisis wacana fungsional tuturan-tuturan yang mengungkap maksud tersebutlah yang dianalisis. Misalnya apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud kalimat.
Untuk menyampaikan makna atau maksudnya itu, penutur harus menuangkannya dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang dipilih tersebut sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain: dengan bahasa apa ia harus bertutur, kepada siapa ia akan menyampaikan ujaranya, dalam situasi bagaimana ujaran itu disampaikan, dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang dipergunakannya.

3.2 Maksud/Fungsi Tuturan (Tindak Tutur)
Setiap tuturan yang hadir dalam proses komunikasi bukan sekedar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur.  Setiap tuturan (tindak tutur) tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam penggunaannya.Fungsi tersebut tampak jelas dari maksud yang disampaikan penutur melalui tuturannya.Untuk menganalisis maksud/ fungsi tuturan (tindak tutur) tersebut perlu dipahami beberapa fungsi tuturan (tindak tutur) yang ada.Berikut diuraikan beberapa fungsi tuturan (tindak tutur) tersebut.
Austin (1962) menyatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak yaitu: (1) tindak lokusi (lacutionaryact), (2) tindak lokusi (illocutionaryact), (3) tindak perlokusi (perlacutionaryact). Tindak lokusi oleh Searle (1987) disebut tindak proposisi (propotionalact) mengacu pada aktivitas bertutur kalimat tanpa disertai tanggung jawab penuturnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu.Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan mengatakan sesuatu secara pasti.Auisti (1962). Memberikan contoh tindakan lokusi sebagai.
(1)   Ia mengatakan kepada saya “Tembaklah dia”
Melalui ucapan ‘tembaklah’ kita dapat menetukan bahwa tindakan yang dilakukan oleh kalimat tersebut mengarah pada orang ketiga. Dalam kalimat tersebut, tidak ada keharusan bagi si penutur untuk melaksanakan isi ujaran, namun demikian tidak berarti bahwa isi penutur benar-benar telah, sedang, atau akan melaksanakan isi ujarannya.
Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi itu adalah satu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Tindak itu merupakan dasar bagi dilakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terdapat tindak lokusi (Austin, 1962). Lebih lanjut diungkap bahwa tindak lokusi adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pertanyaan, mengeluarkan perintah atau permintaan, menasbihkan nama sebuah kapal, dan lain-lain (Lyons, 1977). Dalam kaitannya tindakan ilokusi, Austin (1962) mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of sayiing) berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying).Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat mengungkapkan sesuatu sedangkan tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan sesuatu sehungan dengan tindak lokusi.
Dalam tindak ilokusi di dapatkan sesuatu daya atau kekuatan (force) yang mewajibkan si penutur untuk melaksanakan sesuatu tindak tertentu. Untuk mengeetahui daya ilokusi yang terdapat dalam tindak ilokusi, dapat dilihat contoh berikut ini:
(2)   Saya menyerankan kepadanya agar berlaku adil
Dalam kalimat (7) di atas terdapat kata menyarankan yang mengandung daya/kekuatan.Kekuatan itu menuntut tanggung jawab penuturnya untuk melaksanakan isi ujarannya ke dalam tindakan yang nyata.Tindakan ilokusi tersebut menekankan pentingnya pelaksanaan isi ujaran bagi si penuturnya (Austin, 1962).
            Secara khusus Searle (1980) mendeskripsikan tindakan ilokusi ke dalam limajenis tindakan, yaitu:
1.      Asertif atau representatif ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu ada, misalnya pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya,
2.      Komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu, misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan.
3.      Direktif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, menasehati.
4.      Ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan belasungkawa, mengkritik; tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap mitra tutur.
5.      Deklarasi, yakni tundak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya, msalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan sebagainya.
Kategori yang terakhir (5) tersebut menurut Searle (1980), merupakan katecgori tindak ilokusi yang paling spesifik.Tindak deklarasi dilaksanakan oleh seorang yang mempunyai tugas khusus untuk melakukannya dalam dalam kerangka kerja intitusional, misalnya seorang hakim yang menjatuhkan hukuman, seorang pendeta yang menikahkan pasangan mempelai, dan seorang pejabat yang meresmikan dimulainya sebuah acara seminar.
Jika dalam tindak ilokusi terlihat bahwa isi ujaran lebih ditujukan pada diri pendengar.Austin (1962) mengemukakan bahwa mengatakan sesuatu sering menimbulkan pengaruh pasti.Implikasi titndak ilokusi terhadap pendengar inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain, menjadikan orang marah, dan menghibur seseorang, singkatnya untuk membuat orang bereaksi.Tujuan tertentu yang dirancang oleh si penutur dalam isi ujarannya merupakan ciri khas tindak tutur perlokusi.Seperti tuturan berikut.
(3)   Saya membujuknya agar ia meminjami saya uang.
Pada tuturan diatas terkandung maksud atau upaya penutur untuk memperoleh pinjaman uang dari mitra tuturnya.Upaya mempengaruhi pendengar agar melakukan seatu tindakan tertentu sehubungan dengan ujaran yang dikemukakan oleh penutur itulah yang dimaksud dengan tindak tutur perlokusi (Austin, 1962).
Dalam ilmu bahasa dapat disamakan tindak ilokusi dengan ‘predikasi’ tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan ‘akibat suatu ungkapan’. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat, ilokusi sebagai daya yang ditimbukan oleh pemakainya sebagai perintah, permintaan, ejekan, keluhan, pujian, dan lain-lain. Perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya misalnya;
(4)   Niali rapormu bagus sekali
Dari segi lokusi, contoh (9) tersebut hanya sebuah pernyataan bahwa nilai rapor itu bagus (makna dasar).Dari segi ilokusi, bisa berarti pujian atau ejekan.Pujian kalau memang nilai itu bagus dan ejekan kalau nilai rapor itu tidak bagus.Dari segi perlokusi, hal itu dapat membuat pendengar menjadi bergembira (berterima kasih) dan sebaliknya dapat menjadi muram (sedih).
Ujaran yang tidak langsung itu, yang tidak menyatakan pujian atau ejekan seperti di atas, mengharuskan pendengar mengolahnya sehingga makna yang sebenarnya dapat ditentukannya.Ini dapat di ketahui dari kaidah perbincangan. Banyak hal yang menyebabkan seseorang  tidak ingin berterus terang mengenai apa yang ia mkasudkan, antara lain faktor yang bersifat pribadi, sosial maupun yang bersifat budaya.
Jelaslah, bahwa memahami ujaran tidak semudah yang kita sangka.Kalau kita berbicara tentang kalimat, yang kita maksudkan hanya makna harfiah (literal) dari kalimat tersebut sedangkan kalau kita berbicara mengenai tujuan, banyak faktor yang harus terlibat untuk menafsirkanya.
Contoh
(5)   Dapatkah anda menutup pintu itu.
Kalau di ujarkan seperti (10) kalimat itu dari segi tata bahasa dikatagorikan kalimat tanya. Tetapi, bagi penutur asli, ujaran seperti itu sering tidak dianggap sebagai pertanyaan, melainkan sebagai permintaa. Dalam makna pragmatik, ujaran seperti itu disadari bukan sebagai permintaan informasi, melankan permintaan untuk melakaukan tindakan ilokusi yang sama dengan bentuk imperatif.
Apabila lawan bicara langsung menuruti atau mematuhi perintah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan itu, ia tidak perlu berkata sepatah kata pun. Sedangkan, kalau membutuhkan waktu untuk menurutinya, bermacam-macam jawaban mungkin yang timbul.Hal itu dapat berupa yes-no questiondengan berbagai komentar lainnya.(Green dalam Cole dan Margan, 1975).
Menurut Searle (dalam Cole dan Margan, 1975) dalam bentuk ujaran tidak langsung (ilokusi tidak langsung), para penutur menyampaikan maksudnya lebih dari apa yang benar-benar ia ucapkan atau tuliskan. Hal itu dihubungkan dengan pengetahuan bersama terhadap latar belakang informasi itu, baik bersifat kebahasaan maupun bukan.
Dalam menanggapi apa yang disebut tindak tutur tidak langsung, Leech (1981) mengatakan bahwa kemaknagandaan suatu ujaran menimbulkan masalah karena dalam hal seperti itu sering terjadi kesalahpahaman, baik karena pengetahuan bersama atas situasi dan budaya tidak memadai maupun faktor lainnya. Dengan berbagai alasan, orang sering memanfaatkan kemaknagandaan itu dengan berpura-pura tidak tahu (Sinclair dan Coulthard, 1975).
Dalam uraian singkat di atas menunjukkan bahwa kajian tindak tutur sangat mendukung dalam studi analisis wacana.Bahkan, Becker (1970 dalam Suwito, 1983) menyatakan bahwa sebelum seseorang menganalisis bahasa (wacana), analisis tersebut harus menentukan lebih dahulu tindak tuturnya. Tanpa penentuan demikian maka hasil analisisnya diperkirakan akan banyak meleset karena oleh siapa kalimat itu di ucapkan, kepada siapa kalimat itu ditujukan, dan dalam situasi bagaimana kalimat itu dituturkan belum diperhitungkan.

3.3 Strategi Tindak Tutur
Strategi tindak tutur adalah cara-cara yang digunakan partisipan tutur dalam mengekspresikan tindak atau fungsi tindak tutur menggunakan tuturan tertentu.Dalam kaitan ini, Wijana (1986) mengisyaratkan bahwa strategi penyampaian tindak atau fungsi tindak tutur dapat diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif, interogatif, dan imperatif (bermakna literal atau nonliteral dan langsung atau tidak langsung).Sejalan dengan hal tersebut, Brown dan Le­vinson (1978) mengatakan bahwa tuturan yang mengekspresikan tindak tutur pada umumnya menggambarkan strategi penyampaian tindak tutur tersebut.
Para ahli umumnya membedakan strategi penyampaian tindak tutur atas dua jenis, yaitu strategi langsung dan tidak langsung.Blum-Kulka (1989) mengatakan bahwa strategi langsung dan tidak langsung yang digunakan dalam penyampaian tindak tutur berkaitan dengan dua dimensi, yaitu dimensi pilihan pada bentuk dan dimensi pilihan pada isi.Dimensi bentuk berkaitan dengan bagaimana suatu tuturan diformulasikan atau bagaimana ciri formal (berupa pilihan bahasa dan variasi linguistik) suatu tuturan dipakai untuk mewujudkan suatu ilokusi.Dimensi isi berkaitan maksud yang terkandung pada tuturan tersebut. Jika isi tuturan mengandung maksud yang sama dengan makna performasinya, maka tuturan tersebut dituturkan dengan strategi langsung. Sebaliknya, jika maksud suatu tuturan berbeda dengan makna performasinya maka tuturan tersebut dituturkan dengan strategi tidak langsung.
Selanjutnya, Searle (dalam Murtinich, 2001) menyatakan bahwa strategi langsung yang digunakan dalam menyampaikan fungsi tindak tutur oleh Pn terhadap Mt menggunakan tuturan dengan makna yang jelas atau yang merealisasikan makna dengan memfungsikan tuturan secara konvensional, baik yang bersifat linguistik maupun nonlinguistik.Hal itu dilakukan dengan mengandalkan dan untuk mencapai pengetahuan bersama. Selanjutnya, dalam penggunaan strategi tidak langsung, Pn mengekspresikan tindak tutur dengan caramemfungsikan tuturan secara tidak konvensional dan umumnya motivasi dan tujuan pengutaraannya adalah kesopanan, walaupun tidak sepenuhnya demikian.
Menurut Blum-Kulka (1989) bahwa tindak tutur diungkapkan secara langsung agar mudah dipahami oleh mitra tutur. Tindak tutur diungkapkan secara tidak langsung khusus digunakan bertujuan untuk menghindari konflik, menjalin hubungan harmonis, memperluas topik, menjalin kerja sama atau solidaritas sosial,dan mengupayakan agar komunikasi tetap menyenangkan. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Kartomihardjo (1993), bahwa dalam hal-hal tertentu dalam sosial budaya tertentu, penggunaan strategi dengan tuturan langsung bukanlah perilaku yang baik karena mungkin akan menyakitkan hati orang lain. Bila perlu, mereka lebih baik menggunakan strategi dengan tuturan secara tidak langsung atau terselubung, dan membiarkan peserta tutur mengartikannya sendiri maksudnya.Strategi tidak langsung yang dimaksud dalam pandangan tersebut, dapat dikatakan sebagai strategi tidak langsung dengan maksud yang samar-samar atau strategi pengekspresian tindak tutur dengan maksud terselubung.
Sebagai contoh perhatikanlah tuturan dalam percakapan berikut.
(2)  a. Tolong di ulang, Bu!
       b. Cobatunjuk satu-satu, Pak! Biar semua dapat!
Tuturan siswa pada  butir a berfungsi atau bermaksud meminta guru mengulang penjelasannya. Sementara itu, tuturan siswa pada butir b bermaksud meminta guru menunjuk siswa satu per satu untuk menjawab pertanyaan agar tidak ribut.Sesuai dengan maksudnya, tindak tutur yang dinyatakan masing-masing tuturan itu disebut tidak tutur meminta.Tindak tutur tersebut diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif. Tuturan tersebut mengandung maksud yang sama dengan makna wujud sebenarnya atau performasinya, maka tindak tutur meminta yang dinyatakan siswa terhadap guru tersebut dituturkan dengan strategi langsung.
Kemudian perhatikan pula tuturan dalam percakapan berikut.
(3)   G :Nah, coba Agustini! (a)
      S: (sedang tertawa kecil bersama temannya). (b)
      G: Jangan tertawa Agustini!
      S: Yang lainnya belum pernah, Bu!. (c)
Tuturan siswa pada butir (3) (c) menggambarkan strategi langsung yang dinyatakan dengan tuturan deklaratif yang digunakan untuk memberikan informasi. Untuk menyampaikan informasi tersebut, tuturan itu sekaligus mengisyaratkan adanya strategi tidak langsung yang digunakan untuk meminta dan menolak perintah guru. Dalam hal ini, siswa secara langsung menginformasikan dan mengingatkan guru bahwa banyak siswa yang belum pernah ditunjuk. Kemudian, secara tidak langsung (dengan strategi tidak langsung yang samar-samar dan terkesan sebagai sindiran), siswa menolak perintah guru dan sekaligus meminta guru untuk menunjuk siswa yang lain yang belum pernah mendapat giliran. Hal  itu disampaikan siswa untuk merespons perintah guru pada  (3) (a) setelah guru menegurnya karena tertawa saat akan ditanya guru, seperi pada (3) (b).
Dengan mengadaptasi teori-teori tersebut, strategi tindak tutur dapat dibedakan atas strategi langsung dan tidak langsung. (1) Strategi langsung, yaitu strategi penyampaian tindak tutur menggunakan tuturan yang bentuknya mempunyai makna sama (atau mirip) dengan maksud pengutaraannya. (2) Strategi tidak langsung adalah strategi penyampaian tindak tutur menggunakan tuturan yang bentuknya mempunyai makna yang tidak sama dengan maksud penuturannya.
            Putu Wijana & M. Rohmaji (2009: 28-30) menjelaskan, berdasarkan strategi penyampaiannya,  jenis  tindak tutur dapat dibagi menjadi.
1.        Tindak Tutur Langsung
Tindak tutur langsung terbentuk bila kalimat difungsikan secara konvensional. Misalnya kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk menyatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon dan sebagainya.
Contoh.
(1)   Mia makan roti
Tuturan di atas menggambarkan penyampaiannya di lakukan secara langsung dari sang penutur kepada lawan tuturnya.Tuturan di atas menggambarkan kalimat berita yang secara langsung menyampaikan bahwa Mia sedang makan roti.
2.        Tindak Tutur Tidak langsung
Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawabsecara langsung, tetapi harus segera melaksanakan maksud yang terimplikasi dari tuturan tersebut.
Berbanding terbalik dengan tuturan langsung yang dijelaskan di atas, tuturan tidak langsung biasanya tersampaikan secara lebih sopan. Misalnya kalimat perintah dapat diutarakan dengan menggunakan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa diperintah. Bila hal ini yang terjadi, maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tidak langsung (indirect speech act).
Contoh.
(1)   Kamu sudah makan siang?
Tuturan (1) bila diucapkan kepada seseorang sebenarnya bukan sekedar bertanya apakah lawan tutur memiliki sudah makan, tetpi lebih dimaksudkan untuk mengajak lawan tutur untuk makan siang bersama.


Dari uraian di atas, berikut digambarkan skema penggunaan modus kalimat dalam kaitannya dengan kelangsungan tindak tutur.
Modus
Tindak tutur
Langsung
Tidak langsung
Berita
Memberitakan
Menyuruh
Tanya
Bertanya
Menyuruh
Perintah
Memerintahkan
-

3.        Tindak tutur literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang memiliki maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Contoh.
(1)   Masakanmu sangat enak
Tuturan di atas benar-benar bermaksud memuji bahwa masakan yang ia cicipi benar-benar enak.
4.        Tindak tutur tidak literal
Tindak tutur tidak literal (nonliteral peech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Contoh.
(1)   Masakanmu sangat enak, tapi lebih baik kamu jangan menjadi koki.
Tuturan (1) menggambarkan sang penutur mengatakan masakan lawan tuturnya tidak enak  sehingga lebih baik tidak usah menjadi koki , walaupun diawali dengan kalimat memuji.
Bila tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan (diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan didapatkan tindak tutur-tindak tutur berikut ini.
1.      Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act)
Adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya, dan seterusnya.

2.      Tindak tutur tidak langsung literal (indirect speech act)
Adalah tindak tutur yang diucapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunya sesuain dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
3.      Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act)
Adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita.
4.      Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act)
Adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diuatarakan.

3.4 Prinsip Penggunaan Bahasa
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Sepertinya halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terdapat tindakan dan ucapan lawan tuturnya.Setiap peserta tutur bergantung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan, 1986).
Di dalam komonikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomonikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomonikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. Misanya orang yang menggunakan bentuk tuturan “tolong” dan “dapatkah anda menolong saya?” untuk situasi dan keperluan yang berbeda.
Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanaka prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus memenuhi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (Grice, 1975, Parker, 1986, wardaugh, 1986, Sperber & Wilson, 1986).
Ternyata komunikasi senyatanya  tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Bila sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama, sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yakni prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri, dan orang lain. Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur.
Salah satu ahli yang mengembangkan prinsip kesantunan ini adalah Leech. Dengan berorientasi pada sosial psikologis, Leech mengembangkan prinsip kesantunan yang di dalamnya terdapat enam maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy kaxim). Selain prinsip kesantunan yang dikembangkan Leech di atas, masih ada prinsip kesantunan lain yang dikembangkan oleh para ahli. Salah satu di antaranya adalah  Teori Penyelamatan Muka yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson. Dasar teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) ialah gagasan tentang muka (wajah) dan rasionalitas, yang bersumber dari Erving Goffinan. Kesantunan ialah ungkapan maksud penutur untuk mengurangi ancaman wajah yang dibawa oleh tindakan keterancaman wajah tertentu terhadap orang lain. Teori ini berdasarkan asumsi yang memandang kegiatan komunikasi sebagai kegiatan rasional yang mengandung dan sifat tertentu. Goffinan sendiri mengatakan bahwa kesantunan untuk menyelamatkan muka itu merupakan pencerminan penghargaan atau penghormatan pada orang lain. Biasanya, seseorang penutur mempunyai dua muka, yakni :
1.         Muka negatif (negative face) yang mengacu pada keinginan untuk menentukan sendiri (self-determinating)
2.         Muka positif (positive face) yang mengacu kepada keinginan untuk disetujui atau disepakati.
Dalam percakapan penutur selalu merasa terancam mukanya dan karena itu patut diselamatkan.  Penyelamatan itu dengan cara menggunakan kesantunan melalui strategi tertentu dalam bertutur. Dalam hal ini digunakan konsep dalam teater yaitu masing-masing tokoh menjalan peran lain dari dirinya sendiri, prilakunya menggambarkan wajah orang lain. Menurut kata-kata Gunarwan (1994, 2004), wajah positif itu mengacu kepada keinginan seseorang agar apa yang diasosiakan dengan dirinya dinilai baik oleh orang lain. Wajah negatif mengacu pada keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain. Dan wajah negatif mengacu keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang lain. Kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah positif disebut kesantunan positifDan kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah negatif disebut kesantunan negatif.  Patut diingat bahwa pengertian  negatif  itu tidak berkonotasi buruk. Strategi bertutur berkisar pada konsep muka, yang melambangkan citra diri orang, orang yang rasional. Muka dalam pengertian kiasan ini terdiri dari dua wujud, yaitu muka positif dan muka negatif. Strategi kesantunan itu positif jika penutur dalam bertutur maaf memberikan berbagai alasan dan keterangan. Kesantunan negatif bila penutur mengungkapkan maaf tanpa penjelasan atau alasan apa pun.

3.5 Komponen Percakapan
            Piranti analisis wacana fungsional yang terakhir adalah komponen percakapan. Karakteristik percakapan sebagai wacana tampak pada unsur-unsur atau komponen-komponennya, yang meliputi: partisipan tutur, latar bersama, perbuatan bersama, dan kontribusi.
3.5.1 Partisipan tutur
Partisipan tutur adalah pelaku tutur atau penutur (Pn) dan mitra tutur (Mt).Dardjowidjojo, (2003:121) menjelaskan bahwa minimal ada dua personalia dalam percakapan, yaitu pembicara dan interlokutor. Di samping itu, tidak mustahil adanya orang lain sebagai pendengar yang ikut serta dalam pembicaraan itu (side participants), orang lain yang mempunyai akses dengan pembicaraan (bystanders), dan orang mempunyai akses terhadap pembicaraan tetapi kehadirannya tidak diakui atau penguping (eavesdroppers). Richard (1995:3) mengatakan bahwa Pn adalah sebagai pemberi pesan dan Mt sebagai penerima pesan. Clark (1994) (dalam Dardjowidjojo, 2003:121): menggambarkan personalia dalam percakapan sebagai berikut.
Dalam percakapan di kelas misalnya, guru dan siswa merupakan partisipan tutur.Kedudukan guru dan siswa sangat bergantung pada teknik pembelajaran yang dikembangkan guru dalam KBM. Bila teknik yang dikembangkan dalam KBM hanya berupa ceramah, tanpa melibatkan siswa, maka guru hanya sebagai Pn dan siswa sebagai Mt. Bila teknik pembelajaran berupa tanya jawab atau diskusi yang melibatkan siswa, maka guru dan siswa dapat sebagai Pn dan Mt secara pergantian. Dalam percakapan di kelas, guru dan siswa dapat dikatakan sebagai partisipan utama (primary pasticipants) karena mereka mempunyai kewajiban terlibat dalam KBM untuk mencapai tujuan pembelajaran.

3.5.2 Latar bersama
Latar bersama mengacu kepada anggapan bahwa dalam interaksi verbal, baik Pn maupun Mt mempunyai prasuposisi, praanggapan, atau pengetahuan yang sama. Dardjowidjojo (2003:121) menyebut kesamaan pengetahuan tersebut sebagai latar bersama (common ground).Berkaitan dengan hal tersebut, Sperber dan Wilson (1998) mengatakan bahwa komunikasi termasuk percakapan terjadi bila Pn dan Mt mencapai pemahaman bersama (mutual knowledge).Untuk mencapai hal itu, baik Pn maupun Mt menginterpretasi konteks komunikasi dengan membuat asumsi-asumsi.Adanya kesesuaian asumsi Pn dan Mt terhadap konteks (baik ujaran saat ini, ujaran yang lampau maupun latar belakang pengetahuan, sosial, budaya atau semua hal yang berkaitan dengan topik pembicaraan) yang membuat komunikasi dapat berlangsung.
Misalnya, dalam membangun percakapan di kelas guna mencapai tujuan pembelajaran, dapat dikatakan bahwa siswa dan guru berupaya mencapai pemahaman bersama.Bila siswa atau guru dapat saling menerima atau memahami yang disampaikannya masing-masing, maka guru dan siswa telah mempunyai latar bersama atau mencapai pemahaman bersama. Bila siswa tidak dapat memahami, menolak, atau tersinggung akan hal yang disampaikan guru atau sebaliknya, guru tidak dapat memahami, menolak, atau tersinggung, terhadap yang disampaikan siswa, maka dapat dikatakan bahwa guru dan siswa tidak mempunyai atau belum mencapai pemahaman bersama.

3.5.3 Perbuatan bersama
Perbuatan bersama mengacu pada hal yang dilakukan Pn dan Mt secara bersama-sama dalam menghasilkan percakapan.Dardjowidjojo (2003:122) menjelaskan bahwa perbuatan bersama (joint action) adalah pembicara dan interlokutor membangun percakapan berdasarkan aturan yang sama-sama mereka ketahui.Sebagai sebuah wacana, percakapan biasanya mempunyai unsur tersendiri, yaitu pembukaan, isi, dan penutup. Pada struktur tiap unsur tersebut, ada aturan tersendiri yang harus diikuti Pn ataupun Mt. Pada pembukaan biasanya ada perbuatan bersama yang perlu dipatuhi, misalnya ada ajakan dan ajakan tersebut memerlukan respons. Bila ajakan itu tindak imperatif tidak direspons, maka tidak akan terjadi perbuatan bersama yang berarti pula tidak terjadi percakapan. Dalam isi percakapan, harus ada latar bersama.Bila tidak ada latar bersama, maka tidak terjadi percakapan.Kemudian dalam penutup Pn dan Mt harus mempunyai kesepakatan untuk mengakhiri pembicaraan. Bila Mt atau Pn berhenti tanpa menghiraukan yang lain, maka salah satu pihak akan tersinggung.
Dalam struktur percakapan tersebut, ada dua tuturan atau lebih dalam percakapan antara Pn dan Mt mempunyai keterkaitan makna.Dua tuturan yang mempunyai keterkaitan makna tersebut sering disebut dengan istilah pasangan berdampingan (adjacency pair).Dardjowidjojo (2003:123) menjelaskan bahwa munculnya pasangan berdampingan ini disebabkan adanya relevansi kondisional (conditional relevance), yaitu begitu pembicara mengucapkan sesuatu, maka yang diajak bicara siap untuk menyahut.Bila relevansi kondisional ini tidak terpenuhi, pastilah ada yang tidak beres.Misalnya, mungkin yang diajak bicara sedang marah dan sebagainya.
Dalam percakapan kelas, pasangan berdekatan itu terkait dengan stimulus respons. Proses stimulus respons yang berulang akan menimbulkan kebiasaan dan keteraturan. Dalam pasangan berdekatan, kesesuaian stimulus respons dapat tercipta. Gambaran pasangan berdekatan disampaikan Cook (1989:44) sebagai berikut: tawaran dapat direspons dengan penerimaan atau penolakan, penilaian dapat direspons dengan persetujuan atau ketidaksetujuan, menyalahkan dapat direspons dengan sanggahan atau penerimaan, pertanyaan dapat direspons dengan jawaban yang diharapkan atau jawaban yang tidak diharapkan, walaupun dalam konteks tidak mutlak demikian. Struktur percakapan seperti itu biasanya disebut struktur dua bagian.Bagian pertama disebut initiation (I) dan bagian kedua disebut responsse (R).Dalam percakapan di sekolah, struktur pasangan berdekatan dapat juga lebih dari dua bagian. Hasil penelitian Sinclair dan Coulthard (1975)  (dalam Stubbs, 1983:2829) menunjukkan bahwa percakapan guru dan siswa terdiri atas tiga bagian, yakni initiation (I), response (R), dan feedback (F). Hal tersebut da¬pat dilihat pada percakapan berikut.
  G: Tumbuhan memerlukan oksigen untuk apa? I
              S: Untuk fotosintesis. R
              G: Betul. F

Sebagai unsur percakapan, perbuatan bersama (joint action) tampak dalam upaya siswa dan guru membangun percakapan guna mencapai tujuan pembelajaran di kelas.Dalam hal ini, sesuai dengan kedudukan, tugas, dan kewajibannya dalam pembelajaran di kelas, siswa umumnya selalu dituntut untuk merespons tuturan maupun tindakan guru.Sementara itu, guru sebagai pengendali pembelajaran, dapat dikatakan menciptakan dan berupaya mengarahkan percakapan sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati.Dalam hal ini, guru berupaya agar siswa merespons guru dan guru berupaya merespons siswa.Oleh karena itu, siswa dan guru berupaya mencapai relevansi kondisional.Hal itu berarti pula bahwa melalui pola tuturan umumnya, khususnya melalui pola berdekatan, dapat diidentifikasi dan diinterpretasi berbagai hal mengenai penggunaan tuturan dalam percakapan termasuk percakapan kelas, misalnya dampak tuturan ataupun pencapaian pemahaman bersama.

3.5.4 Kontribusi
Kontribusi adalah keterlibatan Pn atau Mt dalam percakapan.Kontribusi Pn dan Mt dalam percakapan umumnya pada saat mereka mendapat giliran tutur.Dardjowidjojo (2003:123) menegaskan bahwa kontribusi dalam percakapan ada dua tahap: (a) tahap presentasi, yaitu saat pembicara menyampaikan sesuatu untuk dipahami oleh interlokutor dan (b) tahap pemahaman (acceptance), yaitu saat interlokutor telah memahami hal yang disampaikan pembicara.
Kedua tahap kontribusi tersebut menggambarkan tercapainya relevansi kondisional antara tuturan Pn dan Mt, yaitu terbentuknya latar bersama atau pemahaman bersama antara Pn dan Mt. Jika percakapan tidak mencapai tahap kontribusi seperti itu, maka percakapan tidak akan berlanjut. Tahap kontribusi tersebut disebut pelataran atau pembentukan pengetahuan bersama antara Pn dan Mt. Pelataran dalam percakapan terjadi setiap pergantian isi pembicaraan atau bergantung isi pembicaraan. Kontribusi siswa maupun guru, baik sebagai Pn maupun sebagai Mt dalam percakapan di kelas, hanya akan berlanjut bila mencapai kedua tahap kontribusi yang ada. Kontribusi guru dan siswa pada umumnya dituntut untuk menciptakan relevansi kondisional.Mereka harus siap saling merespons sehingga terbentuk latar bersama atau tercapainya pemahaman bersama pada tiap topik pembicaraan.

4. Piranti Analisis Wacana  Dialektik (Analisis Wacana Kritis)

Analisis wacana dialektis lahir dari paradigma dialektika yang memandang bahasa sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue) tetapi juga dipandang sebagai parole. Dengan demikian, selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus di perhatikan pada saat menyusun suatu ujaran (Arifin,tth).
Dalam menganalisis wacana menurut pandangan ini, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai studi bahasa, walaupun pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis.Akan tetapi, bahasa yang dianalisis menurut paradigma analisis dialektika ini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional.Bahasa dianalisis bukan sekadar menggambarkan dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteksnya.Penggambaran wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, intuisi, dan struktur sosial yang membentuknya.Praktik wacana kemungkinan menampilkan efek ideologi, misalnya dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas.
Piranti analisis wacana dialektis ( wacana kritis) ini meliputi (1) ‘common sense’ dan ‘ideologi’ (2) asumsi yang implisit, koherensi, dan Inferensi, (3) Interpretasi Pembaca dan Interpretasi Penulis, (4) Struktur wacana (supra, mikro, dan makro).

4.1 ‘Common Sense’ dan Ideologi
            Menurut Fairclough dan Wodak(dalam Erianto, 2001:7) analisis wacana kritis melihat wacana – pemakai bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara pristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial  yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan repsroduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang anatara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana, sebagi contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran alamiah, dan memang seperti itu kenyataannya.Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaaan yang terjadi di dalam masyarakat terjadi.
Idiologi yang digunakan dalam analisis wacana kritis sedikit berbeda dari pengertian yang biasa digunakan dalam banyak hal, terutama di bidang politik.Seperti yang dikemukakan oleh Fairclough (dalam Purwo, Ed., 2000), idiologi diinterpretasikan sebagai suatu kebijakan masyarakat yang sebagian atau seluruhnya berasal dari teori sosial secara sadar.Idiologi tersebut dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereprosuksi dan meligitimasi dominasi mereka.Salah satu strategi utamanya adalah untuk membuat kahalayak menerima dominasi mereka tersebut. Dengan kata lain wacana menjadi sebuah medium untuk mempersuasi dan mengomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki tampak abash dan benar(Erianto, 2001:13).
Lebih lanjut Dijk (dalam Erianto, 2001:13) mengatakan bahwa idiologi dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok.Dalam perspektif ini, idiologi memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, idiologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang dibagi tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap.
Kedua, idiologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal diantara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, idiologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok yang membedaknnya dengan kelompok lainnya.Dengan pandangan semacam ini, wacana kemudian tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap wacana selalu terkansung idiologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.
Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama yang berkaitan dengan bagaimana idiologi dari kelompok-kelompok yang ada berebut peran dalam membantuk wacana.Dalam wacana berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul tersebut pencerminan dari idiologi seseorang, apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosialis, dan sebaginya.

4.2 Asumsi yang Implisit, Koherensi, dan Inferensi
            Seperti analisis wacana pada umumnya, AWK juga menggunakan piranti seperti asumsi yang implisit, koherensi, dan inferensi untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan dekat sekali dengan kenyataan atau dengan makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis.Untuk lebih memahami piranti ini, berikut dipaparkan sebuah contoh.
Pelajar Tabrak Pejalan KakiTabanan (Bali Post) -

Apes menimpa Ni Wayan Begeh (55) asal Banjar Tegah Nyitdah, Desa Nyitdah, Kediri, Tabanan. Nenek ini ditabrak seorang pelajar yang mengendari sepeda motor Suzuki Satria, Gusti Made Restu Wahyudi (13), Senin (28/11) pagi. Akibat kejadian ini, korban mengalami patah tulang kaki dan dirawat di RSU Tabanan.

Peristiwa naas itu terjadi di jalan raya jurusan Kediri-Kedungu, tepatnya di Banjar Tegal Desa Nyitdah, Kediri. Ceritanya, sekitar pukul 10.00 wita, Restu Wahyudi melaju dari arah utara ke selatan. Saat melintas di lokasi, mendadak muncul korban yang berjalan di pinggir. Rupanya, Restu tak menyadari ada korban. Kontan saja, motor berpelat DK 6754 HI ini menabrak korban. Kerasnya benturan membuat korban terpelanting dan terluka. ''Korban mengalami patah tulang di kaki,'' kata Paur Subbag Humas Polres Tabanan Aiptu Ni Made Suwarni, Selasa (29/11) kemarin.

Karena kondisinya kritis, korban langsung dilarikan ke RSU Tabanan. Hingga kemarin, dia masih dirawat di rumah sakit. Selain mengalami patah tulang, korban juga merasakan sakit di bagian rahang bawah dan leher.

Aiptu Suwarni menambahkan, insiden ini dipicu pengendara motor yang kurang hati-hati, sehingga tak menyadari ada pejalan kaki yang melintas. Kasus ini masih ditangani Satuan Lantas Polres Tabanan. Saat kejadian, pengendara motor hanya membawa STNK motor. (udi)

(Dikutip dari Bali Post  November 2011)

            Sampai pada bagian tersebut, pembaca sudah menginterpretasikan bahwa pelajar yang menabrak nenek tersebut belum memiliki SIM, sehingga saat kejadian ia hanya membawa STNK. Pengetahuan pembaca tentang “dunia”  yangmengatakan bahwa usia wajar untuk memeroleh SIM adalah di atas 17 tahun. Dengan pengetahuan itu, pembaca dapat menginterpretasikan bahwa Wahyudi (pelajar yang manabrak nenek) baru berusia 13 tahun  tersebut belum memiliki SIM. Pembaca juga dapat menginterpretasikan bahwa Wahyudi akan diperiksa intensif di kantor Polisi.
            Pemahaman pembaca tentang usia yang wajar untuk memiliki SIM, dan kecelakaan yang melibatkan pelajar tersebut semuanya telah dapat dipahami dan telah menjadi suatu koheren setelah pembaca menghubung-hubungkan kejadian-kejadian yang ditulis wartawan dengan menggunakan inferensi-inferensi atau kesimpulan-kesimpulan.

4.3 Interpretasi Pembaca dan Penulis
Ketika seorang pembaca membaca sebuah wacana, secara tidak langsung pembaca tersebut ingin mengetahui sesuatu yang ditulis oleh penulisdan apabila mungkin menginterpretasikan apa saja yang dimaksud oleh penulis dalam wacana tersebut. Moeliono (2000:116) mengatakan bahwa sebuah wacana melibatkan kondisi sosial tentang produksi dan kondisi sosial tentang interpretasi.
Kondisi sosial tersebut menghubungkan ke tingkat organisasi sosial yang berbeda, yaitu tingkat situasi sosial atau lingkungan sosial tempat suatu wacana terjadi; tingkat lembaga sosial yang merupakan matriks wacana yang lebih luas; dan tingkat sosial secara keseluruhan. Jadi, apabila bahasa dilihat sebagai wacana dan praktik sosial, seseorang perlu melihatnya sebagai analisis tentang hubungan antara teks, proses dan kondisi sosial, baik kondisi yang erat hubungannya dengan konteks situasi maupun kondisi yang lebih jauh yang berhubungan dengan kondisi lembaga dan struktur sosial. Secara singkat dapat disebutkan sebagai hubungan antara teks, interaksi, dan konteks.
Interpretasi yang menyangkut hubungan antara teks dan interaksi  dengan melihat teks sebagai hasil dari suatu proses suatu produksi dan sebagai suatu sumber dalam proses interpretasi; eksplanasi yang menyangkut hubungan antara interaksi dan konteks sosial.  Dengan ketentuan sosial dari suatu proses produksi dan interpretasi dan pengaruh-pengaruh sosialnya, bisa dikatakan bahwa setiap tahapan itu merupakan suatu analisis.Lebih lanjut Moeliono (2000:117) mengatakan bahwa pada setiap tahapan itu analisis berubah.Terutama analisis pada tingkat deskripsi berbeda dengan analisis pada tingkat interpretasi dan pada tingkat penjelasan.
Pada tingkat deskripsi yang dilakukan para analis ialah melihat bagaimana teks itu disusun menurut kosakatanya, tata bahasanya, dan struktur tekstual.Kosakata memiliki nilai. Dalam hal ini terdapat nilai eksprensial yang dialami oleh penulis dalam dunia yang alami atau dunia sosial.Nilai eksperensial menyangkut isi, pengetahuan, dan kepercayaan. Nilai lainnya ialah nilai relasional yang menyangkut berbagai macam hubungan keterpautan dan hubungan sosial yang diwujudkan dalam teks. Nilai yang ketiga ialah ekspresif yang dimiliki oleh penulis.Nilai ekspresif menyangkut subjek dan identitas sosial.
Moeliono (2000:117) juga mengungkapkan bahwa interpretasi pembaca sebenarnya tidak jauh dari makna yang dikemukakan oleh penulis atau sering disebut produser; tentunya produser dari teks tertentu. Produder teks sebenarnya sebelum menulis juga menginterpretasikan dunia nyata atau sesuatu yang terjadi ke dalam tulisannya. Jadi bisa dikatakan bahwa interpretasi pembaca tiada lain adalah interpretasi dari suatu interpretasi. Jadi sebenarnya interpretasi pembaca kurang lebih merupakan kombinasi antara apa yang tertulis di dalam teks dan apa yang ada di dalam benak pembaca atau penginterpreter itu. Secara rinci tahapan interpretasi itu dapat diumpamakan sebagai berikut:
1.      Tuturan yang ada di permukaan. Tingkat interpretasi pertama ini menghubungkan proses peginterpretasian bunyi atau huruf yang dapat dibaca di dalam teks ke dalam kata-kata atau kalimat-kalimat. Hal ini tergantungpada pengetahuan penginterpreter tentang fonologi, tata bahasa, dan kosakata
2.      Makna tuturan. Bagian ini memberi makna bagi setiap konstituen dalam teks dan bagian-bagiannya. Interpreter di sini mencari makna dengan jalan mengombinasikan antara arti kata-kata dan tata bahasa, termasuk juga mencari arti implisit yang tertera di dalam teks.
3.      Koherensi lokal. Tingakt ketiga mennetukan hubungan antara tuturan-tuturan untuk menghasilkan interpretasi yang koheren, yaitu koherensi yang berkenan dengan bagian-bagian teks.
4.      Struktur teks dan makna keseluruhan. Di tingkat ini diinterpretasikan seluruh makna teks itu dengan tidak lupa mempertimbangkan skemata yang diketahui.
4.4 Struktur wacana (supra, mikro, dan makro)
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya kedalam 3 tingkatan. Petama, struktur makro.Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu wacana. Kedua, unsur suprastruktur. Unsur ini merujuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau wacana yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.Ketiga,unsur  struktur mikro.
Unsur mikro merujuk pada makna setempat (local meaning) suatuwacana. Unsur ini dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Aspeksemantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud, pengandaian, sertanominalisasi. Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan bagaimana frase dan ataukalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup bentuk kalimat, koherensi, sertapemilihan sejumlah kata ganti (pronouns). Aspek stilistika suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gayayang digunakan oleh pelaku wacana.
Dalam kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat, aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresiyang digunakan.
Lebih lanjut Van Dijk mengungkapkan, meskipun  sebuah wacana terdiri dari atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks, pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai.Kita bisa membuat ilustrasi pemberitaan kasus Maluku. Misalnya Koran A mengatakan bahwa kasus ini karena pertentangan antar agama. Tema ini akan didukung oleh skematik tertentu. Misalnya dengan menyusun cerita yang mengandung gagasan tersebut. Media tersebut juga akan menutupi fakta tertentu dan hanya akan menjelaskan peritiwa tersebut semata pada masalah konflik antara islam dan Kristen.
Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian kata-kata yang menunjuk  dan memperkuat pesan bahwa peristiwa Maluku hanya kasus agama semata. Menurut Littejohn, antar bagian teks dan model Van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang Van Dijk memiliki suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida.Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat dan proposisi yang dipakai. Pertanyaan/tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika tertentu.
Proses ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun oleh elemen-elemen yang lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita tidak Cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf, dan proposisi. Kita tidak hanya mengetahui apa yang diliput oleh media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan peristiwa kedalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut:

Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi sosial pembuat wacana. Secara teoretik, pernyataan ini didasarkan pada penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan.

B. Rangkuman  
Piranti analisis wacana struktural terdiri dari (a) topik, (b) tuturan pengungkap topik, (c) kohesi dan koherensi, (c) struktur gagasan ( penalaran). Piranti analisis wacana struktural terdiri dari (a)Tuturan pengungkap maksud, (b) Maksud/ fungsi tuturan (tindak tutur), (c) Strategi penyampaian tindak tutur, (d) Prinsip penggunaan bahasa, dan (e) Komponen Percakapan. Piranti analisis wacana dialektis ( wacana kritis) meliputi (1) ‘common sense’ dan ‘ideologi’ (2) asumsi yang implisit, koherensi, dan Inferensi, (3) Interpretasi Pembaca dan Interpretasi Penulis, (4) Struktur wacana (supra, mikro, dan makro).

C. Umpan Balik
1.    Jelaskan secara garis besar piranti-piranti dalam analisis wacana struktural.
2.    Jelaskan secara garis besar piranti-piranti dalam analisis wacana fungsional.
3.    Jelaskan secara garis besar piranti-piranti dalam analisis wacana dialektis (analisis wacana kritis).

D. Daftar Pustaka

Akhadiah, Sabarti. 1988. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gelora Aksara Utama
Dardjowidjojo, Soejono.2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung:Yrama Widya
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana ( Pengantar Analisis Teks Media). Yogyakarta: LKiS
Firoza, Lamminudin. 2009. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia
Moeliono, Anton.2000. Kajian Serba Linguistik. Jakarta: Gunung Mulia
Rani, Abdul dkk. 2006. Analisis Wacana ( Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian). Malang: Banyumedia Publishing
Richard, Jack C.1995. Tentang Percakapan. Terjemahan Ismari. Surabaya: Airlangga University Press.
Schhniffrin.2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Titscher.Stefan dkk.2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Zaimar, Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. 2009. Telaah Wacana. Jakarta: the intercultural insitute 

Tidak ada komentar: