BAB IV
PIRANTI-PIRANTI ANALISIS
WACANA
OLEH
DOSEN HABIBURRAHMAN
UMMataram
Kompetensi Dasar :
Mengetahui piranti-piranti dalam analisis wacana struktural,
fungsional, dan dialektis (wacana kritis).
Indikator:
1.
Menjelaskan piranti-piranti
dalam analisis wacana struktural.
2.
Menjelaskan
piranti-piranti dalam analisis wacana fungsional.
3.
Menjelaskan piranti-piranti
dalam analisis wacana dialektis (analisis wacana kritis).
A. Uraian
Materi
1.
Pengantar
Pada dasarnya ada beberapa sudut
pandang yang berbeda terhadap wacana, yaitu berdasarkan pandangan
formal, fungsional, dan dialektis. Wacana berdasarkan pandangan strukturaldipandang sebagai satuan
bahasa di atas kalimat.Bahasa
pada tataran ini sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari unsur-unsur yang
lebih kecil pada tataran klausa dan kalimat. Pandangan fungsional memandang wacana sebagai bahasa
dalam penggunaannya, dalam hal ini wacana dipandang sebagai alat komunikasi.Pandangan
yang terakhir yaitu pandangan dialektis memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana
dipahami sebagai sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas
dari konteks. Maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai
suatu sistem (langue/ produk sosial yang masih tersimpan dalam pikiran manusia)
tetapi juga dipandang sebagai (parole/ ujaran yang diproduksi oleh penutur).
Berdasarkan sudut pandang
terhadap wacana tersebut kemudian lahir analisis wacana struktural, fungsional,
dan dialektis. Cara pandang yang berbeda membuat focus analisis ketiga analisis
wacana tersebut juga berbeda. Analisis wacana struktural memfokuskan kajiannya pada unit kata, frase,
atau kalimat yang membentuk sebuah wacana.Analisis wacana fungsional memfokuskan analisisnya
pada penggunaan bahasa senyatanya sebagai alat komunikasi.Terakhir, analisis
wacana dialektis yang focus kajiannya pada struktur bahasa dan konteks.
Ketiga analisis
wacana tersebut memiliki piranti analisis yang berbeda sesuai dengan fokus
kajiannya masing-masing. Untuk mengetahui piranti-piranti apa saja yang
dianalisis dalam ketiga analisis wacana tersebut dalam makalah ini akan mencoba
menguraikannya. Dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman akan piranti-piranti
analisis yang terdapat dalam ketiga analisis wacana tersebut pembaca dapat
semakin memahami piranti-piranti apa yang perlu dianalisis dalam kwtiga
analisis wacana tersebut. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman akan
perbedaaan ketiga analisis wacana tersebut.
2. Piranti Analisis Wacana Struktural
Pandangan struktural memandang wacana sebagai sebuah satuan
bahasa yang lengkap, terbesar, dan tertinggi yang berada di atas kalimat.Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pengertian wacana dalam konteks ini mengacu pada
sebuah paragraf yang lengkap.Sebagai sebuah paragraf yang dianggap wacana tentu
saja paragraf itu memiliki sebuah ide pokok (main ide) dan ide pendukung
(supporting idea).Keduanya berkolaborasi merangkai pesan. Dengan cara
demikian, pesan yang disampaikan dalam sebuah wacana terkemas dengan baik
sehingga mudah dipahami dan pandangan ini dipahami sebagai lebih mengarah pada
pandangan formal.
Pandangan formal tersebut kemudian melahirkan analisis
wacana struktural.Analisis wacana ini seluruhnya terfokus pada unit kata,
frase, atau kalimat yang membentuk sebuah wacana. Berikut akan dipaparkan
secara rinci piranti analisis wacana struktural tersebut.
2.1 Topik
Topik berarti “pokok
pembicaran”, pokok permasalahan, atau masalah yang dibicarakan (Finoza, 2010:217).Istilah
topik juga dapat didefinisikan ke dalam beberapa pengertian yang bebeda
yaitu(1) frasa dalam satu klausa yang terpahami, (2) frasa dalam satu wacana
yang terpahami, (3) memiliki posisi khusus dalam satu wacana.
Topik merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah
wacana.Dikatakan demikian karena topik memuat bagian inti atau perihal yang
dibicarakan dalam sebuah wacana.Topik menunjukkan informasi paling penting atau
inti pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.Secara keseluruhan sebuah wacana
memiliki sebuah topik.
2.2 Tuturan Pengungkap Topik
Tuturan pengungkap topik menurut
Gillian Brown dan George Yule disebut kerangka topik (1996:73).Ujaran-ujaran
tersebut memiliki arah untuk menuju bagaimana sebuah topik bisa diungkap.Topik
itu bisa diungkap berdasarkan unsur-unsur kerangka topik. Unsur –unsur tersebut
adalah orang, tempat, wujud, peistiwa, fakta.Dengan unsur-unsur tersebut sebuah
topik wacana dapat diungkap.
Seperti yang sudah dipaparkan
sebelumnya, bahwa tuturan pengungkap topik adalah ujaran-ujaran yang dapat
mengarahkan kita pada pengungkapan topik dalam sebuah wacana.dengan kata lain
tutran pengembang topik tersebut berpusat pada topik untuk menciptakan kesatuan
gagasan dalam sebuah wacana. Adanya tuturan pengungkap topik yang menyeleweng
dari topik hendaknya dihindari.Untuk itu langkah yang harus ditempuh ialah
perumusan butir-butir pengembangan secara ringkas di bawah topik, sehingga
terbentuk wacana yang apik. Gagasan yang terkandung dalam tuturan
pengungkap topik pada dasarnya merupakan
pengungkapan dari :
1)
“Apa yang akan dibicarakan” dengan mengajukan
pernyataan sehubungan dengan ‘apa yang dibicarakan’.
2)
Jawaban ringkas yang dapat dijadikan
butir-butir pengembanganya. Adapun pertanyaan yang dapat diajukan itu ialah
mengenai ‘bagaimana’. ‘mengapa’, dan pertanyaan lain yang relevan.
3)
Langkah selanjutnya adalah mengecek apkah
butir-butir itu sudah lengkap ataukah masih ada yang terlewatkan, dan kemudian
menyusun kembali butir-butir itu dalam susunan yang dipandang paling tepat.
2.3 Kohesi dan Koherensi
Piranti analisis wacana struktural yang ketiga adalah kohesi dan
koherensi. Kohesi dan
koherensi merupakan salah satu unsur pembentuk wacana yang sangat penting.
Aspek kohesi akan merangkai hubungan anatarbagian dalam wacana yang ditandai
dengan penggunaan bahasa, sedangkan aspek koherensi merupakan kepaduan hubungan
maknawi antara bagian-bagian dalam wacana (Rani dkk, 2006:89). Untuk memberikan
pemahaman kepada pembaca, berikut disajikan pemaparan mengenai kedua aspek
tersebut.
2.3.1 Kohesi
Kohesi merupakan hubungan formal
(hubungan yang tampak pada bentuk).Widdowson
(1988) mendefinisikan kohesi itu sebagai hubungan yang ditandai secara
lahir. Samsuri (1988) mendefinisikan kohesi itu sebagai hubungan yang ditandai
oleh penanda-penanda(lahir), yakni penanda yang menghubungkan apa yang
dinyatakan dengan apa yang dinyatakan dalam wacana yang bersangkutan.
Sebuah teks (terutama teks tulis) memerlukan unsur
pembentuk teks.Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk tersebut. Konsep kohesi
mengacu pada serangkaian kemungkinan
makna yang ada untuk menghubungkan suatu unsur teks dengan apa yang
disebutkan sebelumnya, dengan apa yang disebutkan sesudahnya (Zaimar dan
Harahap, 2009:116). Kohesi menampilkan keberlangsungan makna yang terjalin
dalam sebuah wacana dengan bagian lainnya. Itulah sebabnya keberadaan Kohesi merupakan salah satu unsur
pembentuk wacana yang penting( Rani dkk, 2006:87). Lebih lanjut Brown dan Yule
(dalam ku:87) menyatakan bahwa unsur pembentuk teks itulah yang membedakan
sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks atau bukan teks.
Hubungan kohesif ditandai dengan
penggunaan piranti formal yang berupa bentuk linguistik. Pirnati yang digunakan
sebagai sarana penghubung tersebut sering disebut dengan piranti kohesi (Rani
dkk, 2006:94). Menurut Halliday dan Hasan
dalam (Rani dkk, 2006:94) unsur kohesi dalam sebuah wacana terdiri atas
dua macam, yaitu unsur gramatikal dan leksikal. Untuk memberikan pemahaman yang
mendaam mengenai dua jenis kohesi tersebut berikut dipaparkan penjelasan
mengenai kedua jenis kohesi tersebut.
1. Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal didasarkan pada bentuk bahasa yang
digunakan (Rani dkk, 2006:94). Piranti kohesi gramatikal digunakan untuk
menghubungkan ide antarkalimat dalam sebuah wacana. Oleh karena itu kohesi ini
dapat membantu kita menjelaskan hubungan
semantik antara bagian wacana yang kurang jelas dengan bagian wcana yang lain,
sehingga sebuah unsur wacana dapat menjelaskan unsur wacana lainnya atau teks
secara keseluruhan (Zaimar dan Harahap, 2009:116).
Halliday dan Hasan ( dalam Rani dkk, 2006:117)
mengklasifikasikan kohesi gramatikal ke dalam beberapa kategori, yaitu
referensi (pengacuan), substitusi (penyulihan), elipsis (pelesapan), dan
konjungsi (penyambungan). Kategori-kategori tersebut tidak hanya memiliki dasar
teoretis sebagai jenis-jenis hubungan kohesif, melainkan juga mempersiapkan
suatu cara yang praktis untuk menggambarkan dan menganalisis sebuah wacana.
Setiap kategori tersebut menampilkan ciri-ciri tertentu dalam sebuah
wacana.Berikut disampaikan secara singkat kategori – kategori kohesi tersebut.
a.
Referensi (Pengacuan)
Secara tradisional referensi adalah hubungan antara kata
dan benda (Rani dkk, 2006:97). Kata penggaris
misalnya memiliki referensi kepada sebuah alat yang digunakan untuk mengukur.
Pandangan kaum tradisional tersebut terus berpengaruh dalam bidang linguistik (seperti semantik leksikal) yang menerangkan
hubungan yang ada itu adalah hubungan antara bahasa dengan dunia (benda) tanpa
memerhatikan si pemakai bahasa. Pandangan tersebut kemudian dianggap tidak
benar, Lyons ( dalam Rani dkk, 2006: 217) berpandangan bahwa ketika
membicarakan referensi penuturlah yang sebenarnya paling tahu mengenai
referensi dalam kalimatnya.
Kohesi sebuah wacana terletak pada kontinuitas acuannya,
ketika sebuah hal masuk ke dalam sebuah wacana untuk ke dua kalinya, ke tiga
kalinya, dan seterusnya. Di sini
terdapat pertautan makna antara unsur dalam sebuah wacana yang mengacu
dengan hal lain yang diacu (Zaimar dan Harahap, 2009:117). Halliday dan Hassan
(dalam Rani dkk, 2006:97) membedakan referensi menjadi dua macam, yaitu
eksofora dan endofora.
Sebelum penulis memaparkan lebih jauh mengenai Janis
referensi tersebut, berikut disajikan bagan mengenai pembagian referensi yang
sekiranya dapat membantu pembaca dalam memahami jenis-jenis referensi.
(Dikutip dari Zaimar dan Harahap, 2009:118)
1)
Referensi Tekstual (Endofora)
Referensi tekstual atau endofora merupakan pengacuan
terhadap anteseden yang terletak di dalam teks ( Rani dkk, 2006:99). Referensi
tekstual ini mengenal dua macam rujukan yaitu anafora dan katafora. Hubungan anafora terjadi apabila unsur yang
ditunjuk sudah lebih dahulu ada pada kalimat sebelumnya
Contoh:
Irma
adalah mahasiswi di Universitas Pendidikan Ganesha.Meskipun dia bukan anak yang pandai, nilainya
selalu baik, karena dia selalu rajin
dan tekun belajar.Dia juga pandai
bergaul, sehingga teman-temannya banyak.
Pada contoh di atas, pronominal dia (terdapat dua kali pada kalimat yang kedua dan sekali pada kalimat
ketiga) dan nya (terdapat satu kali
pada kalimat ketiga) tidak memberi informasi yang jelas, kita hanya tahu bahwa
ada seseorang yang dibicarakan. Untuk mendapatkan informasi siapa yang dibicarakan
tersebut pembaca harus mengacu pada kalimat yang terdahulu,yaitu pada subjek
kalimat pertama yaitu Irma.
Hubungan anafora dapat beracuan tetap (seperti contoh di
atas) dapat juga memiliki acuan yang bervariasi. Perhatikan paragraf di
bawah ini.
Kemarin
paman datang dari desa (1).Iamembawa
banyak oleh-oleh (2). Ibu memasak soto ayam, makanan kesukaan paman, di dapur
(3). Aku membantunya memasak
(4).Ketika telah matang, aku membawanya
ke meja makan (5). Dengan gembira iamenyantap soto ayam yang dibuat ibu (6).
Paragraf di atas memiliki enam buah kalimat. Kata ia muncul dua kali pada kalimat kedua
dan keenam. Keduanya mengacu pada kata paman, jadi termasuk anafora yang
beracuan tetap.Lain halnya dengan pronominal nya pada kalimat keempat dan kelima. Pronominal nya pada kalimat keempat mengacu pada
ibu, sedangkan pronominal nya pada
kalimat kelima mengacu pada soto ayam. Jadi acuannya tidak tetap. Dalam hal
ini, yang diacu tidak harus sama kelas gramatikalnya dengan yang mengacu.
Bila
hubungan anafora terjadi apabila unsur yang ditunjuk sudah lebih dahulu ada pada
kalimat sebelumnya, hubungan katafora terjadi
apabila unsur yang mengacu terdapat lebih dahulu dari unsur yang diacu.
Contoh:
Dia datang dengan gembira (1).Kedua tangannya memegang sebuah bungkusan yang cukup besar sembari melambaikan
tangannya padaku (2).Akupun dengan berlari kecil menghampirinya (3).Ternyata Lia ingin menunjukkan
hadiah yang baru saja diberikan oleh ayahnya
(4).
Contoh di atas memiliki empat buah kalimat.Pronomina
persona dia muncul sekali pada kalimat
pertama dan pronominal nya muncul
sebanyak tiga kali dan semuanya mengacu kepada Lia.
Baik referensi anafora maupun katafora pada umumnya
menggunakan tiga jenis pronominal yaitu pronomina persona, pronominal penunjuk,
dan pronomina komparatif.
2)
Referensi Situasional (Eksofora)
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa ada unsur
wacana yang tidak dipahami apabila tidak dibantu oleh informasi (sesuatu yang
lain). Jadi unsur teks itu tidak dipahami berdasarkan dirinya sendiri,
melainkan harus mengacu pada sesuatu yang lain. Apabila unsur yang diacu tersebut
ada di luar wacana, maka acuan tersebut disebut referensi situasional atau
eksofora.Jenis acuan ini biasanya terdapat dalam wacana pidato, surat-menyurat,
dan karya sastra.
Contoh:
Pembaca yang setia…di jaman sekarang ini kita harus pandai-pandai membaca situasi dan kondisi kalau
tidak kita mungkin tidak akan bisa bertahan.
Pronomina ini pada contoh di atas mengacu kepada sesuatu
yang ada di luar wacana. Pronomina ini tersebut harus dapat dipaham pembaca
dengan mangaitkannya dengan jaman yang dihadapi oleh pembaca ketika ia membaca
wacana tersebut.
b. Substitusi (Penyulihan)
Halliday dan Hassan ( dalam Rani dkk, 2006:105) menyatakan
bahwa substitusi adalah penyulihan unsur wacana dengan unsur yang lain yang acuannya
tetap sama, dalam hubungan antarbentuk kata atau bentuk lain yang lebih besar
daripada kata seperti frase atau klausa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
substitusi merupakan hubungan leksikogramatikal, yakni hubungan yang berada pada level tata bahasa dan kosakata; dengan alat
penyulih tersebut dapat berupa kata, frase, atau klausa yang maknanya berbeda
dari unsur substitusinya.
Pada umumnya orang ketika menganalisis sebuah wacana
seringkali mengalami kesulitan dalam membedakan referensi dengan subsitusi
(Zaimar dan Harahap, 2009:124 ) oleh karena itu berikut disampaikan beberapa
persamaan dan perbedaan antara
substitusi dan referensi.
1)
Susbsitusi memiliki kemiripan
dengan referensi dalam hal sama-sama potensial bersifat anaforis. Pada
dasarnya, referensi merupakan hubungan semantis. Dalam referensi, suatu unsur
bahasa dapat mengacu ke unsur bahasa yang sudah disebut sebelumnya (anafora),
atau ke unsur bahasa yang sudah disebut sesudahnya(katafora) maupun ke luar
teks (eksofora). Jadi hubungan antara unsur yang mengacu dan diacu tidak selalu
bersifat anaforis. Itu hanya salah satu kemungkinan. Di pihak lain, substitusi
merupakan hubungan verbal, sehingga lebih terikat pada teks. Substitusi
eksoforis sangat jarang ditemukan, meskipun ada hal tersebut masih memiliki
kesan berhubungan dengan apa yang dituturkan sebelumnya.
2)
Substitusi lebih mengemukakan
hubungan kata-kata ( baik gramatikal maupun leksikal), sedangkan referensi
mengemukakan hubungan makna. Dengan demikian, substitusi adalah hubungan
antarunsur linguistik, misalnya hubungan antarkata, frase aau klausa sedangkan
substitusi merupakan hubungan yang ada pada tataran leksikogramatikal.
Contoh:
Rani besok akan pindah sekolah. Ia sangat berat meninggalkan sekolahnya sekarang. Yang paling menyakitkan hatinya adalah ketika ia terkenang
masa-masa indah bersama teman-teman sekelasnya.
Pada
contoh di atas pronominal ia dan nya mengacu pada Rani. Jadi hubungannya
adalah referensial.Sementara itu klausa “terkenang masa-masa indah bersama
teman-teman sekelasnya” merupakan substitusi dari klausa “yang paling
menyakitkan hatinya”.Di sini tampak jelas bahwa hubungan keduanya terjadi dalam
tataran kalusa, berbeda dengan referensi yang mengemukakan hubungan makna.
3) Subsitusi merupakan
hubungan antarunsur yang berada dalam sebuah wacana, sesuatu yang digunakan
untuk menggantikan pengulangan. Sebuah wacana yang baik, selalu memiliki unsur
pengulangan. Sebuah unsur dalam wacana seringkali diulang untuk memperjelas
makna. Agar pembaca
tidak bosan karena ada unsur yang diulang terus-menerus dibutuhkanlah
substitusi sehingga wacana lebih bervariasi dan tidak terkesan berat. Berbeda halnya
dengan referensi, yang dipentingkan dalam referensi adalah bahwa baik unsur
mengacu maupun diacu memiliki refren ang sama dalam dunia “nyata”.
Contoh referensi :
Mila adalah siswa yang pandai.Ia selalu menerima beasiswa dari
sekolahnya
Dalam referensi yang
dipentingkan adalah Mila dan Ia merujuk pada orang yang sama.
Contoh Substitusi:
Mereka
selalu menjelek-jelekkan Ria di depan guru-guru. Hal
itu seringkali membuat Ria sakit hati.
Pronomina penunjuk itu merupakan substitusi dari seluruh
kalimat sebelumnya.Pronominal penunjuk itu digunakan untuk menghindari pengulangan.
c. Elipsis (Pelesapan)
Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana,
artinya tidak hadirdalam komunikasi, tetapi dapat dipahami(Zaimar dan Harahap,
2009:127 ).
Contoh:
Menjelang
hari raya Galungan, banyak orang pulang ke kampungnya masing-masing.Lia juga.
Kalimat kedua pada paragraf di atas
tidak lengkap.Sebenarnya kalimat itu berbunyi” Lia juga pulang ke
kampungnya.Keterangan ini didapat dari kalimat pertama.Dalam elipsis, ada unsur
yang hilang, dan unsur itu merupakan celah dalam struktur yang harus diisi dari
bagian lain teks itu.Jadi elipsis mengacu pada kalimat, klausa, frasa ataupun
kata yang hadir dalam teks sebelumnya, yang kemudian menjadi sumber bagi
infomasi yang hilang.
Halliday dan Hassan (dalam Zaimar
dan Harahap, 2009:127) elipsis ini sebenarnya sama betul dengan subsitusi,
hanya saja, bila dalam substitusi ada unsur bahasa yang menggantikan dalam
elipsis sama sekali tidak ada. Dengan kata lain elipsis merupakan subsitusi
kosong. Kekosongan tersebut memerlukan praanggapan pembacanya bahwa ada sesuatu
yang harus dilengkapi, sesuatu yang perlu dipahami. Dengan kata lain elipsis
terjadi bila ada sesuatu unsur yang secara struktural seharusnya hadir, tidak
ditampilkan; sehingga terasa bahwa ada sesuatu yang tidak lengkap.
Satu hal yang harus digarisbawahi
bahwa praanggapan di dalam elipsis tidak memiliki hubungan pengacuan baik
endofora maupun eksofora.Dikatakan demikian karena praanggapan dalam elipsis
muncul dari pemahaman atas makna kata-kata yang muncul di dalam teks.
Praanggapan yang muncul perlu mendapat kepastian dari bagian teks lain yang
diacu ataupun dari situasi komunikasi (Zaimar dan Harahap, 2009:129).
Contoh
:
Badannya
lemas dan wajahnya sangat pucat.Setiap hari Rima hanya terbaring lemas di
tempat tidur.Obat-obatan yang harus dikonsumsinya setiap hari jumlahnya sangat
banyak.Satu hal yang dirindukannya, yaitu kembali ke sekolah dan bemain bersama
teman-temannya.
Dalam contoh elipsis di atas, secara implisit dapat
diketahui bahwa Rima sedang sakit keras. Praanggapan tersebut muncul dari
pemahaman makna kata-kata yang muncul dari kalimat-kalimat yang ada dalam
paragraf tersebut.
d. Konjungsi (Penghubung)
Untuk membentuk sebuah wacana yang baik diperlukan
konjungsi atau penghubung.Konjungsi berfungsi untuk merangkai atau mengikat
beberapa proposisi dalam wacana agar perpindahan ide dalam wacana lebih terasa
lembut. Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat
digunakan unuk merangkaikan ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun
antarkalimat( Rani dkk, 2006: 107).Penggunaan konjungsi dalam sebuah wacana
memerlukan pertimbangan logika berpikir untuk membentuk sebuah wacana yang apik
(Zaimar dan Harahap, 2009:128).
Piranti kohesi konjungsi dalam
bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Berikut disajikan
klasifikasi konjungsi bedasarkan hubungan proposisi yang diwujudkan dalam dua
kalimat.Pengklasifikasian piranti kohesi tersebut didasarkan pada jenis
hubungan yang diciptakan.
1) Piranti Urutan Waktu
Penggunaan piranti kohesi urutan waktu mempunyai ciri-ciri
seperti berikut.Pertama, proposisi-proposisi yang dihubungkan membentuk suatu
tahapan waktu.Kedua, dalam urutan waktu yang pogresif, proposisi yang
ditempatkan dalam urutan pertama atau terdahulu harus proposisi yang mengandung
penunjuk waktu lebih awal.
2)
Piranti Pemilihan
Untuk menyatakan dua buah proposisi
yang berurutan yang menunjukkan hubungan pemilihan biasanya digunakan
konjungsi: atau, entah…, entahlah).
3) Piranti Alahan
Hubungan alahan adalah hubungan
sebuah hubunan yang menyatakan sebuah peristiwa dapat menyebabkan peristiwa lain
itu tidak belaku seperti biasanya. Konjungsi yang digunakan sebagai penanda
hubungan ini adalah :meski(pun) demikian,
meski(pun) begitu, kendati (pun) demikian, demikian begitu, biarpun demikian,dll.
4)
Piranti Parafrase
Dalam sebuah menulis sebuah wacana
ada kalanya untuk memperjelas hal yang ingin disampaikan , penulis memperjelas
dengan ungkapan lain yang dapat menyempurnakan ungkapan sebelumnya. Apabila
proposisi tersebut diungkapkan tersebut tidak berbeda dengan sebelumnya,
biasanya digunakan piranti kohesi yang menunjukkan parafrase tersebut. Piranti
yang sering digunakan seperti: dengan kata
lain dan dengan perkataan lain.
5) Piranti Ketidakserasian
Dalam sebuah wacana terkadang
sesuatu yang berurutan tidak selalu menunjukan hubungan keserasian.Proposisi
yang diurutkan tersebut kadang-kadang tidak menimbulkan hubungan
keserasian.Ketidakserasian tersebut pada umumnya ditandai dengan perbedaan
proposisi yang terkandung di dalamnya.
Dua proposisi yang tidak serasi tersebut biasanya diurutkan dengan
menggunakan piranti tidak serasi seperti: padahal,
dalam kenyataannya, dll.
6) Piranti Serasian
Piranti keserasian ini digunakan
untuk menghubungkan dua buah proposisi untuk menunjukkan hubungan yang selaras
atau sama. Hubungan kesamaan ini pada dasarnya berbeda dengan hubungan
penambahan. Hubungan kesamaan ini tidak menunjukkan adanya penambhaan informasi
sebelumnya, melainkan menunjukkan adanya perlakuan yang sama antara proposisi
sebelumnya dan proposisi yang mengikuti. Konjungsi yang digunakan misalnya: demikian juga.
7) Piranti Tambahan (Aditif)
Piranti ini berguna untuk
menghubungkan bagian yang bersifat menambahkan informasi dan pada umumnya
digunakan untuk merangkaikan dua poposisi atau lebih.Proposisi yang
dirangkaiakan pada umumnya bersifat setara dan memberi tambahan keterangan
proposisi sebelumnya. Contoh: pula, juga,
selanjutnya, dan, disamping itu, tambahan lagi, dan selain itu.
8) Piranti Pertentangan
(Kontras)
Hubungan pertentangan terjadi
apabila ada dua ide/proposisi yang menunjukkan kebalikan atau kekontrasan.Untuk
mneyatakan adanya hubungan pertentangan dapat digunakan piranti kohesi
pertentangan. Piranti tersebut digunakan untuk menghubungkan proposisi yang
bertentangan atau kontras dengan bagian lain. Piranti yang biasa digunakan
misalnya: akan, tetapi, sebaliknya, namun,
dan sebagainya.
9) Piranti Perbandingan
(Komparatif)
Untuk menunjukkan dua proposisi yang
menunjukkan perbandinga, diperlukan pirati kohesi perbandingan. Piranti
transisi perbandingan digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan persamaan
atau perbedaan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Untuk
mengatakan hubungan perbandingan secara eksplisit sering digunakan penghubung
antara lain: sama halnya, berbeda dengan
itu, seperti, dalam hal itu, lebih dari itu, seperti itu, sejalan dengan itu.
10) Piranti Sebab Akibat
Sebab akibat merupakan dua kondisi
yang berhubungan.Hubungan sebab akibat terjadi apabila salah satu proposisi
menunjukkan penyebab terjadinya suatu kondisi tertentu yang merupakan akibat
atau sebaliknya. Hubungan sebab akibat dalam wacana yang apik ditunjukkan oleh
piranti sebab-akibat seperti: akibatnya,
konsekuensinya, dengan demikian, oleh karena itu, dan sebab itu.
11) Piranti Harapan (Optatif)
Hubungan optative terjadi apabila
ada ide atau proposisi yang mengancung suatu harapan atau doa. Sebuah ide yang
menunjukkan suatu harapan atau doa biasanya didahului dengan pianti optative,
seperti: mudah-mudahan, semoga.
.
12) Piranti Ringkasan dan
Simpulan
Piranti
tersebut berguna untuk mengantarkan ringkasan dari bagian yang berisi uraian. Konjungsi yang digunakan untuk
mengantarkan ringkasan dan simpulan misalnya singkatannya, pendeknya, pada
umumnya, jadi, kesimpulannya, ringkasnya, dan sebagainya.
13) Piranti Misalan atau Contohan
Ide atau proposisi yang menunjukkan
contohan atau misalan berdasarkan data yang terkumpul didahului oleh piranti
misalan atau contoh. Pianti tersebut berguna untuk menghubungkan bagian yang
satu dengan bagian yang lain yang menunjukkan contohan atau misalan. Biasanya
konjungsi yang digunakan adalah contohnya, misalnya,
umpamanya, dsb.
14) Piranti Keragu-raguan
Piranti tersebut digunakan untuk
menghantarkan bagian yang masih menimbulkan keragu-raguan.Konjungsi yang
digunakan adalah jangan-jangan,
barangkali, mungkin, kemungkinan besar, dsb.
15) Piranti Konsesi: memang,
tentu saja
Dalam memberikan penjelasan adakalanya
penulis mengakui kelemahan atau kekurangan yang terjadi di luar jalur yang
dibicarakan.Pengakuan ini dapat dinyatakan dengan kata memang atau tentu
saja.Proposisi pengakuan ini disadari oleh penulis, tetapi yang bersangkutan
tidak dapat mengatasi hal yang diakui itu (meskipun pengakuan tersebut bersifat
negatif).
16) Piranti Tegasan
Dalam menulis wacana penulis
seringakali menyampaikan preposisi yang diajukannya dengan berbagai cara agar
pembaca segera memahami proposisi yang disampaikan. Salah satu caranya adalah
dengan menggunakan penegasan. Proposisi yang ditegaskan tersebut pada dasarnya
sama dengan proposisi sebelumnya. Perbedaannya, pada proposisi yang ditegaskan,
ada suatu usaha kesengajaan untuk menyangatkan. Konjungsi yang digunakan
misalnya: bahkan, apalagi.
17) Piranti Jelasan
Piranti jelasan ini dipergunkan
untuk memberikan penjelasan lanjutan pada hal-hal yang sebelumnya dinyatakan.
Konjungsi yang digunakan antara lain: artinya,
yang dimaksud, dsb.
2. Kohesi Leksikal
Selain kohesi gramatikal, keterpautan atau keterjalinan makna di dalam sebuah
wacana dapat dilihat dari segi kosakatanya atau kohesi leksikalnya (Zaimar dan
Harahap, 2009:140). Aspek yang terdiri dari jalinan kata-kata ini akan
menjadikan sebuah teks padu, tanpa mengabaikan konteksnya. Konsep semantik
sangat berperan dalam leksikal ini. Berkat adanya keterkaitan makna ini,
ketidakjelasan satu bagian teks dapat ditopang oleh bagian teks yang lain.
Rentel( dalam Rani dkk, 2006:129) mengemukakan bahwa piranti kohesi leksikan
terdiri atas dua macam yaitu reiterasi dan kolokasi. Berikut diapaparkan
mengenai dua macam kohesi leksikal tersebut.
a. Reiterasi (Pengulangan)
Reiterasi (pengulangan) merupakan
cara untuk mencipatakan hubungan yang kohesif. Reiterasi ini pada umumnya lebih
mudah digunakan.Meski demikian penggunaan kohesi ini hanya bisa digunakan dalam
jumlah yang terbatas.Penggunaan reiterasi yang berlebihan dapat merusak
keapikan sebuah wacana (Zaimar dan Harahap, 2009:142).
Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam
macam, yaitu : (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonim (padan kata), (3)
kolokasi (sanding kata), (4) hiponim (hubungan atas bawah), (5) antonim (lawan
kata), (6) ekuivalensi (kesepadanan).
(1.)Repetisi
(pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan suatu
lingual yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks
yang sesuai. Keraf (1994:127-128) membedakan repetisi menjadi delapan macam
yaitu;
a.Repetisi
Epizeuksis
Repetisi epizeuksis adalah pengulangan
satuan lingual yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.
Contoh: Sebagai siswa yang baik, selagi
diberi kesempatan untuk bersekolah, rajinlah belajar, gali pengetahuan
sebanyak-banyaknya, sebagai bekal hari tua nanti.
b.
Repetisi Tautotes.
Repetisi tautotesadalah pengulangan
satuan lingual beberapa kali dalam sebuah konstruksi.
Contoh: Roni sangat suka berteman dengan Lani karena
Lani orangnya sangat menyenangkan, Lani
juga suka berteman dengan Roni karena Roni sangat baik pada Lani. Tidak
heran jika mereka berteman baik.
c.
Repetisi Anafora
Repetisi anafora adalah pengulangan
satuan lingual beberapa kata atau frasa pertama pada setiap baris atau kalimat
berikutnya. Pengulangan seperti ini biasanya terdapat pada puisi, sedangkan
pada prosa pengulangannya setiap kalimat.
Contoh:
Hujan
Hujan
mengapa dirimu tak kunjung datang
Hujan
basahilah bumi ini
Hujan…
Hujan…
Oh
hujan…
d.
Repetisi Epistrofa
Repetisi epistrofa adalah
pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris ( dalam puisi) atau
akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut.
Contoh:
Gunung kan kudaki,
ngarai kusebrangi, adalah puisi.
Nasi kan ku makani,
air kuteguki, adalah puisi,
Sawah kan kutanami,
lading kucabuti, adalah puisi.
e.
Repetisi Simploke
Repetisi Simploke adalah pengulangan
satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut.
Contoh:
Kau bilang aku ini
brengsek, tak apa.
Kau bilang aku ini
pengecut, tak apa.
f.
Repetisi Mesodiplosis
Repetisi Mesodiplosis adalah
pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara
berturut-turut.
Contoh:
Guru-guru jangan korupsi
waktu.
Pegawai kecil jangan
korupsi kertas ketik.
Para bupati jangan
korupsi uang rakyat.
Petani jangan korupsi
hasil panen sendiri.
g.
Repetisi Epanalepsis
Repetisi Epanalepsis adalah
pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu
merupakan pengulangan kata/frasa pertama.
Contoh:
Tersenyumlah kepada dia
sebelum dia tersenyum.
h.
Repetisi Anadiplosis
Repetisi Anadiplosis adalah
pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa
pertama pada baris/kalimat berikutnya.
Contoh:
Dalam hidup ada tujuan
Tujuan dicapai dengan
usaha
Usaha disertai doa
Doa berarti harapan
Harapan adalah
perjuangan
Perjuangan adalah
pengorbanan
(2) Sinonim (Padan Kata)
Sinonim dapat diartikan
sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya
kurang lebih sama dengan ungkapan lain ( Chaer, 1990:85). Sinonim merupakan
salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan tertentu dengan satuan
lingual lain dalam wacana.Berbeda dengan repetisi/ pengulangan, sinonim tidak
menampilkan kata yang sama, komponen makna yang ditampilkan pun ttidak
sepenuhnya sama.
Berdasarkan wujud satuan lingualnya
sinonim dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu;
(a) Sinonim
antara morfem bebas dengan morem terikat
Contoh: Aku
harap kamu menghargai kerja kerasku.
(b) Sinonim kata dengan kata.
Contoh: Semua soal ujian tadi bisa aku jawab dengan mudah, bahkan soal logika matematika yag
sulit pun dapat aku kerjakan.
(c)
Sinonim kata dengan frasa atau sebaliknya,
Contoh: Pulau Sumatra dilanda musibah.
Akibat adanya bencana itu banyak
penduduk yang kehilangan tempat tinggal dan sanak saudara.
(d)
Sinonim frasa dengan frasa,
Contoh: Karyawan baru itu memang pandai bergaul.
Baru satu hari bekerja di kantor dia sudah bisa beradaptasi.
(e)
Sinonim klausa/kalimat denga klausa/kalimat.
Contoh :Mahasiswa berusaha memecahkan
masalah yang dihadapinya. Berbagai upaya dilakuakan untuk menyelesaikan
persoalan itu agar cepat selesai.
(3) Kolokasi (Sanding kata)
Kolokasi atau sanding kata adalah
asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan
secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung
dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan
pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.
Contoh:
Seorang pengacara yang baik harus mampu membela kliennya di
pengadilan. Sebisa mungkin pengacara harus mampu membuktikan kliennya bersalah
atau tidak di depan majelis hakim.
(4) Hiponimi (Hubungan Atas -Bawah)
Baylon dan Fabre (dalam
Zaimar dan Harahap, 2009:127) mengemukakan bahwa hiponimi adalah hubungan yang
memeprlihatkan pencakupan makna bebeapa unsur leksikal tertentu. Hubungan itu
dapat bersifat vertical yaitu superordinat (hiperonim) dan hubungan
superordinate (hiponim), dapat pula bersifat horizontal, yang disebut dengan
kohiponim. Sejalan dengan pendapat tersebut Tutescu (Zaimar dan Harahap,
2009:144) megemukakan bahwa hiponimi adalah suatu pencakupan makna.Hubungan
pencakupan makna ini bersifat tidak simetris. Dua kata atau lebih tercakup ke
dalam satu kata lain; dapat dikatakan bahwa leksem yang lebih spesifik tercakup
ke dalam leksem yang lebih umum. Misalnya; manga, pisang, manggis, salak
tercakup ke dalam leksem buah tropis.
(5) Antonimi (Lawan Kata)
Antonimi adalah nama lain untuk
benda atau hal lain; atau satuan lingual yang memiliki makna yang berlawanan/beroposisi
dengan satuan lingual yang lain. Antonimi sering juga disebut oposisi makna.
Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
a.
Oposisi Mutlak
Contoh: Hidup mati hanya masalah waktu
b.
Opsisi Kutub
Contoh: Besar kecil gaji yang
aku terima tidak menjadi masalah.
c.
Oposisi Hubungan (saling melengkapi)
Contoh: Dokter itu sangat terkenal,
tidak heran pasien yang datang setiap hari jumlahnya sangat banyak.
d.
Oposisi Hirarkial (Deret jenjang atau tingkatan)
Contoh: Sewaktu ia masih kecil ibuku
yang selalu mengasuhnya. Ketika ia beranjak dewasa sedikitpun ia tidak mengenag
jasa ibuku.
e.
Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada
beberapa kata (lebih dari dua). Bedanya dengan oposisi kutub adalah terletak
pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding
dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub. Pada oposisi majemuk
hal tersebut tidak terdapat. Bedanya dengan oposisi hirarkial adalah ada tingkatan pada oposisi hirarkial,
sedangkan oposisi majemuk tidak ada tingkatan.
Contoh: Awalnya aku sangat senang menabung di BNI. Setelah
berjalan beberapa tahun aku mulai berubah pikiran.Bunga bank yang aku terima
jumlahnya semakin menurun. Akhinya akupun berpikir untuk menabung di tempat
lain.
(6) Ekuivalensi
Ekuivalensi adalah hubungan
kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain
dalam sebuah paradigma. Sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal
yang sama menunjukkan hubungan kesepadanan.
Contoh:
Suci
bertemu marpel di sebuah restoran. Mereka dipertemukan oleh orang tuanya.
Pertemuan itu sangat membahagiakan keduanya.
2.3.2 Koherensi
Koherensi adalah keterkaitan unsur-unsur dunia wacana,
misalnya susunan konsep atau gagasan; dan berat hubungan –hubungan yang
menggarisbawahi hal tersebut, isi teks dapat dipahami dengan relevan (Zaimar
dan Harahap, 2009:85).Koherensi dalam wacana ada beberapa macam yaitu (1)
koherensi pada tataran klausa dan kalimat (2) koherensi pada tataran wacana (3)
koherensi pada setiap jenis wacana.Berikut diapaprkan ketiga jenis koherensi
tersebut.
1.
Koherensi pada Tataran Klausa dan Kalimat
Perhatikan contoh di bawah ini
· Rima
bermain boneka.
· Boneka
memainkan Rima.
Kalimat pertama pada contoh di atas
berteirma, sedangkan yang kedua tidak.ini karena memang ada kesesuaian makna
antara kata bermain dengan boneka yang memang biasa dimainkan oleh anak
perempuan. Sementara itu, contoh kedua tidak berterima karena tidak ada
kesesuaian makna yang terjalin antara kata memainkan dengan boneka,.Dalam
kalimat kedua seharusnya yang dimainkan adalah boneka bukan Rima.
2.
Koherensi pada Tataran Wacana (Antar Kalimat)
Koherensi pada tataran wacana (antar
kalimat) sangaat berkaitan dengan konsep
atau gagasan yang ditampilkan. Ada beberapa hal yang diperhatikan dalam
koherensi ini.
a.
Adanya kontinuitas Konsep dan Relasi yang relevan.
Pada sebuah wacana yang
ditampilkan bukan hanya kesesuaian antar makna kata, melainkan juga
keberlangsungan atau kontinuitas konsep dan relasinya yang relevan(Zaimar dan
Harahap, 2009:87).
Contoh:
Hari ini adalah ulang tahun ayah. Untuk menyambut hari spesial tersebut ibu memasak
opor ayam kesukaan ayah. Pagi – pagi sekali ibu sudah pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan opor ayam. Selain memasak
makanan kesukaan ayah ibu juga mempersiapkan sebuah hadiah kejutan untuk
ayah.Aku sendiri juga menyiapkan sebuah kado istimewa untuk ayah. Tak sabar
rasanya menunggu ayah pulang kantor untuk merayakan ulang tahunnya bersama.
Pada
contoh di atas konsep ‘bahan-bahan opor ayam’ dengan ‘pasar’ memiliki hubungan
yang erat, karena konsep ‘pasar’ dan ‘bahan-bahan opor ayam’ sejalan.
b.
Adanya perkembangan
Charolles
menyatakan perlu adanya perkembangan (progression),
agar sebuah teks dianggap koheren, baik secaramacrostructure maupun secara microstructure.Perkembangan
itu harus disertai dengan penambahan unsur semantik yang selalu diperbaharui.
Hal ini akan tampak pada urutan kalimat yang digunakan
maupun pada urutan sekuen (Zaimar dan Harahap, 2009:88). Perhatikan wacana di
bawah ini.
Putih telur juga dinilai sebagai sumber protein yang
baik karena mampu diserap tubuh secara sempurna untuk digunakan sebagai bahan
pembentuk otot Anda. Putih telur juga kaya akan asam amino esensial seperti
Lisin, Threonin, Valin, Isoleusin, Leusin, Metionin, Fenilalanin,
Tryptophan, dan Histidin. Leusin sendiri
merupakan asam amino penting yang berperan dalam merangsang pembentukan
otot.Putih telur juga disarankan sebagai sumber asupan protein berkualitas
tinggi dalam pola diet.Konsumsi asupan tinggi protein telur dapat merangsang
pembentukan otot (muscle protein synthesis).
Dengan segala manfaat telur diatas, ternyata
mengkonsumsi telur juga dapat membahayakan Anda jika dikonsumsi secara mentah.
Departemen Kesehatan Inggris menyatakan bahwa mengkonsumsi telur mentah atau
pun makanan yang mengandung telur tanpa proses pemasakan, dapat mengakibatkan
keracunan. Adapun ciri putih telur yang masih mentah adalah putih telur yang
masih berbentuk cair.Hal ini dikarenakan telur mentah mengandung bakteri
Salmonella yang dapat menyebabkan penyakit serius, misalnya Salmonella
typhimurium yang mengakibatkan penyakit tipes. Jadi, demi kesehatan Anda,
sebaiknya Anda menghindari konsumsi telur mentah
(Disarikan dari
http://www.l-men.com/the-egg-science)
Wacana di atas memiliki koherensi yang
baik.Dikatakan demikian karena dalam wacana tersebut selalu ada unsur semantik
yang diperbaharui.Melalui wacana tersebut kita tidak hanya mengetahui bahwa
selain memiliki sejumlah manfaat bagi kesehatan, pada kondisi tertentu telur
juga bisa berdampak negative pada kesehatan.
c.
Tidak Adanya Kontradiksi
Charolles
(dalam Zaimar dan Harahap, 2009:89) juga mengemukan bahwa untuk membuat sebuah wacana menjadi koheren tidak
boleh ada kontradiksi di dalamnya. Oleh karena itu perlu dalam proses
analisisnya perlu diperhatikan pola perkembangannya baik secara mikrostruktur
(tanpa klausa) maupun secara makrostruktur (tahapan sekuen) dalam wacana tidak boleh mengandung
pertentangan antara unsur semantik dengan isi yang terdapat di bagian lain
wacana itu, baik yang ditampilkan makna secara eksplisit maupun implisit.
Romi adalah anak yang pintar dan taat beribadah.
Sebagai anak tunggal ia tidak pernah manja pada orang tuanya. Teman-temannya
pun sangat senang bergaul dengannya. Hari ini adalah hari raya Idul Fitri
pagi-pagi sekali setelah sarapan ia sudah pergi bermain bersama teman-temannya
hingga malam menjelang. …..
Contoh di
atas tidak koeheren, karena di dalamnya terdapat kontradiksi.Di awal teks
dikatakan bahwa Romi adalah anak yang rajin, tetapi di bagian akhir paragraf
dikatakan bahwa pada perayaan Idul Fitri Romi bermain seharian bersama
teman-temannya dan melupakan sembahyang Idul Fitri.
d.
Perlu Ada Identitas Individual
Dijk
(dalam Zaimar dan Harahap, 2009:90) menyatakan bahwa salah satu penentu teks
yang koheren adalah identitas individual.Yang dimaksud dengan identitas
individual adalah segala hal yang menjelaskan dan mengacu pada “konsep” yang
ditampilkan.
Hujan mulai turun ketika Kiki tiba di rumahnya.Ketika masuk ke dalam rumah ia mencium wangi
yang sudah dikenalnya dari dapur.
Langkahnya kemudian tertuju ke dapur.
Di dapur ia melihat sepiring nasi hangat
lengkap dengan lauk kesukaannya tahu dan
ayam goreng. Segera ia mengambil piring
dan sendok yang ada di atas meja makan. Tanpa pikir panjang ia
mulai menyantap makan siangnya dengan lahap.
Pada teks
di atas terdapat dua konsep yang dibicarakan yaitu ‘Kiki’ dan ‘dapur’.Yang
dimaksud dengan konsep adalah pusat pembicaraan. Wacana di atas koheren karena
segala sesuatu yang dijelaskan pada wacana tersebut seperti sendok, piring,
lauk, pauk, meja makan, makan siang
semua mengacu pada konsep ‘dapur’ dan ‘Kiki’.
e.
Perlunya Seleksi “ Fakta” yang akan ditampilkan
Selain
perlunya identitas individual, Dijk (dalam Zaimar dan Harahap, 2009:91) juga
mengungkapkan bahwa untuk membentuk koherensi dalam sebuah wacana perlu adanya
“seleksi” pada fakta yang ditampilkan dalam wacana. Dikatakan demikian karena
kelengkapan fakta yang tersaji dalam sebuah wacana bisa sangat luas sehingga
terkesan tidak praktis, kurang baik, dan menimbulkan kebosanan bagi pembacanya.
3.
Koherensi pada Setiap Jenis Wacana
Dalam semua jenis wacana, harus ada antargagasan,
namun masing-masing memiliki kekhasan tersendiri.Dalam menganalisis wacana hal
ini perlu mendapatkan perhatian.
a.
Koherensi dalam Wacana Naratif
Zaimar
dan Harahap ( 2009:93-94) mengungkapkan bahwa ada tiga macam hubungan yang
menyebabkan wacana narasi menjadi
koheren:
1)
Hubungan kausal antarsatuan isi cerita yang merupakan fungsi-fungsi
utama. Hubungan ini merupakan kerangka cerita.
2)
Hubungan antara cerita fiksi dan dunia realita.
Apabila cerita tersebut menampilkan genre tertentu seperti dongeng, maka
perbedaan antara fisik dan realita tidak menjadi masalah. Namun apabila cerita
menampilkan genre realis, maka kesenjangan antara cerita fiksidan realita akan
berdampak pada koherensi cerita.
3)
Hubungan antarunsur bahasa: apa yang telah dikatakan
terlebih dahulu harus sesuai dengan apa yang dikatakan kemudian, agar wacana
tersebut menjadi koheren.
b.
Koherensi dalam Wacana Argumentatif
Zaimar
dan Harahap ( 2009:94) mengatakan bahwa koherensi dalam wacana argumentatif ada
di antara gagasan yang ditampilkan dengan alasan-alasan (argumen-argumennya).
Dalam wcana argumentatif yang dipentingkan adalah hubungan antara gagasan
tersebut dan alasannya.Gagasan tersebut dapat dikemukakan di awal atau di akhir
wacana.
c.
Koherensi dalam Wacana Eksplikatif
Koherensi dalam wacana eksplikatif
menurut Zaimar dan Harahap (2009:96) terletak pada hubungan antara uraian dan
kesimpulan. Kesimpulan yang disampaikan dalam wacana ekplikatif harus memiliki
koheren dengan uraian-uraian yang telah dikemukakan.
d.
Koherensi dalam Wacana Deskriptif
Koherensi
di dalam wacana deskriptif umumnya terdapat dalam hubungan ruang dan
waktu.Artinya, adalah bahwa yang digambarkan adalah objek pandangan yang berada
dalam satu ruang dan satu waktu.Meskipun pandangan dalam deskripsi itu
menyebar, namun selalu berada dalam kesatuan ruang (tempat) dan kesatuan waktu,
karena pandangan memang dibatasi oleh kedua hal tersebut. Apabila dalam sebuah
wacana menampilkan dua objek pandangan yang berbeda secara rinci, maka itu
adalah dua deskripsi yang berbeda atau kedua deskripsi tersebut bisa saja
tercakup dalam suatu deskripsi objek yang lebih luas (Zaimar dan Harahap 2009:101).
e.
Koherensi dalam Wacana Instruktif
Koherensi
dalam wacana instruktif menurut Zaimar
dan Harahap (2009:103) terletak pada hubungan kesejajaran antara satu instruksi
dengan yang lainnya, atau setidaknya tidak boleh ada kontadiksi di dalamnya.
f.
Koherensi dalam Wacana Informatif
Dalam
wacana informatif yang menyebabkan wacana ini koheren adalah adanya hubungan
antara teks dan situasi komunikasi (Zaimar dan Harahap 2009:104).
g.
Koherensi dalam Wacana Dialog
Koherensi
dalam wacana dialog terletak pada hubungan sebuah ujaran dengan ujaran lain
yang merupakan repliknya (Zaimar dan Harahap
2009:105).
2.1.4
Struktur Gagasan
(Penalaran)
Sebuah wacana lahir dari
proses bernalar penulisnya. Melalui proses bernalar tersebutlah penulis menghubungkan
berbagai fakta untuk mengembangkan topik yang ia pilih menjadi sebuah
wacana. Oleh karena itu secara tidak
langsung struktur gagasan atau penalaran penulis akan tergambar pada wacana
yang ia susun.
Dalam menganalisis struktur gagasan atau struktur penalaran
penulis dalam sebuah wacana, ada beberapa jenis penalaran yang perlu kita
pahami terlebih dahulu sebagai pandauan untuk melakukan analisis tersebut.
Dilihat dari prosesnya penalaran dapat dibedakan menjadi dua yaitu penalaran
induktif dan deduktif (Akhadiah, dkk, 1988:41).
1.
Penalaran
Induktif
Penalaran
induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan beupa prinsip atau
sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus
(Akhadiah, dkk, 1988:41). Penalaran induktif ini mungkin merupakan
generalisasi, analogi, atau sebab akibat. Generaliasi merupakan sebuah proses
penalaran berdasarkan pengamatan atas sejumlah gejala dengan sifat-sifat
tertentu mengenai semua atau sebagian dai gejala serupa itu. Di dalam analogi
kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala ditarik berdasarkan pengamatan
terhadap semua gejala khusus yang bersamaan .sedangkan hubungan sebab akibat
ialah hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang mengikuti pola sebab
akibat, akibat sebab, dan akibat-akibat.
Contoh:
Pisang Mencegah kanker Ginjal
Sebuah penelitian mengenai diet sayur telah dilakukan
dengan melibatkan 61.000 wanita Swedia berusia 40 hingga 76 tahun yang pola
makannya terus dipantau selama 13 tahun. Pada awal penelitian, pola makan para
wanita itu didata. Mereka diminta melaporkan apa saja yang dimakan selama enam
bulan sebelumnya. Selama 13 tahun kemudian, didapati munculnya sel carcinoma
renal, bentuk umum dari kanker ginjal, pada 122 wanita.
Dari pengkajian lebih lanjut disimpulkan, konsumsi buah
dan sayur yang tinggi berhubungan dengan rendahnya risiko terkena kanker
ginjal. Wanita yang mengasup pisang empat sampai enam kali seminggu memiliki
risiko setengah lebih rendah terkena kanker ginjal dibanding mereka yang tidak
memakannya sama sekali. Konsumsi sayur umbi seperti wortel dan bit yang teratur
juga mampu menurunkan risiko hingga 50 sampai 65 persen.
………………………………………………………………………………
Dalam penelitian yang dilaporkan dalam International
Journal of Cancer itu Dr Rashidkhani menekankan, yang lebih penting dalam
diet itu adalah jenis buah dan sayuran tertentu ketimbang keseluruhan sayur dan
buah yang dimakan.Pisang, papar Rashidkhani, mengandung antioksidan khusus yang
disebut phenolics.Demikian pula kol putih mengandung isothiocyanates, senyawa
kimia yang menurut riset di laboratorium sanggup menghancurkan formasi tumor.
Wacana di
atas memapakan hubungan sebab akibat antara mengkonsumsi pisang dan kanker
ginjal.Dari pemaparan wacana di atas jelas tergambar struktur penalaran penulis
terjadi.Mula-mula penulis mengumpulkan data mengenai penelitian yang dilakukan
mengenai diet sayur. Dari bukti-bukti yang penulis kumpulkan kemudian baru ia
menaik sebuah simpulan yang berhubungan dengan topik yang ia angkat.
2.
Penalaran
Deduktif
Deduksi dimulai dengan suatu premis yaitu pernyataan dasar
untuk menarik kesimpulan.Kesimpulannya merupakan implikasi pernyataan dasar
tersebut (Akhadiah, dkk, 1988:42). Artinya, apa yang dikemukakan di dalam
kesimpulan secara tesirat telah ada di dalam pernyataan itu. Jadi sebenarnya,
proses deduksi tidak menghasilkan suatu pengetahuan yang baru melainkan
pernyataan/kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa suatu wacana sebgai hasil proses bernalar mungkin merupakan
hasil proses deduksi, induksi, atau gabungan keduanya. Sebuah wacana yang
ditulis dengan struktur gagasan atau penalaran deduktif biasanya dibuka dengan
suatu pernyataan umum berupa kaidah, teori, atau pernyataan umum lainnya.
Selanjutnya pernyataan tersebut akan dikembangkan dengan pernyataan
rinian-rincian yang bersifat khusus. Sebaliknya sebuah wacana yang ditulis
menggunakan struktur gagasan atau penalaran induktif dimulai dengan
rincian-rincian dan diakhiri dengan suatu kesimpulan umum atau generalisasi.
Sebuah wacana yang ditulis menggunakan gabungan diantara keduanya akan dimulai
dengan pernyataan umum yang diikuti dengan rincian-rincian dan akhirnya ditutup
dengan pengulangan pernyataan umum di atas.
Selain dari prosesnya, sruktur gagasan penulis dalam membuat wacana juga bisa kita
lihat dengan menghubungkannya dengan jenis wacana yang dibuat oleh penulis
(Akhadiah, dkk, 1988:43).
a. Urutan Logis
Struktur gagasan penulis
dalam jenis wcaana ini dikembangkan dalam urutan yang sistematik, jelas, dan
tegas. Dalam hal ini, urutan tersebut dapat disusun berdasarkan waktu, ruang,alur
nalar, kepentingan, dan sebagainya.
1)
Urutan Waktu
(Logis)
Struktur
gagasan penulis dalam menulis wacana ini ditandai dengan pengungkapan gagasan
yang disusun dengan urutan waktu (kronologis). Pengembangan struktur gagasan
ini banyak mempergunakan ungkapan –ungkapan seperti dewasa ini, sekarang, bila,
sebelum, sementara, sejak itu, selanjutnya, mula-mula, pertama, kedua, akhinya, dan sebagianya. Struktur
gagasan ini biasanya digunakan untuk memaparkan sejarah, proses, asal-usul, dan
riwayat hidup (biografi).
2)
Urutan Ruang (Spasial)
Struktur gagasan penulis
dalam menulis wacana ini dtandai dengan pengungkapan gagasan yang menyatakan
tempat atau hubungan dengan ruang. Pengungkapannya ditandai dengan
ungkapan-ungkapan :
Di sana, di sini, di situ, di…, pada…,
Di bawah, di atas, di tengah, dll
3)
Urutan Alur Penalaran
Berdasarkan
alur penalarannya, suatu wacana dapat dikembangkan dalam urutan umum-khusus dan
khusus –umum.Struktur gagasan penulis dalam wacana yang dikembangkan dengan
urutan umum-khusus dimulai dengan pernyataan yang umum kemudian diikuti dengan
pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus.Sebaliknya Struktur gagasan penulis
dalam wacana yang dikembangkan dengan urutan khusus-umum dimulai dengan
pernyataan – pernyataan yang bersifat khusus kemudian diikuti dengan pernyataan
yang bersifat umum.
4)
Urutan Kepentingan
Suatu
wacana dapat dikembangkan dengan urutan berdasarkan kepentingan gagasan yang
dikemukakan.Dalam hal ini arah pembicaraan ialah dari yang paling penting
sampai kepada hal yang paling tidak penting atau sebaliknya.
b. Isi Wacana
Sebuah wacana bisa
menyajikan berbagai macam fakta baik berupa benda, kejadian, gejala, sifat,
ciri sesuatu, pendapat/ sikap dan tanggapan, imajinasi ramalan, dan sebagainya.
Struktur gagasan penulis dalam penyajian fakta-fakta tersebut berbeda satu sama
lain.
1)
Generalisasi
Generalisasi adalah sebuah
wacana yang memuat pernyataan umum untuk semua atau untuk sebagian dari gejala
yang diamati. Struktur gagasan penulis dalam wacana generalisasi biasanya
dimulai dengan penyajian pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus mengenai
gejala yang diamati,, kemudian dari penyataan-pernyataan yang bersifat khusus
tersebut ditarik kesimpulan yang bersifat umum mengenai gejala yang diamati
tersebut.
2)
Klasifikasi
Struktur gagasan penulis
dalam wacana ini dikelompokkan berdasarkan patokan atau kiteria tertentu.
Patokan tersebut haruslah merupakan ciri esensial yang ada atau tidak ada pada
fakta –fakta yang akan diklasifikasikan itu.
3)
Perbandingan dan Pertentangan
Perbandingan adalah
pernyataan mengenai persamaan dan kemiripan sedangkan pertentangan adalah
pernyataan tentang perbedaan dan ketidakmiripan.Struktur gagasan dalam wacana
perbandingan ditunjukkan dengan pengungkapan hal-hal yang berhubungan dengan
persamaan atau kemiripan hal-hal yang dibandingkan.Sebaliknya struktur gagasan
dalam wacana pertentangan ditunjukkan dengan pengungkapan hal-hal yang
berhubungan dengan perbedaan-perbedaan hal-hal yang dipertentangkan.
4)
Hubungan Sebab-Akibat
Hubungan sebab akibat
merupakan hubungan ketergantungan antara dua hal atau lebih. Artinya, suatu
akibat hanya akan terjadi bila ada sebabnya. Struktur gagasan pada wacana ini
ditandai dengan pengungkapan gagasan mengenai penyebab terjadinya sesuatu
kemudian diikuti dengan pernyataan mengenai akibat yang ditimbulkan.
5)
Analogi
Pada dasarnya analogi adalah
perbandingan.Perbandingan selalu mengenai sekurang-kurangnya dua hal yang
berlainan. Dari kedua hal yang berlainan itu kemudian dicari persamaannya
(bukan perbedaannya). Struktur gagasan penulis dalam wacana ini dimulai dengan
pengungkapan fakta-fakta yang berhubungan dengan dua hal yang dianalogikan baru
kemudian diungkap persamaan dari fakta-fakta tersebut.
6)
Ramalan
Ramalan adalah semacam
inferensi yang berisi pernyataan tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Struktur gagasan penulis beranjak dari pengungkapan fakta-fakta masa kini yang kemudian diikuti dengan prediksi
mengenai kemungkinan terjadinya fakta-fakta yang mungkin terjadi di masa depan.
7)
Gabungan
Dalam praktiknya, pada waktu
menulis wacana seoang penulis terkadang tidak hanya menggunakan satu proses
berpikir, sehingga tulisan yang dihasilkan juga menunjukkan paagraf-paragraf
yang dikembangkan dengan beberapa cara memaparkan hasil macam-maam proses
penalaran. Terutama dalam wacana yang panjang.
3. Piranti
Analisis Wacana Fungsional
Analisis wacana fungsional lahir dari pendekatan
fungsional.Pendekatan fungsional merupakan sebuah pendekatan yang memandang
bahasa sebagai sistem terbuka.Artinya, bahasa mempunyai sistem yang dapat
berubah; sifat bahasa heterogen, yaitu bervariasi, berbeda penggunaannya
bergantung konteksnya, seperti penutur dan lawan tutur, tujuan, tempat, dan
waktunya; fokus deskripsi pada fungsi bahasa, yaitu maksud dan tujuan
penggunaan bahasa sebagai alat
komunikasi.
Analisis wacana yang didasarkan pada pandangan fungsional
ini difokuskan pada terhadap penggunaan bahasa berupa tuturan dalam penggunaan
bahasa secara alami dalam proses komunikasi. Dalam hal ini, piranti analisis
wacana berdasarkan pandangan ini yaitu (1) Tuturan pengungkap maksud, (2)
Maksud/ fungsi tuturan(tindak tutur), (3) strategi penyampaian tindak tutur,
(4) prinsip penggunaan bahasa (5) Komponen Percakapan.
3.1 Tututuran Pengungkap
Maksud
Seperti yang sudah diungkap
sebelumnya bahwa analisis wacana fungsional lahir dari pendekatan fungsional
yang bersifat terbuka dan analisisnya difokuskan pada penggunaan bahasa secara
alami dalam proses komunikasi. Proses komunikasi dapat kita pahami sebagai
proses penyampaian pesan dari penutur kepada mitra tutur. Sehingga secara tidak
langsung dapat dikatakan bahwa tuturan-tuturan dalam proses komunikasi
merupakan sebuah sarana pengungkap maksud yang ingin disampaikan oleh penutur
kepada mitra tutur dalam proses komunikasi.
Dalam analisis wacana fungsional
tuturan-tuturan
yang mengungkap maksud tersebutlah yang dianalisis. Misalnya apabila seseorang
ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang ingin
dikemukakannya itu adalah makna atau maksud kalimat.
Untuk menyampaikan makna atau maksudnya itu, penutur harus
menuangkannya dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang dipilih tersebut
sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain: dengan bahasa apa ia harus
bertutur, kepada siapa ia akan menyampaikan ujaranya, dalam situasi bagaimana
ujaran itu disampaikan, dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada
dalam bahasa yang dipergunakannya.
3.2 Maksud/Fungsi Tuturan (Tindak Tutur)
Setiap tuturan yang hadir dalam proses komunikasi bukan
sekedar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut
produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku
tindak tutur. Setiap tuturan (tindak
tutur) tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam penggunaannya.Fungsi
tersebut tampak jelas dari maksud yang disampaikan penutur melalui
tuturannya.Untuk menganalisis maksud/ fungsi tuturan (tindak tutur) tersebut
perlu dipahami beberapa fungsi tuturan (tindak tutur) yang ada.Berikut
diuraikan beberapa fungsi tuturan (tindak tutur) tersebut.
Austin (1962) menyatakan bahwa secara analitis dapat
dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak yaitu: (1)
tindak lokusi (lacutionaryact), (2)
tindak lokusi (illocutionaryact), (3)
tindak perlokusi (perlacutionaryact).
Tindak lokusi oleh Searle (1987) disebut tindak proposisi (propotionalact) mengacu pada aktivitas bertutur kalimat tanpa
disertai tanggung jawab penuturnya untuk melakukan suatu tindakan
tertentu.Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan mengatakan sesuatu
secara pasti.Auisti (1962). Memberikan contoh tindakan lokusi sebagai.
(1) Ia mengatakan kepada saya
“Tembaklah dia”
Melalui ucapan ‘tembaklah’ kita dapat menetukan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh kalimat tersebut mengarah pada orang ketiga. Dalam
kalimat tersebut, tidak ada keharusan bagi si penutur untuk melaksanakan isi
ujaran, namun demikian tidak berarti bahwa isi penutur benar-benar telah,
sedang, atau akan melaksanakan isi ujarannya.
Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi itu adalah
satu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi
tertentu. Tindak itu merupakan dasar bagi dilakukannya tindak tutur lain,
lebih-lebih terdapat tindak lokusi (Austin, 1962). Lebih lanjut diungkap bahwa
tindak lokusi adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu
seperti membuat janji, membuat pertanyaan, mengeluarkan perintah atau
permintaan, menasbihkan nama sebuah kapal, dan lain-lain (Lyons, 1977). Dalam
kaitannya tindakan ilokusi, Austin (1962) mengatakan bahwa tindak mengatakan
sesuatu (of sayiing) berbeda dengan
tindak dalam mengatakan sesuatu (in
saying).Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat mengungkapkan sesuatu
sedangkan tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur
untuk melaksanakan sesuatu sehungan dengan tindak lokusi.
Dalam tindak ilokusi di dapatkan sesuatu daya atau kekuatan
(force) yang mewajibkan si penutur
untuk melaksanakan sesuatu tindak tertentu. Untuk mengeetahui daya ilokusi yang
terdapat dalam tindak ilokusi, dapat dilihat contoh berikut ini:
(2) Saya menyerankan
kepadanya agar berlaku adil
Dalam kalimat (7) di atas terdapat kata menyarankan yang mengandung
daya/kekuatan.Kekuatan itu menuntut tanggung jawab penuturnya untuk
melaksanakan isi ujarannya ke dalam tindakan yang nyata.Tindakan ilokusi
tersebut menekankan pentingnya pelaksanaan isi ujaran bagi si penuturnya
(Austin, 1962).
Secara khusus Searle
(1980) mendeskripsikan tindakan ilokusi ke dalam limajenis tindakan, yaitu:
1.
Asertif
atau representatif ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana
sesuatu itu ada, misalnya pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan,
pengeluhan, dan sebagainya,
2.
Komisif
adalah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu, misalnya
bersumpah, berjanji, mengusulkan.
3.
Direktif
adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu,
misalnya menyuruh, meminta, menasehati.
4.
Ekspresif,
yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya berupa tindakan
meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan belasungkawa,
mengkritik; tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan
sikap psikologis penutur terhadap mitra tutur.
5.
Deklarasi,
yakni tundak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang
sebenarnya, msalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama,
dan sebagainya.
Kategori yang terakhir (5) tersebut menurut Searle (1980),
merupakan katecgori tindak ilokusi yang paling spesifik.Tindak deklarasi
dilaksanakan oleh seorang yang mempunyai tugas khusus untuk melakukannya dalam
dalam kerangka kerja intitusional, misalnya seorang hakim yang menjatuhkan
hukuman, seorang pendeta yang menikahkan pasangan mempelai, dan seorang pejabat
yang meresmikan dimulainya sebuah acara seminar.
Jika dalam tindak ilokusi terlihat bahwa isi ujaran lebih
ditujukan pada diri pendengar.Austin (1962) mengemukakan bahwa mengatakan
sesuatu sering menimbulkan pengaruh pasti.Implikasi titndak ilokusi terhadap
pendengar inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang
dilakukan untuk mempengaruhi orang lain, menjadikan orang marah, dan menghibur
seseorang, singkatnya untuk membuat orang bereaksi.Tujuan tertentu yang
dirancang oleh si penutur dalam isi ujarannya merupakan ciri khas tindak tutur
perlokusi.Seperti tuturan berikut.
(3) Saya membujuknya agar ia
meminjami saya uang.
Pada tuturan diatas terkandung maksud atau
upaya penutur untuk memperoleh pinjaman uang dari mitra tuturnya.Upaya
mempengaruhi pendengar agar melakukan seatu tindakan tertentu sehubungan dengan
ujaran yang dikemukakan oleh penutur itulah yang dimaksud dengan tindak tutur
perlokusi (Austin, 1962).
Dalam ilmu bahasa dapat disamakan tindak
ilokusi dengan ‘predikasi’ tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak
perlokusi dengan ‘akibat suatu ungkapan’. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat, ilokusi sebagai daya
yang ditimbukan oleh pemakainya sebagai perintah, permintaan, ejekan, keluhan,
pujian, dan lain-lain. Perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya
misalnya;
(4) Niali rapormu bagus
sekali
Dari segi lokusi, contoh (9) tersebut hanya sebuah
pernyataan bahwa nilai rapor itu bagus (makna dasar).Dari segi ilokusi, bisa
berarti pujian atau ejekan.Pujian kalau memang nilai itu bagus dan ejekan kalau
nilai rapor itu tidak bagus.Dari segi perlokusi, hal itu dapat membuat
pendengar menjadi bergembira (berterima kasih) dan sebaliknya dapat menjadi
muram (sedih).
Ujaran yang tidak langsung itu, yang tidak menyatakan
pujian atau ejekan seperti di atas, mengharuskan pendengar mengolahnya sehingga
makna yang sebenarnya dapat ditentukannya.Ini dapat di ketahui dari kaidah
perbincangan. Banyak hal yang menyebabkan seseorang tidak ingin berterus terang mengenai apa yang
ia mkasudkan, antara lain faktor yang bersifat pribadi, sosial maupun yang
bersifat budaya.
Jelaslah, bahwa memahami ujaran tidak semudah yang kita
sangka.Kalau kita berbicara tentang kalimat, yang kita maksudkan hanya makna
harfiah (literal) dari kalimat tersebut sedangkan kalau kita berbicara mengenai
tujuan, banyak faktor yang harus terlibat untuk menafsirkanya.
Contoh
(5) Dapatkah anda menutup
pintu itu.
Kalau di ujarkan seperti (10) kalimat itu
dari segi tata bahasa dikatagorikan kalimat tanya. Tetapi, bagi penutur asli,
ujaran seperti itu sering tidak dianggap sebagai pertanyaan, melainkan sebagai
permintaa. Dalam makna pragmatik, ujaran seperti itu disadari bukan sebagai
permintaan informasi, melankan permintaan untuk melakaukan tindakan ilokusi
yang sama dengan bentuk imperatif.
Apabila lawan bicara langsung menuruti atau
mematuhi perintah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan itu, ia tidak perlu
berkata sepatah kata pun. Sedangkan, kalau membutuhkan waktu untuk menurutinya,
bermacam-macam jawaban mungkin yang timbul.Hal itu dapat berupa yes-no questiondengan berbagai komentar
lainnya.(Green dalam Cole dan Margan, 1975).
Menurut Searle (dalam Cole dan Margan, 1975)
dalam bentuk ujaran tidak langsung (ilokusi tidak langsung), para penutur
menyampaikan maksudnya lebih dari apa yang benar-benar ia ucapkan atau
tuliskan. Hal itu dihubungkan dengan pengetahuan bersama terhadap latar
belakang informasi itu, baik bersifat kebahasaan maupun bukan.
Dalam menanggapi apa yang disebut tindak
tutur tidak langsung, Leech (1981) mengatakan bahwa kemaknagandaan suatu ujaran
menimbulkan masalah karena dalam hal seperti itu sering terjadi kesalahpahaman,
baik karena pengetahuan bersama atas situasi dan budaya tidak memadai maupun
faktor lainnya. Dengan berbagai alasan, orang sering memanfaatkan
kemaknagandaan itu dengan berpura-pura tidak tahu (Sinclair dan Coulthard,
1975).
Dalam uraian singkat di atas menunjukkan
bahwa kajian tindak tutur sangat mendukung dalam studi analisis wacana.Bahkan,
Becker (1970 dalam Suwito, 1983) menyatakan bahwa sebelum seseorang menganalisis
bahasa (wacana), analisis tersebut harus menentukan lebih dahulu tindak
tuturnya. Tanpa penentuan demikian maka hasil analisisnya diperkirakan akan
banyak meleset karena oleh siapa kalimat itu di ucapkan, kepada siapa kalimat
itu ditujukan, dan dalam situasi bagaimana kalimat itu dituturkan belum
diperhitungkan.
3.3 Strategi Tindak Tutur
Strategi tindak tutur adalah cara-cara yang digunakan partisipan tutur dalam mengekspresikan tindak atau fungsi tindak tutur menggunakan
tuturan tertentu.Dalam kaitan ini, Wijana (1986) mengisyaratkan bahwa strategi
penyampaian tindak atau fungsi tindak tutur dapat diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif, interogatif, dan imperatif
(bermakna literal atau nonliteral dan langsung atau tidak
langsung).Sejalan dengan hal tersebut, Brown
dan Levinson (1978) mengatakan bahwa tuturan yang mengekspresikan tindak tutur
pada umumnya menggambarkan strategi penyampaian tindak tutur tersebut.
Para ahli umumnya
membedakan strategi penyampaian tindak tutur atas dua jenis, yaitu strategi
langsung dan tidak langsung.Blum-Kulka (1989) mengatakan bahwa strategi
langsung dan tidak langsung yang digunakan dalam penyampaian tindak tutur
berkaitan dengan dua dimensi, yaitu dimensi pilihan pada bentuk dan dimensi
pilihan pada isi.Dimensi bentuk berkaitan dengan bagaimana suatu tuturan
diformulasikan atau bagaimana ciri formal (berupa pilihan bahasa dan variasi
linguistik) suatu tuturan dipakai untuk mewujudkan suatu ilokusi.Dimensi isi
berkaitan maksud yang terkandung pada tuturan tersebut. Jika isi tuturan
mengandung maksud yang sama dengan makna performasinya, maka tuturan tersebut
dituturkan dengan strategi langsung. Sebaliknya, jika maksud suatu tuturan
berbeda dengan makna performasinya maka tuturan tersebut dituturkan dengan
strategi tidak langsung.
Selanjutnya, Searle
(dalam Murtinich, 2001) menyatakan bahwa strategi langsung yang digunakan dalam menyampaikan fungsi tindak tutur oleh Pn
terhadap Mt menggunakan tuturan dengan makna yang jelas atau yang
merealisasikan makna dengan memfungsikan tuturan secara konvensional, baik yang
bersifat linguistik maupun nonlinguistik.Hal
itu dilakukan dengan mengandalkan dan untuk mencapai pengetahuan bersama. Selanjutnya, dalam penggunaan strategi tidak langsung, Pn mengekspresikan tindak
tutur dengan caramemfungsikan tuturan
secara tidak konvensional dan umumnya motivasi dan tujuan pengutaraannya
adalah kesopanan, walaupun tidak sepenuhnya demikian.
Menurut Blum-Kulka (1989) bahwa tindak tutur
diungkapkan secara langsung agar mudah dipahami oleh mitra tutur. Tindak tutur
diungkapkan secara tidak langsung khusus
digunakan bertujuan untuk menghindari konflik, menjalin hubungan harmonis, memperluas topik, menjalin
kerja sama atau solidaritas sosial,dan mengupayakan agar komunikasi tetap
menyenangkan. Hal itu sesuai dengan
yang dikatakan Kartomihardjo (1993), bahwa dalam hal-hal tertentu dalam sosial
budaya tertentu, penggunaan strategi dengan tuturan langsung bukanlah perilaku
yang baik karena mungkin akan menyakitkan hati orang lain. Bila perlu, mereka
lebih baik menggunakan strategi dengan tuturan secara tidak langsung atau
terselubung, dan membiarkan peserta tutur mengartikannya sendiri
maksudnya.Strategi tidak langsung yang
dimaksud dalam pandangan tersebut, dapat dikatakan sebagai strategi tidak langsung dengan maksud yang samar-samar atau
strategi pengekspresian tindak tutur dengan maksud terselubung.
Sebagai contoh perhatikanlah tuturan dalam
percakapan berikut.
(2) a. Tolong
di ulang, Bu!
b. Cobatunjuk satu-satu, Pak! Biar semua dapat!
Tuturan siswa pada butir a berfungsi atau bermaksud meminta guru
mengulang penjelasannya. Sementara itu, tuturan siswa pada butir b bermaksud
meminta guru menunjuk siswa satu per satu untuk menjawab pertanyaan agar tidak
ribut.Sesuai dengan maksudnya, tindak tutur yang dinyatakan masing-masing
tuturan itu disebut tidak tutur meminta.Tindak tutur tersebut diwujudkan dengan
tuturan bermodus deklaratif. Tuturan tersebut mengandung maksud yang sama
dengan makna wujud sebenarnya atau performasinya, maka tindak tutur meminta
yang dinyatakan siswa terhadap guru tersebut dituturkan dengan strategi
langsung.
Kemudian perhatikan pula tuturan dalam
percakapan berikut.
(3)
G :Nah, coba Agustini! (a)
S: (sedang tertawa kecil bersama temannya). (b)
G: Jangan tertawa Agustini!
S: Yang lainnya belum pernah, Bu!. (c)
Tuturan siswa pada
butir (3) (c) menggambarkan strategi langsung yang dinyatakan dengan tuturan
deklaratif yang digunakan untuk memberikan informasi. Untuk menyampaikan informasi tersebut, tuturan
itu sekaligus mengisyaratkan adanya strategi
tidak langsung yang digunakan untuk meminta dan menolak perintah guru. Dalam
hal ini, siswa secara langsung menginformasikan dan mengingatkan guru bahwa
banyak siswa yang belum pernah ditunjuk. Kemudian, secara tidak langsung
(dengan strategi tidak langsung yang samar-samar dan terkesan sebagai
sindiran), siswa menolak perintah guru dan sekaligus meminta guru untuk
menunjuk siswa yang lain yang belum pernah mendapat giliran. Hal itu disampaikan siswa untuk merespons
perintah guru pada (3) (a) setelah guru
menegurnya karena tertawa saat akan ditanya guru, seperi pada (3) (b).
Dengan
mengadaptasi teori-teori tersebut, strategi tindak tutur dapat dibedakan atas strategi langsung dan
tidak langsung. (1) Strategi langsung, yaitu strategi penyampaian tindak
tutur menggunakan tuturan yang bentuknya mempunyai makna sama (atau mirip) dengan maksud pengutaraannya. (2) Strategi
tidak langsung adalah strategi penyampaian tindak tutur menggunakan tuturan yang bentuknya mempunyai makna yang tidak
sama dengan maksud penuturannya.
Putu
Wijana & M. Rohmaji (2009: 28-30) menjelaskan,
berdasarkan strategi penyampaiannya,
jenis tindak tutur dapat dibagi
menjadi.
1.
Tindak
Tutur
Langsung
Tindak tutur langsung terbentuk bila kalimat
difungsikan secara konvensional. Misalnya
kalimat berita difungsikan
secara konvensional untuk menyatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan
kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon dan sebagainya.
Contoh.
(1) Mia makan roti
Tuturan
di atas menggambarkan penyampaiannya di lakukan secara langsung dari sang
penutur kepada lawan tuturnya.Tuturan di atas
menggambarkan kalimat berita yang secara langsung menyampaikan bahwa Mia sedang
makan roti.
2.
Tindak
Tutur
Tidak
langsung
Tuturan
yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat
dijawabsecara langsung, tetapi harus segera melaksanakan maksud yang
terimplikasi dari tuturan tersebut.
Berbanding
terbalik dengan tuturan langsung yang dijelaskan di atas, tuturan tidak
langsung biasanya tersampaikan secara lebih sopan. Misalnya kalimat perintah
dapat diutarakan dengan menggunakan kalimat berita atau kalimat tanya agar
orang yang diperintah tidak merasa diperintah. Bila hal ini yang terjadi, maka
tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tidak langsung (indirect speech act).
Contoh.
(1) Kamu sudah makan siang?
Tuturan
(1) bila diucapkan kepada seseorang sebenarnya bukan sekedar bertanya apakah
lawan tutur memiliki sudah makan, tetpi lebih dimaksudkan untuk mengajak lawan
tutur untuk makan siang bersama.
Dari
uraian di atas, berikut digambarkan skema penggunaan modus kalimat dalam
kaitannya dengan kelangsungan tindak tutur.
Modus
|
Tindak tutur
|
|
Langsung
|
Tidak langsung
|
|
Berita
|
Memberitakan
|
Menyuruh
|
Tanya
|
Bertanya
|
Menyuruh
|
Perintah
|
Memerintahkan
|
-
|
3.
Tindak
tutur literal
Tindak
tutur literal (literal speech act) adalah
tindak tutur yang memiliki maksud
sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Contoh.
(1) Masakanmu sangat enak
Tuturan
di atas benar-benar bermaksud memuji bahwa
masakan yang ia cicipi benar-benar enak.
4.
Tindak
tutur tidak literal
Tindak tutur tidak literal (nonliteral peech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak
sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Contoh.
(1) Masakanmu sangat enak, tapi
lebih baik kamu jangan menjadi koki.
Tuturan
(1) menggambarkan sang penutur mengatakan masakan lawan tuturnya tidak
enak sehingga lebih baik tidak usah
menjadi koki , walaupun diawali dengan kalimat memuji.
Bila tindak tutur
langsung dan tidak langsung disinggungkan (diinterseksikan) dengan tindak tutur
literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan didapatkan tindak
tutur-tindak tutur berikut ini.
1.
Tindak
tutur langsung literal (direct literal
speech act)
Adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan
dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan
dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu
dengan kalimat tanya, dan seterusnya.
2.
Tindak
tutur tidak langsung literal (indirect
speech act)
Adalah tindak tutur yang diucapkan dengan modus
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata
yang menyusunya sesuain dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur
ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
3.
Tindak
tutur langsung tidak literal (direct
nonliteral speech act)
Adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus
kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya
tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah
diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat
berita.
4.
Tindak
tutur tidak langsung tidak literal (indirect
nonliteral speech act)
Adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus
kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak
diuatarakan.
3.4 Prinsip Penggunaan Bahasa
Berbahasa adalah aktivitas sosial.
Sepertinya halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru
terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan
lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur
tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terdapat
tindakan dan ucapan lawan tuturnya.Setiap peserta tutur bergantung jawab
terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam
interaksi lingual itu (Allan, 1986).
Di dalam komonikasi yang wajar agaknya
dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud
untuk mengkomonikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan
bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomonikasikan itu. Untuk itu,
penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas,
dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise),
dan selalu pada persoalan (straight
forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. Misanya orang
yang menggunakan bentuk tuturan “tolong” dan “dapatkah anda menolong saya?”
untuk situasi dan keperluan yang berbeda.
Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka
melaksanaka prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus memenuhi 4 maksim
percakapan (conversational maxim),
yakni maksim kuantitas (maxim of quantity),
maksim kualitas (maxim of quality),
maksim relevansi (maxim of relevance),
dan maksim pelaksanaan (maxim of manner)
(Grice, 1975, Parker, 1986, wardaugh, 1986, Sperber & Wilson, 1986).
Ternyata
komunikasi senyatanya tidak selamanya
berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi seringkali pula
berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Bila sebagai retorika
tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama, sebagai retorika
interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yakni prinsip kesantunan.
Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri
sendiri, dan orang lain. Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah
lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur.
Salah satu ahli yang
mengembangkan prinsip kesantunan ini adalah Leech. Dengan berorientasi pada
sosial psikologis, Leech mengembangkan prinsip kesantunan yang di dalamnya
terdapat enam maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity
maxim), maksim penerimaan (approbation
maxim), maksim kerendahan hati (modesty
maxim), maksim kecocokan (agreement
maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy
kaxim). Selain prinsip kesantunan yang dikembangkan Leech di atas, masih
ada prinsip kesantunan lain yang dikembangkan oleh para ahli. Salah satu di
antaranya adalah Teori Penyelamatan Muka yang dikembangkan
oleh Brown dan Levinson. Dasar teori
kesantunan Brown dan Levinson (1987) ialah gagasan tentang muka (wajah) dan
rasionalitas, yang bersumber dari Erving Goffinan. Kesantunan ialah ungkapan
maksud penutur untuk mengurangi ancaman wajah yang dibawa oleh tindakan
keterancaman wajah tertentu terhadap orang lain. Teori ini berdasarkan asumsi
yang memandang kegiatan komunikasi sebagai kegiatan rasional yang mengandung
dan sifat tertentu. Goffinan sendiri mengatakan bahwa kesantunan untuk menyelamatkan
muka itu merupakan pencerminan penghargaan atau penghormatan pada orang lain.
Biasanya, seseorang penutur mempunyai dua muka, yakni :
1.
Muka
negatif (negative face) yang mengacu
pada keinginan untuk menentukan sendiri (self-determinating)
2.
Muka
positif (positive face) yang mengacu
kepada keinginan untuk disetujui atau disepakati.
Dalam percakapan penutur selalu
merasa terancam mukanya dan karena itu patut diselamatkan. Penyelamatan itu dengan cara menggunakan
kesantunan melalui strategi tertentu dalam bertutur. Dalam hal ini digunakan
konsep dalam teater yaitu masing-masing tokoh menjalan peran lain dari dirinya
sendiri, prilakunya menggambarkan wajah orang lain. Menurut kata-kata Gunarwan
(1994, 2004), wajah positif itu mengacu kepada keinginan seseorang agar apa
yang diasosiakan dengan dirinya dinilai baik oleh orang lain. Wajah negatif
mengacu pada keinginan seseorang agar tindakannya tidak diganggu oleh orang
lain. Dan wajah negatif mengacu keinginan seseorang agar tindakannya tidak
diganggu oleh orang lain. Kesantunan yang dimaksudkan untuk menjaga wajah
positif disebut kesantunan positif. Dan kesantunan yang dimaksudkan untuk
menjaga wajah negatif disebut kesantunan negatif. Patut diingat bahwa
pengertian negatif itu tidak berkonotasi buruk. Strategi
bertutur berkisar pada konsep muka, yang melambangkan citra diri orang, orang
yang rasional. Muka dalam pengertian kiasan ini terdiri dari dua wujud, yaitu
muka positif dan muka negatif. Strategi kesantunan itu positif jika penutur
dalam bertutur maaf memberikan berbagai alasan dan keterangan. Kesantunan
negatif bila penutur mengungkapkan maaf tanpa penjelasan atau alasan apa pun.
3.5 Komponen Percakapan
Piranti analisis wacana
fungsional yang terakhir adalah komponen percakapan. Karakteristik percakapan
sebagai wacana tampak pada unsur-unsur atau komponen-komponennya, yang
meliputi: partisipan tutur, latar bersama, perbuatan bersama, dan kontribusi.
3.5.1 Partisipan tutur
Partisipan tutur adalah pelaku tutur atau penutur (Pn) dan
mitra tutur (Mt).Dardjowidjojo, (2003:121) menjelaskan bahwa minimal ada dua
personalia dalam percakapan, yaitu pembicara dan interlokutor. Di samping itu,
tidak mustahil adanya orang lain sebagai pendengar yang ikut serta dalam
pembicaraan itu (side participants),
orang lain yang mempunyai akses dengan pembicaraan (bystanders), dan orang mempunyai akses terhadap pembicaraan tetapi
kehadirannya tidak diakui atau penguping (eavesdroppers).
Richard (1995:3) mengatakan bahwa Pn adalah sebagai pemberi pesan dan Mt
sebagai penerima pesan. Clark (1994) (dalam Dardjowidjojo, 2003:121):
menggambarkan personalia dalam percakapan sebagai berikut.
Dalam percakapan di kelas misalnya, guru dan siswa
merupakan partisipan tutur.Kedudukan guru dan siswa sangat bergantung pada
teknik pembelajaran yang dikembangkan guru dalam KBM. Bila teknik yang
dikembangkan dalam KBM hanya berupa ceramah, tanpa melibatkan siswa, maka guru
hanya sebagai Pn dan siswa sebagai Mt. Bila teknik pembelajaran berupa tanya
jawab atau diskusi yang melibatkan siswa, maka guru dan siswa dapat sebagai Pn
dan Mt secara pergantian. Dalam percakapan di kelas, guru dan siswa dapat
dikatakan sebagai partisipan utama (primary
pasticipants) karena mereka mempunyai kewajiban terlibat dalam KBM untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
3.5.2 Latar bersama
Latar bersama mengacu kepada anggapan bahwa dalam interaksi
verbal, baik Pn maupun Mt mempunyai prasuposisi, praanggapan, atau pengetahuan
yang sama. Dardjowidjojo (2003:121) menyebut kesamaan pengetahuan tersebut
sebagai latar bersama (common ground).Berkaitan
dengan hal tersebut, Sperber dan Wilson (1998) mengatakan bahwa komunikasi
termasuk percakapan terjadi bila Pn dan Mt mencapai pemahaman bersama (mutual knowledge).Untuk mencapai hal
itu, baik Pn maupun Mt menginterpretasi konteks komunikasi dengan membuat
asumsi-asumsi.Adanya kesesuaian asumsi Pn dan Mt terhadap konteks (baik ujaran
saat ini, ujaran yang lampau maupun latar belakang pengetahuan, sosial, budaya
atau semua hal yang berkaitan dengan topik pembicaraan) yang membuat komunikasi
dapat berlangsung.
Misalnya, dalam membangun percakapan di kelas guna mencapai
tujuan pembelajaran, dapat dikatakan bahwa siswa dan guru berupaya mencapai
pemahaman bersama.Bila siswa atau guru dapat saling menerima atau memahami yang
disampaikannya masing-masing, maka guru dan siswa telah mempunyai latar bersama
atau mencapai pemahaman bersama. Bila siswa tidak dapat memahami, menolak, atau
tersinggung akan hal yang disampaikan guru atau sebaliknya, guru tidak dapat
memahami, menolak, atau tersinggung, terhadap yang disampaikan siswa, maka
dapat dikatakan bahwa guru dan siswa tidak mempunyai atau belum mencapai
pemahaman bersama.
3.5.3 Perbuatan bersama
Perbuatan bersama mengacu pada hal yang dilakukan Pn dan Mt
secara bersama-sama dalam menghasilkan percakapan.Dardjowidjojo (2003:122)
menjelaskan bahwa perbuatan bersama (joint
action) adalah pembicara dan interlokutor membangun percakapan berdasarkan
aturan yang sama-sama mereka ketahui.Sebagai sebuah wacana, percakapan biasanya
mempunyai unsur tersendiri, yaitu pembukaan, isi, dan penutup. Pada struktur
tiap unsur tersebut, ada aturan tersendiri yang harus diikuti Pn ataupun Mt.
Pada pembukaan biasanya ada perbuatan bersama yang perlu dipatuhi, misalnya ada
ajakan dan ajakan tersebut memerlukan respons. Bila ajakan itu tindak imperatif
tidak direspons, maka tidak akan terjadi perbuatan bersama yang berarti pula
tidak terjadi percakapan. Dalam isi percakapan, harus ada latar bersama.Bila
tidak ada latar bersama, maka tidak terjadi percakapan.Kemudian dalam penutup
Pn dan Mt harus mempunyai kesepakatan untuk mengakhiri pembicaraan. Bila Mt
atau Pn berhenti tanpa menghiraukan yang lain, maka salah satu pihak akan
tersinggung.
Dalam struktur percakapan tersebut, ada dua tuturan atau
lebih dalam percakapan antara Pn dan Mt mempunyai keterkaitan makna.Dua tuturan
yang mempunyai keterkaitan makna tersebut sering disebut dengan istilah
pasangan berdampingan (adjacency pair).Dardjowidjojo
(2003:123) menjelaskan bahwa munculnya pasangan berdampingan ini disebabkan
adanya relevansi kondisional (conditional
relevance), yaitu begitu pembicara mengucapkan sesuatu, maka yang diajak
bicara siap untuk menyahut.Bila relevansi kondisional ini tidak terpenuhi,
pastilah ada yang tidak beres.Misalnya, mungkin yang diajak bicara sedang marah
dan sebagainya.
Dalam percakapan kelas, pasangan berdekatan itu terkait
dengan stimulus respons. Proses stimulus respons yang berulang akan menimbulkan
kebiasaan dan keteraturan. Dalam pasangan berdekatan, kesesuaian stimulus respons
dapat tercipta. Gambaran pasangan berdekatan disampaikan Cook (1989:44) sebagai
berikut: tawaran dapat direspons dengan penerimaan atau penolakan, penilaian
dapat direspons dengan persetujuan atau ketidaksetujuan, menyalahkan dapat
direspons dengan sanggahan atau penerimaan, pertanyaan dapat direspons dengan
jawaban yang diharapkan atau jawaban yang tidak diharapkan, walaupun dalam
konteks tidak mutlak demikian. Struktur percakapan seperti itu biasanya disebut
struktur dua bagian.Bagian pertama disebut initiation (I) dan bagian kedua
disebut responsse (R).Dalam percakapan di sekolah, struktur pasangan berdekatan
dapat juga lebih dari dua bagian. Hasil penelitian Sinclair dan Coulthard
(1975) (dalam Stubbs, 1983:2829)
menunjukkan bahwa percakapan guru dan siswa terdiri atas tiga bagian, yakni
initiation (I), response (R), dan feedback (F). Hal tersebut da¬pat dilihat
pada percakapan berikut.
G: Tumbuhan memerlukan oksigen untuk apa? I
S: Untuk fotosintesis. R
G: Betul. F
Sebagai unsur percakapan, perbuatan bersama (joint action) tampak dalam upaya siswa
dan guru membangun percakapan guna mencapai tujuan pembelajaran di kelas.Dalam
hal ini, sesuai dengan kedudukan, tugas, dan kewajibannya dalam pembelajaran di
kelas, siswa umumnya selalu dituntut untuk merespons tuturan maupun tindakan
guru.Sementara itu, guru sebagai pengendali pembelajaran, dapat dikatakan
menciptakan dan berupaya mengarahkan percakapan sesuai dengan aturan-aturan
yang telah disepakati.Dalam hal ini, guru berupaya agar siswa merespons guru
dan guru berupaya merespons siswa.Oleh karena itu, siswa dan guru berupaya
mencapai relevansi kondisional.Hal itu berarti pula bahwa melalui pola tuturan
umumnya, khususnya melalui pola berdekatan, dapat diidentifikasi dan
diinterpretasi berbagai hal mengenai penggunaan tuturan dalam percakapan
termasuk percakapan kelas, misalnya dampak tuturan ataupun pencapaian pemahaman
bersama.
3.5.4 Kontribusi
Kontribusi adalah keterlibatan Pn atau Mt dalam
percakapan.Kontribusi Pn dan Mt dalam percakapan umumnya pada saat mereka
mendapat giliran tutur.Dardjowidjojo (2003:123) menegaskan bahwa kontribusi
dalam percakapan ada dua tahap: (a) tahap presentasi, yaitu saat pembicara
menyampaikan sesuatu untuk dipahami oleh interlokutor dan (b) tahap pemahaman (acceptance), yaitu saat interlokutor
telah memahami hal yang disampaikan pembicara.
Kedua tahap kontribusi tersebut menggambarkan tercapainya
relevansi kondisional antara tuturan Pn dan Mt, yaitu terbentuknya latar
bersama atau pemahaman bersama antara Pn dan Mt. Jika percakapan tidak mencapai
tahap kontribusi seperti itu, maka percakapan tidak akan berlanjut. Tahap
kontribusi tersebut disebut pelataran atau pembentukan pengetahuan bersama
antara Pn dan Mt. Pelataran dalam percakapan terjadi setiap pergantian isi
pembicaraan atau bergantung isi pembicaraan. Kontribusi siswa maupun guru, baik
sebagai Pn maupun sebagai Mt dalam percakapan di kelas, hanya akan berlanjut
bila mencapai kedua tahap kontribusi yang ada. Kontribusi guru dan siswa pada
umumnya dituntut untuk menciptakan relevansi kondisional.Mereka harus siap
saling merespons sehingga terbentuk latar bersama atau tercapainya pemahaman
bersama pada tiap topik pembicaraan.
4. Piranti
Analisis Wacana Dialektik (Analisis Wacana Kritis)
Analisis wacana dialektis
lahir dari paradigma dialektika yang memandang bahasa sebagai ujaran, yakni wacana
dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks.
Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak
dipandang sebagai suatu sistem (langue)
tetapi juga dipandang sebagai parole.
Dengan demikian, selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga
harus di perhatikan pada saat menyusun suatu ujaran (Arifin,tth).
Dalam menganalisis wacana menurut pandangan ini, wacana
tidak dipahami semata-mata sebagai studi bahasa, walaupun pada akhirnya,
analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis.Akan
tetapi, bahasa yang dianalisis menurut paradigma analisis dialektika ini agak
berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional.Bahasa
dianalisis bukan sekadar menggambarkan dari aspek kebahasaan, tetapi juga
menghubungkannya dengan konteksnya.Penggambaran wacana sebagai praktik sosial
menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu
dengan situasi, intuisi, dan struktur sosial yang membentuknya.Praktik wacana
kemungkinan menampilkan efek ideologi, misalnya dapat memproduksi hubungan
kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok
mayoritas dan minoritas.
Piranti analisis wacana
dialektis ( wacana kritis) ini meliputi (1) ‘common sense’ dan ‘ideologi’ (2) asumsi yang implisit, koherensi,
dan Inferensi, (3) Interpretasi Pembaca dan Interpretasi Penulis, (4) Struktur
wacana (supra, mikro, dan makro).
4.1 ‘Common Sense’ dan Ideologi
Menurut Fairclough dan
Wodak(dalam Erianto, 2001:7) analisis wacana kritis melihat wacana – pemakai
bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial.
menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan
dialektis diantara pristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan
struktur sosial yang membentuknya.
Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan
repsroduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang anatara kelas sosial,
laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan
itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana,
sebagi contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan
sosial dipandang sebagai suatu common
sense, suatu kewajaran alamiah, dan memang seperti itu
kenyataannya.Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting,
yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaaan yang
terjadi di dalam masyarakat terjadi.
Idiologi yang digunakan dalam analisis wacana kritis
sedikit berbeda dari pengertian yang biasa digunakan dalam banyak hal, terutama
di bidang politik.Seperti yang dikemukakan oleh Fairclough (dalam Purwo, Ed.,
2000), idiologi diinterpretasikan sebagai suatu kebijakan masyarakat yang
sebagian atau seluruhnya berasal dari teori sosial secara sadar.Idiologi
tersebut dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereprosuksi
dan meligitimasi dominasi mereka.Salah satu strategi utamanya adalah untuk
membuat kahalayak menerima dominasi mereka tersebut. Dengan kata lain wacana
menjadi sebuah medium untuk mempersuasi dan mengomunikasikan kepada khalayak
produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki tampak abash dan
benar(Erianto, 2001:13).
Lebih lanjut Dijk (dalam Erianto, 2001:13) mengatakan bahwa
idiologi dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau
anggota suatu kelompok.Dalam perspektif ini, idiologi memiliki beberapa implikasi
penting. Pertama, idiologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau
individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau
kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang dibagi tersebut bagi anggota
kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam
bertindak dan bersikap.
Kedua, idiologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan
secara internal diantara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu,
idiologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga
membentuk identitas diri kelompok yang membedaknnya dengan kelompok
lainnya.Dengan pandangan semacam ini, wacana kemudian tidak dipahami sebagai
sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap wacana
selalu terkansung idiologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.
Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan
bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama yang berkaitan
dengan bagaimana idiologi dari kelompok-kelompok yang ada berebut peran dalam
membantuk wacana.Dalam wacana berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks
yang muncul tersebut pencerminan dari idiologi seseorang, apakah dia feminis,
antifeminis, kapitalis, sosialis, dan sebaginya.
4.2 Asumsi
yang Implisit, Koherensi, dan Inferensi
Seperti analisis wacana pada
umumnya, AWK juga menggunakan piranti seperti asumsi yang implisit, koherensi,
dan inferensi untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan dekat sekali dengan
kenyataan atau dengan makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis.Untuk
lebih memahami piranti ini, berikut dipaparkan sebuah contoh.
Pelajar Tabrak Pejalan
KakiTabanan (Bali Post) -
Apes menimpa Ni Wayan Begeh (55) asal Banjar Tegah Nyitdah, Desa Nyitdah, Kediri, Tabanan. Nenek ini ditabrak seorang pelajar yang mengendari sepeda motor Suzuki Satria, Gusti Made Restu Wahyudi (13), Senin (28/11) pagi. Akibat kejadian ini, korban mengalami patah tulang kaki dan dirawat di RSU Tabanan.
Apes menimpa Ni Wayan Begeh (55) asal Banjar Tegah Nyitdah, Desa Nyitdah, Kediri, Tabanan. Nenek ini ditabrak seorang pelajar yang mengendari sepeda motor Suzuki Satria, Gusti Made Restu Wahyudi (13), Senin (28/11) pagi. Akibat kejadian ini, korban mengalami patah tulang kaki dan dirawat di RSU Tabanan.
Peristiwa naas itu terjadi di jalan raya jurusan Kediri-Kedungu, tepatnya di Banjar Tegal Desa Nyitdah, Kediri. Ceritanya, sekitar pukul 10.00 wita, Restu Wahyudi melaju dari arah utara ke selatan. Saat melintas di lokasi, mendadak muncul korban yang berjalan di pinggir. Rupanya, Restu tak menyadari ada korban. Kontan saja, motor berpelat DK 6754 HI ini menabrak korban. Kerasnya benturan membuat korban terpelanting dan terluka. ''Korban mengalami patah tulang di kaki,'' kata Paur Subbag Humas Polres Tabanan Aiptu Ni Made Suwarni, Selasa (29/11) kemarin.
Karena kondisinya kritis, korban langsung dilarikan ke RSU Tabanan. Hingga kemarin, dia masih dirawat di rumah sakit. Selain mengalami patah tulang, korban juga merasakan sakit di bagian rahang bawah dan leher.
Aiptu Suwarni menambahkan, insiden ini dipicu pengendara motor yang kurang hati-hati, sehingga tak menyadari ada pejalan kaki yang melintas. Kasus ini masih ditangani Satuan Lantas Polres Tabanan. Saat kejadian, pengendara motor hanya membawa STNK motor. (udi)
(Dikutip
dari Bali Post November 2011)
Sampai pada bagian tersebut, pembaca
sudah menginterpretasikan bahwa pelajar yang menabrak nenek tersebut belum
memiliki SIM, sehingga saat kejadian ia hanya membawa STNK. Pengetahuan pembaca
tentang “dunia” yangmengatakan bahwa
usia wajar untuk memeroleh SIM adalah di atas 17 tahun. Dengan pengetahuan itu,
pembaca dapat menginterpretasikan bahwa Wahyudi (pelajar yang manabrak nenek)
baru berusia 13 tahun tersebut belum
memiliki SIM. Pembaca juga dapat menginterpretasikan bahwa Wahyudi akan
diperiksa intensif di kantor Polisi.
Pemahaman pembaca tentang usia yang
wajar untuk memiliki SIM, dan kecelakaan yang melibatkan pelajar tersebut
semuanya telah dapat dipahami dan telah menjadi suatu koheren setelah pembaca
menghubung-hubungkan kejadian-kejadian yang ditulis wartawan dengan menggunakan
inferensi-inferensi atau kesimpulan-kesimpulan.
4.3 Interpretasi
Pembaca dan Penulis
Ketika seorang pembaca membaca sebuah wacana, secara tidak
langsung pembaca tersebut ingin mengetahui sesuatu yang ditulis oleh penulisdan
apabila mungkin menginterpretasikan apa saja yang dimaksud oleh penulis dalam
wacana tersebut. Moeliono (2000:116) mengatakan bahwa sebuah wacana melibatkan
kondisi sosial tentang produksi dan kondisi sosial tentang interpretasi.
Kondisi
sosial tersebut menghubungkan ke tingkat organisasi sosial
yang berbeda, yaitu tingkat situasi sosial atau lingkungan sosial tempat suatu
wacana terjadi; tingkat lembaga sosial yang merupakan matriks wacana yang lebih
luas; dan tingkat sosial secara keseluruhan. Jadi, apabila bahasa dilihat
sebagai wacana dan praktik sosial, seseorang perlu melihatnya sebagai analisis
tentang hubungan antara teks, proses dan kondisi sosial, baik kondisi yang erat
hubungannya dengan konteks situasi maupun kondisi yang lebih jauh yang
berhubungan dengan kondisi lembaga dan struktur sosial. Secara singkat dapat
disebutkan sebagai hubungan antara teks, interaksi, dan konteks.
Interpretasi yang menyangkut hubungan antara teks dan
interaksi dengan melihat teks sebagai
hasil dari suatu proses suatu produksi dan sebagai suatu sumber dalam proses
interpretasi; eksplanasi yang menyangkut hubungan antara interaksi dan konteks
sosial. Dengan ketentuan sosial dari
suatu proses produksi dan interpretasi dan pengaruh-pengaruh sosialnya, bisa
dikatakan bahwa setiap tahapan itu merupakan suatu analisis.Lebih lanjut
Moeliono (2000:117) mengatakan bahwa pada setiap tahapan itu analisis
berubah.Terutama analisis pada tingkat deskripsi berbeda dengan analisis pada
tingkat interpretasi dan pada tingkat penjelasan.
Pada tingkat deskripsi yang dilakukan para analis ialah
melihat bagaimana teks itu disusun menurut kosakatanya, tata bahasanya, dan
struktur tekstual.Kosakata memiliki nilai. Dalam hal ini terdapat nilai
eksprensial yang dialami oleh penulis dalam dunia yang alami atau dunia
sosial.Nilai eksperensial menyangkut isi, pengetahuan, dan kepercayaan. Nilai
lainnya ialah nilai relasional yang menyangkut berbagai macam hubungan
keterpautan dan hubungan sosial yang diwujudkan dalam teks. Nilai yang ketiga
ialah ekspresif yang dimiliki oleh penulis.Nilai ekspresif menyangkut subjek
dan identitas sosial.
Moeliono (2000:117) juga mengungkapkan bahwa interpretasi
pembaca sebenarnya tidak jauh dari makna yang dikemukakan oleh penulis atau
sering disebut produser; tentunya produser dari teks tertentu. Produder teks
sebenarnya sebelum menulis juga menginterpretasikan dunia nyata atau sesuatu
yang terjadi ke dalam tulisannya. Jadi bisa dikatakan bahwa interpretasi
pembaca tiada lain adalah interpretasi dari suatu interpretasi. Jadi sebenarnya
interpretasi pembaca kurang lebih merupakan kombinasi antara apa yang tertulis
di dalam teks dan apa yang ada di dalam benak pembaca atau penginterpreter itu.
Secara rinci tahapan interpretasi itu dapat diumpamakan sebagai berikut:
1.
Tuturan
yang ada di permukaan. Tingkat interpretasi pertama ini menghubungkan proses
peginterpretasian bunyi atau huruf yang dapat dibaca di dalam teks ke dalam
kata-kata atau kalimat-kalimat. Hal ini tergantungpada pengetahuan
penginterpreter tentang fonologi, tata bahasa, dan kosakata
2.
Makna
tuturan. Bagian ini memberi makna bagi setiap konstituen dalam teks dan
bagian-bagiannya. Interpreter di sini mencari makna dengan jalan
mengombinasikan antara arti kata-kata dan tata bahasa, termasuk juga mencari
arti implisit yang tertera di dalam teks.
3.
Koherensi
lokal. Tingakt ketiga mennetukan hubungan antara tuturan-tuturan untuk
menghasilkan interpretasi yang koheren, yaitu koherensi yang berkenan dengan
bagian-bagian teks.
4.
Struktur
teks dan makna keseluruhan. Di tingkat ini diinterpretasikan seluruh makna teks
itu dengan tidak lupa mempertimbangkan skemata yang diketahui.
4.4 Struktur wacana (supra, mikro, dan makro)
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa
struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya
kedalam 3 tingkatan. Petama, struktur makro.Ini merupakan makna global/umum
dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang
dikedepankan dalam suatu wacana. Kedua, unsur suprastruktur. Unsur ini merujuk pada
kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau wacana
yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh
kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta
bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat
wacana.Ketiga,unsur struktur mikro.
Unsur mikro merujuk pada makna setempat (local meaning)
suatuwacana. Unsur ini dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan
retorika. Aspeksemantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud,
pengandaian, sertanominalisasi. Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan
bagaimana frase dan ataukalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup bentuk
kalimat, koherensi, sertapemilihan sejumlah kata ganti (pronouns). Aspek stilistika
suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gayayang digunakan oleh
pelaku wacana.
Dalam kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu
kalimat, aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorik
suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk
memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup
penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresiyang digunakan.
Lebih lanjut Van Dijk mengungkapkan, meskipun sebuah wacana terdiri dari atas berbagai
elemen, semua elemen tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan
mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh
kerangka teks, pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai.Kita bisa
membuat ilustrasi pemberitaan kasus Maluku. Misalnya Koran A mengatakan bahwa
kasus ini karena pertentangan antar agama. Tema ini akan didukung oleh skematik
tertentu. Misalnya dengan menyusun cerita yang mengandung gagasan tersebut.
Media tersebut juga akan menutupi fakta tertentu dan hanya akan menjelaskan
peritiwa tersebut semata pada masalah konflik antara islam dan Kristen.
Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian
kata-kata yang menunjuk dan memperkuat pesan bahwa peristiwa Maluku hanya
kasus agama semata. Menurut Littejohn, antar bagian teks dan model Van Dijk
dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini
karena semua teks dipandang Van Dijk memiliki suatu aturan yang dapat dilihat
sebagai suatu piramida.Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat
dan proposisi yang dipakai. Pertanyaan/tema pada level umum didukung oleh
pilihan kata, kalimat atau retorika tertentu.
Proses ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana
suatu teks terbangun oleh elemen-elemen yang lebih kecil. Skema ini juga
memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita tidak Cuma mengerti apa isi
dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang membentuk teks berita, kata,
kalimat, paragraf, dan proposisi. Kita tidak hanya mengetahui apa yang diliput
oleh media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan peristiwa kedalam pilihan
bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu. Jika
digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut:
Dengan
menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi
sosial pembuat wacana. Secara teoretik, pernyataan ini didasarkan pada
penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak
dan struktur wacana yang dihasilkan.
B. Rangkuman
Piranti analisis wacana
struktural terdiri dari (a) topik, (b) tuturan pengungkap topik, (c) kohesi dan
koherensi, (c) struktur gagasan ( penalaran). Piranti analisis wacana
struktural terdiri dari (a)Tuturan pengungkap
maksud, (b)
Maksud/ fungsi tuturan (tindak tutur), (c)
Strategi
penyampaian tindak tutur, (d)
Prinsip
penggunaan bahasa, dan
(e)
Komponen Percakapan. Piranti analisis wacana dialektis ( wacana kritis)
meliputi (1) ‘common sense’ dan ‘ideologi’
(2) asumsi yang implisit, koherensi, dan Inferensi, (3) Interpretasi Pembaca
dan Interpretasi Penulis, (4) Struktur wacana (supra, mikro, dan makro).
C. Umpan
Balik
1. Jelaskan secara garis besar piranti-piranti
dalam analisis wacana struktural.
2.
Jelaskan secara garis besar piranti-piranti
dalam analisis wacana fungsional.
3.
Jelaskan secara garis besar piranti-piranti
dalam analisis wacana dialektis (analisis wacana kritis).
D. Daftar Pustaka
Akhadiah, Sabarti. 1988. Pembinaan
Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gelora Aksara Utama
Dardjowidjojo, Soejono.2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis
Wacana Kritis. Bandung:Yrama Widya
Eriyanto. 2001. Analisis
Wacana ( Pengantar Analisis Teks Media). Yogyakarta: LKiS
Firoza, Lamminudin. 2009. Komposisi Bahasa Indonesia.
Jakarta: Diksi Insan Mulia
Moeliono, Anton.2000. Kajian Serba Linguistik. Jakarta: Gunung Mulia
Rani, Abdul dkk. 2006. Analisis Wacana ( Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian). Malang:
Banyumedia Publishing
Richard, Jack C.1995. Tentang Percakapan. Terjemahan
Ismari. Surabaya: Airlangga University Press.
Schhniffrin.2007. Ancangan
Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Titscher.Stefan dkk.2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zaimar, Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. 2009. Telaah Wacana. Jakarta: the
intercultural insitute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar