BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Sebagai salah satu produk
budaya, seni memiliki
berbagai bentuk pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untuk mengkomunikasikan pikiran dan
perasaan masyarakat yang tumbuh dan bekembang dari waktu ke waktu. Salah satu
bentuk pengungkapan seni sebagai produk budaya adalah mantra pada masyarakat
Sasak. Mantra pada masyarakat Sasak sangatlah beraneka ragam bentuknya seperti
yang diungkapkan oleh Rusyana (1970)
membagi mantra berdasarkan tujuannya menjadi 7 bagian, yaitu jampe (jampi),
asihan (pekasih), singlar (pengusir), jangjawokan (jampi), rajah (kata-kata
pembuka jampi), ajian (jampi ajian kekuatan), dan pelet (guna-guna).
Diantara sekian banyak mantra
yang ada, peneliti hanya mengkaji tentang “Mantra dalam dunia pertanian
pada masyarakat Sasak yang ada di Desa Banyumulek Lombok Barat”.
Seiring
dengan kemajuan zaman yang sudah berkembang pada era globalisasi ini tradisi-tradisi
itu sudah mulai berkurang khususnya yang mengkaji mantra pertanian. Karena dirasa
sangat menyulitkan, prosesnya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu
saja, tidak ada generasi penerusnya yang
mewarisi, dan kemajuan teknologi sangat berkembang yang membuat sebagian orang,
ada yang masih mempertahankan dan adapula orang yang sudah tidak memakainya
lagi. Karena itulah adat istiadat atau tradisi yang sudah mulai berkurang dan
rentan untuk hilang perlu untuk
dikaji. Mantra sebagaimana sastra umumnya juga mempunyai bentuk, fungsi dan
makna. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana bentuk dari mantra tersebut lalu fungsinya untuk apa, dan
seperti apa makna dari mantra pertanian tersebut, oleh sebab itu maka perlu
diadakan penelitian dan dokumentasi budaya. Dalam peristilahan ahli antropologi
ilmu atau mantra ini biasa dikenal dengan istilah magic (ilmu gaib). Lebih lanjut Richard menguraikan pengertian
mantra dalam bukunya Suyasa mengatakan bahwa mantra sebagai ekspresi manusia
yang diyakini mampu mengubah suatu kondisi karena dapat memunculkan kekuatan
gaib, estetik, dan penuh mistis (Suyasa, 2004: 2).
Kehadiran mantra
itu sendiri berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di dalamnya yang
memunculkan fenomena yang semakin kompleks dijaman sekarang. Sejumlah
penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat terhadap mantra semakin berkembang.
Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh maupun sebagian
dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya
secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dengan
pertimbangan bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik. Pada
bagian masyarakat yang disebutkan pertama dapat digolongkan ke dalam
masyarakat penghayat atau pendukung mantra, sedangkan bagian masyarakat yang
lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan penghayat mantra.
Bagi masyarakat
penghayat mantra, kegiatan sehari-hari kerap kali diwarnai dengan pembacaan
mantra demi keberhasilan dalam mencapai maksud atau tujuan yang sesuai dengan
fungsi dari mantra tersebut misalnya, para petani ingin sawahnya subur,
terhindar dari gangguan hama, ingin panen hasilnya melimpah, para pedagang
ingin dagangannya laris. Mantra diterima oleh masyarakat penghayatnya sebagai
kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya dijalani secara sungguh-sungguh.
Adanya kebutuhan terhadap mantra sebagai warna yang menghiasi kehidupan
sehari-hari. Kegiatan yang tidak terlepas kepada keadaan alam dan mata pencaharian,
menghasilkan tiga kelompok besar sehubungan dengan penggunaan mantra, yaitu
mantra yang digunakan untuk perlindungan, kekuatan, dan pengobatan.
Mantra
merupakan sebuah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Sasak sebagai
bagian dari budaya. Mantra dapat memberikan gambaran luas tentang pola dan
macam kehidupan masyarakat pendukungnya. Sebagai bagian dari budaya mantra
merupakan suatu keberhasilan karya cipta sastra yang harus diwariskan dari
generasi kegenerasi. Berdasarkan
pandangan di atas, maka peneliti bermaksud mengkaji bentuk, fungsi dan makna “mantra dalam dunia pertanian pada
masyarakat Sasak di Desa Banyumulek Lombok Barat”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1) bagaimanakah
bentuk mantra dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak di Desa Banyumulek
Lombok Barat?
2) bagaimanakah
fungsi dan makna mantra dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak di Desa
Banyumulek Lombok Barat?
3) bagaimanakah
pandangan masyarakat terhadap keberadaan mantra dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak
di Desa Banyumulek Lombok Barat?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini yaitu:
1) mendeskripsikan
bentuk mantra dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak di Desa Banyumulek Lombok Barat?
2) mendeskripsikan
fungsi dan makna mantra dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak di Desa
Banyumulek Lombok Barat?
3) mendeskripsikan
pandangan masyarakat terhadap mantra dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak
di Desa Banyumulek Lombok Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat teoritis
1. Diharapkan
dengan informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat memperluas cakrawala
di dalam pengembangan kesusastraan Indonesia.
2. Informasi
yang diperoleh dari penelitian ini, diharapkan berguna bagi peneliti sebagai
acuan dalam mengadakan penelitian secara lebih mendalam tentang hal-hal yang
belum terjangkau dalam penelitian ini.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Informasi
yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi
pengajaran sastra yang ada di sekolah.
2. Informasi
yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan-masukan
pada peneliti selanjutnya dalam bidang yang relevan dengan objek dan sasaran
penelitian ini.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1
Konsep Dasar
Analisis
merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa ( karangan, perbuatan dan
sebagainya ) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Analisis pada penelitian
ini difokuskan pada struktur dalam mantra dunia pertanian pada masyarakat sasak di Desa
Banyumulek Lombok Barat. Analisis mantra bukan berarti merubah teks-teks mantra
atau membolak-baliknya apalagi merubah isi kandungannya. Analisis merupakan
suatu cara untuk memahami karya-karya sastra baik untuk memanfaatkan, maupun
melakukan kritikan. Pada bagian lain, analisis merupakan suatu langkah menelaah,
mengkaji dan menyelidiki suatu sastra.
Dalam
bukunya Nurgiantoro ( 2009: 30 ) mengatakan bahwa analisis menyarankan
pengertian mengurai karya itu atas unsur- unsur pembentuknya tersebut, yang
berupa unsur-unsur intrinsik. Menganalisis bukan berarti memecah dan
mencincang-cincang karya sastra, memisah-misahkan bagian dari keseluruhannya
melainkan sebagai sarana, sarana untuk memahami karya-karya kesastraan itu
sebagai satu kesatuan yang padu dan bermakna, bukan sekedar bagian per-bagian
yang terkesan sebagai suatu percincangan di atas. Jadi analisis adalah
langkah-langkah telaah secara mendalam terhadap sesuatu, baik itu karya sastra
ataupun yang lain dengan penuh kesadaran dan rasional objektif untuk memperoleh
penghayatan serta memberi penilaian terhadap suatu karya sastra atau yang
lainnya.
Untuk
penelitian sastra (mantra) dengan mengunakan salah satu teori sastra sastra,
pertama kali yang harus dimengerti dahulu mengenai teori itu, kemudian mengenai
metodenya. Dalam hal ini, teori yang digunakan sebagai pendekatan sastra adalah
semiotik. Jadi, haruslah dimengerti apakah semiotik itu dan seluk beluknya. Penelitian
sastra dengan pendekatan semiotik itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari
pendekatan bentuk. Seperti yang
dikemukakan Pradopo (1995: 118)
untuk dapat memberikan makna mantra pertanian secara semiotik, pertama kali
dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik
dan hermeneutik atau retroaktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan
struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik
tingkat pertama. Sedangkan pembacaan hermeneutik
adalah pembacaan karya sastra
berdasarkan sisitem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi
sastranya.
Jika
kerja analisis kesastraan dimaksudkan untuk memahami secara lebih baik sebuah
karya, merebut makna pursuit of signs,
menurut istilah Culler, menafsirkan makna berdasarkan berbagai kemungkinannya,
analisis tersebut sebenarnya telah melibatkan kerja hermeneutik. Hermeneutik
menurut Teeuw ( 1984: 123), adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dan
ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Berdasarkan teori
dengan pendekatan semiotik dalam menentukan makna dan fungsi mantra, dilakukan
suatu interpretasi dan penafsiran
serta penilaian terhadap mantra untuk mendapatkan suatu fungsi serta maknanya
dalam kehidupan masyarakat Sasak Lombok Barat.
2.2
Pengertian
Mantra
Mantra sebagaimana
dikemukakan Poerwadarminta (1988: 558) adalah:
1) perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); 2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa mantra adalah kalimat yang diucapkan dengan diulang-ulang atau dilafalkan secara khusus untuk mendatangkan daya gaib, susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib (KBBI, 2005: 713).
1) perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); 2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa mantra adalah kalimat yang diucapkan dengan diulang-ulang atau dilafalkan secara khusus untuk mendatangkan daya gaib, susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib (KBBI, 2005: 713).
Menurut
Richard dalam Suyasa (2004: 2) bahwa mantra sebagai ekspresi manusia yang
diyakini mampu mengubah suatu kondisi karena dapat memunculkan kekuatan gaib,
estetik, dan penuh mistis, historis, mantra di samping memiliki konsep acuan
yang lain juga pijakannya bersumber pada agama. Di dalam buku “Teori Dasar
Sastra”. Mengatakan bahwa, mantra yang dalam perkembangannya membentuk acuan
dan dari acuan itu muncul bentuk-bentuk sastra yang bersifat psikologis,
mistis, simbolis, dan impresif. (Suyasa, 2004: 4). Dan lebih lanjut dikemukakan
dalam Purwardarminta (1984: 632) bahwa mantra adalah perkataan atau kalimat
yang dapat mendatangkan daya gaib, jampi, dan pesona.
2.3
Jenis-jenis
Mantra
Sejalan dengan
pembagian jenis mantra, Rusyana (1970) membagi mantra berdasarkan tujuannya
menjadi 7 bagian, yaitu jampe ‘jampi’, asihan ‘pekasih’, singlar ‘pengusir’,
jangjawokan ‘jampi’, rajah ‘kata-kata pembuka ‘jampi’, ajian ‘jampi ajian
kekuatan’, dan pelet ‘guna-guna’ Dipandang dari tujuan
permohonan, Mantra dapat dikelompokkan ke dalam mantra putih ‘white magic’ dan mantra hitam ‘black
magic’. Pembagian tersebut
berdasarkan kepada tujuan mantra itu sendiri, yakni mantra putih digunakan
untuk kebaikan sedangkan mantra hitam digunakan untuk kejahatan, Rusyana
(1970).
Ditunjau
dari segi bentuk dan isinya, ragam mantra dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis, yakni:
2.3.1
Mantra
pengobatan
Jenis
mantra pengobatan ini khusus digunakan sebagai alat atau media pengobatan
dengan cara dibacakan mantranya. Mantra pengobatan masyarakat Banyumulek bermacam-macam,
disesuaikan dengan jenis penyakitnya, misalnya: penyakit panas, kena gangguan
makhluk halus, sulit buang air kecil, luka senjata tajam, dan lain sebagainya.
Jika masyarakat sakit, maka untuk mengobatinya adalah sesuai dengan yang
dideritanya dan mantra ini termasuk mantra putih.
2.3.2
Mantra
penjagaan diri
Mantra
penjagaan diri yang dimaksud pada pemahaman orang Banyumulek adalah berupa
do’a-do’a yang di dalamnya mengandung nilai-nilai pengharapan, agar kiranya
membaca do’a tersebut turun penjagaan dari Tuhan. Dalam hal ini, pemilik mantra
mengharapkan dengan penjagaan Tuhan, maka si peminta do’a akan terhindar dari
segala musibah, baik yang timbul oleh alam, makhluk, maupun cobaan dari Tuhan.
Mantra ini tergolong mantra putih.
2.3.3
Mantra kekebalan
Mantra
kekebalan yang dimaksud adalah jenis mantra yang apabila dibaca oleh seseorang
maka akan menimbulkan kekuatan, kemampuan, kebiasaan, ketetapan yang ada pada
alam dan makhluk. Mantra ini juga tergolong mantra putih, tetapi memiliki roh
yang panas.
2.3.4
Mantra
sihir
Mantra
sihir adalah mantra yang diyakini oleh masyarakat-masyarakat di desa Banyumulek
sebagai mantra sesat. Pada mantra sihir tersebut diyakini bacaan-bacaan yang
mengandung kekuatan atau meminta pertolongan kepada makhluk halus, dalam hal
ini adalah jin atau iblis. Selain itu juga mantra sihir memiliki persyaratan
atau perjanjian-perjanjian yang dianggap keluar dari peraturan agama.
2.3.5
Mantra
jimat
Mantra
ini adalah mantra yang dipakai untuk diletakkan (dilekatkan), dibawa kemana
saja, dengan cara menulis mantranya pada sepotong benda (kertas, kulit, kain).
Mantra jimat biasa ditulis dengan bahasa Arab rajah (tulisan huruf-huruf Arab).
2.3.6
Mantra
pengasih-asih
Adalah
salah satu mantra yang digunakan oleh seseorang bagaimana caranya disukai orang
banyak, suaminya, mertuanya, atau disayangi oleh anak-anaknya. Dan bisa juga
digunakan agar bagaimana disenangi oleh atasan atau oleh guru dosen. Mantra ini
termasuk mantra putih karena kebutuhan.
2.3.7
Mantra
penghidupan (pertanian)
Adalah
sebuah mantra yang digunakan oleh seseorang agar usahanya, dagangannya,
pertaniannya bisa berhasil dan sukses dengan digunakan oleh masyarakat agar
pertaniannya tidak diganggu oleh hama atau binatang buas. Mantra ini termasuk
mantra putih.
2.4
Teori
Bentuk
Munculnya
pendekatan bentuk tidaklah dapat dilepaskan dari peran kaum formatif Rusia,
karena itu kaum formatif dipandang sebagai peletak dasar telaah sastra dengan
pendekatan ilmu modern. Ciri khas penelitian sastra kaum formatif adalah
perhatiannya terhadap apa yang merupakan suatu yang khas dalam karya sastra
yang terdapat dalam karya sastra dalam teks bersangkutan. Dalam hal ini nilai
estetika suatu karya sastra seperti yang dikemukakan oleh tokoh utamanya Jakobson
adalah didasarkan pada poetic Function yang diolah berdasarkan kode
metrum, rima, macam-macam bentuk paraletisme, pertentangan, kiasan dan
sebagainya. Karya sastra dipandang sebagai suatu yang otonom. Dengan kata lain
Jakobson, merumuskan bahwa karya sastra adalah ungkapan yang terarah pada ragam
yang melahirkan puitis memusatkan perhatiannya pesan demi pesan itu sendiri.
Teori
tersebut sebenarnya menekankan otonomi dan prinsip obyektifitas pada bentuk karya
sastra memiliki beberapa kelemahan pokok. Karya sastra diasingkan dari konsep
dan fungsinya sehingga sastra kehilangan relevansi sosialnya. Tersebut dari
sejarah dan terpisah dari permasalahan manusia. Di samping itu karya sastra
tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-konvensi kesusastraan sehingga
pemahaman kita mengenai genre dan
sistem sastra sangat terbatas. Secara umum struktur puisi (mantra) dibagi ke
dalam: unsur yang membangun dalam puisi ada dua yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik, kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan. Berkaitan
dengan unsur batin, puisi memiliki unsur intrinsic.
Bentuk
fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan
penyair. Bangun suatu bentuk puisi (mantra) adalah unsur pembentuk puisi yang
dapat diamati secara visual. Unsur tersebut meliputi: (1) bunyi, (2) kata, (3)
lirik atau baris, (4) bait, dan (5) tipografi yang dikemukakan (Aminuddin, 2011:
136).
Bentuk
bangun tersebut sebagai salah satu unsur yang dapat dinikmati secara visual
karena dalam puisi juga terdapat unsur-unsur yang hanya dapat ditangkap lewat
kepekaan batin dan daya kritis pikiran pembaca. Unsur tersebut pada dasarnya
dapat merupakan unsur tersembunyi dibalik apa yang dapat dinikmati secara
visual yang dapat disebut sebagai lapis makna puisi. Selanjutnya dari segi
bentuk fisik puisi yang telah dikemukakan di atas, Tjahjono mengatakan bahwa
unsur fisik puisi meliputi: (1) bunyi dan irama, (2) diksi atau pilihan kata,
(3) baris dalam puisi, (4) enjabemen, (5) bait dan (6) tipografi (Tjahjono, 1987:
44). Adapun bentuk dalam mantra terdiri dari: tema, bunyi, baris, bait dan
diksi.
a) Tema
(sense) dalam puisi
Tema
adalah suatu yang diciptakan atau digambarkan oleh penyair lewat puisi (mantra)
yang dihadirkannya. Terdapatnya tema suatu puisi pada dasarnya akan berhubungan
dengan gambaran atau makna puisi (mantra) secara umum yang ingin diungkapkan
(Aminuddin, 2011: 150). Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan penyair,
sehingga dengan gagasan pokok inilah yang mendorong penyair untuk menciptakan
dan menjiwai isi puisi yang dilahirkannya.
b) Bunyi dan irama dalam puisi
Bunyi
merupakan salah satu unsur yang membangun salah satu puisi akan memiliki
keindahan dan maknanya serta kenikmatan akan didukung oleh unsur bunyi atau
irama yang membentuk puisi tersebut. Berbicara tentang bunyi dalam puisi
terlebih dahulu harus dipahami beberapa istilah yang berkaitan dengan bunyi,
meliputi:
1. rima,
adalah bunyi yang berselang atau berulang, baik dalam lirik maupun pada akhir lirik
puisi. Rima mengandung beberapa aspek, yaitu: (a) asonansi (perulangan vokal),
(b) aliterasi (perulangan bunyi konsonan), (c) rima akhir (paduan bunyi pada
setiap akhir), (d) rima dalam (perulangan bunyi di antara kata-kata dalam satu
lirik), (e) rima identik (perulangan kata di antara bait-bait), (f) rima rupa
(perulangan hanya tanpa pada penulisan suatu bunyi, sedangkan pelafalannya
tidak sama).
2. irama
adalah paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalisasi (musikalitas), baik
berupa alunan keras, lunak, tinggi, rendah, panjang, pendek yang keseluruhannya
maupun menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta mampu memberikan nuansa dan
makna tertentu.
c) Diksi
atau pemilihan kata dalam puisi
Diksi
(diction) berarti pilihan kata-kata
yang dipergunakan dalam puisi pada umumnya sama dengan kata-kata yang
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari secara alamiah kata-kata yang
digunakan dalam puisi (mantra) dalam kehidupan sehari-hari memiliki makna yang
sama bahkan ucapan bunyi pun tidak ada perbedaan. Berdasarkan bentuk dan isi
kata-kata dalam puisi dapat dibedakan, antara lain: (1) lambang, yakni bila
kata-kata itu mengandung makna, seperti dalam kamus (makna leksikal) sehingga
acuan maknanya tidak mungkin menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna
denotasi), (2) ulterence atau indice, yakni kata-kata yang mengandung
makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian, (3) symbol, yakni bila kata-kata itu
mengandung makna ganda (makna konotasi) hingga untuk memahami seseorang harus
menafsirkan (interpretative) dengan
melihat bagaimana kata tersebut dengan kata yang lainnya (analisis kontekstual)
seringkali berusaha menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi,
mengembangkan kata ataupun bentuk larik (kalimat) ke dalam bentuk yang sederhana
lewat pendekatan parafratis (Aminuddin, 2011: 140).
Dari
uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kata-kata dalam puisi tidak diletakkan
secara acak, akan tetapi ditata, diolah dan diatur penyairnya secara cermat,.
Pemilihan kata untuk mengungkap suatu gagasan disebut diksi. Diksi yang baik
tentu berhubungan dengan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa
makna sehingga mampu mengembangkan dan mengajak daya imajinasi pembaca dalam
memahami dan menikmati makna suatu puisi yang dibacanya.
d) Baris
dalam puisi
Baris
merupakan ciri visual yang membedakan dengan genre sastra lainnya. Di samping sebagai ciri visual baris dalam puisi juga berfungsi sebagai upaya untuk
menciptakan efek estetik untuk membangkitkan makna (Tjahjono, 1987: 62).
Selanjutnya, Aminuddin mengatakan bahwa istilah baris sama dengan istilah
kalimat dalam karya prosa, hanya saja sesuai dengan hak kepengarangan yang
diistilahkan dengan Licentia Poetica makna wujud, ciri-ciri dan
peranan larik dalam puisi tidak begitu saja disamakan menyeluruh dengan kalimat
dalam karya prosa secara jelas diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
titik, hal yang demikian tidak selamanya tidak dijumpai dalam puisi. Selain itu
baris dalam puisi (mantra) juga seringkali mengalami pelesapan, yakni
pengulangan salah satu atau beberapa bentuk dalam suatu larik untuk mencapai
kepadatan dan keefektifan bahasa (Aminuddin, 2011: 144).
Baris
atau larik dalam puisi adalah satuan yang pada umumnya lebih besar dari kata
dan telah mendukung suatu makna tertentu. Baris dalam puisi pada dasarnya
adalah merupakan pemadu, penyatu dan pengembang ide penyair yang diawali lewat
kata. Akan tetapi sesuai dengan keberadaan baris dalam puisi makna penataan
baris harus memperhitungkan masalah rima serta penataan pola persajakan. Dalam
hal ini dikenal dalam istilah enjabemen, yakni pemenggalan larik suatu puisi
yang dilanjutkan pada larik suatu puisi yang dilanjutkan pada larik berikutnya
(Aminuddin, 2011: 154).
e) Bait
dalam puisi
Peranan
bait dalam puisi hampir sama dengan fungsi paragraf dalam prosa, untuk
menyatakan ide pokok. Satuan yang lebih besar dari larik bisa disebut dengan
bait, pengertian bait adalah kesatuan larik yang berada dalam suatu kelompok
dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran, terpisah dari kelompok
larik (bait) lainnya (Aminuddin, 2011: 145). Akan tetapi, sesungguhnya dalam
bait yang terpenting adalah kesatuan makna, bukan kesatuan baris. Keberadaan
bait dalam puisi adalah membentuk satu kesatuan makna dalam rangka mewujudkan
ide pokok pikiran tertentu yang berbeda dengan satuan makna dalam kelompok
larik lainnya. Pada sisi lain, bait juga berperan menciptakan tipografi puisi
serta berperan menekankan atau mementingkan suatu gagasan yang dituangkan
penyairnya. Dengan demikian, bait-bait dalam puisi dapat diibaratkan sebagai
suatu paragraf atau baitnya telah mengandung pokok-pokok pikiran tertentu.
2.5
Teori
Semiotik
Ferdinand de
Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu
semiotika secara terpisah dan di antara keduanya tidak saling mengenal satu
sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang
keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi menurut Saussure seperti dikutip
Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku
manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di
belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana
ada tanda di sana ada sistem.
Sedangkan Peirce
menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics).
Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa
dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam
pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada
segala macam tanda. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih
populer daripada semiologi.
Semiotika adalah
ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992: 2). Tanda adalah
sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest,
segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.
Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya
peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat
disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu
keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf,
peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu,
suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara
cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam,
kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap
sebagai tanda.
Menurut Saussure,
seperti dikutip Nurgiantoro (2009: 39) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang
yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada
tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar)
mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk
dan aspek lainnya yang disebut signified,
bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek
pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek
pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan
ungkapan (level of expression) dan
mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar,
warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang
diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan
makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain
yang disebut referent. Lampu merah
mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata
mengacu pada kesedihan. Apabila
hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang
melihat atau mendengar akan timbul pengertian.
Menurut Pierce,
tanda (representamen) ialah sesuatu
yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda
akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda
baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima
tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap
dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda
dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal
dengan nama segitiga semiotik. Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan
dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol (Nurgiantoro, 2009:
41- 42).
2.6
Teori
Fungsi
Dalam
bidang sastra lisan, sebagai bagian folklor, Sudikan (2001: 109-112) menyatakan
bahwa teori fungsi itu dipelopori oleh para ahli folklor, diantaranya William
R. Bascom, Alan Dundes, dan Ruth Finnegan. Menurut Bascom (1965: 3-20; Dundes,
1965: 290-294), sastra lisan mempunyai empat fungsi, yaitu: (a) sebagai sebuah
bentuk hiburan (as a form of amusement), (b)
sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan (it plays in validating culture, in
justifying its rituals in instution to thos who perform and observe them), (c) sebagai alat pendidikan anak-anak (it plays education, as pedagogical device), dan (d) sebagai alat
pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
kolektifnya (maintaining conformity to
the accepted pattern of behavior, as means of applying social preasure and
exercising social control).
Selanjutnya Dundes (1965) juga menyajikan
konsep-konsep fungsi folklor dalam kaitannya dengan hukum, politik, dunia anak,
dan sosial. Beberapa ahli yang dia sebut antara lain Jhon C. Betty Wang,
Herbert Passin, Jhon W. Bennet, Paul V. Gump, dan Brian Sutton–Smith.
Teori-teori yang disebutkan terakhir ini telah menyebar luas dikalangan
peneliti folklore di Indonesia. Di dalam ilmu sastra konsep fungsi beraneka
warna. Atas dasar realitas itu, Hutomo (1993: 8-10; dalam bukunya Endraswara,
2009: 125) memberikan konsep fungsi ialah kaitan saling ketergantungan, secara
utuh dan berstuktur, antara unsur-unsur sastra, tulis atau lisan, baik di dalam
sastra itu sendiri (intern), maupun
dengan lingkungannya (ekstern), tanpa
membedakan apakah unsur-unsur tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
naluri manusia, ataupun memelihara keutuhan dan sistem struktur sosial. Dari berbagai
konsep teoritis fungsi di atas, peneliti akan mencoba memakai teorinya Bascom untuk mengkaji fungsi mantra pertanian
pada masyarakat Sasak di Desa Banyumulek Lombok Barat.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
memerlukan suatu metode agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai, metode
merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, cara utama
tersebut disesuaikan dengan situasi penelitian.
3.1
Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian ini
terletak di desa Bayumulek. Desa Banyumulek adalah salah satu dari delapan desa
di Wilayah Kecamatan Kediri yang berjarak ± 5 km dari Ibu Kota Kecamatan Kediri
dan ± 5 km dari pusat Pemerintahan
Kabupaten Lombok Barat.
Kehidupan
masyarakat Banyumulek mayoritas adalah petani disamping juga sebagai pedagang,
peternak, pengerajin gerabah, dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan
pariwisata beberapa lokasi pertanian diubah menjadi lokasi perdangan gerabah
yang terkenal (Art Shop), namun adat istiadat masyarakat tentang mantra
khususnya masih kuat. Hal itu dapat kita lihat pada masyarakat Banyumulek yang
masih percaya dengan keberadaan mantra serta kegunaanya. Adapun mantra yang
masih hidup pada masyarakat Banyumulek antara lain seperti mantra senggeger, mantra
obat terkena penyakit, mantra ajian kekuatan dan khususnya mantra pertanian
yang masih digunakan pada saat penanaman, pemeliharaan, memetik dan menyimpan. Hal ini juga
bisa kita lihat dengan luas wilayah
Desa Banyumulek yang sebagian besar adalah lahan pertanian dari luas wilayah Banyumulek
242 Ha, atau 2.42 km2 yang terdiri dari Sawah
Orogasi 180 Ha, Kebun 10 Ha, Pekarangan 52 Ha. Maka hal itulah yang membuat
peneliti memilih desa Banyumulek sebagai
lokasi penelitian.
3.2
Objek
Penelitian
Objek
penelitian ini adalah bentuk, fungsi, makna mantra serta pandangan masyarakat
dalam dunia pertanian yang ada di Desa Banyumulek Lombok Barat.
3.3
Data
dan Sumber Data
A. Data
Data
dalam penelitian ini adalah mantra yang
akan dianalisis dengan bentuk, fungsi
dan makna mantra sera pandangan masyarakat dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak di Desa Banyumulek yang
bersumber dari beberapa Belian (tabib
atau dukun) yang berada di Desa
Banyumulek.
B. Sumber Data
Menurut
Arikunto (2002: 135) bahwa sumber data dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a) data
primer
data
primer yaitu data pokok yang dalam hal ini adalah mantra pertanian
pada masyarakat Sasak di Desa Banyumulek Lombok Barat yang dikumpulkan dari
respon (narasumber) yang didapatkan dari beberapa belian dan yang ahli dalam bidang tersebut sesuai dengan objek yang
diteliti. Dalam hal ini data primernya adalah data yang diperoleh dari hasil dokumentasi,
rekaman, dan wawancara.
b) data
skunder
data
skunder yaitu data pelengkap yang
diperoleh dari penelitian yang sudah ada dan dalam hal ini yaitu buku penunjang
dan catatan yang terkait dengan penelitian mantra dari para belian atau tabib yang ada di Desa Banyumulek
Lombok Barat.
Pertimbangan
untuk menentukan responden mengacu pada saran Spradley dalam bukunya Faisal, (1990)
antara lain:
1) mereka
yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses inkulturasi, sehingga
sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tapi juga dihayati.
2) mereka
yang sedang berkecimpung atau menggunakan atau sedang masih meyakini pada apa
yang tengah diteliti.
3) mereka
yang sedang menyampaikan informasi kebiasaan sendiri.
4) informan
adalah orang yang asyik diajak bicara (tempat melekatnya informasi). Jadi
informasinya adalah sejumlah Belian (tabib/dukun)
yang memiliki mantra yang dikenal sakti dan memiliki pengalaman dalam pemakaian
mantra pertanian di Desa Banyumulek.
Berikut
nama-nama informan sebagai sumber data dalam penelitian objek yang diteliti.
No
|
Nama
|
L/P
|
Umur
|
Pendidikan
|
Alamat
|
1
|
Muni’ah
|
L
|
60 Th
|
Tidak tamat SD
|
Banyumulek
|
2
|
Sawiah
|
L
|
56 Th
|
Tidak tamat SD
|
Banyumulek
|
3
|
H.
Safwan
|
L
|
60 Th
|
Tidak tamat SD
|
Banyumulek
|
4
|
Mahmud
|
L
|
56 Th
|
Tidak tamat SD
|
Banyumulek
|
5
|
H.
Mahruf
|
L
|
68 Th
|
Tidak tamat SR
|
Banyumulek
|
Sumber: Informan
terkait untuk memperoleh tentang data yang di teliti di Desa Banyumulek.
3.4
Teknik
Pengumpulan Data
3.4.1
Teknik
rekaman
Teknik
rekaman yaitu suatu proses pengambilan suara (bunyi) atau gambar dari apa yang
telah di ucapkan oleh para narasumber (belian)
pada saat ritual untuk disimpan kedalam media rekam. Teknik rekaman ini
dilakukan apabila dalam pengumpulan data dirasakan sulit atau terlalu banyak
untuk dicatat maka penulis akan menggunakan alat rekam (recorder/sejenisnya)
untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan ritual mantra pada pertanian pada
saat selametan sapi, nenggala, lowong,
nunu’in, mbauin, mata’, dan nenambunang.
3.4.2
Teknik
pencatatan
Teknik
pencatatan merupakan dokumentasi dalam bentuk tulisan harian yang ditulis
secara priodik dan terstruktur terhadap apa yang telah diamati pada saat ritual
atau proses mantra pertanian tersebut berlangsung. Pencatatan ini sangat pelu, karena objek yang
diteliti adalah hal yang tersembunyi dan penuh dengan syarat-syarat (tidak
semua orang mengetahuinya), baik dalam proses penerimaan mantra-mantranya.
Berhubungan dengan metode pencatatan ini, peneliti akan mencatat hal-hal yang
perlu dan mungkin sulit apabila tidak
dicatat (menggunakan cara lain) seperti syarat, kode atau sandi dalam pemakaian
mantra pada informan atau narasumber (belian)
yang berkompeten dibidangnya.
3.4.3
Teknik
wawancara
Wawancara
adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh seorang pewawancara untuk memperoleh
informasi dari informan (Arikunto, 2006: 155). Teknik wawancara yang digunakan
peneliti adalah wawancara bebas terpimpin. Wawancara bebas terpimpin adalah
tanya jawab secara lisan antara peneliti dengan responden, dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara bebas dan terarah. Teknik wawancara yaitu menanyakan
hal-hal yang dianggap penting masyarakat menyangkut peranan mantra dalam
kehidupan sosial masyarakat Banyumulek. Hal ini sesuai dengan judul yang
peneliti angkat yaitu “analisis bentuk, fungsi dan makna pada mantra
dalam dunia pertanian di Desa Banyumulek Lombok Barat. Dalam hal ini
peneliti mencari informasi dengan menggunakan wawancara dengan beberapa
narasumber atau belian yang ahli
dalam mantra.
3.4.4
Teknik
transkripsi
Teknik
transkripsi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengubah hasil
rekaman dari ucapan atau lisan ke dalam bentuk tulisan. Adapun yang diucapkan tersebut
adalah mantra pertanian dalam bentuk bahasa Arab, Jawa, Sansekerta dan Melayu yang
berkembang pada masyarakat Banyumulek. Teknik transkripsi ini digunakan untuk
mengubah ucapan informan (belian) ke
dalam bahasa tulisan supaya peneliti lebih mudah untuk memahami dan
menganalisis mantra pertanian masyarakat Banyumulek tersebut.
3.4.5
Teknik
terjemahan
Teknik
terjemahan merupakan teknik pengumpulan data dengan mengubah mantra dalam dunia
pertanian yang berbentuk bahasa Arab, Jawa, Sansekerta atau Melayu Sasak
(Banyumulek) untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Metode terjemahan
ini digunakan untuk menerjemahkan dari asli ke dalam bahasa Indonesia supaya
mudah untuk dipahami dan dimengerti maksudnya. Karena mantra pada mantra
Banyumulek ini adalah bahasa Banyumulek asli yang kadang bercampur dengan
bahasa Arab, Jawa dan Sansekerta.
3.4.6
Teknik
observasi
Teknik
observasi biasanya diartikan sebgai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis
atas fenomena-fenomena yang diteliti. Penggunaan teknik-teknik observasi
tergantung sekali pada situasi dimana
observasi diadakan, namun teknik
observasi yang digunakan peneliti dalam kajian mantra pertanian pada masyarakat
Sasak di desa Banyumulek adalah observasi partisipan yang umumnya digunakan
orang untuk riset yang bersifat
eksploratif. Suatu observasi disebut observasi partisipan jika orang yang
mengadakan observasi (observer) turut
ambil bagian dalam prikehidupan orang
atau orang-orang yang diobservasi (observes).
3.5 Analisis
Data
Archer Taylor menyarankan adanya tiga
langkah penelitian sastra lisan, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) klasifikasi,
dan (3) interpretasi. Dalam bukunya Endraswara metode demikian oleh Danandjaja
(1990: 98) dinamakan metode kualitatif penelitian sastra lisan. Metode ini
dipandang paling cocok dalam peneitian sastra lisan. Hal ini cukup beralasan
karena sastra lisan merupakan fenomena humanistis sehingga perlu didekati
dengan paham manusiawi pula.
Metode
kualitatif menghendaki adanya pemaparan kata-kata atau kalimat dan tidak
menggunakan angka-angka statistik. Dalam bidang budaya, metode kualitatif
dikenal dengan metode etnografis. Artinya, pemaparan budaya rakyat dengan
memperhatikan aspek-aspek etnografis. Paham etnografis yang paling utama adalah
wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan dokumentasi. Metode yang digunakan
pada penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Tujuan dari penelitian deskriptif kualitatif adalah
untuk memuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sisitematis, faktual, dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubunga antar fenomena yang
diselidiki.
Sealanjutnya
data yang terkumpul dengan berbagai
metode pengumpulan data seperti tersebut di atas, diolah sedemikian rupa dengan
meggunakan teknik deskriptif kualitatif. Dalam menggunakan analisis data
digunakan analisis data kualitatif yang terdapat 3 langkah yang dilakukan,
yakni: (a) identifikasi, (b) klasifikasi, dan (c) interpretasi.
(a)
Identifikasi, yakni mengenal dan menentukan berbagai hal yang berkaitan dengan
data yang dikumpulkan baik melaui observasi maupun dokumentasi. Identifikasi
dalam penelitian ini adalah memilih, menyaring, mencocokan data. Data hasil
observasi dan dokumentasi digolongkan berdasarkan jenis data. Data yang
diperoleh dari hasil observasi berupa hasil pengamatan dan pencatatan aktivitas
proses ritual mantra dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak di Desa Banyumulek dengan pendekatan
hermeniutik, dikelompokkan ke dalam data
primer. Sedangkan data yang berupa hasil
yang didapatkan dari buku penunjang dan catatan dari para informan dan
peneliti sesudahnya merupakan data sekunder atau sebagai pelengkap.
(b) Klasifikasi, yakni mengelompok-kelompokkan
hasil penelitian sesuai jenis-jenisnya. Pengelompokan ini menyangkut tentang
penggunaan mantra yang digunakan pada saat-saat yang berbeda dan pada tanaman
yang berbeda pula. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah klasifikasi
bermakna penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan menurut standar yang
ditetapkan (Depdinas, 2001: 507). Dari makna tersebut, maka alur analisis data
selanjutnya adalah tahap penyusunan data perolehan, baik data primer maupun
skunder.
(c) Interpretasi, yaitu membrikan
penafsiran terhadap hasil penelitian. Interpretasi bermakna tafsiran; member
kesan pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu (Depdiknas, 2001: 385).
Dalam penelitian ini data yang telah dikelompokkan dan diurutkan berdasarkan kriteria
yang ditetapkan selanjutnya dikaji berulang-ulang untuk medapatkan satu
kepastian hasil. Artinya dari perolehan data tersebut akan tergambar jelas
tentang bentuk, fungsi, dan makna pada mantra dunia pertanian pada masyarakat
Sasak di Desa Banyumulek. Berdasarkan
pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa metode deskriptif kualitatif
adalah cara penelitian yang lebih cendrung memaparkan apa adanya yang ditemui
dilapangan tanpa menganalisis lebih ke dalam.
Jadi
metode deskriptif kualitatif ini digunakan untuk menarik kesimpulan hasil
penelitian semua data yang telah digunakan dan dianalisis. Hal ini dikarenakan
terbatasnya waktu dan anggaran penelitian, sehingga metode deskriptif kualitatif
dapat dipilih oleh peneliti.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Etnografi
Bahan
mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa disuatu komunitas dalam suatu daerah
geografi ekologi atau suatu wilayah administratif yang terdiri dari unsur-unsur
kebudayaan universal yaitu: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5)
sistem pengetahuan, (6) kesenian, (7) sistem religi. Unsur-unsur universal
memiliki aktivitas adat istiadat, pranata-pranata sosial, dan benda-benda
kebudayaan yang dapat digolongkan kedalam salah satu diantara ketujuhunsur
tersebut.
Etnografi
kebudayaan suatu suku bangsa yang disusun berdasarkan kerangka etnografi yang
terbagi dalam sub-sub bab khusus.
1. Nama
suku bangsa
2. Lokasi,
lingkungan alam, dan demografi
3. Asal
mula dan sejarah
4. Bahasa
5. Sistem
teknologi
6. Sistem
mata pencarian
7. Organisasi
sosial
8. Sistem
pengetahuan
9. Kesenian
10.
Agama dan sistem religi, (Koentjaraningrat, 1997: 5).
1)
Penduduk
Perkembangan penduduk
desa ganti selama tahun terakhir dapat digambarkan sebagai berikut. Jumlah
penduduk sampai dengan April 2012 berjumlah 8.230 Jiwa, terdiri dari 4.611 Jiwa
Perempuan, 3.619 Jiwa dan jumlah Kepala Keluarga 2.503 KK yang tesebar di 10
Dusun yakni: dusun aiq paiq, dusun kulem, dusun nuse, dusun menseh,
dusun petanem, dusun santong, dusun ganti tengah, dusun manggu, dusun batuq, dusun sepakat.
Penduduk yang mendiami
Lombok tengah khususnya desa ganti terdiri atas empat suku atau etnis yang
berasal dari beberapa daerah seperti Jawa dengan jumlah 3 orang laki-laki dan 3
orang perempuan, Mbojo 2 orang laki-laki dan
3 orang perempuan, Samawa 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan,
sedangkan sebagian besar masyarakat Desa ganti berasal dari etnis suku Sasak
yang berasal dari daerah setempat dengan jumlah 3.611 laki-laki dan 4.609 orang
perempuan.
2)
Lokasi,
Ligkungan Alam dan Demografi Desa Banyumulek
Lokasi
penelitian mantra pengobatan pada masyarakat Sasak berada di dusun aiq paiq yang
merupakan salah satu dari delapan Desa di wilayah Kecamatan praya timur yang
berjarak ± 15 Km dari Ibu Kota Kecamatan praya timur. Sedangkan lingkungan alam
yang ditempati oleh masyarakat dusun aiq paiq mempunyai tanah yang datar dan
subur untuk segala jenis tanaman disetiap musimnya dengan keadaan alam dusun aiq paiq dikelilingi oleh sawah.
Mengenai demografi dusun aiq paiq kita ketahui luas wilayah dusun aiq paiq
berjumlah 200 Ha atau 200 km2 yang terdiri dari: sawah orogasi 180
Ha, perkebunan 5 Ha, pekarangan 15 Ha.
Batas
Administratif Dusun aiq paiq meliputi.
Sebelah
Timur : Desa Beleke
Sebelah
Selatan : Dusun Kulem
Sebelah
Barat : Desa Pemateq
Sebelah
Utara : Dusun Nuse
3)
Bahasa
Bahasa
yang digunakan masyarakat dusun aiq paiq dalam menggunakan mantra atau
berkomunikasi sehari-hari adalah sebagian besar memakai bahasa Sasak dengan
dialek tiang-ngeh atau aoq-ape, karena adanya tingkatan-tingkatan sosial, maka
bahasa yang digunakan di dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam mantra pengobatan
berbeda pula. Adapun tingkatan-tingkatan tersebut antara lain.
a) Tingkatan
bahasa tiang-nggeh, tingkatan ini dipergunakan apabila berbicara sesama para
menak (perbape) dalam komunikasi
sehari-hari atau strata jajar karang yang berbicara pada kelompok strata perbape. Tingkatan bahasa ini juga
dipergunakan pada acara adat mantra saat pengobatan, sorong serah aji krame,
baik yang perbape maupun yang jajar
karang.
b) Tingkatan
bahasa aok-ape atau ngno-ngne pada masyarakat Dusun aiq paiq, tingkatan bahasa
ini dipergunakan oleh strata jajar karang dengan kelompok jajar karang untuk
komunikasi sehari-hari. Secara umum dapat dikatakan bahwa bahasa yang di
gunakan oleh penduduk Dusun Aiq Paiq dalam menggunakan mantra pengobatan khususnya
adalah menggunakan bahasa Sasak ngno-ngne
selain menggunakan bahasa halus madya atau jajar karang. Masyarakat yang
ada di dusun aiq paiq menggunakan bahasa
Sasak sebagai bahasa sehari-hari dengan jumlah masyarakat pemakai bahasa Sasak
360 orang laki-laki dan 261 orang perempuan, sehingga berjumlah 621 orang
sesuai dengan jumlah data penduduk yang ada disaat ini.
4)
Sistim Teknologi
Berkenaan dengan
perkembangan dan persebaran bercocok tanam sebagai salah satu unsur kebudayaan
manusia, perhatian yang besar diberikan oleh antropologi budaya pada sistem
peralatan yang digunakan. Karena itu beragam bentuk peralatan bercocok tanam
manusia dibagi kedalam: (1) bercocok tanam tanpa bajak, (2) bercocok tanam
dengan bajak, (Koetjaraningrat, 1997: 68-69). Berdasarkan tanpa bajak dalam
antropologi juga disebut hand
agriculture, hoe agriculture atau
horticulture Dalam sistem ini tanah diolah dengan menggunakan cangkul
terlebih dahulu sebelum ditanami, teknik ini masih pakai masyarakat sampai
sekarang. Sedangkan bercocok tanam dengan bajak dalam antropologi di sebut plough agriculture, yang menggunakan
tenaga hewan atau manusia untuk menariknya. Dengan bajak, seorang petani dapat
mengolah tanah yang lebih luas secara merata, daripada ia menggunakan cangkul,
namun untuk menggunakan bajak diperlukan hewan yaitu kerbau atau sapi untuk
menariknya, namun pada saat sekarang ini orang yang menggunakan hewan untuk
membajak sudah jarang kita lihat sejalan dengan kemajuan zaman yang sangat maju
dibidang IPTEK.
5)
Sistim Mata
Pencarian
Kehidupan
masyarakat dusun aiq paiq mayoritas adalah petani di samping juga sebagai
pedagang, peternak, pengerajin gerabah, dan lain-lain. Berkaitan tentang
pertanian pada masyarakat Dusun Aiq Paiq ada berbagai sistem kepemilikan tanah
pertanian sebagaimana kutipan dalam bukunya Koentjaraningrat (1997: 71) dikatakan
bahwa ada empat sistem kepemilikan tanah yaitu: (1) sistem kepemilikan umum
(berdasarkan kepemilikan komunal), dengan pemanfaatan lahan secara bergantian,
(2) sistem kepemilikan komunal, dengan kemungkinan untuk mengalihkan pemanfaatan
lahan kepada orang lain, (3) sistem kepemilikan komunal dengan kemungkinan
kepemilikan lahan secara terus-menerus, dan (4) sistem kepemilikan individu.
Masyarakat Dusun Aiq Paiq dalam sistem kepemilikan tanah termasuk pada sistem
kepemilikan individu, lahan pertanian merupakan milik sendiri selama lahan itu
tidak dijualnya, diwariskannya, atau dihibahkannya. Di Dusun Aiq Paiq di mana
kepadatan penduduk telah demikian
tingginya, banyak orang desa memang tidak mempunyai sawah, baik berdasarkan sistem
komunal, maupun berdasarkan sistem kepemilikan individu. Walaupun demikian yang
tidak memiliki lahan, dapat menempuh berbagai cara agar ia dapat memperoleh
penghasilan dari pekerjaan bercocok tanam, yaitu dengan: (1) menyewa lahan
orang, (2) dengan mengerjakan lahan orang dengan imbalan bagi hasil, dan (3)
dengan mengerjakan lahan milik orang lain yang di gadaikan padanya.
Namun adat istiadat masyarakat tentang mantra
khususnya masih kuat. Hal itu dapat kita lihat pada masyarakat Dusun Aiq Paiq
yang masih percaya dengan keberadaan mantra serta kegunaanya. Adapun mantra
yang masih hidup pada masyarakat Dusun Aiq Paiq antara lain seperti mantra senggeger, mantra pengobatan terkena penyakit, mantra ajian kekuatan.
6)
Sistem Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang
dikuasai masyarakat dari sisi kehidupan mereka lebih banyak Berkenaan dengan
perkembangan dan persebaran bercocok tanam sebagai salah satu unsur kebudayaan
manusia, perhatian yang besar diberikan oleh antropologi budaya pada sistem peralatan
yang digunakan. Karena itu beragam bentuk peralatan bercocok tanam manusia
dibagi kedalam: (1) bercocok tanam tanpa bajak, (2) bercocok tanam dengan
bajak, (Koetjaraningrat, 1997: 68-69).
7)
Kesenian
Adapun
jenis kesenian sastra yang ada di Dusun Aiq Paiq adalah sebagai berikut.
a) takepan
(lontar)
Kitab-kitab
kuno yang disebut takepan yakni
tulisan kawi yang berisi tentang cerita
yang dibaca pada malam hari ketika berlangsungnya acara syukuran atau
roah atas orang yang menikah atau saat orang telah meninggal dunia. Pembacaan
takepan merupakan kegiatan untuk mengisi acara oleh sekelompok pembaca atau
sesepuh dan orang tua di dusun yang bersangkutan pada malam hari untuk
memeriahkan acara dan agar muda-mudi yang sibuk memasak dan membuat berbagai
jajanan menjadi merasa tetap ditemani dan terjaga dengan lantunan cerita takepan tersebut. Pembacaan takepan yang berisi cerita masa lampau
dari bahasa kawi yang dilantunkan dengan berbagai jenis tembang seperti:
Tembang sinom, Dang-dang, Pangkur, Kasmaran jaya, Mas kumambang, Siksa kubur,
Nikmat kubur dan lain-lain. Yang selanjutnya atau bacaan itu diterjemahan
kedalam bahasa Sasak biasa oleh peserta yang lain, sehingga bisa dipahami oleh
para pendengar.
b) belelakaq
Lelakaq
yang dimaksud disini adalah, tembang pada acara adat sorong serah aji kerame,
yang merupakan salah satu rentetan upacara adat perkawikan suku Sasak. Lelakaq
ini dilakukan secara bergantian oleh masing-masing pembayun kedua belah pihak,
baik pembayun penampi atau penerima. Kelompok ini, dilantunkan untuk menghibur
pihak keluarga perempuan yang ditinggal kawin oleh putrinya.
c) selakaran
Selakaran merupakan acara pembacaan kitab karang, Al-Barzanji
tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw, yang menggunakan bahasa Arab yang
ditentukan bersama-sama pada malam hari sebagai rentetan acara syukuran atau
anak yang mau dicukur yang dilanjutkan dengan zikir dan do’a.
d) betandak
Betandak
merupakan lantunan sastra pantun yang biasa dilakukan secara bergantian atau
saling sambut antara laki-laki dan perempuan
pada acara panen padi disawah, bukit atau gunung, selain itu betandak
juga diadakan pada acara belancaran menggunakan perahu dayung ketika berlangsungnya
acara bau nyale.
e) Mantra
Menurut
Richard dalam bukunya Suyasa (2004: 2) bahwa mantra sebagai ekspresi manusia yang diyakini mampu mengubah suatu
kondisi karena dapat memunculkan kekuatan gaib, estetik, dan penuh mistis,
historis, mantra di samping memiliki konsep acuan yang lain juga pijakannya
bersumber pada agama.
f) Seni
musik
Adapun
jenis seni musik yang ada di Desa Banyumulek, ada yang berupa musik tradisional
seperti, klentang atau cungklik, gamelan, gendang bleq, rebana, musik kamput,
kecimol, cilokaq, kasidah, nasyid, rudat dan lain-lain.
8)
Agama
dan religi
Masyarakat
Banyumulek masih mempercayai tentang adanya mitos, dan adanya mitos tersebut
masih dilestarikan sampai saat ini. Mitos- mitos tersebut lebih banyak terwujud
dalam prilaku masyarakat ketika akan melakukan sesuatu, seperti halnya dalam
bertani kita harus menancapkan suatu benda apapun di tengah sawah sebagai tanda
bahwa sawah tersebut ada yang memiliki dan konon cerita dari narasumber (Bapak
Muni’ah) mengatakan hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar kita tidak
kedahuluan penanamannya sama mahluk halus, sebab itulah harus dikasih tanda.
Aspek
agama mencakup pemujaan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen
terhadap agama yang dianutnya. Ritual mengacu pada seperangkat ritus dan
pelaksanaan keagamaan. Nilai keagamaan tersebut dapat diwujudkan dalam
peribadatan dan syari’at yaitu untuk menunjukkan seberapa tingkat ketaatan di
dalam mengerjakan kegiatan ritual-ritual sebagaimana dianjurkan oleh agamanya. Dalam mantra pertanian ini hal
itu terlihat bahwa mantra dilakukan masyarakat setelah agamanya dijalani dengan
ditujukan hanya kepada Allah dengan dibuktikan
masyarakat Banyumulek memakai mantra dari Al-Qur’an, Hadist dan
lain-lain.
4.2
Ritus-ritus
Peksanaan Mantra Pertanian
Ritus-ritus pelaksanaan
mantra pertanian pada masyarakat Sasak desa Banyumulek. Cara bercocok tanam
masyarakat Banyumulek masih banyak dipengaruhi oleh ilmu dukun (Belian), dalam melaksanakan pekerjaan
bercocok tanam seperti itu perlu diperhatikan awal dari setiap perhitungan hari
baik dan buruknya untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan alat yang disebut
dengan warige.
Ritus-ritus pelaksanaan
mantra dalam pertanian tersebut terdiri dari beberapa tahapan dalam pertanian
pada masyarakat Banyumulek berikut ini.
1) Nyelametan
sampi (acara selametan sapi)
2) Nenggala
(nggaro atau membajak)
3) Lowong
(menanam benih)
4) Nunu’in
atau nenausin (pemeliharaan tanaman)
5) Mataq
atau mbauin (panen)
6) Tetambunang
(mengumpulkan padi yang sudah di panen).
(1) Nyelametan
Sapi
Upacara nyelametan sapi yang dilakukan oleh
petani terutama terlebih dahulu dengan menentukan hari baik yang biasanya para
petani atau menurut beberapa narasumber
(belian atau dukun) dilakukan pada hari Senin, Rabu, Kamis dan Jum’at.
Dengan menghitung tanggalan dan hari seperti berikut:
a. ayu,
artinya bahwa hari itu bagus. Baik digunakan
untuk hari mulai bertani dan tidak baik apabila menebang pohon pada hari ini
karena kayu akan dimakan rayap karena ditebang pada hari yang manis.
b. ala,
artinya bala’ atau penyakit. Hari ini (ala) tidak baik digunakan waktu bertani
karena tanaman akan terkena penyakit, namun hari ini (ala) baik untuk menebang
pohon karena kayu tidak dimakan hama karena ditebang pada hari pahit atau
penyakit.
c. menga
artinya hari manis, hari ini baik dilaksanakan ketika akan membangun rumah,
dengan alasan bahwa orang-orang akan senang bersilaturahmi kerumah kita.
d. mengkem,
artinya sulit orang akan mau kerumah kita kalau kita membuat rumah pada hari
mengkem, dan kalau kita menanam sesuatu harga tenaga mahal dan sulit didapat.
Perhitungan hari yang tujuh harus dihitung dengan hari yang empat di atas.
Adapun proses upacara
tersebut diikuti oleh sesepuh, tokoh masyarakat dan umum dengan menyembelih beberapa ayam,
ketupat lepas, ketupat tanggek, dan ketupat jamak atau biasa yang digantungkan
pada sapi. Setelah itu para kiyai atau tokoh masyarakat membacakan mantra
ketika sapi mau turun kesawah, mantra yang dibacakan waktu nyelametan sapi oleh
petani yaitu:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Tanggek mas
|
elong surta
|
awak tembaga
|
naena selaka
|
Berkat La Ilaha
illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Setelah mantra itu
dibaca lalu sapinya harus mengelilingi sawah, terus diusapkan tanah bekas
kakinya pada keningnya, penbacaan mantra tersebut dilakukan dengan tujuan sapi
yang membajak diberi keselamatan dan tidak diganggu oleh mahluk halus dan
seperti yang dikatakan oleh Bapak H. Safwan, bahwa pembacaan mantra tersebut juga
dilakukan agar tanah yang dibajak menjadi subur.
(2) Nenggala
(Membajak Sawah)
Sewaktu nenggala, kita mengadakan selamatan lagi
dengan menyembelih ayam, membuat ketupat untuk dikalungkan pada sapi dan
digantungkan nanti pada (bebonto atau
patung yang dibuat mirip manusia dari jerami) atau pelapah kelapa di tengah
sawah, mantra dibaca oleh tokoh masyarakat atau tokoh adat yang bisa juga
dibaca oleh petani sewaktu membajak sawah, adapun mantra membajak sawah dapat
kita lihat pada kutipan berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Kulhuwallahu ahad
|
Allahu shamad
|
lam yalid
|
walam yulad
|
walam yakunlahu kufwan ahad
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Mantra tersebut dibaca
dengan tujuan agar tanah yang dibajak tidak didahului mahluk halus sewaktu
menanam, adapun tanda (saweq) atau
bebonto tersebut dibuat dengan tujuan agar masyarakat mengetahui bahwa sawah
tersebut ada yang memiliki, tanaman selamat dan tidak diganggu. Nenggala atau membajak sawah pada masyarakat
desa Banyumulek menggunakan bajak (cangkul, bajak) bajak biasanya ditarik
kerbau atau sapi dan sekarang memakai mesin bajak. Sementara itu dipersiapkan pula
tempat-tempat persemaian, yaitu bidang-bidang yang kecil tempat menaburkan
bibit padi. Kemudian sawah diolah sekali lagi sambil membaca mantra agar
sawahnya subur dan sapinya selamat sewaktu membajak dengan membiarkan sawahnya
terendam air selama beberapa hari. Bajak yang dipergunakan untuk mengolah
tanah, baerikut kerbau, sapi atau mesin bajak biasanya digunakan secara
bergantian. Tanah yang telah dicangkul atau dibajak, dan merupakan
gumpalan-gumpalan lumpur, kemudian didiamkan lagi selam satu hingga dua minggu
lalu diratakan dengan alat yang disebut garu
atau gau. Alat itu di tarik kerbau,
sapi atau mesin. Apabila pekerjaan itu telah selesai dilakukan, maka tanah siap
untuk ditanami dengan bibit padi yang sementara itu telah tumbuh di persemaian.
(3) Lowong
Lowong
atau penanaman dilakukan oleh tenaga wanita. Pembacaan
mantra sewaktu lowong atau menanam padi dilakukan saat kita mulai mencabut
tunas muda dengan hati-hati lalu diikat dengan ikatan yang masing-masing
beratnya sekitar 2 kg yang kemudian ikatan-ikatan itu ditanam secara merata diseluruh
lahan sawah. Mantra yang dibaca pada waktu menanam yaitu:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Rabbana atina
|
fiddunya hasanah
|
wafil akhirati khasah
|
wakina azabannar
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
(QS.Al-Baqarah:201)
|
Mantra tersebut bisa dilakukan
oleh petani atau pekerja yang menanam padi, umbi-umbian atau biji-bijian yang
dalam hal ini lebih banyak dilakukan oleh para wanita, kemudian menanamnya satu
persatu dengan membenamkan akarnya kedalam lumpur, membentuk deretan yang
teratur. Pembacaan mantra tersebut mempunyai tujuan agar tanamannya mempuyai
hasil yang bagus dan tumbuh subur.
(4) Nunu’in
atau Nenausin
Nunu’in
atau nenausin biasanya dilakukan
masyarakat atau petani dengan melakukan upacara
sambil menaruh telur dalam periuk (tong-tong
suit) sambil membakar kemenyan, serabut tempurung kelapa, daun berora yang
yang dibawa oleh petani setelah dibacakan mantra dengan mengelilingi sawahnya,
adapun mantranya yaitu:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Alam taraillallazina haraju
|
min diyarihim wahum
|
ulufun zazaral mautu
|
faqolalahum Allahu mautu.
|
Mautu. Mautu.
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Mantra tersebut dibaca
oleh peteni dengan tujuan agar buah padinya cepat tua dan tidak diganggu hama
serta terpelihara dari segala penyakit tanaman, hal tersebut dilakukan dengan
cara menggantungkan daun berora atau daun api-api pada batang padi yang baru
berbuah.
(5) Mata’
atau Mbauin
Berapa lama waktu padi
itu berbuah dan dapat dipanen, tergantung dari jenisnnya, maupun dari berbagai
faktor lain. Ada jenis padi yang dapat dipanen setelah berumur 4 bulan, tetapi
ada jenis-jenis lain yang baru dapat dipanen setelah 6 bulan. Sebelum melakukan
panen padi, para petani hampir selalu mengadakan upacara selamatan yang dipimpin
oleh dukun atau tokoh adat. Mantra yang
di baca waktu panen dapat kita lihat pada kutipan berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Keliling masan bain baloqbi
|
lingku nemuek kamu
|
kance sepulu atau seket
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Bacaan mantra tersebut
dilakukan ketika akan memanen yang biasa dilakukan oleh wanita atau pria dengan
menggunakan sebuah pisau kecil yang dinamakan rangkap. Mantra tersebut dibaca dengan tujuan agar padi yang dipanen
mempunyai berkah dan filosofisnya menggunakan rangkap agar padinya tahan lama
dan tidak cepat habis karena cara mendapatkannya sulit atau susah. Mereka yang
dikerahkan untuk turut memotong padi biasanya memperoleh bagian dari padi yang berhasil mereka potong.
(6) Nenambunang.
Ritus selanjutnya
adalah malai-malai padi yang sudah dipotong kemudian dibiarkan di sawah selama
beberapa hari dengan tujuan agar menjadi kering yang oleh masyarakat Banyumulek
disebut nenambunang. Proses tersebut
tidak terlepas dari sebuah ritual seperti berikut yang dijelaskan dengan
prosesinya. Setelah padi kering, kemudian malai-malai itu diikat-ikat dengan
ukuran 20 Kg ukuran untuk ibu padi dan bapak padi, sedangkan yang berukuran 2 Kg
yaitu anak-anaknya dan dipikul ke desa oleh tenaga buruh dan ditimbun di dalam
tempat penyimpanan padi yang disebut Balai
Balaq yang hampir punah keberadaanya saat ini.
4.3 Penyajian Data
Berikut ini disajikan mantra-mantra
pertanian yang telah didapatkan melalui pengumpulan data dari masyarakat atau Belian yang dijadikan sebagai narasumber.
(1) Mantra untuk membajak sawah
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Kulhuwallahu ahad
|
lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang
|
Allahu shamad
|
Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang ber-
|
lam yalid
|
gantung pada-Nya segala sesuatu. Dia
|
walam yulad
|
tidak beranak dan tidak pula diperanak-
|
walam yakunlahu kufwan ahad
|
kan dan tidak ada seorangpun yang
|
Berkat La Ilaha illallah
|
setara dengan Dia.
|
Muhammadarrasulullah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
|
(2) Mantra untuk
menanam padi dan biji-bijian
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Rabbana atina
|
lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami,
|
fiddunya hasanah
|
berilah kami kebaikan di dunia dan ke-
|
wafil akhirati khasah
|
baikan di akhirat, dan peliharalah kami
|
wakina azabannar
|
dari siksa api neraka.
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Muhammadarrasulullah
|
(QS.Al-Baqarah:201)
|
(QS. Al-Baqarah: 201)
|
(3) Mantra yang di gunakan untuk panen
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Keliling masan bain baloqbi
|
lagi Maha Penyayang. Berputar musim
|
lingku nemuek kamu
|
cucu nenekmu, akan aku undang ber-
|
kance sepulu atau seket
|
tamu sebanyak sepuluh atau lima puluh
|
Berkat La Ilaha illallah
|
orang.
|
Muhammadarrasulullah.
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
|
(4) Mantra untuk menanam
ubi jalar
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Muntembuku
|
lagi Maha Penyayang. Setiap buku taman
|
bilang nggaro
|
waktu membajak
|
bilang buku
|
setiap buku
|
taokna berisi sekeraro
|
berisi sebakul
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Muhammadarrasulullah
|
(5) Mantra untuk acara
selamatan sapi
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Tanggek mas
|
lagi Maha Penyayang. Tanduk mas
|
elong surta
|
ekor sutra
|
awak tembaga
|
badan tembaga
|
naena selaka
|
kakinya perak
|
Berkat La Ilaha
illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Muhammadarrasulullah
|
(6)
Mantra untuk
membajak sawah
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Tri trinjang
|
lagi Maha Penyayang. Ikan teri ikan
|
buak jarak sekeraro
|
terinjang, buah jarak sebakul
|
nyedi inak bijang
|
biar pergi inak bijang
|
adekna arak langan
anak nabi
|
agar ada jalan anak Nabi
|
Muhammad belalo
|
Muhammad berjalan
|
Berkat La Ilaha
illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Muhammadarrasulullah
|
(7) Mantra untuk tanaman agar tidak dimakan
hama
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Dendek kaken taletan
|
lagi Maha Penyayang. Jangan makan
|
umat manusia sine
|
tanaman umat manusia ini
|
adekna arak sanguna
|
biar ada bekal
|
beribadah umat manusia,
|
beribadah umat manusia
|
ito aning ulek
|
pergilah pulang
|
gawah lauk masih guar.
|
kehutan yang masih luas
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Muhammadarrasulullah
|
(8) Mantra untuk buka
bumi
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Assalamu’alaikum
|
lagi Maha Penyayang. Keselamatan atas
|
Mas bumi
|
pemilik bumi
|
banda sari
|
segala isinya
|
banyu suci
|
air suci
|
banyu saka
|
air bening
|
badan sampurna
|
badan sempurna
|
adekta selamat daet taletanta.
|
biar selamat dengan tanamannya.
|
Berkat La Ilaha
illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Muhammadarrasulullah
|
(9) Mantra untuk tanaman agar tidak
diganggu hama
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Hatamallahua’ala kulubihim
|
lagi Maha Penyayang. Allah telah meng-
|
wa’ala sam’ihim
|
unci hati dan pendengaran mereka
|
wa’ala absharihim
|
dan penglihatan mereka
|
gisawah.
|
di tutup
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Muhammadarrasulullah
|
(QS.Al-Baqarah:7).
|
(QS.Al-Baqaral:7)
|
(10) Mantra untuk tanaman agar hasilnya baik
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Alam taraillallazina haraju
|
lagi Maha Penyayang. Tidakkah kamu
|
min diyarihim wahum
|
memperhatikan orang yang keluar dari
|
ulufun zazaral mautu
|
kediaman mereka dan mereka ber-
|
faqolalahum Allahu mautu.
|
jumlah seribu orang yang berlindung
|
Mautu. Mautu.
|
dari kematian, berkatalah mereka Allah
|
Berkat La Ilaha illallah
|
akan mematikanmu, mematikanmu,
|
Muhammadarrasulullah.
|
Mematikanmu
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
|
Muhammadarrasulullah
|
|
(11) Mantra untuk mengawinkan
padi
|
|
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
ne kusodok kamu
|
lagi Maha Penyayang. Aku titipkan kamu
|
mas cantelan selae jelo
|
pemilik tanaman mas berpasangan selama
|
Berkat La Ilaha illallah
|
dua puluhlima hari
|
Muhammadarrasulullah.
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
4.4 Analisis Data
4.4.1 Bentuk mantra
pertanian
Mantra mengikuti bentuk puisi,
maka mantra akan dikaji sebagaimana bentuk yang membangun puisi yaitu: (1) tema,
(2) bunyi, (3) baris , (4) bait, (5) diksi.
1) Tema
Tema
adalah suatu yang diciptakan atau digambarkan oleh penyair atau dukun lewat mantra yang dihadirkannya. Pada dasarnya tema merupakan suatu yang
harus dan pasti dalam mantra. Seperti contoh pada kutipan mantra berikut ini:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Kulhuwallahu ahad
|
lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang
|
Allahu shamad
|
Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang ber-
|
lam yalid
|
gantung pada-Nya segala sesuatu. Dia
|
walam yulad
|
tidak beranak dan tidak pula diperanak-
|
walam yakunlahu kufwan ahad
|
kan dan tidak ada seorangpun yang
|
Berkat La Ilaha illallah
|
setara dengan Dia.
|
Muhammadarrasulullah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Tema
mantra di atas adalah berkaitan dengan tauhid yaitu meng-Esakan Allah seperti
yang tertulis dalam terjemahan mantra yang terdapat dalam salah satu ayat Al-Qur’an
diatas adalah bahwa Allah itu Maha Esa (terdapat pada bait pertama sampai akhir
yang diperkuat dengan akhiran huruf (d)
yang berati semua perbuatan harus kita tujukan pada Allah) dan hanya
kepada-Nyalah semua tempat bergantung
yang ke-Esa-Nya dipertegas lagi dengan ayat selanjutnya yang mengatakan dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Berdasarkan penjelasan di atas
jelaslah tema mantra tersebut menjeslakan tenteng nyelametan sapi yang ditujukan kepada Sang
pencipta yaitu Allah yang Esa, yang akhir dari semua mantra dipusatkan pada
kata Allah dan Rasulullah, (Narasumber: H. Safwan).
2) Bunyi
Bunyi
merupakan salah satu unsur yang membangun salah satu puisi akan memiliki
keindahan dan maknanya serta kenikmatan akan didukung oleh unsur bunyi atau
irama yang membentuk puisi tersebut. Berbicara tentang bunyi dalam puisi
terlebih dahulu harus dipahami beberapa istilah yang berkaitan dengan bunyi, meliputi: rima adalah bunyi yang berselang
atau berulang, baik dalam lirik maupun pada akhir lirik puisi. Rima mengandung
beberapa aspek, yaitu:
a) asonansi
(perulangan vokal)
Bunyi
vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh arus udara dari paru-paru
melalui pita suara dan penyempitan suara di atas glosit. Contoh asonansi
perulangan vokal dalam mantra pertanian dapat kita lihat pada kutipan mantra
seperti berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Assalamu’alaikum
|
lagi Maha Penyayang. Keselamatan atas
|
Mas bumi
|
pemilik bumi
|
banda sari
|
segala isinya
|
banyu suci
|
air suci
|
banyu saka
|
air bening
|
badan sampurna
|
badan sempurna
|
adekta selamat daet taletanta.
|
biar selamat dengan tanamannya.
|
Berkat La Ilaha
illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Muhammadarrasulullah
|
Dari
mantra di atas dapat kita lihat perulangan vokal yang terjadi yaitu vokal (i) terdapat pada kata bumi, sari dan suci yang berarti inti dari
mantra tersebut, yang terdapat pada bait satu, dua, dan tiga. Sedangkan vokal (a) yang terdapat dibait keempat, kelima
dan keenam terdapat pada kata saka,
sampurna dan taletanta yang
berarti sema akhiran huruf (a) di atas
mengandung makna bahwa itu adalah tujuan.
Mantra ini dibaca sebagai rasa hormat pada bumi dan air yang diiringi dengan
salam seperti mantra di atas. Mantra di atas disebut juga oleh masyarakat Sasak
di desa Banyumulek dengan sebutan mantra buka
gumi (Narasumber: Bapak Sawiah).
b) aliterasi
(perulangan bunyi konsonan).
Bunyi
konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan menghambat aliran udara
pada salah satu tempat disalurkan suara di atas glottis. Perulangan bunyi
konsonan dalam mantra dapat kita lihat dalam kutipan berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Hatamallahua’ala kulubihim
|
lagi Maha Penyayang. Allah telah meng-
|
wa’ala sam’ihim
|
unci hati dan pendengaran mereka
|
wa’ala absharihim
|
dan penglihatan mereka
|
gisawah.
|
Ditutup
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Muhammadarrasulullah
|
Dalam
mantra di atas konsonan pada kalimatnya bukan sekedar ingin menyeragamkan bunyi
bahasa (konsonan). Akan tetapi memiliki nilai penting seperti pada baris kedua
meyimbolkan dan menggambarkan bahwa
siapa pun yang tidak menjalankan perintah dan larangan Allah maka ia
akan menutup hatinya karena hatinya telah gelap, begitu pun dengan pendengaran
dan penglihatannya pada baris ketiga dan keempat. Dari kutipan mantra di atas
dapat kita lihat contoh perulangan bunyi konsonan (m) pada bait satu, dua,
tiga, dan empat yang berarti akhiran
huruf (m) bermakna mereka, sedangkan bunyi vokal (h) terdapat pada bait lima, enam, dan
tujuh.
c) rima
akhir (paduan bunyi pada setiap akhir)
Paduan
bunyi rima akhir dapat dilihat pada kutipan mantra berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Kulhuwallahu ahad
|
lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang
|
Allahu shamad
|
Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang ber-
|
lam yalid
|
gantung pada-Nya segala sesuatu. Dia
|
walam yulad
|
tidak beranak dan tidak pula diperanak-
|
walam yakunlahu kufwan ahad
|
kan dan tidak ada seorangpun yang
|
Berkat La Ilaha illallah
|
setara dengan Dia.
|
Muhammadarrasulullah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Paduan
bunyi akhir pada mantra pertanian di
desa Banyumulek di atas dapat kita lihat yang setiap kata, frase, atau
kalimatnya yang diakhiri dengan bunyi huruf (d)
pada kata ahad, shamad, yalid, yulad dan pada
kata ahad dibait terakhir mengandung makna penyerahan
diri sepenuhnya atas segala apa yang telah dilakukan.
d) rima
dalam (perulangan bunyi di antara kata-kata dalam satu lirik)
Contoh
kutipannya sebagai berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Alam taraillallazina haraju
|
lagi Maha Penyayang. Tidakkah kamu
|
min diyarihim wahum
|
memperhatikan orang yang keluar dari
|
ulufun zazaral mautu
|
kediaman mereka dan mereka ber-
|
faqolalahum Allahu mautu.
|
jumlah seribu orang yang berlindung
|
Mautu. Mautu.
|
dari kematian, berkatalah mereka Allah
|
Berkat La Ilaha illallah
|
akan mematikanmu, mematikanmu,
|
Muhammadarrasulullah.
|
Mematikanmu
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
|
Muhammadarrasulullah
|
Dari
kutipan tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa perulangan bunyi pada larik ketiga
dan empat yaitu pada akhiran huruf (m)
pada kata (mautu) yang berarti mematikanmu. Mantra ini
dibaca agar tanaman tidak diganggu atau dimakan hama dengan cara menancapkan
pucuk pohon berora dan kembang api-api yang di bakar bersama kemenyan dengan
mengelilingi sawah sebagaimana yang dikatakan narasumber saat diwawancara
(Narasumber: Bapak Sawiah).
e) rima
identik (perulangan kata di antara bait-bait)
Berikut
kutipanya beserta penjelasannya:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Tri trinjang
|
lagi Maha Penyayang. Ikan teri ikan
|
buak jarak sekeraro
|
terinjang, buah jarak sebakul
|
nyedi inak bijang
|
biar pergi inak bijang
|
adekna arak langan
anak nabi
|
agar ada jalan anak Nabi
|
Muhammad belalo
|
Muhammad berjalan
|
Berkat La Ilaha
illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Muhammadarrasulullah
|
Perulangan
kata di antara bait-bait terdapat pada kata (tri-trinjang = yang berarti
ikan tri yang kecil-kecil) yang akhiran huruf (g) tersebut menguatkan mantra dengan menggambarkan sesuatu benda
atau orang yang dijadikan simbol kesederhanaan
dan sebuah penyakit yang harus dijauhi
, dan bisa juga dilihat pada kata (arak =
yang berarti agar ada tempat untuk
berjalan) seperti kutipan mantra pertanian di atas pada bait kelima identik
dengan perulangan bunyi pada kata pada kata (jarak
= yaitu sejenis tanaman). Sedangkan
akhiran huruf (o) mengandung makna harapan agar dimudahkan rizki dan jalan
dalam bertani.
f)
rima rupa (perulangan hanya pada
penulisan suatu bunyi, sedangkan pelafalannya tidak sama).
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Muntembuku
|
lagi Maha Penyayang. Setiap buku taman
|
bilang nggaro
|
waktu membajak
|
bilang buku
|
setiap buku
|
taokna berisi sekeraro
|
berisi sebakul
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Muhammadarrasulullah
|
Perulangan bunyi pada mantra tersebut dapat
kita lihat pada akhiran kata (buku yaitu
huruf u) pada bait kedua dan keempat
bermakna atau merefreskan suatu tumpuan,
sedangkan kata (bilang) yang
mengalami perulangan terdapat diawal pada baris ketiga dan keempat, dan kata (o) pada kata (nggaro dan sekeraro) bait
terakhir bermakna hasil yang akan didapatkan
dari usaha yang sudah dilakukan.
3)
Baris dalam Mantra
Baris atau larik dalam mantra adalah
satuan yang pada umumnya lebih besar dari kata dan telah mendukung suatu makna
tertentu. Baris dalam mantra pada dasarnya adalah merupakan pemadu, penyatu dan
pengembang ide penyair yang diawali lewat kata. Akan tetapi sesuai dengan
keberadaan baris dalam puisi makna penataan baris mantra harus memperhitungkan
masalah rima serta penataan pola persajakan, seperti kutipan berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Keliling masan bain baloqbi
|
lagi Maha Penyayang. Berputar musim
|
lingku nemuek kamu
|
cucu nenekmu, akan aku undang ber-
|
kance sepulu atau seket
|
tamu sebanyak sepuluh atau lima puluh
|
Berkat La Ilaha illallah
|
orang.
|
Muhammadarrasulullah.
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Berkaitan dengan kata-kata yang
dipilih dalam menciptakan mantra pertanian tersebut oleh oarang-orang pada saat
itu lebih condong pada istilah sesuatu, seperti nama asal benda, musim, nama
orang yang dianggap keramat, penyebutan angka, sejarah kejadian dan penyebab
nama asal. Dalam mantra pertanian ini kata-katanya terdiri dari perintaan
(do’a) dan kalimat perintah seperti contoh mantra di atas mengandung tiga
unsur, baris pertama berisi tentang do’a
dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Do’a ini
harus dibaca sewaktu memulai melakukan sesuatu yang baik, karna do,a tersebut
adalah penghulu segala do,a (Narasumber: Bapak Muni’ah) sewaktu diwawancarai.
Sedangkan baris kedua berisi mengandung nama musim yaitu dengan penyebutan kata
(masan) yang dibarengi dengan
penyebutan nama orang-orang terdahulu seperti kakek dan nenek buyut.pada kata (bain balaoqbi). Pada baris ketiga
mengandung unsur jumlah angka seperti pada kata (sepulu atau seket = sepuluh
atau lima puluh), dan pada baris keempat
mengandung unsur permohonan yang kata-katanya ditekankan dan ditujukan
pada Allah dan Rasulnya.
4)
Bait dalam Mantra
Bait
adalah kesatuan larik yang berada dalam suatu kelompok dalam rangka mendukung
satu kesatuan pokok pikiran, terpisah dari kelompok larik (bait) lainnya
(Aminuddin, 2011: 145). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya jumlah baris
tiap-tiap mantra beragam, demikian juga dengan jumlah bait-baitnya. Dalam
mantra dunia pertanian pada masyarakat Sasak di desa Banyumulek, khususnya mantra nyelametan sapi, mantra buka
gumi atau mantra turun tanah
sewaktu akan membajak sawah, mantra
pemeliharaan dari hama dan mahluk
halus serta mantra waktu panen tidak terlepas dari bait. Walaupun dalam
satu dalam satu bait tidak tentu barisnya, ada yang dua baris, tiga baris,
empat baris, lima baris, enam baris atau lebih. Kebanyakan dari mantra
pertanian desa Banyumulek terdiri dari beberapa bait saja, walau ada yang
panjang melebihi dua, tiga, empat dan lima baris seperti contoh pada kutipan
mantra berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Assalamu’alaikum
|
lagi Maha Penyayang. Keselamatan atas
|
Mas bumi
|
pemilik bumi
|
banda sari
|
segala isinya
|
banyu suci
|
air suci
|
banyu saka
|
air bening
|
badan sampurna
|
badan sempurna
|
adekta selamat daet taletanta.
|
biar selamat dengan tanamannya.
|
Berkat La Ilaha
illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Muhammadarrasulullah
|
Seperti yang peneliti paparkan di atas
sebelumnya, bahwa mantra pertanian pada masyarakat Sasak di desa Banyumulek sangat beragam, ada yang pendek, pertengahan
dan panjang. Menurut narasumber yang peneliti wawancara (Narasumber: Bapak
Sawiah) mengatakan bahwa sengaja kata-katanya dibuat seperti itu dengan tujuan
agar mantranya cepat dihafal dan dipahami. Bait dalam mantra itu kebanyakan
tidak beraturan karena manra pada masyarakat Sasak di desa Banyumulek tidak
begitu memperhatikan nilai struktur suatu mantra. Mantra di desa Banyumulek
lebih memfokuskan pada isi atau makna hakiki terciptanya mantra tersebut yakni
sebagai alat atau media khusus untuk berdo’a atau meminta restu Tuhan atas
hajatan niatnya.
5)
Diksi Mantra
Diksi merupakan pilihan kata yang dominan
dan selalu mengikuti mantra tersebut selain dari kata pembuka dan penutup. Kata
yang dominan atau sering kita temukan pada setiap mantra adalah kata (adekna) pada bait mantra keenam dan
tujuh, (adekta) terdapat pada bait mantra
yang kedelapan, dan akhiran kata (na)
terdapat pada bait keempat dan kelima.
Pada mantra di atas mengandung suatu maksud atau makna keikut sertaan hati dengan harapan
apa yang di minta terkabulkan.
4.4.2
Fungsi dan makna mantra pertanian dalam masyarakat
Sasak
Mantra
yang ada di desa Banyumulek memiliki fungsi dan makna, yakni: sebagai penolak
bala’, sebagai alat pendidikan, sebagai pemeliharaan alam dan lingkungan, sebagai
sistem pelaksanaan adat.
1) Penolak
Bala’
Tolak
bala’ merupakan suatu istilah yang dilakukan untuk menangkal sebuah bencana
atau penangkal penyakit. Berkaitan dengan pertanian istilah tolak bala’ diartikan
sebagai permohonan kepada Pencipta agar tanamannya terhindar dari penyakit dan
gagal panen.
Berikut
kutipan dari fungsi mantra tersebut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Dendek kaken taletan
|
lagi Maha Penyayang. Jangan makan
|
umat manusia sine
|
tanaman umat manusia ini
|
adekna arak sanguna
|
biar ada bekal
|
beribadah umat manusia,
|
beribadah umat manusia
|
ito aning ulek
|
pergilah pulang
|
gawah lauk masih guar.
|
kehutan yang masih luas
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Muhammadarrasulullah
|
Dari kutipan mantra di atas dapat kita ketahui fungsinya adalah sebagai penolak bala’ atau penyakit gagal panen
yang digunakan oleh masyarakat ketika memiliki sebuah keinginan yang kira-kira
tidak bisa tercapai dengan usahanya sendiri, adapun keinginan si peminta mantra
dapat kita ketahui lewat mantra yang di gunakan seperti kata pada mantra di bait
satu dan dua (dendek kaken taletan umat
manusia sine adekna arak sanguna ibadah) kata di atas mengandung pesan dan
nilai agar pertaniannya tidak diganggu atau dirusak oleh mahluk, baik manusia,
hewan atau binatang. Sedangkan pada bait ketiga mengandung perintah agar segala
mahluk perusak itu pergi ke hutan yang masih luas untuk mencari makanan. Dari
mantra tersebut dapat dijelaskan bahwa pada saat
seperti inilah terkadang petani menggunakan mantra tersebut agar tanamannya
tidak diganggu hama dan agar hasil panennya bagus (Narasumber: H. Mahruf).
Sedangkan untuk mengetahui
lapis makna dari mantra di atas dapat kita uraikan seperti berikut, jalan
pertama yang harus ditempuh yaitu mengategorikan kata-kata yang termasuk
lambang dan kata-kata yang termasuk katagori simbol. Dalam pembahasan di depan
dapat telah ditetapkan bahwa kata-kata dalam mantra tersebut yang termasuk
lambang adalah kata-kata ”dendek kaken”,
”adekna arak”, dan ”ito aning”. Sedangkan yang bersifat simbol
adalah kata ”taletan”, ”sangu ibadah”, dan ”gawah lauk masih guar”. Untuk mengetahui maknanya maka kita harus
menerjemahkan kata-kata tersebut kedalam bahasa indonesia, kata ”dendek kaken” dalam hal ini mempunyai
tejemahan (dilarang memakan) yang maknanya dapat kita
proyeksikan dengan berbagai kemungkinan dan gambaran makna (1) suatu larangan,
(2) sebagai akibat dari keadaan tersebut maka manusia tidak ada yang dimakan,
manusia akan kelaparan dan mati. Maka dapat diambil hipotesis bahawa kata
tersebut mengandung makna rasa takut
yang selalu ada dalam kehidupan manusia, sedangkan kata ”adekna arak” mempunyai makna yang menekankan kepada keberadaan akan
sesuatu yang dibutuhkan, dan ”ito aning”
mempunyai makna pengusiran atau ketidak inginan petani terhadap suatu balaq atau penyakit. Sedangkan untuk
makna simbol pada mantra pertanian di atas dapat kita lihat pada kata ”taletan” dalam terjemahannya adalah
pohon, kita memaklumi bahawa pohon adalah ciptaan Tuhan yang berusaha mencari
kehidupannya yang dalam hal ini sama dengan manusia, maka kata pohon di atas
dapat diartikan manusia yang selalu mencari kehidupan, sedangkan kata”gawah lauk masih guar” bermakana bahwa manusia butuh akan kelapangan
dan dijauhi dari segala balaq.
2)
Sistem Pendidikan
Mantra sebagai alat pendidikan merupakan suatu proses pengubahan sikap
dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Mantra sebagai alat pendidikan
terlihat dalam kutipan berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Rabbana atina
|
lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami,
|
fiddunya hasanah
|
berilah kami kebaikan di dunia dan ke-
|
wafil akhirati khasah
|
baikan di akhirat, dan peliharalah kami
|
wakina azabannar
|
dari siksa api neraka.
|
Berkat La Ilaha illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah
|
Muhammadarrasulullah
|
Mantra di atas adalah mantra
yang mangandung unsur pendidikan yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan do’a sapu jagat
karena pada kata pada bait pertama kita ajak memohon kepada Allah, pada bait
kedua, ketiga dan empat pada kata (Rabbana
atina, fiddunya hasanah, wafil akhirati khasanah ) mengajarkan kepada kita
agar selalu berdo’a agar selamat di dunia dan akhirat. Sedangkan pada bait
kelima, enam dan tujuh hanya sebagai penutup yaitu agar terhindar dari siksa
api neraka yang ditujukan kepada Allah.
Mantra tersebut dibaca saat menanam padi, ubi dan tanaman biji-bijian
(Narasumber: H. Safwan).
Untuk mengetahui makna dalam mantra di atas
adalah harus memahami terjemahannnya seperti kata yang mengandung lambang
seperti, Rabbana, fiddunya, akhirat. Kata
rabbana berarti Tuhan, Tuhan adalah
tempat bergantungnya hidup dan kehidupan yang merupakan tempat kita berpasrah
dan menyerahkan diri yang dalam mantra tersebut bermakna penyerahan seorang
mahluk kepada Sang pemilik hidup yang kaitannya dengan mantra pertanian adalah
seorang petani dalam melakukan pekerjaannya harus berpasrah bertawakkal setelah
berusaha dengan baik saat bertani, kata fiddunya pada mantra tersebut bermakna
kehidupan karena hanya di planet bumilah manusia bisa hidup dan bertahan yang
dalam mantra pertanian makna tersebut mengandung makna tempat mencari nafkah
dari semua yang telah dianugrahkan kepada petani, sedangkan kata akhirat bermakana tujuan akhir dari
hidup dan tempat menuai hasil dari segala perbuatan dan tingkah laku dari apa
yang telah dilakukan oleh segala mahluk dan khususnya petani. Sedangkan makna
simbol dalam mantra tersebut dapat kita lihat pada kata khasanah kata tersebut bermakna kebaikan, ketenangan, kelapangan
yang selalu diharapkan manusia dalam menjalani hidupnya, dalam pertanian hal
tersebut berkaitan dengan mantra yang dibaca yang maknya dari kata khasanah terdapat makna seorang petani
dalam bertani mengharapkan agar hasil pertaniannya diberi berkah dan kebaikan.
3)
Pemeliharaan Alam dan Lingkungan
Pemeliharaan merupakan suatu
tindakan yang dilakukan oleh petani dalam hal ini yang bertujuan untuk
melestarikan, menjaga, melindungi segala sesuatu yang ada disekitar kita pada
umumnya dan khususnya ladang tempat bertani. Pengawasan tersebut dapat kita
lihat pada kutipan mantra berikut:
Bissmillahirrahmanirrahim
|
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
|
Assalamu’alaikum
|
lagi Maha Penyayang. Keselamatan atas
|
Mas bumi
|
pemilik bumi
|
banda sari
|
segala isinya
|
banyu suci
|
air suci
|
banyu saka
|
air bening
|
badan sampurna
|
badan sempurna
|
adekta selamat daet taletanta.
|
biar selamat dengan tanamannya.
|
Berkat La Ilaha
illallah
|
Berkat La
Ilaha Illallah
|
Muhammadarrasulullah.
|
Muhammadarrasulullah
|
Dari mantra di atas terlihat
jelas bahwa norma dan pengawasan yang berisi aturan itu sangat kuat, hal itu
terlihat pada bait kedua pada kata (Assalamu’alaikum)
yang menggambarkan agar semua orang selalu menghormati alam sekitar tempat kita
hidup seperti menghormati bumi (buka gumi) sewaktu akan membajak sawah dan
menghormati air sebagai sumber dari kehidupan yang tercermin pada mantra pada
bait ketiga (masbumi), bait keempat (bandasari) yang isinya agar kita menjaga
segala isi dari bumi pada bait pertama tersebut. Sedangkan pada bait kelima
mengandung nilai agar kita seluruh jiwa raga kita selamat (badan sampurna) begitu
juga dengan tanaman atau pertanian kita agar hasilnya bagus.
Berkaitan dengan fungsi mantra
di atas, maka makna mantra di atas harus
dapat kita ketahwi dengan menentukan mana kata yang termasuk lambang dan
simbol. Kata yang termasuk lambang pada mantra tersebut adalah banyu mempunyai terjemahan air, air merupakan sumber
kehidupan manusia, tanpa air manusia akan mati dan tidak bisa meneruskan hidup
dan kehidupannya, maka dari hipotesis diatas dapat kita simpulkan bahwa kata banyu bermakna sumber kehidupan yang kaitannya dalam
pertanian bahwa air merupakan kunci atau sumber kehidupan dalam bertani ,
sedangkan kata badan bermakna sesuatu organ
penting manusia yang membuat manusia bisa melakukan apapun dengan anggota badan
yang dimiliki, hal tersebut menggambarkan dalam melakukan atau mengerjakan
pertanian harus dilakukan sesuai prosedur dari tahapan masing-masing. Sedangkan
yang termasuk simbol pada mantra pertanian di atas adalah pada kata bumi yang bermakana tempat hidup manusia karena
manusia hanya di bumilah manusia bisa hidup , bertani, dan bertahan. Dari semua
planet yang ada, planet bumi merupakan inti dari makna kata tersebut,
kata sari bermakna isi dan kandungan dari bumi yang merupakan sumber
hidup manusia, kata sari tersebut berarti inti dari sumber kehidupan
manusia dalam bertani hal tersebut menggambarkan tentang kesuburan bumi untuk
diolah petani yang dalam agama bahwa manusia berperan sebagai khalifah dimuka
bumi, sedangkan kata suci bermakana kebersihan dari segala kotoran yang
dalam mantra pertanian makna kata suci adalah inti dari segala usaha
manusia yang harus dicari dengan cara yang halal yaitu bertani.
4)
Sistem Pelaksanaan Adat
Adat adalah kebiasaan perilaku
yang dijumpai secara turun temurun, kebiasaan yang dilakukan nenek moyang sejak
zaman dahulu kala. Berarti sistem pelakasanaan adat marupakan suatu aturan yang
harus dilaksanakan, yang sifatnya turun temurun dan tetap terjaga dengan
norma-norma yang ada pada masyarakat. Fungsi
dan makna dalam mantra juga bisa kita lihat pada kutipan berikut sewaktu nyembulaq : Bissmillahirrahmanirrahim ”Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang”. Mantra di atas dipakai juga pada waktu turun sapi dengan
menghadap ke arah gunung kuripan, itu untuk menunjukan makna bahwa di sana ada urip yaitu urip mempunyai makna kehidupan yang selalu menjadi arah atau tujuan
dari setiap mahluk hidup.
Mantra di atas mencerminkan dan sekaligus pengalaman dengan adanya
kekuatan di luar diri manusia misalnya membaca
mantra di atas digunakan sewaktu akan memulai menanam atau (nyembulaq = istilah yang digunakan oleh
para kiayi atau masyarakat untuk memulai sesuatu) mantra di atas dibaca sewaktu
akan mulai menanam ubi atau singkong sewaktu mencangkul dengan cara dibaca tidak putus-putus dan
mencangkulnya tidak terlalu dalam agar buahnya besar-besar dan waktu panen bisa
dicabut dengan mudah (Narasumber: H. Mahruf). Membaca mantra diatas merupakan
sudah mentradisi disetiap melakukan sesuatu apalagi yang berkaitan dengan adat
istiadat.
4.4.3
Pandangan masyarakat terhadap mantra
Dalam kehidupan sehari-hari dikalangan masyarakat awam, yang intelektual
juga masih memakai mantra yang diyakini dapat mengatasi semua persoalan dalam
kehidupan. Mantra pertanian adalah ilmu yang dimiliki oleh orang tertentu yang diwariskan
secara turun-temurun kepada orang yang berhak mewarisinya, karena dalam
menggunakan mantra ini harus dengan syarat-syarat yang dimiliki oleh pemilik
mantra itu sendiri (Narasumber: Bapak Muni’ah). Alasannya mengatakan hal
demikian bahwa karena masih banyaknnya orang yang mengikatkan diri pada mantra
di setiap mengalami kesulitan, apakah itu petani, pedagang, pengusaha, dokter,
polisi, dosen dll. Dengan alasan demikian kita mengetahui bahwa mantra masih
diyakini oleh pemakainya dengan berbagai permasalahan yang ada dan oleh sebab
demikian mantra harus dikembangkan dan dilestarikan secara turun-temurun kepada
yang berhak mewarisi, sebab mantra tersebut tidak sembarangan orang bisa
memiliki termasuk keturunannya, kalau tidak berhak maka mantra tersebut tidak
bisa diwarisi. Mewarisi suatu mantra harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
mungkin menyulitkan bagisi pewaris, tetapi kalau ia bisa melaksanakanya maka
mantra tersebut berhak diwarisi. Bagi masyarakat yang setuju dibagi atas dua
kelompok, yaitu: yang setuju melaksanakan dan yang setuju tetapi tidak
melaksanakan. Yang setuju melaksanakan atau masyarakat pemakai, menganggap
bahwa kehadiran mantra itu sendiri berpangkal pada kepercayaan masyarakat
pendukung di dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin kompleks di jaman
sekarang. Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat terhadap mantra
semakin berkembang. Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara
penuh maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya
seperti masih percayanya masyarakat pada mitos, kebutuhan dalam kehidupan
sehari-hari, ada yang membutuhkan karena persaingan, ada yang butuh untuk
kenaikan pangkat, ada yang membutuhkan agar disenangi atasan dan masih
banyak lagi problema hidup yang lain
yang menuntut masyarakat lari kepada mantra.
Sedangkan sebagian
masyarakat yang setuju tetapi tidak melaksanakan secara langsung atau tidak
langsung atau menolak kehadiran mantra dengan berbagai pertimbangan antara lain
bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik, karena kita lebih
yakin kepada dukun atau belian dari pada Allah, terlalu banyak rerekeq, eteh-eteh atau kemauan
yang harus dipenuhi yang persyaratnnya dirasa sangat sulit didapat dan
membutuhkan waktu lama. Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama
dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra,
sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan
penghayat mantra.
Bagi masyarakat
penghayat mantra, kegiatan sehari-hari kerap kali diwarnai dengan pembacaan
mantra demi keberhasilan dalam mencapai maksud atau tujuan yang sesuai dengan
fungsi dari mantra tersebut misalnya, para petani ingin sawahnya subur,
terhindar dari gangguan hama, ingin panen hasilnya melimpah dan para pedagang
ingin dagangannya laris. Mantra diterima oleh masyarakat penghayatnya sebagai
kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya dijalani secara sungguh-sungguh.
Adanya kebutuhan terhadap mantra sebagai warna yang menghiasi kehidupan
sehari-hari yang dapat kita lihat pada setiap mantra diawali dengan bacaan Bismillahirrahmanirrahim dan diakhiri
dengan kalimat La Ilaha illallah Muhammadarrsulullah, hal tersebut menandakan
bahwa semua penyerahan permasalahan dan permintaan ditujukan pada Allah. Kegiatan
yang tidak terlepas kepada keadaan alam dan mata pencaharian, menghasilkan tiga
kelompok besar sehubungan dengan penggunaan mantra, yaitu mantra yang digunakan
untuk perlindungan, kekuatan, dan pengobatan (Rusyana, 1970).
Mantra merupakan sebuah kearifan lokal
yang dimiliki oleh masyarakat Sasak sebagai bagian dari budaya. Mantra dapat
memberikan gambaran luas tentang pola dan macam kehidupan masyarakat
pendukungnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa.
1. Bentuk
mantra dalam dunia pertanian pada masyarakat Sasak di Desa Banyumulek Lombok
Barat mengandung unsur yang terdiri dari: tema, bunyi, baris, bait, diksi.
2.
Fungsi dan makna mantra pertanian pada
masyarakat Sasak yang ada di desa Banyumulek memiliki beberapa fungsi dan makna,
yakni: sebagai penolak bala’, sebagai alat pendidikan, sebagai pemeliharaan
alam, lingkungan, dan sebagai sistem pelaksanaan
adat. Untuk menentukan makna dari mantra tersebut kita harus menentukan mana
kata yang termasuk lambang dan mana kata yang termasuk simbol. Dengan
mengetahui lambang dan simbol tersebut maka kita akan dapat memahami makna yang
terkandung di dalamnya yang tidak lupa kita harus menerjemahkannya terlebih
dahulu untuk memudahkan pemaknaan.
3.
Sedangkan masyarakat berpandangan
tentang mantra sebagai suatu karya yang di wariskan secara turun- temurun
kepada orang yang berhak, karena tidak semua orang bisa melakukannya. Mantra
merupakan suatu adat istidat yang masih dipercayai oleh masyarakat
penghayatnya sebagai kebutuhan penunjang setelah kehidupan agamanya dijalani
secara sungguh-sungguh. Adanya kebutuhan terhadap mantra sebagai warna yang
menghiasi kehidupan sehari-hari. Kegiatan tersebut tidak terlepas dari keadaan
alam dan mata pencaharian.
5.2 Saran-saran
1. Agar
pembaca karya sastra daerah lebih meningkatkan apresiasinya, sehingga
karya sastra daerah yang bernilai tinggi
tersebut tidak mengalami kepunahan.
2.
Kepada Mahasiswa dan pelajar Jurusan
Pendidikan Bahasa, Sasatra Indonesia dan Daerah lebih meningkatkan dan mengembangkan
penelitian yang berhubungan dengan sastra yang bersifat kedaerahan.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber
Buku
Aminuddin. 2011.
Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:
Sinar Baru Algesindo
Arikunto, S.
2006. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik “Edisi Revisi”. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2005. Kamus besar bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Endawarsa, S.
2008. Metodologi Penelitian Folklor, -cet
1- Yogyakarta: Media Presindo.
Hadi, S. 2004. Metodologi Research, -ed. II. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Pradopo, R. J.
1995. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat.
1997. Pengantar Antropologi II. Jakarta: PT. Rineke Cipta.
Nurgiyantoro, B.
2009. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gajah Mada Unity Press.
Nuruddin. 2007. Dasar-dasar Penulisan. Mataram:
Universitas Muhammadiyah Mataram.
Ratna, N. K.
2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyasa, M. 2004.
Teori Sastra. Mataram. Universitas
Muhammadiyah Mataram.
Syah, M. 2000. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Tarigan, H. G.
1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.
Tjahjono,
L. T. 1987.Sastra Indonesia Pengantar
Teori dan Apresiasi. Surabaya: Nusa Indah.
Sumber Skripsi dari Internet
Supriyatno, A.” Makna
Simbolik Mantra dan Prangkat Benda yang digunakan dalam Prosesi Adat Perkawinan
suku Sasak di Pringgabaya”. Diambil tanggal 8 November 2012 dari http://holydueg.files.wodrpress.com.
Suryani, E. NS. “ Eksistensi dan Fungsi Mantra dalam
Kehidupan Masyarakat Sunda”. Diambil tanggal 16 Maret 2012 dari http://www.akademik.unsri.ac.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar