Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 28 Desember 2014

JENIS WACANA

BAB  III
JENIS WACANA

Kompetensi Dasar :

Mendapatkan pengetahuan teoretis mengenai jenis-jenis wacana untuk dapat diaplikasikan dalam menganalisis wacana.

Indikator :

1.      Menjelaskan jenis wacana berdasarkan acuannya.
2.      Menjelaskan jenis wacana berdasarkan bentuk penyajiannya.
3.      Menjelaskan jenis wacana berdasarkan saluran komunikasinya.
4.      Menjelaskan jenis wacana berdasarkan fungsi bahasa.
5.      Menjelaskan jenis wacana berdasarkan peserta komunikasi.
6.      Menjelaskan jenis wacana berdasarkan eksistensinya.
7.      Menjelaskan jenis wacana berdasarkan bahasa yang digunakan.

A. Uraian Materi

1. Keragaman Jenis Wacana
Berbahasa adalah menyampaikan suatu ide atau pikiran kepada orang lain. Manusia menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi tanpa memandangnya  sebagai media yang terperinci dalam bentuk bunyi, frasa, atau pun kalimat. Manusia menggunakan bahasa dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnya kalimat kedua; kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga; kalimat ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama, demikan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat itu; atau rentetan kalimat yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain membentuk satu kesatuan dinamakan wacana (Anton M. Moeliono, et al, 1988: 34 dan 334).
Pemahaman wacana yang menekankan unsur keterkaitan kalimat-kalimat, di samping hubungan proposisi sebagai landasan berpijak, mengisyaratkan bahwa konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi pembicaraan sangat berperan dalam informasi yang ada pada wacana. Dengan demikian wacana dapat dipahami sebagai (1) perkataan, ucapan, tutur yang merupakan satu kesatuan; (2) keseluruhan tutur (Adiwimarta dalam Djajasudarma, 1994:2). Tarigan dalam Sumarlan (2005:7) mengatakan wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Dipihak  lain dikatakan bahwa wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula menggunakan bahasa tulisan (Samsuri, 1987/1988:1). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pembaca. Apapun bentuknya, wacana mengasumsikan adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee).
Pengklasifikasian jenis wacana bergantung pada sudut pandang/paradigma yang digunakan. Jenis adalah ciri yang khusus. Jenis wacana mempunyai arti bahwa wacana itu memiliki ciri-ciri khas yang dapat dibedakan dari bentuk bahasa lain. Menurut dasar pengklasifikasiannya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Misalnya berdasarkan acuannya, dari bentuk penyajiannya/ pemaparannya, berdasarkan saluran komunikasi, dilihat dari fungsi bahasa, diklasifikasikan dari peserta komunikas, berdasarkan eksistensinya, bahasa yang digunakan.
Pemahaman terhadap jenis-jenis wacana akan menyebabkan kemudahan dalam menganalisis sebuah wacana. Menurut dasar pengklasifikasiannya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Misalnya berdasarkan bahasanya, media yang dipakai untuk mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk serta cara dan tujuan pemaparannya (lihat Sumarlan, 2005 : 15-21). Pada bahasan ini yang menjadi pokok pembicaraan kita adalah masalah jenis-jenis wacana berdasarkan acuannya, dari bentuk penyajiannya/pemaparannya, berdasarkan saluran komunikasi, dilihat dari fungsi bahasa,  diklasifikasikan dari peserta komunikas, berdasarkan eksistensinya, dan bahasa yang digunakan.


1.1 Jenis Wacana Berdasarkan Acuannya
Semua wacana pada dasarnya memberikan informasi, baik tentang suatu peristiwa, tentang seseorang, tentang sesuatu ataupun tentang si pengirim/ penerima. Bahkan kata seru atau tiruan bunyi pun dapat memberi informasi. Demikianlah, wacana memberi informasi bagi penerima. Informasi itu dapat benar, dapat pula tidak benar; dapat berupa fakta, dapat pula berupa imajinasi. Hal ini akan dikemukakan lebih lanjut oleh Zaimar (2009) dalam uraian tentang wacana fiksi dan nonfiksi. Klasifikasi jenis wacana ini dibuat berdasarkan acuannya. Apabila acuan wacana berada pada dunia nyata, maka wacana itu tergolong wacana nonfiksi, sedangkan apabila acuan hal-hal yang berada dalam wacana tersebut terutama berada dalam dunia imajinasi, maka wacana tersebut termasuk ke dalam wacana fiksi.

1.    Wacana Nonfiksi
            Wacana ini mempunyai acuan dalam dunia nyata. Jadi acuannya tidak terbatas pada unsur kebahasaan. Misalnya, berita pada surat kabar atau majalah, laporan rapat, rapor (buku nilai) anak sekolah, resep masakan, aturan pakai suatu barang atau obat, artikel tentang olahraga, seni atau keistimewaan suatu daerah, buku atau makalah ilmiah, dan masih banyak lagi. Semua wacana tersebut mempunyai acuan yang riil atau nyata. Bila kita membaca sebuah laporan rapat, maka yang dikemukakan adalah laporan tentang suatu rapat yang telah benar-benar berlangsung. Perlu juga diingat bahwa wacana yang tampak seperti wacana nonfiksi (misalnya berita surat kabar yang berada dalam novel) bukanlah wacana nonfiksi, karena semua yang berada di dalamnya adalah hasil imajinasi.








Contoh wacana nonfiksi:
Text Box: Lipstick tahan lama?..... Sudah biasa!
Lipstick dengan vitamin?.... sudah terjamin!
LIPSTICK LUAR BIASA?.. BARU LIPSTICK CERIA !

MEMPERKENALKAN
FULL MOISTURE LIPCOLOUR

Meski lipstick terhapus, bibir tak haus
Tetaplah bibir merekah, bibir bergairah, berkat CERIA






Wacana di atas merupakan iklan yang menjual lipstik. Iklan ini dimuat di majalah wanita, agar banyak wanita yang tertarik untuk membelinya. Jadi lipstick itu benar-benar ada dan dapat dibeli.

2.    Wacana Fiksi
            Acuan pada wacana fiksi tidak ada dalam dunia nyata. Acuannya hanya wacana tekstual, yaitu unsur bahasa yang ada pada wacana itu sendiri. Wacana fiksi biasanya mengandung cerita. Sering seseorang membaca novel atau menonton film, mengatakan bahwa apa yang dilihatnya adalah suatu kebohongan. Memang, sebenarnya hal itu berbeda. Apabila seseorang berbohong, maka ia menyembunyikan suatu kebenaran, sedangkan karya fiksi justru sering menampilkan kebenaran dalam cerita (kebenaran hakiki), yang tidak nampak pada pandangan pertama. Namun, karya fiksi tidak mempunyai acuan dalam dunia nyata. Tokoh Ningsih yang ada dalam cerita, hanya hidup dalam cerita itu, merupakan hasil imajinasi sang pengarang. Dulu, pada sebelah dalam kulit muka sebuah novel, sering ada tulisan yang berbunyi “semua nama yang ada di dalam cerita ini adalah khayalan semata”. Pada masa itu, banyak pembaca yang belum paham sehingga nama yang ada di dalam karya fiksi itu adalah nama si pengarang, kenalan, atau saudaranya. Kini penerbit tidak merasa perlu lagi untuk mencantumkan kata-kata tersebut karena dianggapnya hampir semua orang telah mengetahui hal itu.
            Seseorang yang berhubungan dengan karya fiksi, baik novel, drama puisi, komik ataupun film, harus paham bahwa ia memasuki suatu dunia lain, yang bukan dunia nyata, melainkan dunia fiksi. Keduanya memang sangat mirip, karena yang satu berasal dari yang lain. Dunia fiksi menimba sumbernya dari dunia nyata, namun apabila sesuatu telah diambil dari dunia nyata dan dimasukkan ke dalam dunia fiksi maka hal itu tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu realita, melainkan suatu “realita fiktif”, suatu imajinasi, suatu hasil kreasi manusia.
            Demikianlah, dikatakan bahwa acuan karya fiksi, hanya ada di dunia fiksi. Jadi, jika karya fiksi itu berupa novel (hasil cetakan), maka acuannya berada di atas kertas cetaknya; sedangkan bila karya fiksi itu berupa film, maka acuannya juga hanya ada di dalam film itu sendiri. Hal ini sering dilupakan apabila yang diceritakan adalah seseorang yang pernah hidup, misalnya novel Untung Surapati atau film Tjut Nya’ Din dianggap benar-benar merupakan wacana sejarah. Tentu saja novel dan film itu berlandaskan fakta sejarah, namun keduanya tetap fiksi. Dunia fiksi memang sangat luas, pembagian menurut genre tidak terhitung banyaknya, mulai dari dongeng dewa-dewi hingga cerita antara fiksi dan realita, seperti biografi. Apabila kita mulai memasuki dunia fiksi, maka hendaknya kita dapat menerima segala yang mungkin ada di dalam karya itu, tapi, tak ada dalam dunia nyata, misalnya manusia terbang, bunga bercakap-cakap, dan yang lainnya. Itulah konvensi bagi seseorang yang akan memasuki dunia fiksi.
            Kini, tibalah kita pada permasalahannya, yaitu batas antara karya fiksi dan nonfiksi. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, batas-batas ini tidak jelas. Misalnya saja, kita membaca berita tentang pembunuhan, perampokan atau penculikan di sebuah surat kabar atau majalah, di bawah rubrik “berita”.
            Cerita yang kurang lebih sama dapat pula kita baca dalam sebuah cerpen. Memang, dalam genre tertentu, kadang-kadang ada ungkapan yang menunjukkan bahwa itu karya fiksi, misalnya “Pada zaman dahulu,” “Alkisah”, “Pada suatu hari”, dan seterusnya. Tetapi tidak selalu ada tanda-tanda itu, bahkan pada masa kini dapat dikatakan jarang muncul. Jadi, tanpa tanda-tanda fiski (tempat penjualan, tipografi, ilustrasi, dan lainnya), sulit untuk menentukan jenis wacana yang kita baca, fiksi atau bukan. Kita hanya dapat bertumpu pada maksud si penulis, penerbit dan hal-hal lain. Sebuah novel akan mempunyai kulit muka yang berbeda dengan buku ilmu pengetahuan. Biaanya, di kulit muka itu tertulis kata “novel”, “drama sekian babak”, “kumpulan cerpen” atau “kumpulan puisi”.
            Di toko buku, tempat karya fiksi dan nonfiksi tidak sama. Demikian pula di perpustakaan. Namun, perbedaan yang paling utama adalah bahwa informasi yang muncul dalam karya fiksi, tak dapat ditelusuri sedangkan bila informasi yang lebih kurang sama muncul di sebuah karya nonfiksi (berita di surat kabar atau buku tentang pengetahuan sosial), maka kebenaran acuannya seharusnya ditelusuri.

1.2 Jenis Wacana Berdasarkan Bentuk Penyajiannya
            Banyak ahli yang mengemukakan pembagian jenis ini, masing-masing dengan sedikit perbedaan. Zaimar, dkk., (2009) mengemukakan jenis wacana deskriptif, wacana eksplikatif, wacana instruktif, wacana argumentatif, wacana naratif, dan wacana informatif berdasarkan bentuk penyajian dan isinya. Djajasudarma (2006) mengemukakan jenis wacana deskripsi, narasi, prosedural, hortatori dan ekspositori berdasarkan pemaparanya/penyajiannya. Terkait dengan pembagian tersebut, Oktavianus (2006) menambahkan wacana humor selain jenis wacana yang dikemukakan oleh Djajasudarma.
Secara umum, dari ketiga pakar di atas, memiliki pandangan yang sama tentang wacana deskriptif/deskripsi dan naratif/narasi. Oleh karena itu, penulis tidak menguraikan lagi wacana-wacana tersebut berdasarkan pandangan masing-masing pakar.  Penjelasan dari masing-masing pembagian tersebut adalah sebagai berikut.

1.      Wacana Deskriptif
            Deskripsi adalah suatu wacana yang mengemukakan representasi atau gambaran tentang sesuatu atau seseorang, yang biasanya ditampilkan secara rinci. Dalam bahasa Indonesia, deskripsi disebut juga pemerian. Wacana deskriptif merupakan hasil pengamatan serta kesan-kesan penulis tentang objek pengamatan tersebut. Apabila deskripsi itu hidup, pembaca dapat membayangkan sesuatu yang digambarkan itu. Tentu saja yang digambarkan itu dapat berupa sesuatu yang nyata (riil), dapat juga merupakan fiksi. Dalam deskripsi banyak ditemukan enumerasi atau gambaran bagian per bagian. Dalam jenis wacana ini, susunan sekuen bersifat fakultatif, artinya sampai batas-batas tertentu, susunan dapat dipertukarkan, karena gambaran bersifat permanen dan simultan.
Dapat dikatakan bahwa cirri deskripsi adalah hubungan spasial (kesatuan tempat). Ini berarti bahwa detil-detil yang digambarkan mempunyai hubungan satu sama lain, dan tidak merupakan gambaran yang tercerai-berai. Gambaran itu bersifat simultan (hadir secara bersamaan), sedangkan dalam wacana naratif peristiwa-peristiwa yang ditampilkan bersifat berurutan. Deskripsi sering dikaitkan dengan bentuk wacana lain. Dalam wacana naratif, sering terdapat deskripsi tempat, orang, benda lain ataupun suasana tertentu. Dengan adanya deskripsi, pembaca lebih mampu membayangkan apa yang diceritakan; imajinasi pembaca menjadi lebih hidup. Demikian pula dalam wacana argumentatif, wacana ekplikatif dan instruktif sering digunakan deskripsi sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu.
Contoh wacana deskriptif:
            Hari telah rembang petang, sebentar lagi akan gelap.  Di kejauhan masih tampak semburat warna merah yang menunjukkan bahwa sang surya menjelang turun ke peraduannya. Anak-anak gembala pulang sambil duduk di punggung kerbau yang baru dimandikan. Para petani pulang dari sawah sambil berjalan beriringan. Makin lama, sinar lembayung makin menghilang di balik horizon. Suasana hening di desa, burung pun telah kembali ke sarangnya. Bulir-bulir padi yang tadi siang kuning keemasan, kini menjadi bayangan hitam, demikian juga gerumbul pohon-pohonan di kejauhan tampak berwarna kegelapan. Di jalan, masih ada satu dua orang yang lewat tergesa-gesa seakan takut kehilangan rumahnya.

            Contoh di atas merupakan wacana deskriptif yang menggambarkan pemandangan di desa di senja hari. Gambaran tersebut statis. Ada gerakan petani berjalan beriring, gembala yang duduk di punggung kerbau, dan orang yang tergesa pulang, tetapi semua gerakan itu termasuk dalam rangkaian pemandangan. Seperti dalam gambar atau foto, juga dapat dilihat gerakan orang yang berlari atau mobil yang bergerak.

2.    Wacana Naratif
Wacana ini biasa disebut “cerita”, dan merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi pada seorang tokoh (tokoh ini bisa manusia, binatang, tanaman atau benda). Peristiwa-peristiwa itu bisa merupakan peristiwa nyata, meskipun tetap fiktif. Wacana naratif ditandai oleh adanya hubungan waktu. Peristiwa-peristiwaitu dapat disusun secara kronologis, bisa juga tidak, yang penting ada hubungan waktu di antara peristiwa-peristiwa tersebut dan semua mempunyai kesatuan tindakan. Jadi, unsur cerita adalah subjek (tokoh yang melakukan tindakan), predikat (tindakan) dan temporalitas (hubungan waktu). Peristiwa-peristiwa tersebut dikemukakan dalam suatu wacana yang utuh. Dalam kenyataannya, cerita selalu merupakan suatu seleksi, tak mungkin semua peristiwa ditampilkan, sekalipun dalam cerita yang berpretensi penulis.
            Berikut ini akan dikemukakan beberapa kriteria suatu wacana naratif:
  1. Adanya rangkaian peristiwa
Agar suatu cerita terbentuk, harus ada rangkaian minimalperistiwa yang berlangsung dalam waktu tertentu. Agar dapat disebut cerita, rangkaian peristiwa itu disusun dalam fungsinya menuju suatu situasi akhir. Dengan demikian, kadang-kadang, linearitas temporal dapat menimbulkan masalah, sebagaimana tampak misalnya pada cerita detektif. Demikian pula cerita-cerita yang tampak pada kriteria ke empat, linearitas temporal sering diabaikan.
  1. Adanya kesatuan tindakan (setidaknya ada seorang tokoh subjek) suatu cerita menghendaki setidaknya seorang tokoh, yang ditempatkan dalam waktu tertentu. Hal ini dapat menyatukan kriteria a dan b, karena kehadiran tokoh ini memungkinkan adanya suatu kesatuan tindakan. Meskipun demikian, Aristoteles dalam bukunya Puitica, mengemukakan bahwa “kesatuan cerita tidak dibentuk oleh – sebagaimana diperkirakan orang – adanya satu tokoh, (...) juga seseorang dapat melakukan sejumlah besar tindakan yang sama sekali tidak merupakan kesatuan tindakan”.  Peringatan yang dikemukakan oleh Aristoteles ini perlu mendapat perhatian, adanya seorang tokoh tidak menjamin kesatuan tindakan. Tentu adanya seorang tokoh diperlukan, tetapi kehadirannya tidak berarti, kecuali dihubungkan dengan unsur-unsur cerita yang lain, seperti rangkaian peristiwa yang berhubungan secara temporal dan predikat (naratif) yang menandai tokoh tersebut.

  1. Adanya suatu proses
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, perlu adanya kesatuan tindakan dalam cerita. Yang dimaksudkan adalah adanya situasi awal, transformasi dan situasi akhir. Ketiganya dikenal juga dengan nama eksposisi, pengembangan dan peleraian.
Jadi, dalam penyusunan cerita, perlu ada perubahan predikat (naratif) dalam suatu proses. Pengertian tentang proses ini memungkinkan kita untuk memastikan unsur-unsur temporal dengan meniadakan gagasan tentang rangkaian peristiwa yang lepas satu sama lain. Jadi semua peristiwa tergabung dalam kesatuan tindakan yang berada dalam suatu proses: sebelum proses terjadi (situasi awal), prsoes tindakan (transformasi), dan setelah proses selesai (situasi akhir).
  1. Adanya suatu hubungan kausal dalam suatu konflik
Dalam suatu cerita yang terpenting ternyata bukanlah hubungan kronologis, melainkan hubungan logis atau hubungan sebab-akibat antarsatuan cerita yang fungsional. Hubungan sebab-akibat inilah yang membentuk kerangka cerita, yang membentuk struktur cerita. Bagi para pengarang pada umumnya, suatu alasan yang dapat ditangkap, menyebabkan adanya suatu tindakan yang pada gilirannya juga menimbulkan tindakan lainnya. Demikian seterusnya hingga cerita selesai. Rangkaian hubungan logis inilah penentu cerita.
Namun, dalam roman modern, sering hubungan sebab-akibat ini ditiadakan, peristiwa-peristiwa hanya merupakan fragmen, tidak lengkap, seakan tempelan imaji yang singkat-singkat, yang ditampilkan oleh sudut pandang tertentu secara tak lengkap, ujaran yang sukar ditangkap, penggambaran perasaan yang tak jelas, semua itu samara, penuh dengan lubang-lubang, kekosongan yang sulit dihubungkan dengan logika. Dalam L’Etranger karya Albert Camus misalnya, semua kata yang menunjukkan hubungan sebab-akibat ditiadakan, kalimat seakan ditempelkan saja satu sama lain sehingga dikatakan bahwa “kalimat dalam L’Etranger adalah sebuah pulau” (Sartre, 1947: Situation I). hal ini tentunya menyembunyikan makna tertentu, misalnya hilangnya kemampuan berkomunikasi atau memang tiadanya logika dalam kehidupan manusia.

3. Wacana Eksplikatif
            Wacana eksplikatif mengandung suatu penjelasan dan bertujuan agar para pembaca memahami sesuatu (suatu fenomena). Dengan demikian, wacana ini tidak digunakan untuk mengubah pendapat orang, melainkan untuk memberikan suatu pengetahuan, memperluas pandangan, atau menerangkan suatu pokok permasalahan. Itulah sebabnya jenis wacana ini sering digunakan untuk menampilkan uraian ilmiah (misalnya makalah) dan bahasa yang digunakannya adalah bahasa objektif, bukan bahasa subjektif. Ciri wacana ini adalah adanya suatu pertanyaan sebagai titik awal (pembuka) wacana. Pertanyaan itu tidak selalu bersifat eksplisit, melainkan dapat juga bersifat implisit. Jawaban atas pertanyaan itu terdapat dalam keseluruhan penjelasan yang dikemukakan dalam wacana. Di dalam buku ini, wacana eksposisi tidak merupakan suatu jenis wacana tersendiri karena menurut pandangan kami, eksposisi dapat dimasukkan ke dalam wacana deskriptif atau wacana eksplikatif. Penjelasan guru, makalah hasil penelitian dan skripsi adalah beberapa contoh jenis wacana eksplikatif.

Contoh wacana eksplikatif:
            Abreviasi(abbreviation) : proses morfologis berupa pemenggalan satu atau beberapa bagian dari kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi ini menyangkut penyingkatan, pemenggalan, akronimi, kontaksi, lambing huruf.

(Dikutip dari Harimurti Kridalaksana: Kamus Linguistik)

4. Wacana Instruktif
            Wacana ini menampilkan petunjuk (misalnya aturan pakai), aturan (misalnya aturan main), peraturan (misalnya peraturan pada suatu perguruan) dan pedoman (misalnya pedoman dalam suatu organisasi). Dalam wacana ini sering digunakan imperatif, tetapi dapat juga instruksi itu dikemukakan secara implisit. Wacana ini dibuat agar si pembaca melakukan suatu tindakan atau sebaliknya, tidak melakukan suatu tindakan tertentu.





Contoh wacana instruktif

Efek Penuaan Dapat Dihambat
Kulit – ketahuilah bahwa 95% penuaan kulit disebabkan oleh matahari. Jadi, lindungilah kulit memakai krim tabir surya dengan daya lindung yang memadai setiap kali berada di udara terbuka.
Tulang dan Tubuh – usahakanlah mengkonsumsi makanan bergizi seimbang setiap hari. Jangan lupa memasukkan kalsium untuk menjaga tulang (sumber kalsium susu dan produk susu, ikan, kacang-kacangan, bayam, brokoli, buah-buahan yang dikeringkan). Lakukanlah latihan paling sedikit 3 kali seminggu, masing-masing 20 menit lamanya, berupa latihan aerobic dan latihan beban.
Rambut – mengkonsumsi makanan yang gizinya seimbang akan mengurangi penipisan rambut. Pastikan makanan Anda mengandung vitamin B12, mineral, seng, dan besi.
Libido – jagalah kebugaran tubuh anda dan pertahankan aktivitas seks yang teratur. Menurut penelitian, keteraturan seks di waktu muda meningkatkan kepuasan kegiatan seks usia matang.
(Femina, 5-11 Agustus 1999, hal. 81)

Disini instruksi diberikan secara eksplisit, baik dalam bentuk imperatif (“ketahuilah”, “lindungilah”, “usahakanlah”, lakukanlah”, “jagalah”, “pertahankan-lah”, pastikanlah”), dalam bentuk afirmatif (“mengkonsumsi”), juga dalam bentuk larangan (“jangan lupa”). Selain itu ada juga yang dikemukakan secara implisit (“keteraturan seks di waktu muda meningkatkan kepuasan kegiatan seks usia matang).

5.  Wacana Argumentatif
            Berbeda dengan wacana eksplikatif yang memberi pengetahuan pembaca-nya, wacana ini bertujuan mempengaruhi, mengubah pendapat, sikap atau tingkah laku bahkan menggoyahkan keyakinan pembaca atau keseluruhan pendengarnya. Mengubah pendapat itu dilakukan dengan memberikan argumen-argumen yang logis sehingga bisa dipercaya kebenarannya. Karena itu, penanda utama dari wacana argumentatif adalah hubungan logis antargagasan. Fungsi argumentatif tidak selalu dikemukakan dengan satu cara. Untuk mempengaruhi pembacanya bisa saja suatu argumen dikemukakan dengan berbagai strategi persuasif. Kadang-kadang, argumen dapat ditampilkan dengan bantuan wacana lain, misalnya wacana deskriptif dapat dibuat sebagai argumen terhadap pemecahan suatu masalah, bahkan juga dalam bentuk naratif (misalnya suatu fabel atau dongeng sebagai argumen moral). efektivitas suatu argumen terletak pada koherensi dan kohesi wacana, penalarannya (induktif/deduktif) dan cara penyusunannya (dalam bentuk kausal/sebab akibat,bentuk konsekutif (urut-urutan/akibat sebab)) atau oposisi. Ada empat hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyusuanan wacana argumentatif, yaitu:
·         Sumber (pengirim) : ini berkaitan dengan kredibilitas si pengirim dan perasaan yang ditimbulkan oleh sumber itu (misalnya perasaan simpati atau antipati, suka atau tak suka). Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa suatu peraturan di sekolah lebih efektif bila dikemukakan oleh kepala sekolah daripada oleh kepala kelas, apalagi bila kepala sekolah itu dicintai oleh murid-muridnya.
·         Pesan : ini berkaitan dengan pesan yang akan disampaikan. Argumen mana yang akan digunakan untuk menopang peraturan sekolah yang akan dikeluarkan itu? Bila argumennya lebih dari satu, mana yang lebih efektif, yang terpenting ditampilkan lebih dahulu, atau justru argumen terpenting dikemukakan paling akhir?
·         Saluran komunikasi: mana yang lebih efektif, apakah pengumuman di tempat pengumuman, ditulis dalam selebaran, dipasang dalam bentuk poster atau disampaikan ke kelas-kelas oleh guru masing-masing?
·         Penerima: si pengirim pesan perlu mempertimbangkan penerima. Bagaimana sikap awal penerima? Apakah mereka akan menentang gagasan yang akan dikemukakan atau tidak? Berapa banyak pengetahuan penerima tentang hal yang akan dikemukakan?
Demikianlah hal-hal yang penting diperhatikan dalam wacana argumentatif. Apabila argumen dikemukakan dalam komunikasi dua arah biasa disebut polemik opini di surat kabar) atau debat (dilakukan dengan saluran lisan).


Contoh wacana argumentatif:

HAMIL BOLEH HAJI
Wanita hamil boleh naik haji. Aturan ini diperuntukkan bagi wanita dengan usia kandungan 26 pekan atau enam bulan. Ketentuan baru itu diberlakukan pada musim haji tahun depan. Sebelumnya, wanita hamil di atas tujuh pecan tak diperkenankan pergi haji. “Calon jamaah harus mempersiapkan kehamilannya sebelum disuntik vaksin meningitis (radang otak)”’ kata H.Tulus, Direktur Penyelenggara Haji Departemen Agama, kepada wartawan GATRA Asrori S. Karni. Vaksin meningitis diberikan untuk mencegah penyakit radang selaput otak yang berjangkit di Arab Saudi.
Tapi keputusan itu tak otomatis melegakan semua orang. Nugroho Kampono, Kepala Bagian Kebidanan dan Kandungan rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, misalnya, tetap keberatan aturan itu diterapkan. “Risiko yang ditanggung wanita hamil terlalu besar,” katanya kepada Taurusita Nugrani dari GATRA.
Ibu hamil sangat sensitive terhadap virus, yang bisa mempengaruhi kesehatan janin, “Secara alami, wanita hamil deprogram untuk rileks kata Nugroho. “contohnya, otot rahim dan pembuluh darah melemah. Maka, banyak wanita hamil yang mengalami varises (pembesaran pembuluh darah). Mereka mudah lelah dan mengantuk. Selain itu, Nugroho juga mengingatkan bahwa suntikan meningitis tak baik buat wanita hamil.

(GATRA, No. 49 Tahun VI, 21 Oktober 2000)

Dalam wacana di atas, tampak ada dua gagasan yang bertolak belakang. Pada paragraf pertama dikemukakan bahwa sekarang wanita dengan usia kandungan 26 pekan boleh naik haji. Sebagaimana pemberian izin lainnya, berita ini diharapkan disambut dengan gembira. Namun paragraf berikutnya (kedua) menunjukkan kekhawatiran seorang dokter kandungan melihat keputusan tersebut. Dan paragraf ketiga menunjukkan alasan-alasan kekhawatiran tersebut. Memang di sini tak banyak kata-kata yang mengemukakan hubungan sebab-akibat. Satu-satunya kata yang menunjukkan hal itu adalah kesimpulannya, yaitu kata “Maka, banyak wanita hamil yang...” Meskipun demikian, dari segi isi dan dari kesimpulannya, tampak bahwa wacana ini merupakan wacana argumentatif.
Si pengirim atau sumber wacana adalah redaksi majalah GATRA. Sebagai majalah terkenal, tentu wacana ini layak dipercaya. terlebih karena penulis mengemukakan sumber yang bisa dipercaya dalam bidang perhajian, yaitu H.Tulus, Direktur Penyelenggara Haji departemen Agama. Opini yang menetang keputusan baru itu juga ditampilkan melalui sumber terpercaya, yaitu seorang dokter ahli kandungan. Penerimanya adalah pembaca majalah GATRA. Pesannya adalah peraturan baru itu memang menyenangkan, namun sebenarnya menimbulkan kekhawatiran sehingga dapat disimpulkan bahwa majalah ini meminta agar para wanita hamil yang ingin berhaji, tetap berhati-hati. Saluran komunikasinya adalah majalah Gatra yang banyak dibaca orang.

6 .  Wacana Informatif
            Sebenarnya semua wacana memberikan informasi disamping tujuan lainnya, misalnya untuk menggambarkan sesuatu (deskriptif), untuk bercerita (naratif), untuk mempengaruhi orang lain (argumentatif), untuk menjelaskan sesuatu (eksplikatif) dan untuk memberi perintah (instruktif). Jenis yang satu ini memang betul-betul terpusat pada memberi informasi saja, informasi yang langsung dibutuhkan. Biasanya wacana ini merupakan wacana yang singkat saja. Misalnya, wacana jam praktek dokter, wacana jam kedatangan dan keberangkatan kereta api, bus atau kapal terbang, dan lain-lain.
Lain halnya dengan Djajasudarma (2006) yang memasukkan wacana naratif, wacana, deskriptif, wacana prosedural, wacana ekspositori, dan wacana hartori ke dalam jenis pemaparan/penyajian wacana. Karena inti dari wacana deskriptif dan naratif sudah diulas di atas, penulis tidak akan membahas lagi hal tersebut. Penulis selanjutnya membahas wacana prosedural, wacana ekspositori, dan wacana hartori.
Wacana prosedural adalah rangkaian tuturan yang menggambarkan sesuatu secara berurutan, prosedural dan kronologis. Dalam menyampaikannya, urutan suatu langkah dan peristiwa tidak dapat dibalik. Menjawab pertanyaan bagaimana suatu peristiwa atau pekerjaan dilakukan atau dialami, atau bagaimana cara mengerjakan/ menghasilkan sesuatu. Dalam kehidupan sehari-hari tipe wacana prosedural adalah sesuatu yang muncul dan hadir setiap saat. Sangat banyak pekerjaan yang harus dilakukan secara prosedural sehingga wacana yang muncul dari jenis pekerjaan itu dapat dikategorikan sebagai wacana prosedural. Dalam kehidupan manusia, ia perlu hiburan sehingga ia harus menghidupkan televisi. Manusia juga perlu makan sehingga ia harus memasak. Manusia juga perlu minum sehingga ia merebus air. Manusia perlu berpergian sehingga berjalan kaki, naik sepeda motor atau naik mobil. Manusia perlu menabung, menjahit baju, berbelanja ke toko dan lain sebagainya. Semua pekerjaaan ini dilakukan secara prosedural. Langkah kerjanya disusun secara kronologis.
            Wacana ekspositori bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana ini dapat berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima pesan. Oleh sebab itu, untuk memahami wacana ekspositori, diperlukan proses berpikir. Wacana ekspositori menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kata tanya bagaimana. Biasanya, wacana ekspositori berisi pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan. Pada umumnya, ceramah, pidato, atau artikel pada majalah dan surat kabar merupakan contoh wacana ekspositori
Wacana hartori adalah rangkaian tuturan atau tulisan yang berisi ajakan atau nasihat. Wacana-wacana model ini dapat kita amati pada konstruksi khotbah, kampanye, dan petuah-petuah. Rangkaian makna dalam wacana ini ditujukan untuk mempengaruhi orang lain atau untuk menghimpun pengikut. Di samping itu, wacana jenis ini juga disampaikan untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar untuk meyakini atau tidak meyakini suatu pandangan.
Merujuk pada pandangan Djajasudarma (2006), Oktavianus menambahkan wacana humor dalam jenis wacana berdasarkan penyajian/pemaparannya. Menurut Oktavianus (2009) Wacana humor, selain untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikan informasi, melalui bahasa sesuatu yang humoris yang umumnya digemari orang seperti teka-teki (riddles), kelakar(kidding), olok-olokan (teasing), lawakan (joking), plesetan (sliping), dan anekdot (anecdote) dapat diciptakan. Wacana humor tidak saja disampaikan secara lisan tetapi juga melalui wacana tulis, karikatur, komik dan lainnya.
            Wacana humor muncul setiap saat sesuai dengan realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pemakai bahasa. Berdasarkan pengamatan, kemunculan berbagai fenomena sosial di tengah-tengah masyarakat kelihatannya cenderung diikuti oleh wacana humor. Berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia semenjak digulirkannya reformasi nampaknya menumbuhsuburkan wacana humor. Ada kecenderungan masyarakat menganggap bahwa wacana humor merupakan wadah yang dianggap tepat untuk menyampaikan berbagai maksud baik kritikan maupun ejekan. Mengemukakan pendapat secara langsung, menyampaikan kritik secara terbuka bahkan cenderung membahayakan.
            Paulson (1990) memaparkan bahwa humor sangat bermanfaat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Manusia secara alamiah adalah mahluk spontan dan senang bermain-main. Rasa humor terkait dengan kemampuan untuk mengerti suatu lelucon yang ada pada diri seseorang atau yang dirasakannya. Ia akan muncul apabila dua dunia berlainan bertabrakan, yaitu dua persepsi atau lebih berbeda lalu diinterferensikan sesuai dengan pengalaman masing-masing. Sebagai gejala psikologis humor dapat diterangkan melalui tingkah laku yang meniktikberatkan pada proses-proses sentral seperti sikap, ide, harapan.

1.3 Jenis Wacana Berdasarkan Saluran Komunikasi
Proses komunikasi adalah sesuatu yang menarik dan unik untuk diamati dan dicermati. Dalam mengomunikasikan sesuatu, penutur berinteraksi dengan mitra tuturnya dengan berbagi cara. Abdul Rani, dkk. (2006), mengemukakan jenis wacana berdasarkan saluran yang digunakan dalam komunikasi dapat digolongkan menjadi wacana lisan dan wacana tertulis. Senada dengan Abdul Rani, Zaimar dkk., (2009) dan Djajasudarma (2006)  juga mengklasifikasikan wacana lisan dan tertulis ke dalam jenis wacana berdasarkan saluran komunikasinya.
Secara prinsip menurut ketiga pakar di atas, wacana tertulis adalah wacana yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam bahasa tulis. Wacana tulis (written discourse) mengandung pokok-pokok pikiran atau ide pokok yang harus dipahami pembaca. Dalam Abdul Chaer (2007) sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep,  gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (wacana tulis). Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagai satuan gramatikal yang tertinggi wacana tulis dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Sebagai satuan bahasa, wacana tulis (written discourse) mempunyai persyaratan gramatikal. Persyaratan gramatikal wacana tulis pada hakikatnya adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, yang membentuk satu kesatuan, sehingga menimbulkan makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu (Badudu, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa wacana tulis merupakan kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa, mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara tertulis. Wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan, dan penerapan sistem ejaan.
Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau lewat media lisan. Untuk dapat memahami wacana lisan, sang penerima atau pesapa harus menyimak atau mendengarkannya. Wacana lisan biasanya merujuk pada komunikasi lisan antara dua pihak yang biasanya melibatkan dua orang atau lebih pembicara, yang disebut dialog atau percakapan. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Yuwono (2005), menegaskan bahwa wacana lisan memiliki ciri: adanya penutur dan mitra tutur, bahasa yang dituturkan, dan alih tutur yang menandai pergantian giliran bicara. Suatu kenyataan yang harus mendapatkan perhatian dalam kajian wacana lisan adalah wacana harus dipahami dengan serta merta. Ini berarti wacana lisan menghindarkan terjadinya pengulangan informasi. Seorang mitra tutur tidak dapat bertanya terus menerus menanyakan apa yang baru saja dikatakan penutur.
Wacana lisan merupakan satuan bahasa tertinggi yang mengandung pokok pikiran atau gagasan yang harus dipahami (didengarkan). Gagasan pokok yang disampaikan secara lisan itu melekat dalam setiap wacana yang disajikan. Dalam Abdul Chaer (2007), sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep,  gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pendengar. Ditambahkan pula bahwa sebagai satuan gramatikal yang tertinggi wacana lisan dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan tertentu. Dalam hal ini pendengar dituntut memahami konsep dan ide-ide yang disampaikan oleh pembicara. Di samping itu pula pendengar harus mampu memahami isinya secara mendalam. Pemahaman secara mendalam terhadap sebuah wacana yang didengar merupakan indikator keberhasilan yang dicapai pendengar.

1.4 Jenis Wacana Berdasarkan Fungsi Bahasa
Klasifikasi wacana yang lain dapat dilakukan dengan melihat fungsi bahasanya. Menurut Roman Jakobson (dalam Zaimar, 2009), setiap pemakaian bahasa menggunakan salah satu dari enam fungsi bahasa. Keenam fungsi tersebut meliputi wacana referensial, wacana fatik, wacana ekspresif, wacana konatif, wacana metalinguistik, wacana puitik.
Fungsi bahasa referensial digunakan apabila pengirim tidak ingin tampil, melainkan ia ingin menonjolkan acuan atau hal yang dibicarakannya. Dalam komunikasi, semua unsur bahasa yang mengacu pada acuan tekstual maupun situasional menunjukkan fungsi referensial. Fungsi referensial menonjolkan informasi yang bersifat objektif, tidak ada unsur personal, komentar ataupun penilaian dari pengirim. Si pengirim meniadakan diri, padahal wacana ini membawakan sejumlah informasi yang dapat berguna bagi penerima yang tidak tertentu namun potensial. Tujuan penulisan wacana ini adalah menyampaikan informasi murni. Jadi peniadaan diri si pengirim memang disengaja untuk menunjang tujuan ini. Objektivitas tidak datang dengan sendirinya, melainkan merupakan suatu hasil usaha, suatu hasil kerja. Memang sulit bagi si pengirim untuk tidak tampil dalam wacananya.  Contoh wacana referensial seperti laporan rapat kerja, laporan perjalanan, karya ilmiah.
Fungsi bahasa ekspresif berpusat pada pengirim pesan. Ia mengemukakan gagasan atau pendapatnya terhadap isi pesan. Dalam komunikasi, semua unsur bahasa yang menunjukkan pribadi si pengirim, mengandung fungsi ekspresif, termasuk kata seru yang mengemukakan perasaan, komentar yang subjektif, intonasi tertentu, dan lain-lain. Dalam wacana ekspresif, unsur-unsur bahasanya menampilkan kehadiran si pengirim karena menunjukkan subjektivitas si pengirim. Ada beberapa macam wacana ekspresif, mulai dari wacana yang sangat pribadi (surat cinta),  sampai pada wacana yang memberikan penilaian pada rubrik-rubrik curahan hati yang terdapat di majalah.
Fungsi konatif digunakan apabila si pengirim ingin mempengaruhi si penerima. Jadi fungsi bahasa ini berpusat pada penerima. Setiap kali si penerima dilibatkan dalam penyampaian pesan, maka fungsi konatiflah yang digunakan. Ada dua macam wacana konatif, yaitu yang langsung melibatkan si penerima dalam proses komunikasi dan wacana yang menunjukkan penyesuaian diri dari pengirim pada penerima. Contoh wacana konatif adalah wacana kampanye politik, iklan yang langsung melibatkan penerima
            Fungsi fatik bahasa ini berpusat pada saluran komunikasi. Semua unsur bahasa yang dalam wacana digunakan untuk menjalin hubungan antara pengirim dan penerima (baik secara fisik maupun psikologis), mempertahankannya atau memutuskannya. Unsur-unsur fatik di dalam wacana menjamin berlangsungnya komunikasi dan menjamin adanya kontak psikologis. Dalam komunikasi tidak langsung, kontak psikologis tidak dapat dicek karena pengirim tidak dapat mengontrol reaksi si penerima. Dalam wacana fatik, kemampuan wacana untuk dapat diterima dengan mudah menyebabkan kemungkinan pemahaman pesan lebih besar dan cepat. Bagi wacana tertulis, tipografi seperti tulisan yang besar, cetak miring atau tebal dan susunan wacana (dalam CV) memegang peranan penting. Sedangkan wacana lisan yang menjadi unsur fatik adalah tekanan suara, kecepatan bicara, dan lantangnya suara. Contoh wacana fatik adalah wacana dalam curriculum vitae, daftar isi majalah.
Fungsi puitik menonjolkan unsur pesan dalam komunikasi. Semua unsur yang dalam wacana memberikan suatu tambahan nilai keindahan pada pesan (seperti permainan struktur, permainan bunyi, tekanan, ritme). Fungsi puitik ini muncul setiap kali bentuk dan struktur pesan memperkuat atau memberi nuansa pada isinya. Fungsi ini bukanlah monopoli sastra melainkan dapat juga digunakan untuk hal lain, seperti motto, iklan, dan lagu.
Fungsi metalinguistik berpusat pada kode. Semua unsur bahasa yang di dalam wacana digunakan untuk memberikan penjelasan atau keterangan tentang kode yang digunakan oleh pengirim, termasuk ke dalam fungsi metalinguistik. Metalinguistik adalah bahasa yang berbicara tentang bahasa itu sendiri. Ini adalah suatu alat ilmiah, yang diperlukan setiap kali hendak menerangkan salah satu aspek bahasa. Meskipun demikian, wacana metalinguistik tidak selalu berupa wacana ilmiah. Di dalam majalah-majalah mode, sering kita temukan penjelasan tentang istilah mode yang gambarnya terpampang di situ. Ada wacana metalinguistik yang berupa definisi, ada pula yang berupa penjelasan/analisis.
Keenam fungsi bahasa ini tidak dapat dikotak-kotakkan. Bisa saja fungsi bahasa yang berbeda terdapat dalam wacana yang sama, bahkan jarang sekali dalam satu wacana hanya ada satu fungsi bahasa saja. Namun, harus diakui bahwa dalam suatu wacana, salah satu fungsi bahasa dominan, lebih penting dari yang lainnya menjadi kerangka dasar wacana itu. Dengan demikian dapat disusun suatu klasifikasi wacana menurut fungsi bahasa. Klasifikasi fungsi bahasa yang dikemukakan Jakobson ini diperdebatkan oleh para ahli bahasa. Ia dkritik karena tidak ada karakteristik linguistik yang menandai masing-masing fungsi. Meskipun demikian, asalkan kita sadar bahwa berbagai fungsi bahasa bisa bertumpang tindih dan saling menjalin dalam satu wacana, tampaknya klasifikasi ini banyak gunanya untuk pembentukan dan analisis ujaran. Klasifikasi ini memberikan cara yang relatif sederhana dan ketat untuk menonjolkan unsur-unsur komunikasi yang hadir di dalam wacana, menentukan situasi komunikasi, dan dengan bantuan pengetahuan tentang fungsi bahasa yang domain, dapat menentukan jenis pesannya. 
            Di samping pengklasifikasian menurut Roman Jakobson (dalam Zaimar, 2009), terdapat pula perbedaan cara pandang pengklasifikasian fungsi bahasa menurut Vestergar dan Schroden (dalam Rani,dkk., 2006). Merujuk pernyataan mereka, jenis wacana berdasarkan fungsi bahasa menyangkut fungsi ekspresif, direktif, informasional, metalingual, interaksional, kontekstual dan puitik. Masing-masing fungsi tersebut akan diterjemahkan sebagai berikut.
            Fungsi ekspresif bahasa ini mengarah pada penyampai pesan. Artinya bahasa didayagunakan untuk menyampaikan ekspresi penyampai pesan (komunikator) serta mengemukakan gagasan atau pendapat komunikator terhadap isi pesan. Dalam komunikasi,  fungsi ekspresif menunjukkan pribadi si pengirim. Fungsi tersebut bersifat individual. Fungsi ekspresif digunakan untuk meminta maaf, memohon, mengungkapkan rasa gembira dan sejenisnya.
            Fungsi direktif berorientasi pada penerima pesan. Dalam hal ini, bahasa dapat digunakan untuk mempengaruhi orang lain. Baik emosinya, perasaannya, maupun tingkah lakunya. Selain itu, bahasa juga dapat digunakan untuk memberi keterangan , mengundang, memerintah, memesan, mengingatkan, mengancam, dan lain-lain termasuk tindak tutur direktif.
            Fungsi informasional bahasa berfokus pada makna. Fungsi bahasa tersebut digunakan untuk menginformasikan sesuatu, seperti melaporkan, mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengonfirmasikan sesuatu.
            Fungsi metalingual bahasa berfokus pada kode. Dalam fungsi tersebut, bahasa digunakan untuk menyatakan sesuatu tentang bahasa.
            Fungsi interaksional bahasa berfokus pada saluran. Fungsi interaksional bahasa digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan, dan mengakhiri suatu kontak komunikasi antara penyampai pesan dan penerima pesan. Fungsi tersebut lebih ditekankan pada komunkasi yang tidak berhadapan langsung/tatap muka, misalnya percakapan lewat telepon.
            Fungsi kontekstual bahasa berfokus pada konteks pemakaian bahasa. Fungsi tersebut berpedoman bahwa suatu ujaran harus dipahami dengan mempertimbangkan kontekstualnya. Dengan alasan bahwa suatu ujaran yang sama akan berbeda maknanya apabila berada dalam kontekstualnya yang berbeda. Salah satu alat bantu untuk menafsirkan perbedaan kontekstualnya adalah dengan mempertimbangkan penanda-penanda kohesi dan acuan (reference) yang digunakan dalam suatu situasi situasi komunikasi.
            Fungsi puitik bahasa berorientasi pada kode dan makna secara simultan. Maksudnya, kode kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat mewadahi makna yang hendak  disampaikan oleh sumber pesan. Unsur-unsur seni, seperti ritme, rima, dan metafora merupakan bentuk dari fungsi puitik bahasa.
Jika dianalis pengklasifikasian jenis wacana berdasarkan fungsi bahasa antara pandangan Roman Jakobson (dalam Zaimar, 2009) dan pengklasifikasian fungsi bahasa menurut Vestergar dan Schroden (dalam Rani,dkk., 1996) terdapat beberapa penggolongan wacana yang sama dan terdapat pula beberapa jenis wacana yang berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh dari sisi mana wacana tersebut dikaji.


1.5 Jenis Wacana Berdasarkan Peserta Komunikasi
 Zaimar dkk., (2009) dalam buku Telaah Wacana, mengklasifikasikan jenis wacana berdasarkan peserta komunikasi menjadi dua bagian, yakni wacana monolog dan wacana berupa dialog. Lebih spesifik lagi, Rani dkk.,(2006)  mengklasifikasikan jenis wacana berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi menjadi tiga bagian, yaitu monolog, dialog, dan polilog. Senada dengan Rani dkk., Djajasudarma (2006) juga menambahkan polilog sebagai jenis wacana berdasarkan peserta yang terlibat dalam komunikasi.
Wacana monolog merupakan komunikasi searah. wacana yang tidak melibatkan bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara dua pihak yang berkepentingan. Dalam wacana monolog, pendengar tidak memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan pembicara. Pada saat itu, pembicara mempunyai kebebasan untuk menggunakan waktunya, tanpa diselingi oleh mitra tuturnya. Jadi, komunikasi berjalan searah, tidak ada yang menjawab ujaran ini.
Zaimar, Rani, dan Djajasudarma memiliki pandangan yang sama terhadap hakikat wacana monolog. Namun, untuk wacana dialog, definisi yang dikemukakan oleh Zaimar, dkk., berbeda dengan definisi dialog yang diungkapkan oleh Rani dan Djajasudarma.
Menurut Zaimar, dkk., (2009) wacana dialog didefinisikan sebagai komunikasi timbal balik. Dalam wacana ini, terdapat dua orang pengirim atau lebih, biasanya disebut percakapan. Secara bergantian, mereka berperan sebagai pengirim dan penerima. Ini berarti, komunikasi berjalan dua arah. Menurut teori, komunikasi semacam ini terjadi dalam satu ruangan dan waktu, misalnya dalam drama, pada umumnya dilakukan dialog. Pernyataan  Djajasudarma (2006) dan Rani, dkk., (2006), wacana dialog dapat berupa percakapan atau pembicaraan dua pihak dan tidak lebih. Wacana dialog dapat berupa pembicaraan telepon, tanya jawab, wawancara dan lain sebagainya.
            Rani dkk., (2006) dan Djajasudarma (2006) memiliki pandangan yang sama mengenai definisi polilog. Wacana polilog melibatkan lebih dari dua orang penutur. Dialog dan polilog dapat terjadi apabila terdapat unsur-unsur pokok pembicara dan penerima, topik dan alih tutur. Seorang pembicara dalam dialog maupun polilog pada suatu saat harus dapat berperan sebagai penerima (pendengar) yang baik. Dialog atau polilog dilakukan untuk membicaran sesuatu. Sesuatu yang dibicakan itu disebut topik. pembicaraan seperti dokter dengan perawat pada waktu operasi (seperti “Ambilkan gunting!”, “Ambilkan kapas!”, dsb) bukan merupakan dialog atau polilog sebab pada saat seperti itu tidak ada topik yang dipercakapkan. Pembicaraan itu mengarah pada komando atau perintah. Selain itu, pergantian peran sebagai pembicara dan pendengar yang juga merupakan ciri pembeda yang sangat penting tidak terlihat dalam ujaran tersebut.

1.6 Jenis Wacana Berdasarkan Eksistensi Wacana
Djajasudarma (2006) membedakan wacana berdasarkan eksistensinya. Dalam hal ini Djajasudarma memandang bahwa wacana merupakan bahasa yang digunakan dalam pembicaraan. Sehingga Djajasudarma menggolongkan eksistensi wacana menjadi wacana verbal dan nonverbal.
Wacana verbal dapat diidentikkan dengan kelengkapan struktur bahasa. Struktur bahasa yang dimaksud adalah bagaimana menggunakan fonem, morfem, frasa, dan kalimat dalam berbahasa, baik menyangkut bahasa tertulis maupun secara lisan. Jadi struktur kebahasaan yang disampaikan secara verbal dan memenuhi kriteria sebagai wacana, memiliki awal dan akhir yang jelas, dapat dianggap sebagai wacana verbal.
Wacana nonverbal adalah wacana yang terdiri dari unsur-unsur nonkebahasaan. Unsur-unsur nonkebahasaan ini sering juga disebut bahasa tubuh (body language). Wacana jenis ini disebut bahasa tubuh karena penutur berkomunikasi dengan mitra tuturnya dengan memainkan anggota tubuh. Wacana nonverbal juga dapat berupa simbol-simbol umum yang telah menjadi kesepakatan masyarakat yang menjadi pendukung wacana tersebut. Simbol-simbol tersebut seperti tanda-tanda rambu lalu lintas atau bunyi-bunyi yang dihasilkan melalui kentongan.
Suatu fenomena yang sangat umum terjadi dalam suatu wacana adalah kombinasi antara wacana verbal dan nonverbal. Bila kita cermati wacana-wacana dalam bentuk khotbah, sastra lisan, pantun, drama, puisi dan lainnya, penyampaiannya adalah dalam bentuk kombinasi antara wacana verbal dan nonverbal. Ketika seorang berbicara, anggota tubuhnya seperti tangan, mata, dan kepala senantiasi bergerak mengikuti nada suara, dan situasi psikologinya. Semakin memuncak emosi seseorang, semakin cepat pula gerakan anggota tubuhnya. 

1.7 Jenis Wacana Berdasarkan Bahasa Yang Digunakan
Sumarlam (Ed), (2003:15) menyebutkan bahwa berdasarkan bahasa yang digunakan, wacana dapat diklasifikasikan menjadi: 1) wacana bahasa nasional (Indonesia); 2) wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dsb); 3) wacana bahasa internasional (bahasa Inggris); dan 4) wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan sebagainya.
Wacana bahasa Indonesia ialah wacana yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarananya. Selanjutnya,  wacana bahasa Jawa adalah wacana yang diungkapkan dengan menggunakan sarana bahasa daerah Jawa. Wacana bahasa Inggris merupakan wacana yang dinyatakan dengan menggunakan bahasa Inggris. Lebih lanjut dinyatakan bahwa apabila dilihat dari  ragam bahasa yang digunakan, maka wacana bahasa Indonesia dapat berupa wacana bahasa Indonesia ragam baku dan ragam takbaku. Selanjutnya, wacana bahasa Jawa dapat juga berupa wacana bahasa Jawa ragam ngoko, karma, dan campuran antara kedua ragam tersebut.

B. Rangkuman
Pada dasarnya keberagaman jenis wacana muncul karena adanya perbedaan sudut pandang/paradigma dalam melihat setiap wacana. Setiap wacana menampilkan ciri pembeda tersendiri. Di samping itu, manusia memiliki berbagai cara untuk mengomunikasikan ide, mengungkapkan perasaan, mempengaruhi lawan tutur, berargumentasi, dan mematahkan serta membelokkan pembicaraan lawan tutur berimplikasi terhadap kebervariasian model berbahasa. Kebervariasian model berbahasa seperti ini melahirkan kompleksitas pemakaian bahasa yang pada gilirannya bermuara pada berbagai jenis klasifikasi wacana.
Menurut Zaimar, dkk., wacana nonfiksi dan fiksi dimasukkan ke dalam jenis wacana berdasarkan acuannya. Dari segi penyajiannya, Djajasudarma membagi wacana menjadi wacana naratif, deskriptif, prosedural, ekspositori, dan hortatori, sedangkan Zaimar, dkk., menggolongkannya menjadi wacana deskriptif, eksplikatif, instuktif, argumentatif, naratif dan informatif. Di samping itu Oktavianus,mengklasifikasikannya menjadi wacana naratif, deskriptif, prosedural, ekspositori, hortatori, dan humor. Didasarkan pada fungsi bahasa, Zaimar, dkk., membagi wacana menjadi wacana referensial, fatik, ekspresif, konatif, metalinguistik, puitik, sedangkan Rani, dkk., menggolongkannya menjadi fungsi ekspresif, direktif, informasional, metalinguistik, interaksional, kontekstual, dan puitik. Selain itu wacana dapat digolongkan berdasarkan saluran komunikasi yakni wacana lisan dan wacana tertulis.
Berdasarkan jenis peserta komunikasi, wacana dapat digolongkan menjadi wacana monolog dan dialog. Mengacu pada Rani, dkk,. dan pandangan Djajasudarma  jenis wacana ini dibedakan menjadi monolog, dialog, dan polilog.  Djajasudarma juga mengemukakan bahwa jenis wacana dapat dillihat dari segi realitas/eksistensinya yang menyangkut wacana verbal dan nonverbal. Berdasarkan bahasa yang digunakan, wacana dapat diklasifikasikan menjadi: 1) wacana bahasa nasional (Indonesia); 2) wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dsb); 3) wacana bahasa internasional (bahasa Inggris); dan 4) wacana bahasa lainnya. Masing-masing pengklasifikasian jenis wacana di atas didasarkan pada paradigma/cara pandang masing-masing individu sehingga kita tidak memiliki wewenang untuk menarik penjenisan wacana yang baku. 

C. Umpan Balik
1.      Jelaskan secara garis besar jenis wacana berdasarkan pembagian wacana berdasarkan acuannya!
2.      Jelaskan secara garis besar jenis wacana berdasarkan bentuk penyajiannya!
3.      Jelaskan secara garis besar jenis wacana berdasarkan saluran komunikasinya!
4.      Jelaskan secara garis besar jenis wacana berdasarkan fungsi bahasa!
5.      Jelaskan secara garis besar jenis wacana berdasarkan peserta komunikasi!
6.      Jelaskan secara garis besar jenis wacana berdasarkan eksistensinya!
7.      Jelaskan secara garis besar jenis wacana berdasarkan bahasa yang digunakan!

D. Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 2007. Linguistk Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Wacana : Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung : PT Refika Aditama
Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya : Usaha Nasional
Jufri. 2004. Analisis Wacana Kritis Terhadap Surat Kabar, Hlm.5
Oktavianus, 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang : Andalas University.
Sumarlan. 2005. Analisis Wacana : Teori dan Praktik. Surakarta : Pustaka Cakra
Rani, Abdul, dkk. 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayu Media Publishing
Rosidi,Imron. 2009. “Analisis Wacana”. http://guru-umarbakri.blogspot.com/ 2009/06/kajian-bahasa-26.html
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Stubbs, M. 1983. Discourse Analysis. Chicago: University of Chicago Press
Tarigan, H. G. 2005.  Pengajaran Wacana. Bandung : Penerbit Angkasa
Wijana, I Dewa Putu. 2010. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Yuma Pustaka
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri, dkk. 2009.  Telaah Wacana. Jakarta: Intercultural Institute


Tidak ada komentar: