BAGIAN II
ANALISIS WACANA SEBAGAI
DISIPLIN ILMU
Kompetensi
Dasar :
Mengetahui dan memahami kedudukan dan perkembangan analisis wacana sebagai disiplin ilmu
Indikator
:
1. Menjelaskan
kedudukan analisis wacana sebagai disiplin ilmu
2. Menjelaskan
perkembangan analisis wacana sebagai disiplin ilmu
A.
Uraian Materi
1. Kedudukan Analisis Wacana sebagai Disiplin
Ilmu
Kehadiran
analisis wacana tidak terlepas dari kontribusi yang telah diberikan oleh
disiplin ilmu lainnya. Schmitt (dalam Yuliawati, 2008:4) mengemukakan bahwa
kajian-kajian analisis wacana mendapat kontribusi besar dari bidang ilmu,
seperti sosiologi yang telah melakukan kajian analisis percakapan dan filsafat
yang telah memberikan kontribusi pada munculnya teori tindak ujar dan
pragmatis.
Kontribusi yang telah diberikan oleh disiplin ilmu lain
telah memperkaya kajian analisis wacana. Bahkan, analisis wacana telah melakukan ekspansi
sehingga mampu digunakan untuk menganalisis dalam bidang-bidang ilmu lain,
seperti bidang hukum, sejarah, komunikasi massa, dan lain-lain. Ini merupakan bukti
penting dan andalnya analisis wacana sebagai disiplin ilmu yang memiliki metode
untuk memecahkan masalah-masalah ilmu humaniora dan sosial.
Stubbs (dalam Rosidi, 2009) menyatakan bahwa analisis
wacana dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas
tingkat kalimat atau klausa. Hal ini sesuai dengan pandangan aliran formalis
yang memahami wacana sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari unsur-unsur
yang secara hierarkis lebih kecil tatarannya (klausa dan kalimat). Analisis wacana
juga berusaha untuk mencapai makna yang sangat dekat dengan makna yang
dimaksudkan oleh pembicara dalam wacana
lisan atau oleh penulis dalam wacana tulis (pandangan fungsional).
Dengan demikian, analisis wacana banyak menggunakan pola sosiolinguistik, suatu
cabang ilmu yang menelaah bahasa di dalam masyarakat, piranti-piranti, serta
temuan-temuannya yang paling dekat (Kartomihardjo, dalam Rosidi, 2009).
Analisis wacana menginterpretasikan makna sebuah ujaran
dengan memperhatikan konteks, sebab konteks menentukan makna ujaran. Konteks
meliputi; konteks linguistic dan konteks entografi. Konteks linguistic berupa
rangkaian kata-kata yang mendahului atau
yang mengikutinya, sedangkan konteks etnografi berbentuk serangkaian ciri
faktor etnografi yang melingkupinya,misalnya faktor budaya masyarakat pemakai
bahasa. Manfaat melakukan kegiatan analisis wacana adalah memahami hakikat
bahasa, memahami proses belajar bahasa, dan perilaku berbahasa.
Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan
analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau
menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis
maupun lisan. Pengertian ini sesuai dengan pandangan fungsional yang memandang
wacana sebagai bahasa dalam penggunaan. Analisis wacana (discourse analysis) dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang
sudah lama maupun perkembangannya masih dianggap baru (Rosidi, 2009). Dalam
kajian kesusastraan dan pidato-pidato, asal-usul analisis wacana dapat
ditelusuri hingga 2000 tahun yang lalu. Hal ini bisa dilihat dalam retorika.
Retorika klasik (classical rhetoric)
merupakan salah satu disiplin ilmu yang menonjol pada saat itu. Retorika klasik
adalah seni berbicara yang baik, termasuk merencanakan, menyusun, dan
menyajikan pidato umum dalam bidang politik maupun hukum (Dikj, dalam Rosidi,
2009). Di Eropa penelitian wacana dikenal sebagai penelitian tekslinguistics atau tektgrammar.
2. Perkembangan Analisis Wacana
Asal-usul mengenai analisis wacana modern dapat ditelusuri
pada dasawarsa 1960-an. Analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis
film sampai analisis foto-foto media cetak, pada waktu itu sudah mulai
diterbitkan di Perancis. Bersama dengan itu, Dell Haymes, di Amerika Serikat
juga menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh, yaitu Language in Culture and Society.
Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan dunia itu didasarkan pada
prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara linguistic dan strukturalis (structural linguistic) dan antropologi,
yang menekankan pada analisis pemakaian bahasa, bentuk wacana, dan bentuk
komunikasi. Pada dasawarsa 1960-an jug banyak terbit karya lain yang mengawali
munculnya analisis wacana.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dalam pengamatan
gejala perkembangan analisis wacana, antara lain:
1)
pada awalnya, analisis wacana
merupakan kajian kebahasaan structural dan deskriptif dalam batas-batas
linguistik dan antropologi;
2)
kajian tentang analisis wacana
lebih mengarah ke analisis ragam wacana popular, seperti cerita rakyat, mitos,
dongeng, dan bentuk-bentuk interaksi ritual;
3)
analisis struktur kalimat atau
wacana secara fungsional itu dipisahkan dari paradigm gramatika tranformasi
generatif yang juga berpengaruh sebagai metode analisis bahasa pada waktu itu
(Dijk, dalam Rosidi, 2009).
Berbeda dengan dasawarsa 1960-an yang merupakan periode
lahirnya berbagai kajian pada teks dan peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an
justru memantapkan perkembangan analisis wacana yang sistematis sebagai bidang
kajian tersendiri denga dasar beberapa
disiplin ilmu.
Perkembangan analisis wacana yang sistematis terjadi pada
tiga tahap. Tiga tahap itu adalah:
1)
perkembangan teoretis dan
metodologis;
Dalam analisis wacana, teori dan
metodologi juga dipengaruhi oleh perubahan paradigm dalam kajian bahasa,
misalnya sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan
karya-karya Joshua Fisman. Selain itu, pada tahun 1972, Lavob menerbitkan hasil
penelitiannya tentang pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit hitam,
yang menurut analisis bentuk percakapan antarremaja dan juga analisis
pengalaman pribadi seseorang;
2)
adanya penemuan lingusitik karya
filsuf Austin, Grise, Searle mengenai tindak bahasa (speech acts) pada
dasawarsa 1970-an. Pendekatan itu memandang ujaran verbal tidak saja sebagai
kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat
digunakan dalam konteks tertentu, juga dapat mengemban fungsi, yaitu fungsi
ilokusi yang harus dijelaskan menurut maksud, kepercayaan, atau evaluasi
penutur, atau menurut hubungan penutur dan pendengar. Dengan cara itu, yang
dapat dianalisis bukan saja hakikat konteks, tetapi juga hubungan antara ujaran
sebagai objek lingusitik abstrak dan ujaran yang dipandang sebagai bentuk
interaksi sosial. Hal ini berbeda dengan sosiolinguistik yang menekankan peran
variasi bahasa dan konteks sosial;
3)
munculnya kajian tentang
pronominal dan pemarkah kohesif lain, koherensi, preposisi, topik, dan
komentar, serta sruktur secara umum, ciri-ciri teks yang dipahami sebagai
rangkaian kalimat mulai dikaji dalam lingusitik dengan pandangan baru dan
terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan kinerjanya dengan mengkaji struktur
pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks dan wacana. dalam studi
wacana, kita tidak hanya menelaah bagain-bagian bahasa sebagai unsur kalimat,
tetapi juga harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan
yang utuh.
Kehadiran pendekatan baru dapat dilihat pada jenis-jenis
wacana monolog (teks, dongeng, mitos, dan lain-lain). Percakapan dan bentuk-bentuk
dialog dalam situasi sosial meupakan wujud pemakain bahasa secara spontan dan
alamiah. Dengan demikian, di dalam percakapan, orang tidak hanya mengetahui
kaidah-kaidah gramatika secara langsung, tetapi juga kaidah-kaidah alih giliran
(turn taking). Pendekatan ini
merupakan pendekatan pertama yang mengkaji stuktur kalimat dan gramatika
verbal. Oleh karena itu, pendekatan itu dapat menambah dimensi baru dalam
pengkajian stuktur wacana monolog dan pengkajian pemakaian bahasa sebagai
interaksi sosial, sebagimana yang telah dilakukan pragmatic dan teori tindak
bahasa.
Selanjutnya, analisis itu berkembang pula ke analisis
percakapan di kelas dan latar resmi yang lain. Ruang lingkup analisis wacana
semakin berkembang dengan adanya penelitian etnografi tentang peristiwa
komunikasi yang disebut etnografi komunikasi (ethnography of communication).
Selain itu, analisis wacana juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam
kebudayaan yang berbeda, seperti salam, cerita, spontan, pertemuan formal, dan
bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain. Jadi, analisis wacana
tidak saja menangani masalah analisis bentuk sapaan, mitos, dan interaksi
ritual, tetapi juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang
berbeda.
Hubungan antara teori wacana dan teori komunikasi perlu
kita pahami untuk memahami perkembangan analisis wacana sebagai disiplin ilmu.
Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi berasal
dari James P. Gee. Gee (dalam Hamad, tt) membedakan discourse ke dalam dua
jenis: Pertama, “discourse” (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan
pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas
atas dasar-dasar lingusitik. Kedua, “Discourse” (D besar) yang merangkaikan
unsur linguistic pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur
non-linguistik (non-language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan
identitas. Bentuk nonlanguage “stuff” ini dapat berupa kepentingan ideology,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language “stuff” itu juga yang
membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian dari
satu komunikator ke komunikator lainnya dalam mengenali, mengakui diri sendiri
dan orang lain.
Hamad (tt:4) menyatakan, “Keberadaan variasi bentuk wacana
dapat ditemukan dalam media cetak (seperti novel),media audio (seperti pidato),
media visual (seperti lukisan), media audiovisual (seperti film), di alam
(bangunan), atau discourse/Discourse
yang dimediasikan (seperti drama yang difilmkan)”. Jadi, tidak selamanya discourse/Discourse itu berada dalam
bentuk media massa, apalagi hanya media cetak.
Analisis wacana mulai masuk dalam kajian komunikasi di
Indonesia sejak decade 90-an. Kehadiran buku-buku tentang wacana pada tahun ini
cukup banyak, seperti yang ditulis oleh Fairclough (1995a dan 1995b), Mill
(1997), Gee (1999, 2005) dan Tischer dkk (2000), serta penerbitan buku di dalam
negeri seperti Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Hamad (2004), memperkuat
metode dan pelaksaan riset dengan memakai analisis wacana, baik sebagai
analisis naskah maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).
Namun demikian, Hamad (tt:5) menyatakan bahwa cikal-bakal pemikiran yang mengantar
tibanya analisis wacana (discourse analysis) sesungguhnya dimulai oleh
Krippendorff (1980). Krippendorf (dalam Hamad, tt:5) menyatakan bahwa analisis
isi kuantitatif harus diperkuat dengan kajian tentang indeks dan symptom, serta
representasi linguistic. Selanjutnya, Berger (dalam Hamad, tt:5) menyatakan
bahwa ada teknik-teknik analisis media (media
analysis techniques) yang sama
sekali berbeda dengan analisis isi dalam tradisi kuantitatif, yaitu semiological analysis, marxist analysis,
psychoanalityc critism, dan sociological.
Analisis wacana dapat dibedakan berdasarkan penggunaan
metode, bentuk analisis, level analisis, dan bentuk wacana (Hamad, tt:5).
Berdasarkan penggunaan metode, analisis wacana dibedakan menjadi dua, yaitu (a)
analisis wacana sintagmatis, yang menganalisis wacana dengan metode kebahasaan
(syntaxis approach). Dalam hal ini,
peneliti mengeksplorasi kalimat demi kalimat untuk menarik kesimpulan; dan (b)
analisis wacana paradigmatic, yang
menganalisis wacana dengan memperhatikan tanda-tanda (sign) tertentu dalam sebuah wacana untuk
menemukan makna keseluruhan. Selanjutkan, berdasarkan bentuk analisis, analisis
wacana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) analisis wacana linguistik, yang
membaca suatu naskah dengan memakai salah satu metode analisis wacana
(sintaksis ataupun paragdimatis); dan (b) analisis wacana sosial, yang
menganalisis wacana dengan memakai satu/lebih metode analisis wacana (sintaksis
ataupun paragdimatis), menggunakan perspektif teori tertentu, dan menerapkan
paragdigma penelitian tertentu (positivis,
post positivis, kritikal, kontruktivis, dan partisipatoris).
Berdasarkan level analisis, analisis wacana dibedakan
menjadi dua, yaitu (a) analisis pada level naskah, baik dalam bentuk teks, talks, act, dan artifact; baik
secara sintagmatis ataupun secara paragdimatis; dan (b) analisis multilevel
yang dikenal dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) yang
menganalisis wacana pada level naskah beserta konteks dan historisnya.
Berdasarkan bentuk (wujud) wacana, analisis wacana dapat dilakukan terhadap
wacana dalam bentuk tulisan, ucapan, tindakan, peninggalan (jejak); baik yang
dimuat dalam media maupun di alam sebenarnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa
analisis wacana mampu menerangkan kandungan isi suatu wacana dengan
metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga analisis wacana
dikenal sebagai suatu disiplin ilmu.
B. Rangkuman
Kehadiran analisis wacana sebagai
disiplin ilmu tidak terlepas dari kontribusi disiplin ilmu lainnya. Analisis
wacana sebagai suatu metode sangat penting dan andal digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah ilmu humaniora dan sosial. Analisis wacana berupa menerangkan
kandungan isi suatu naskah beserta konteksnya tentang sebuah isu yang dimuat
dalam naskah tersebut berdasarkan metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
Namun demikian, ternyata pengajaran
bahasa Indonesia di sekolah-sekolah masih belum banyak menyentuh tataran bahasa
yang tertinggi ini (analisis wacana). Akibatnya, murid-murid hanya dapat
mengidentifikasi kalimat yang benar dan yang salah. Mereka kurang mampu
menggunakan kalimat yang benar dan menghindari kalimat yang salah dalam situasi
yang nyata (sebenarnya) dalam kehidupan sehari-hari.
C. Umpan Balik
1. Jelaskan
kedudukan analisis wacana sebagai suatu disiplin ilmu secara garis besar!
2. Jelaskan
perkembangan analisis wacana sebagai suatu disiplin ilmu secara garis besar!
D. Daftar Pustaka
Hamad, Ibnu. tt. Perkembangan
Analisis Wacana dalam Ilmu Komunikasi: Sebuah Telaah Ringkas. http://google.com. Diakses 11 November 2009.
Rosidi, Imron. 2009. Analisis
Wacana. http://guru-umarbakri.blogspot. com/2009/ 06/ kajian-bahasa-26.html.
Diakses 11 November 2009.
Sofa, Pak De.2009. Kajian
Wacana Bahasa Indonesia. http://ht87.multiply. com/calender/item/1009. Diakses 11
November 2009.
Yuliawati, Susi. 2008. Konsep Percakapan dalam Analisis Wacana. Bandung: Universitas
Padjadjaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar