Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 28 Desember 2014

ANALISIS WACANA SEBAGAI DISIPLIN ILMU

BAGIAN II
ANALISIS WACANA SEBAGAI DISIPLIN ILMU


Kompetensi Dasar :
Mengetahui dan memahami kedudukan dan perkembangan analisis wacana sebagai disiplin ilmu

Indikator :
1. Menjelaskan kedudukan analisis wacana sebagai disiplin ilmu
2. Menjelaskan perkembangan analisis wacana sebagai disiplin ilmu

A. Uraian Materi

1. Kedudukan Analisis Wacana sebagai Disiplin Ilmu
            Kehadiran analisis wacana tidak terlepas dari kontribusi yang telah diberikan oleh disiplin ilmu lainnya. Schmitt (dalam Yuliawati, 2008:4) mengemukakan bahwa kajian-kajian analisis wacana mendapat kontribusi besar dari bidang ilmu, seperti sosiologi yang telah melakukan kajian analisis percakapan dan filsafat yang telah memberikan kontribusi pada munculnya teori tindak ujar dan pragmatis.
Kontribusi yang telah diberikan oleh disiplin ilmu lain telah memperkaya kajian analisis wacana. Bahkan, analisis wacana telah melakukan ekspansi sehingga mampu digunakan untuk menganalisis dalam bidang-bidang ilmu lain, seperti bidang hukum, sejarah, komunikasi massa, dan lain-lain. Ini merupakan bukti penting dan andalnya analisis wacana sebagai disiplin ilmu yang memiliki metode untuk memecahkan masalah-masalah ilmu humaniora dan sosial.
Stubbs (dalam Rosidi, 2009) menyatakan bahwa analisis wacana dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa. Hal ini sesuai dengan pandangan aliran formalis yang memahami wacana sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari unsur-unsur yang secara hierarkis lebih kecil tatarannya (klausa dan kalimat). Analisis wacana juga berusaha untuk mencapai makna yang sangat dekat dengan makna yang dimaksudkan oleh pembicara dalam wacana  lisan atau oleh penulis dalam wacana tulis (pandangan fungsional). Dengan demikian, analisis wacana banyak menggunakan pola sosiolinguistik, suatu cabang ilmu yang menelaah bahasa di dalam masyarakat, piranti-piranti, serta temuan-temuannya yang paling dekat (Kartomihardjo, dalam Rosidi, 2009).
Analisis wacana menginterpretasikan makna sebuah ujaran dengan memperhatikan konteks, sebab konteks menentukan makna ujaran. Konteks meliputi; konteks linguistic dan konteks entografi. Konteks linguistic berupa rangkaian  kata-kata yang mendahului atau yang mengikutinya, sedangkan konteks etnografi berbentuk serangkaian ciri faktor etnografi yang melingkupinya,misalnya faktor budaya masyarakat pemakai bahasa. Manfaat melakukan kegiatan analisis wacana adalah memahami hakikat bahasa, memahami proses belajar bahasa, dan perilaku berbahasa.
Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Pengertian ini sesuai dengan pandangan fungsional yang memandang wacana sebagai bahasa dalam penggunaan. Analisis wacana (discourse analysis) dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang sudah lama maupun perkembangannya masih dianggap baru (Rosidi, 2009). Dalam kajian kesusastraan dan pidato-pidato, asal-usul analisis wacana dapat ditelusuri hingga 2000 tahun yang lalu. Hal ini bisa dilihat dalam retorika. Retorika klasik (classical rhetoric) merupakan salah satu disiplin ilmu yang menonjol pada saat itu. Retorika klasik adalah seni berbicara yang baik, termasuk merencanakan, menyusun, dan menyajikan pidato umum dalam bidang politik maupun hukum (Dikj, dalam Rosidi, 2009). Di Eropa penelitian wacana dikenal sebagai penelitian tekslinguistics atau tektgrammar.   

2. Perkembangan Analisis Wacana
Asal-usul mengenai analisis wacana modern dapat ditelusuri pada dasawarsa 1960-an. Analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis film sampai analisis foto-foto media cetak, pada waktu itu sudah mulai diterbitkan di Perancis. Bersama dengan itu, Dell Haymes, di Amerika Serikat juga menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh, yaitu Language in Culture and Society. Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan dunia itu didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara linguistic dan strukturalis (structural linguistic) dan antropologi, yang menekankan pada analisis pemakaian bahasa, bentuk wacana, dan bentuk komunikasi. Pada dasawarsa 1960-an jug banyak terbit karya lain yang mengawali munculnya analisis wacana.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dalam pengamatan gejala perkembangan analisis wacana, antara lain:
1)      pada awalnya, analisis wacana merupakan kajian kebahasaan structural dan deskriptif dalam batas-batas linguistik dan antropologi;
2)      kajian tentang analisis wacana lebih mengarah ke analisis ragam wacana popular, seperti cerita rakyat, mitos, dongeng, dan bentuk-bentuk interaksi ritual;
3)      analisis struktur kalimat atau wacana secara fungsional itu dipisahkan dari paradigm gramatika tranformasi generatif yang juga berpengaruh sebagai metode analisis bahasa pada waktu itu (Dijk, dalam Rosidi, 2009).
Berbeda dengan dasawarsa 1960-an yang merupakan periode lahirnya berbagai kajian pada teks dan peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an justru memantapkan perkembangan analisis wacana yang sistematis sebagai bidang kajian tersendiri denga  dasar beberapa disiplin ilmu.
Perkembangan analisis wacana yang sistematis terjadi pada tiga tahap. Tiga tahap itu adalah:
1)      perkembangan teoretis dan metodologis;
Dalam analisis wacana, teori dan metodologi juga dipengaruhi oleh perubahan paradigm dalam kajian bahasa, misalnya sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan karya-karya Joshua Fisman. Selain itu, pada tahun 1972, Lavob menerbitkan hasil penelitiannya tentang pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit hitam, yang menurut analisis bentuk percakapan antarremaja dan juga analisis pengalaman pribadi seseorang;
2)      adanya penemuan lingusitik karya filsuf Austin, Grise, Searle mengenai tindak bahasa (speech acts) pada dasawarsa 1970-an. Pendekatan itu memandang ujaran verbal tidak saja sebagai kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam konteks tertentu, juga dapat mengemban fungsi, yaitu fungsi ilokusi yang harus dijelaskan menurut maksud, kepercayaan, atau evaluasi penutur, atau menurut hubungan penutur dan pendengar. Dengan cara itu, yang dapat dianalisis bukan saja hakikat konteks, tetapi juga hubungan antara ujaran sebagai objek lingusitik abstrak dan ujaran yang dipandang sebagai bentuk interaksi sosial. Hal ini berbeda dengan sosiolinguistik yang menekankan peran variasi bahasa dan konteks sosial;
3)      munculnya kajian tentang pronominal dan pemarkah kohesif lain, koherensi, preposisi, topik, dan komentar, serta sruktur secara umum, ciri-ciri teks yang dipahami sebagai rangkaian kalimat mulai dikaji dalam lingusitik dengan pandangan baru dan terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan kinerjanya dengan mengkaji struktur pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks dan wacana. dalam studi wacana, kita tidak hanya menelaah bagain-bagian bahasa sebagai unsur kalimat, tetapi juga harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan yang utuh.
Kehadiran pendekatan baru dapat dilihat pada jenis-jenis wacana monolog (teks, dongeng, mitos, dan lain-lain). Percakapan dan bentuk-bentuk dialog dalam situasi sosial meupakan wujud pemakain bahasa secara spontan dan alamiah. Dengan demikian, di dalam percakapan, orang tidak hanya mengetahui kaidah-kaidah gramatika secara langsung, tetapi juga kaidah-kaidah alih giliran (turn taking). Pendekatan ini merupakan pendekatan pertama yang mengkaji stuktur kalimat dan gramatika verbal. Oleh karena itu, pendekatan itu dapat menambah dimensi baru dalam pengkajian stuktur wacana monolog dan pengkajian pemakaian bahasa sebagai interaksi sosial, sebagimana yang telah dilakukan pragmatic dan teori tindak bahasa.
Selanjutnya, analisis itu berkembang pula ke analisis percakapan di kelas dan latar resmi yang lain. Ruang lingkup analisis wacana semakin berkembang dengan adanya penelitian etnografi tentang peristiwa komunikasi yang disebut etnografi komunikasi (ethnography of communication). Selain itu, analisis wacana juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda, seperti salam, cerita, spontan, pertemuan formal, dan bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain. Jadi, analisis wacana tidak saja menangani masalah analisis bentuk sapaan, mitos, dan interaksi ritual, tetapi juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda.
Hubungan antara teori wacana dan teori komunikasi perlu kita pahami untuk memahami perkembangan analisis wacana sebagai disiplin ilmu. Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi berasal dari James P. Gee. Gee (dalam Hamad, tt) membedakan discourse ke dalam dua jenis: Pertama, “discourse” (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar lingusitik. Kedua, “Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistic pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk nonlanguage “stuff” ini dapat berupa kepentingan ideology, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language “stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian dari satu komunikator ke komunikator lainnya dalam mengenali, mengakui diri sendiri dan orang lain.
Hamad (tt:4) menyatakan, “Keberadaan variasi bentuk wacana dapat ditemukan dalam media cetak (seperti novel),media audio (seperti pidato), media visual (seperti lukisan), media audiovisual (seperti film), di alam (bangunan), atau discourse/Discourse yang dimediasikan (seperti drama yang difilmkan)”. Jadi, tidak selamanya discourse/Discourse itu berada dalam bentuk media massa, apalagi hanya media cetak.
Analisis wacana mulai masuk dalam kajian komunikasi di Indonesia sejak decade 90-an. Kehadiran buku-buku tentang wacana pada tahun ini cukup banyak, seperti yang ditulis oleh Fairclough (1995a dan 1995b), Mill (1997), Gee (1999, 2005) dan Tischer dkk (2000), serta penerbitan buku di dalam negeri seperti Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Hamad (2004), memperkuat metode dan pelaksaan riset dengan memakai analisis wacana, baik sebagai analisis naskah maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).
Namun demikian, Hamad (tt:5) menyatakan  bahwa cikal-bakal pemikiran yang mengantar tibanya analisis wacana (discourse analysis) sesungguhnya dimulai oleh Krippendorff (1980). Krippendorf (dalam Hamad, tt:5) menyatakan bahwa analisis isi kuantitatif harus diperkuat dengan kajian tentang indeks dan symptom, serta representasi linguistic. Selanjutnya, Berger (dalam Hamad, tt:5) menyatakan bahwa ada teknik-teknik analisis media (media analysis techniques) yang sama sekali berbeda dengan analisis isi dalam tradisi kuantitatif, yaitu semiological analysis, marxist analysis, psychoanalityc critism, dan sociological.
Analisis wacana dapat dibedakan berdasarkan penggunaan metode, bentuk analisis, level analisis, dan bentuk wacana (Hamad, tt:5). Berdasarkan penggunaan metode, analisis wacana dibedakan menjadi dua, yaitu (a) analisis wacana sintagmatis, yang menganalisis wacana dengan metode kebahasaan (syntaxis approach). Dalam hal ini, peneliti mengeksplorasi kalimat demi kalimat untuk menarik kesimpulan; dan (b) analisis wacana paradigmatic, yang  menganalisis wacana dengan memperhatikan tanda-tanda (sign) tertentu dalam sebuah wacana untuk menemukan makna keseluruhan. Selanjutkan, berdasarkan bentuk analisis, analisis wacana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) analisis wacana linguistik, yang membaca suatu naskah dengan memakai salah satu metode analisis wacana (sintaksis ataupun paragdimatis); dan (b) analisis wacana sosial, yang menganalisis wacana dengan memakai satu/lebih metode analisis wacana (sintaksis ataupun paragdimatis), menggunakan perspektif teori tertentu, dan menerapkan paragdigma penelitian tertentu (positivis, post positivis, kritikal, kontruktivis, dan partisipatoris).
Berdasarkan level analisis, analisis wacana dibedakan menjadi dua, yaitu (a) analisis pada level naskah, baik dalam  bentuk teks, talks, act, dan artifact; baik secara sintagmatis ataupun secara paragdimatis; dan (b) analisis multilevel yang dikenal dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) yang menganalisis wacana pada level naskah beserta konteks dan historisnya. Berdasarkan bentuk (wujud) wacana, analisis wacana dapat dilakukan terhadap wacana dalam bentuk tulisan, ucapan, tindakan, peninggalan (jejak); baik yang dimuat dalam media maupun di alam sebenarnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa analisis wacana mampu menerangkan kandungan isi suatu wacana dengan metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga analisis wacana dikenal sebagai suatu disiplin ilmu.

B. Rangkuman
            Kehadiran analisis wacana sebagai disiplin ilmu tidak terlepas dari kontribusi disiplin ilmu lainnya. Analisis wacana sebagai suatu metode sangat penting dan andal digunakan untuk memecahkan masalah-masalah ilmu humaniora dan sosial. Analisis wacana berupa menerangkan kandungan isi suatu naskah beserta konteksnya tentang sebuah isu yang dimuat dalam naskah tersebut berdasarkan metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Namun demikian, ternyata pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah masih belum banyak menyentuh tataran bahasa yang tertinggi ini (analisis wacana). Akibatnya, murid-murid hanya dapat mengidentifikasi kalimat yang benar dan yang salah. Mereka kurang mampu menggunakan kalimat yang benar dan menghindari kalimat yang salah dalam situasi yang nyata (sebenarnya) dalam kehidupan sehari-hari.

C. Umpan Balik
1. Jelaskan kedudukan analisis wacana sebagai suatu disiplin ilmu secara garis besar!
2. Jelaskan perkembangan analisis wacana sebagai suatu disiplin ilmu secara garis besar!


D. Daftar Pustaka

Hamad, Ibnu. tt. Perkembangan Analisis Wacana dalam Ilmu Komunikasi: Sebuah Telaah Ringkas. http://google.com. Diakses 11 November 2009.
Sofa, Pak De.2009. Kajian Wacana Bahasa Indonesia. http://ht87.multiply. com/calender/item/1009. Diakses 11 November 2009.

Yuliawati, Susi. 2008. Konsep Percakapan dalam Analisis Wacana. Bandung: Universitas Padjadjaran. 

Tidak ada komentar: