Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 28 Desember 2014

APLIKASI ANALISIS WACANA KRITIS

BAB VI
APLIKASI ANALISIS WACANA KRITIS
UMMataram



Kompetensi Dasar:
            Mengetahui cara-cara menganalisis wacana  menggunakan teknik analis wacana kritis

Indikator:
1.      Menjelaskan hakikat analisis wacana kritis
2.      Memberikan contoh analisis wacana dengan teknik analisis wacana kritis (Van Djick) .
3.      Memberikan contoh cara menganalisis wacana  dengan teknik analisis wacana kritis (Milis).

B. Uraian Materi

1.    Pengantar
Pada dasarnya, setiap tuturan atau praktik berwacana yang dilakukan oleh seseorang memiliki maksud tertentu. Maksud dalam praktik berwacana itu dapat disampaikan secara eksplisit dan implisit. Dalam hal ini, praktik berwacana yang banyak terjadi di masyarakat cenderung mengarah pada praktik berwacana yang mengimpisitkan maksud tertentu. Dalam Linguistik, teori yang dapat digunakan untuk mengungkapkan maksud yang terselubung dalam suatu praktik berwacana adalah teori wacana kritis atau analisis wacana kritis (AWK). AWK merupakan suatu teori yang digunakan untuk mengungkapkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Dalam konteks sehari-hari, AWK dapat digunakan untuk membangun kekuasaan dan hegemoni. Selain itu, AWK juga digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengeritik kehidupan sosial yang tercermin dalam analisis teks atau ucapan.
Habermas (dalam Darma, 2009:53) mengemukakan bahwa AWK bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Tujuan AWK adalah mengembangkan asumsi-asumsi dalam teks yang bersifat ideologis yang terkandung di balik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan. AWK bermaksud untuk menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik berwacana, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Jadi, AWK dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas etnik, zaman, dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang digunakan).
Setiap praktik berwacana merujuk pada aturan, norma, perasaan, sosialisasi yang spesifik dalam hubungannya dengan penerima pesan dan penerjemah pesan. Dalam hal ini, AWK bertujuan menentukan bagaimana individu belajar berpikir, bertindak, dan berbicara dalam berbagai posisi kehidupan sosial (konteks sosial). Menurut Darma (2009:54), konteks sosial adalah tempat di mana wacana terjadi (di pasar, ruang kelas, tempat bermain, tempat suci, dsb). Apapun konteks sosial yang mendasari terjadinya praktik berwacana itu tidak pernah terlepas dari kekuasaan dan ideologi. Oleh karena itulah, AWK dapat digunakan untuk membongkar kekuasaan dan idelogi yang terselubung dalam suatu praktik berwacana.

2.    Hakikat Analisis Wacana Kritis
Ada tiga pandangan berbeda mengenai bahasa dalam analisis wacana (Hikam, dalam Eriyanto,2001: 4). Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Aliran ini menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa adanya hambatan. Hal ini berlaku selama ia dinyatakan dengan logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif dari sebuah pernyataan, sebab yang paling penting adalah apakah pernyataan itu sudah benar menurut kaidah semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan bahasa sebagaimana dalam pandangan formal.
Pandangan yang kedua diwakili oleh kaum konstruktivisme. Dalam aliran ini, bahasa tidak dipandang sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan oleh subjek sebagai penyampai pernyataan. Justru, konstruksivisme memandang subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan wacana. Dalam hal ini, bahasa dipahami sebagai pernyataan yang dihidupkan dengan tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan realitas sosial. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan maksud tertentu. Analisis wacana adalah suatu upaya untuk membongkar maksud penulis yang tersembunyi dalam wacana itu. Pandangan ini dikenal juga dengan pandangan fungsional atau padangan paradigma interpretivisme.
Selanjutnya, pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Aliran ini mengoreksi pandangan konstruksivisme yang kurang sensitif pada produksi dan reproduksi makna yang terjadi, baik secara historis maupun institusional. Menurut aliran ini, paham konstruksivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu. Pemikiran inilah yang akan melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan konstelansi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Pemilihan bahasa dalam paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek dan strategi tertentu. Oleh karena itulah, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar praktik kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi dalam wacana.
Ancangan atau paradigma kritis menurut J.L. Mey, R.E. Asher (1998) (dalam Jufri, 2006:24) merupakan suatu asumsi yang menguraikan aspek bahasa dan menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu, perlu digunakan pilihan bahasa yang tepat untuk menggambarkan tujuan tertentu dalam praktik sosial.
Pada hakikatnya, tindakan digunakan untuk memahami suatu wacana.  Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa konsekuensi bagaimana bahasa dilihat. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan membujuk, mengganggu, bereaksi, menanggapi, menyarankan, memperjuangkan, memengaruhi, berdebat, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol, bukan sesuatu yang diekspresikan atau dikendalikan di luar kesadaran. Dengan konsep tersebut, wacana dipahami sebagai suatu bentuk interaksi yang berfungsi untuk menjalin hubungan sosial. Dalam hal ini, penulis menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan pembaca.  
Dalam analisis wacana kritis (AWK), perlu dikaji konteks suatu wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini dimengerti, diproduksi, dan dianalisis dalam konteks tertentu. AWK juga mengkaji konteks dari komunikasi; siapa yang mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan dalam situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan komunikasi, dan bagaimana perbedaan antara setiap pihak. Bahasa dalam hal ini dipahami dalam konteks secara keseluruhan.
Ada tiga hal sentral dalam pengertian teks, konteks, dan wacana. Teks  adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, melainkan semua jenis ekspresi komunikasi yang ada di dalamnya. Selanjutnya, pengertian konteks dalam hal ini, yaitu memasukkan semua jenis situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi, serta fungsi yang dimaksudkan. Sementara itu, wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatiannya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Dalam hal ini dibutuhkan proses kognisi dan gambaran spesifik dari budaya yang dibawa dalam wacana tersebut.
Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Sebagai contoh, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mengenai pertentangan terhadap kasus Century. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis, tempat teks itu diciptakan (bagaimana situasi sosial politik dan suasana pada saat itu). Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis, perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut dengan kontrol. Bentuk kontrol tersebut terhadap wacana bisa bermacam-macam. Kontrol terhadap konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus berbicara, dan siapa pula yang hanya mendengar dan mengiakan, atau siapa yang mendominasi dan siapa yang didominasi. Selain konteks, kontrol dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana. Hal ini dapat dilihat dari penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu. 
Selain itu, ada konsep sentral dalam AWK, yaitu ideologi. Pada hakikatnya, setiap bentuk teks, percakapan, dan sebagainya adalah salah satu praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana kelompok dominan mempersuasi dan mengomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki, sehingga absah dan benar. Semua karakteristik penting dari analisis wacana kritis, tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi penjelasan bagaimana wacana dikembangkan dan memengaruhi khalayak.
Pada hakikatnya, ideologi dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Tidak bisa dimungkiri bahwa teks disajikan sebagai cerminan dari suatu hegemoni (ideologi dan kekuasaan). Teori klasik mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok dominan yang bertujuan untuk memproduksi dan melegitiminasi dominasi mereka. Hegemoni dalam pandangan Fairclough lebih menekankan pada teori kekuasaan dengan pemahaman bahwa kekuasaan suatu komunitas yang dominan dapat menguasai komunitas yang lain.
Ada banyak ranting aliran (variance) dalam paradigma analis wacana kritis, tetapi semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari ideologi, kepentingan, dan jaring-jaring kekuasaan. Karena itu, analisis wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai peranti untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan berwacana.
Menurut Rosidi (2007:11), dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana kritis yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan Teun A. Van Dijk. Dibanding sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih jernih dalam merinci struktur, komponen, dan unsur-unsur wacana.
Teun A. Van Dijk memperlakukan wacana sebagai entitas berstruktur. Karena itu, pendekatan yang ditawarkan pun bertolak dari pencermatan atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: struktur supra, struktur mikro, dan struktur makro (superstructure, micro structure, and macrostructure) (Rosidi, 2007:10).  Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana. Sementara itu, struktur mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning) suatu wacana. Ini dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh pemakaian bahasa dalam suatu wacana.
Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi sosial pembuat wacana. Secara teoretik, pernyataan ini didasarkan pada penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan. Bila dikehendaki sampai pada ihwal bagaimana wacana tertentu bertali-temali dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat, maka analisis wacana kritis ini harus dilanjutkan dengan analisis sosial.
Melalui analisis wacana kritis, bahasa telah digunakan sebagai peranti kepentingan. Wacana publik, terutama pada kasus yang melibatkan kepentingan yang saling berbenturan, terbukti telah dijadikan sebagai senjata, baik bagi yang kuat maupun bagi yang lemah. Satu pihak menggunakan wacana sebagai sarana untuk mengendalikan dan merekayasa batin yang lain. Sebaliknya, pihak lain, dengan peranti wacana pula melakukan perlawanan, atau sekurang-kurangnya melakukan pembangkangan.

2.1 Analisis Wacana Kritis Van Djick
Pada kajian ini pemberitaan mengenai kasus KPK Vs POLRI akan dianalisis berdasarkan karangka analisis wacana kritis teori Teun A. van Dijk yang terdiri atas 3 langkah. Pertama, teks pemberitaan KPK Vs POLRI dianalisis pada tingkat struktur teks. Pada bagian ini teks berita dilihat berdasarkan struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Analisis struktur makro bertujuan untuk melihat makna global dari teks pemberitaan KPK Vs POLRI yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat dalam teks pemberitaan. Analisis superstruktur untuk melihat kerangka suatu teks sebagai wujud dari penguatan makna global yang ditimbulkan pada topik, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan. Kemudian pada analisis struktur mikro untuk mengetahui elemen-elemen terkecil dalam pembentukan wacana atau makna lokal dari teks berita, dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh teks berita. Analisis struktur teks pemberitaan KPK Vs POLRI ini akan disajikan melalui tabel analisis.
Kedua, setelah mengetahui struktur teks, kemudian peneliti mendeskripsikan elemen-elemen yang ditemukan untuk mengungkap makna yang tersembunyi dari teks pemberitaan. Penjabaran atau pembahasan keterkaitan antara elemen satu dengan elemen yang lain sehingga dapat terlihat pandangan atau sikap media tersebut terhadap kasus KPK Vs POLR. Ketiga, pembahasan pandangan atau sikap Kompas dan Republika terhadap berita tersebut.
Adapun 6 teks berita yang dijadikan data kemudian disebut data 1, 2, 3 sampai 6. Adapun urutannya adalah “Pita Hitam Wujud untuk Matinya Keadilan“ Kompas edisi 3 November 2009 (data 1), “’Dagelan’ Hukum di Mahkamah Konstitusi” Kompas edisi 4 November 2009 (data 2), “Polri Jamin Tak Ada Rekayasa” Kompas edisi 6 November 2009 (data 3), “Pita Hitam Wujud keprihatinan Massal” Republika edisi 3 November 2009 (berita 4), “Sejarah Penting Penegakan Hukum” Republika edisi 4 November 2009 (data 5), dan “Robohnya Kredibilitas Aparat” Republika edisi 6 November 2009 (data 6).
Analisis Data
Judul : “Pita Hitam Wujud untuk Matinya Keadilan“
Harian Umum : Kompas
Edisi : 3 November 2009

Tabel 4.1 Analisis Struktur Data 1
No.
Elemen wacana
Uraian
1.
Struktur Makro
(Tematik)
a. Topik
b. Sub topik
c. fakta
Wujud keprihatinan rakyat terhadap matinya
keadilan.
Paragraf 8, kalimat 1:
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang
merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak
melawan buaya (istilah yang dipakai seorang
petinggi Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar
di beberapa daerah.
Paragraf 7, kalimat 1-2:
Siang itu Bundaran Hotel Indonesia (HI) ramai oleh
massa berpita hitam. Tak hanya di HI, di beberapa kantor, karyawan juga memakai pita hitam atau baju
hitam.
Paragraf 9:
Di dunia maya, dukungan kian menggelembung.
Hingga pukul 21.00, hampir setengah juta
facebookers menyatakan dukungan terhadap Bibit
dan Chandra.
Paragraf 17:
Malam itu, setelah lelah berpanas di HI, Irma
Hidayana, anggota Komunitas Cicak, sibuk di studio
rekaman. ”Sejumlah artis yang mendukung KPK
tengah membuat ringtone untuk telepon genggam.
Mereka adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’, dan
Cholil ’ERK’. Besok ringtone ini mulai beredar di
seluruh Indonesia. Gratis,” katanya.
2.
Superstruktur
(Skematik)
a. Summary
1. Judul
2. lead
b. story
1. situasi

































2. komentar
Pita Hitam Wujud untuk Matinya Keadilan
-
Paragraf 7, kalimat 1-2:
Siang itu Bundaran Hotel Indonesia (HI) ramai oleh
massa berpita hitam. Tak hanya di HI, di beberapa
kantor, karyawan juga memakai pita hitam atau baju
hitam.
Paragraf 8, kalimat 1-2:
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang
merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak
melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi
Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di
beberapa daerah. Pada hari yang sama, unjuk rasa
terjadi di beberapa daerah. Unjuk rasa itu dipicu
penahanan Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit Samad
Rianto dan Chandra M Hamzah.
Paragraf 17:
Malam itu, setelah lelah berpanas di HI, Irma
Hidayana, anggota Komunitas Cicak, sibuk di studio
rekaman. ”Sejumlah artis yang mendukung KPK
tengah membuat ringtone untuk telepon genggam.
Mereka adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’, dan
Cholil ’ERK’. Besok ringtone ini mulai beredar di
seluruh Indonesia. Gratis,” katanya.
Paragraf 2, kalimat 4:
”Masyarakat maunya sederhana, yang benar
55
didukung dan yang korup diberantas,” kata Dwi.
Paragraf 5, kalimat 2:
”Presiden berganti, pemerintahan berganti, tetapi
mengapa rakyat tetap miskin? Ini karena korupsi
tetap merajalela,” katanya.
Paragraf 6, kalimat 2:
”Saya tak rela reformasi hanya melahirkan penguasa
yang tak mau berpihak kepada rakyat,” katanya.
Paragraf 7, kalimat 3:
”Ini bukan karena ikut-ikutan, tetapi kami secara
sadar mendukung gerakan melawan korupsi,” kata
Susi Afianti (26), karyawati salah satu bank swasta di
kawasan Sudirman.
Paragraf 10, kalimat 1-2:
“Gerakan ini berasal dari kesadaran terdalam rakyat
yang muak dengan korupsi dan retorika penguasa.
Walau tanpa dukungan dari partai oposisi, gerakan
ini bisa menjadi kekuatan rakyat,” ujarnya.
Paragraf 11, kalimat 2:
”Dukungan rakyat bila tidak mampu dibendung
Presiden berpotensi berubah menjadi kekuatan rakyat
atau people’s power,” katanya.
Paragraf 12, kalimat 3:
”Dari berbagai pengalaman, kekuatan rakyat tidak
mungkin dihadapi dengan kekuasaan,” ujarnya.
Paragraf 14, kalimat 2:
”Semakin lama mereka ditahan, semakin kuat
dukungan. Dukungan pun semakin lama semakin
berpotensi untuk berubah menjadi kekuatan rakyat,”
ujarnya.
Paragraf 16, kalimat 1 dan 2:
“Gerakan pita hitam bukan hanya simbol melawan
ketidakadilan dalam proses hukum Bibit dan
Chandra”. “Tetapi, seharusnya menjadi tonggak
untuk membenahi proses penegakan hukum. Lebih
penting lagi, gerakan ini untuk melawan korupsi.
Selama tim independen belum menyentuh masalah
ini, kami akan terus bergerak,” katanya.
Paragraf 17, kalimat 2:
”Sejumlah artis yang mendukung KPK tengah
membuat ringtone untuk telepon genggam. Mereka
adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’, dan Cholil
’ERK’. Besok ringtone ini mulai beredar di seluruh
Indonesia. Gratis,” katanya.
3.
Struktur Mikro
a. Semantik
1. Latar


















2. Detail
Panjang
















































Detail pendek








3. Maksud








4. Praanggapan
5. Nominalisasi


















b. Sintaksis
1. Bentuk
Kalimat




























2. Koherensi
Pengingkaran
























Kondisional

















3. Kata ganti
c. Stilistika
Leksikon




d. Retoris
1. Grafis








2. metafora
Paragraf 6:
Suasana siang itu mengingatkan Anwar pada 11
tahun silam menjelang era reformasi. ”Saya tak rela
reformasi hanya melahirkan penguasa yang tak mau
berpihak kepada rakyat,” katanya.
Paragraf 12:
Tahun 1986, kata Hikmahanto, kekuatan rakyat di
Filipina mampu melengserkan Ferdinand Marcos dari
kekuasaannya. Demikian pula di Indonesia tahun
1998 kekuatan rakyat bisa melengserkan Soeharto.
”Dari berbagai pengalaman, kekuatan rakyat tidak
mungkin dihadapi dengan kekuasaan,” ujarnya
Paragraf 1-5:
Dwi Deni (25), Senin (2/11) siang itu, sengaja
meminta izin dari kantornya, konsultan swasta untuk
Departemen Pekerjaan Umum. Izinnya, ”Ada
keperluan pribadi.” Namun, sebenarnya ia melakukan
sesuatu yang disebutnya, ”Demi kepentingan
bangsa.” (Paragraf 1)
Siang itu, matahari terik membakar. Dwi berbaur
dengan massa Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak)
di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Pita hitam
melingkar di lengan kirinya. ”Masyarakat maunya
sederhana, yang benar didukung dan yang korup
diberantas,” kata Dwi. (Paragraf 2)
Rakyat, papar Dwi, lelah dengan janji-janji. Janji
Presiden untuk memberantas korupsi, tetapi terlihat
berpihak kepada polisi yang justru ingin melemahkan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Paragraf 3)
Semangat yang sama juga menggerakkan Anwar
Umar (80) untuk mengikuti aksi itu. Sama seperti
Dwi, pita hitam erat melingkar di lengan kirinya. Pita
hitam yang menjadi simbol perlawanan terhadap
ketidakadilan dan korupsi. (Paragraf 4)
Dengan langkah berat dan lelah, serta suara yang
bergetar, Anwar masih bersemangat. ”Presiden
berganti, pemerintahan berganti, tetapi mengapa
rakyat tetap miskin? Ini karena korupsi tetap
merajalela,” katanya. (Paragraf 5)
Paragraf 15 kalimat 1:
Namun, pada akhirnya, menurut Hikmahanto,
Presiden mulai mendengar suara kritis dengan
membentuk Tim Independen Verifikasi Proses Hukum terhadap Bibit dan Chandra

Paragraf 13:
Dalam konteks kisruh KPK dan Polri, pernyataan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30
Oktober lalu ternyata tidak mampu menyurutkan
dukungan masyarakat terhadap Bibit dan Chandra.
-
Paragraf 4 kalimat 3:
Pita hitam yang menjadi simbol perlawanan terhadap
ketidakadilan dan korupsi.
Paragraf 8 kalimat 1:
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang
merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak
melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi
Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di
beberapa daerah.
Paragraf 8 kalimat 3:
Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil Ketua
(nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M
Hamzah.
Teks berita ini berjumlah 49 kalimat terdiri atas 43
kalimat aktif dan 6 kalimat pasif. Contoh kalimat
aktif:
Paragraf 2 kalimat 2:
“Dwi berbaur dengan massa Cintai Indonesia Cintai
KPK (Cicak) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta”
Paragraf 3 kalimat 1:
Rakyat, papar Dwi, lelah dengan janji-janji.
Paragraf 11 kalimat 1:
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Hikmahanto Juwana mengimbau agar pemerintah tak
meremehkan kekuatan rakyat.
Contoh kalimat pasif:
Paragraf 14 kalimat 1:
Bibit dan Chandra, kata Hikmahanto, telah dijadikan
simbol oleh rakyat.
Paragraf 8 kalimat 3:
Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil Ketua
(nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M
Hamzah.
Paragraf 3 kalimat 2:
Janji Presiden untuk memberantas korupsi, tetapi
terlihat berpihak kepada polisi yang justru ingin
melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Paragraf 5 kalimat 2:
”Presiden berganti, pemerintahan berganti, tetapi
mengapa rakyat tetap miskin? Ini karena korupsi
tetap merajalela,” katanya.
Paragraf 16:
Illian Deta Arta Sari dari Komunitas Cicak
mengatakan, gerakan pita hitam bukan hanya simbol
melawan ketidakadilan dalam proses hukum Bibit
dan Chandra. ”Tetapi, seharusnya menjadi tonggak
untuk membenahi proses penegakan hukum. Lebih
penting lagi, gerakan ini untuk melawan korupsi.
Paragraf 8 kalimat 1
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang
merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak
melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi
Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di
beberapa daerah.
Paragraf 10 kalimat 1
Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid
mengatakan, gerakan ini berasal dari kesadaran
terdalam rakyat yang muak dengan korupsi dan
retorika penguasa.
Menggunakan orang ketiga (nama).
Pita hitam (paragraf 2), baju hitam (paragraf 7), lelah
dengan janji-janji (paragraf 3), melemahkan KPK
(paragraf 3), kekuatan rakyat (paragraf 10 dan 11).
Gambar Tim Independen Klarifikasi Fakta dan
Proses Hukum Kasus Bibit-Chandra sedang
memberikan keterangan kepada wartawan seusai
mengadakan pertemuan dengan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden.
Ukuran huruf judul yang lebih besar
-

Berdasarkan analisis struktur di atas, Kompas mengambil topik utama mengenai wujud keprihatinan rakyat terhadap matinya keadilan di Indonesia. Dalam teks berita di atas digambarkan berbagai wujud dukungan yang dilakukan oleh rakyat—dari berbagai kalangan dan dengan berbagai cara-- yang diberikan kepada wakil ketua (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.
Dalam mendukung topik yang dibuat, Kompas memunculkan subtopik pada paragraf 8, yaitu menceritakan mengenai menyebarnya gerakan pita hitam di berbagai daerah. Gerakan pita hitam merupakan sebutan untuk gerakan yang menunjukkan keprihatinan rakyat terhadap matinya keadilan di lingkungan penegak hukum Indonesia.
Topik dan subtopik ini didukung oleh uraian fakta sebagai penguat berita. Fakta pertama terdapat pada paragraf 7 yang menyebutkan bahwa di bundaran Hotel Indonesia (HI) ramai oleh massa yang memakai pita hitam. Juga karyawan di beberapa kantor memakai pita hitam atau baju hitam sebagai wujud gerakan melawan korupsi. Selain dukungan di dunia nyata, dalam teks berita di atas juga dimunculkan fakta banyaknya dukungan rakyat di dunia maya, terdapat pada paragraf 9 yang menyebutkan bahwa dukungan rakyat juga diberikan melalui facebook. Dalam waktu singkat dukungan facebookers dapat mengumpulkan dukungan yang sangat banyak. Fakta ketiga mengenai dukungan yang diberikan melalui pembuatan ringtone telepon genggam (paragraf 17).
Tema teks berita di atas didukung pula dengan urutan penceritaan atau skematik yaitu bagaimana peristiwa satu dengan peristiwa lain dirangkai menjadi 60 satu teks berita yang utuh. Dari segi skematik (superstruktur) ini diawali dengan pemberian judul sebagai gambaran tema atau topik yang diangkat oleh penulis. Teks berita di atas berjudul Pita Hitam untuk Matinya Keadilan. Pemberian judul ini memberikan kesan berkabung kepada masyarakat pembaca. Simbol yang dipakai dalam teks ini adalah pita hitam. Warna hitam sering diasumsikan sebagai wujud bela sungkawa, kekecewaaan, keprihatinan dan sedih. Begitupun simbol hitam dalam wacana ini. Pita yang berwarna hitam menjadi simbol kesedihan, keprihatinan masyarakat terhadap hilangnya keadilan di lembaga hukum Indonesia.
Sebagai strategi urutan, teks berita di atas diawali dengan kisah antusiasme rakyat berunjukrasa dengan memakai pita hitam dan baju hitam (paragraf 1-7). Dilanjutkan dengan uraian penyebaran gerakan pita hitam di berbagai daerah (paragraf 8), kemudian dikuatkan dengan paragraf 9 yang berisi uraian banyaknya dukungan di dunia maya via facebook. paragraf 10 sampai paragraf 15 berisi uraian mengenai kekuatan rakyat dan tanggapannya. Paragraf 16 sampai akhir berisi uraian dukungan dengan cara membuat ringtone yang berisi dukungan untuk KPK.
Penulis menampilkan kisah antusiasme rakyat diawal teks berita, penulis ingin mengesankan dan manggambarkan begitu bersemangatnya masyarakat mengikuti aksi gerakan pita hitam dimulai dari karyawan muda sampai orang tua yang berusia renta, 80 tahun, sebagai gambaran juga bahwa masyarakat sudah bersemangat melawan korupsi dan ketidakadilan.
Sebagai pendukung urutan penceritaan, penulis menampilkan komentar-komentar dari karyawan sampai seorang guru besar. Komentar yang pertama ditampilkan oleh penulis adalah komentar dari seorang karyawan, Dwi Deni (25) yang ikut bergabung dengan massa Cintai Indonesia Cintai KPK (KPK), “Masyarakat maunya sederhana, yang benar didukung dan yang korup diberantas,”. Penggunaan kata masyarakat pada komentar ini mengesankan bahwa yang berkomentar adalah dari masyarakat seluruh Indonesia tanpa kecuali berkeinginan seperti yang dilontarkan oleh Dwi, baik itu masyarakat bawah, menengah maupun para pejabat. Serta menegaskan bahwa yang mereka dukung adalah yang benar. Dilanjutkan dengan komentar yang mengkritik tindakan presiden yang berpihak kepada polisi dan dianggap telah melemahkan KPK. Komentar dari masyarakat yang berusia 80 tahun sekaligus menjadi latar ditampilkan pada paragraf 6: “Saya tak rela reformasi hanya melahirkan penguasa yang tak mau berpihak kepada rakyat,”. Hal ini menunjukkan kekecewaan yang mempunyai harapan adanya perubahan setelah masa reformasi yaitu adanya keberpihakan penguasa kepada rakyat.
Gerakan atau aksi pita hitam yang dilakukan bukan karena paksaan, terlihat dari komentar seorang karyawan pada paragraf 7: ”Ini bukan karena ikutikutan, tetapi kami secara sadar mendukung gerakan melawan korupsi,”. Hal ini menegaskan bahwa mereka melakukan aksi karena kesadaran sendiri, bukan karena ikut-kutan. komentar ini didukung komentar dari ketua Forum Rektor Indonesia yang menyatakan bahwa gerakan yang dilakukan oleh masyarakat berasal dari kesadaran terdalam rakyat yang muak dengan korupsi dan retorika
62 penguasa dan akan berpotens menjadi kekuatan rakyat (paragraf 8). Besarnya pengaruh dukungan masyarakat yang bisa menjadi kekuatan rakyat dipertegas oleh guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana: Dukungan rakyat bila tidak mampu dibendung Presiden berpotensi berubah menjadi kekuatan rakyat atau people’s power,”.
Pada tingkat mikro, teks ini mengisahkan dukungan yang diberikan rakyat kepada Bibit-Chandra diawali dengan detail panjang mengenai gambaran antusiasme rakyat yang diwakili oleh gambaran seorang karyawan muda dan orang tua berusia 80 tahun untuk mengikuti unjuk rasa dengan memakai pita hitam di lengan kirinya sebagai simbol perlawanan terhadap ketidak-adilan dan korupsi. Pada paragraf 5 diceritakan bagaimana Anwar Umar (80) dengan langkah yang berat dan lelah, serta suara yang bergetar masih bersemangat mangikuti aksi. Hal ini memberi kesan bahwa orang tua yang sudah berumur 80 tahun bersemangat mengikuti aksi.
Detail panjang yang disimpan di awal berita pada teks berita mengesankan bahwa antusiasme rakyat sangat besar terhadap perlawanan ketidakadilan dan korupsi. Selain itu penulis menulis detail mengenai kekuatan rakyat. Dalam teks ini dijelaskan bahwa kekuatan rakyat berasal dari kesadaran terdalam yang muak dengan korupsi dan retorika penguasa (paragraf 10). Didukung dengan adanya latar mengenai dampak besarnya kekuatan rakyat pada paragraf 12: “Tahun 1986, kata Hikmahanto, kekuatan rakyat di Filipina mampu melengserkan Ferdinand Marcos dari kekuasaannya. Demikian pula di Indonesia tahun 1998 kekuatan rakyat bisa melengserkan Soeharto”. Melalui latar yang 63 ditampilkan ini menunjukkan bahwa kekuatan rakyat bisa mengalahkan kekuasaan. Apabila presiden tidak turun tangan dalam kasus ini, kemungkinan besar akan lahir kekuatan rakyat yang besar dan bisa menjatuhkan kekuasaan presiden.
Dukungan yang ditujukan kepada Bibit-Chandra sebagai simbol perlawanan mereka kepada korupsi dituliskan dengan panjang dan jelas yaitu pada paragraf 1-5. Sedangkan pada paragraf 15 dengan ruang sedikit menjelaskan tindakan pemerintah sebagai wujud respon terhadap tuntutan rakyat. Terlihat bahwa tidak ada ruang seimbang antara aksi dukungan KPK sebagai tuntutan kepada pemerintah dengan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah.
Terdapat beberapa bentuk nominalisasi, yaitu pada Paragraf 4 kalimat 3: “Pita hitam yang menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi”. Kata ketidakadilan dalam kalimat di atas merupakan wujud nominalisasi yang menunjukkan wujud keumuman bahwa pita hitam tersebut bukan hanya ditujukan kepada satu peristiwa tetapi ketidakadilan secara umum. Selain itu terdapat juga pada Paragraf 8 kalimat 1: “Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di beberapa daerah”. Paragraf 8 kalimat 3: “Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah”. Kata penahanan pada kalimat tersebut merupakan wujud penonjolan objek dengan tujuan agar objek tersebut menjadi perhatian pembaca.
Dari segi sintaksis, teks berita di atas banyak menggunakan kalimat aktif daripada pasif. Dari 49 kalimat, terdapat 43 kalimat aktif dan 6 kalimat pasif. Ini menunjukkan bahwa Kompas dalam teks berita di atas lebih banyak menampilkan subjek. Seperti pada kalimat “Hingga pukul 21.00, hampir setengah juta facebookers menyatakan dukungan terhadap Bibit dan Chandra”.
Terdapat tiga pengingkaran yaitu pada paragraf 3 kalimat 2: “Janji Presiden untuk memberantas korupsi, tetapi terlihat berpihak kepada polisi yang justru ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Dalam kalimat tersebut ada dua pernyataan yang diperbandingkan. Pernyataan pertama mengenai janji presiden untuk memberantas korupsi dikontraskan dengan keberpihakan presiden kepada polisi yang ingin melemahkan KPK. Pernyataan kedua berarti secara jelas menyatakan bahwa dalam konteks ini polisi bersalah dan seharusnya tidak didukung oleh pemerintah. Terdapat juga pengingkaran pada paragraf 5 kalimat ke-2: ”Presiden berganti, pemerintahan berganti, tetapi mengapa rakyat tetap miskin? Ini karena korupsi tetap merajalela,”. Kalimat tersebut mengkontraskan dua keadaan, yaitu pergantian presiden dan pemerintahan dengan keadaan rakyat yang tetap miskin. Menegaskan bahwa walaupun presiden, pemerintahan berganti, kalau korupsi masih ada, rakyat akan tetap miskin. Kunci pemberantasan kemiskinan bukan berada pada bergantinya presiden tetapi pada pemberantasan korupsi. Selain itu terdapat pula pengingkaran pada paragraf 16
“Illian Deta Arta Sari dari Komunitas Cicak mengatakan, gerakan pita hitam bukan hanya simbol melawan ketidakadilan dalam proses hukum Bibit dan Chandra. Tetapi, seharusnya menjadi tonggak untuk membenahi proses penegakan hukum. Lebih penting lagi, gerakan ini untuk melawan korupsi” (Kompas, 3/11/2009)
Dalam kalimat di atas pengingkaran dengan kata tetapi memberi kesan penambahan atau penegasan bahwa gerakan pita hitam bukan hanya sesaat, ketika kasus yang dialami Bibit-Chandra saja tetapi harapannya bisa menjadi pembenahan dalam penegakan hukum dan perlawanan terhadap korupsi.
Selain pengingkaran terdapat pula koherensi kondisional pada paragraf 8 kalimat ke-1: “Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di beberapa daerah”. Kata hubung yang pada kalimat di atas menjadi penjelas bahwa gerakan pita hitam tersebut merupakan episode perseteruan antara KPK dan POLRI. Adanya tambahan ini penulis ingin mengingatkan kembali, menekankan dan menegaskan peristiwa yang sedang terjadi antara KPK dan POLRI. Terdapat pula pada paragraf 10 kalimat ke-1: “Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, gerakan ini berasal dari kesadaran terdalam rakyat yang muak dengan korupsi dan retorika penguasa”. Kata yang pada kalimat ini menegaskan kepada pembaca mengenai keadaan, perasaan rakyat terhadap korupsi dan rekayasa penguasa.
Kata ganti yang digunakan dalam teks berita di atas sebagian besar menggunakan kata memakai nama. Seperti pada paragraf 10, disebutkan yang memberi komentar adalah Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid. Penulis menampilkan pangkat sebagai ketua forum, mengesankan bahwa komentar yang dikeluarkan dari seluruh anggota forum yang diwakili oleh ketua. Selain itu dengan menggunakan pangkat mengesankan lebih besar dan sebagai langkah legitimasi.
Terdapat beberapa diksi untuk menghasilkan kesan lebih dalam yaitu diksi pita hitam (paragraf 2) dan baju hitam (paragraf 7) mempunyai arti sebagai wujud atau cerminan kekecewaan, keprihatinan, kesedihan terhadap peristiwa yang terjadi. Warna hitam selalu diidentikkan dengan rasa yang kurang menyenangkan. Dalam teks berita di atas pita hitam dan baju hitam menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi. Terdapat pula diksi lelah dengan janji-janji (paragraf 3). Lelah di sana bukan berarti lelah fisik, tetapi menunjukkan bahwa rakyat tidak mau lagi mendengar janji-janji pejabat tanpa bukti yang konkret. Kemudian pula diksi melemahkan KPK (paragraf 3). Kata melemahkan di sana berarti membuat jadi lemah kinerja KPK dalam memberantas korupsi. Diksi kekuatan rakyat (paragraf 10 dan 11) bukan berarti kekuatan fisik dari seluruh rakyat Indonesia tetapi berupa dukungan rakyat yang besar dan diwujudkan dengan desakan kepada pihak pemerintah untuk melakukan atau mengambil keputusan terhadap suatu kejadian.
Dalam mendukung teks berita, penulis memakai gambar Tim Independen Klarifikasi Fakta sedang memberikan keterangan kepada wartawan seusai mengadakan pertemuan dengan presiden. Gambar ini dipakai untuk mengesankan kepada pembaca keseriusan Tim Independen Klarifikasi Fakta dalam menangani kasus korupsi.

2.2 Analisis Wacana Kritis  Sara Milis
Pada tahap pertama, teks berita tindakan asusila pada perempuan akan dianalisis melalui sebuah kartu data posisi Subjek. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi subjek dalam teks berita. Tahap kedua, teks berita tindakan asusila pada perempuan akan di analisis melalui sebuah kartu data posisi Objek. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi objek dalam teks berita. Tahap ketiga, teks berita tindakan asusila pada perempuan akan di analisis melalui sebuah kartu data posisi Penulis. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi penulis dalam teks berita.
Tahap keempat, teks berita tindakan asusila pada perempuan akan di analisis melalui sebuah kartu data posisi Pembaca. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi pembaca dalam teks berita. Tahap terakhir teks berita tindakan asusila pada perempuan akan di analisis melalui sebuah kartu data posisi Perempuan. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi perempuan dalam teks berita. Teknik pengolahan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis wacana kritis. Setiap teks berita akan di analisis berdasarkan teori wacana yang dikemukakan oleh Sara Mills, yakni teori wacana feminis.

Analisis Teks Pemberitaan Tindakan Asusila Berdasarkan Tema Pencabulan
Analisis Posisi Subjek pada Teks Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks berita tindakan asusila pada perempuan.
Posisi Subjek
Tema: Pencabulan
No.
Harian
Umum/Edisi/Judul
Variabel
Data
1.
Galamedia/Rabu, 19
November 2008/
Cabuli Gadis Remaja,
Seorang Duda Diciduk
Posisi
Subjek
Paragraf 5
Menurut pengakuan tersangka DH yang juga duda
satu anak ini kepada wartawan di Mapolsekta
Rancasari, dirinya tidak menyangka akan ditahan
polisi akibat perbuatannya itu. “Soalnya kita
melakukannya suka sama suka, “ katanya.
2.
Galamedia/Rabu, 8
April 2009/Siswi SMA
dan SMK Korban
Pencabulan

Posisi
Subjek
Teks berita ini menceritakan dua kasus berbeda.
Teks pertama, paragraf lima.
Menurut keterangan, Ir diduga Melarikan SR, siswi
sebuah SMK di Ciamis. Perkenalan Ir dengan SR
berawal dari SMS nyasar, yang berlanjut dengan
perkenalan. Ir dengan gencar mengirim rayuan
gombal lewat SMS dan mengaku masih bujangan;
padahal sudah punya anak istri.
Teks berita kedua, paragraf pertama.
Sementara itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok
Garyam. Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab.
Indramayu menjadi korban nafsu setan tetangganya,
Win (23). Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi
bejat Win terungkap saat massa menggerebek
tempatnya dan menyerahkannya ke polisi.
3.
Galamedia/Kamis, 9
April 2009/Dukun
Cabul Hamili Anak
Tiri
Posisi
Subjek
Paragraf akhir.
Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat
melakukan itu, karena sering melihat korban tidur
dengan kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka
denga korban tinggal dalam satu rumah. “Hampir
20 kali saya menyetubuhi korban,” akunya.

Analisis:
Berdasarkan tabel di atas, pada Galamedia, Rabu 19 November 2008 berjudul “Cabuli Gadis Remaja, Seorang Duda Diciduk” ini menceritakan mengenai perkosaan yang dilakukan oleh seorang duda berinisial DH (23) terhadap gadis beinisial SN berumur 13 tahun, pelaku mengakui jika mereka berdua baru saling mengenal tiga hari sebelum pemerkosaan terjadi pada SN. Teks berita ini menempatkan DH sebagai subjek (pencerita) sementara SN sebagai korban perkosaan ditempatkan sebagai objek (yang diceritakan). Awal hingga akhir kejadian dalam berita diceritakan oleh DH selaku pelaku perkosaan, sementara tak ada satupun kalimat atau pemaparan SN sebagai korban. DH dalam teks berita ini adalah narator tunggal yang bebas menceritakan apa saja yang ada dipikirannya. Terbukti pada paragraf lima, “Menurut pengakuan tersangka DH yang juga duda satu anak ini kepada wartawan di Mapolsekta Rancasari, dirinya tidak menyangka akan ditahan polisi akibat perbuatannya itu.
Soalnya kita melakukannya suka sama suka, katanya”. DH ditempatkan sebagai Subjek atau sebagai narator tunggal dapat terlihat pula pada paragraf penutup dalam kalimat pertama berikut ini. “Dikatakannya, perbuatannya itu kembali diulanginya setelah korban bangun sekitar pukul 18.00 WIB. “Begitu bangun, dia ke kamar mandi. Terus kami main lagi di situ,” ujar DH yang bersikeras jika dirinya tidak bersalah”. Sementara itu, pada Galamedia Rabu 8 April 2009 berjudul Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan, teks berita ini menceritakan dua pelajar dalam dua wilayah hukum berbeda, yakni wilayah Polres Ciamis dan Polres Indramayu. Keduanya memiliki kesamaan yakni menjadi korban pencabulan.
Pada kisah pertama, terjadi pada siswi SMK yang masih duduk di bangku salah satu SMK di Ciamis, gadis berinisial SR (16). Dalam teks berita pertama, menempatkan Ir sebagai subjek (pencerita) yang mengisahkan kronologi berita tersebut. Terbukti pada paragraf lima berikut ini. Menurut keterangan, Ir diduga Melarikan SR, siswi sebuah SMK di Ciamis. Perkenalan Ir dengan SR berawal dari SMS nyasar, yang berlanjut dengan perkenalan. Ir dengan gencar mengirim rayuan gombal lewat SMS dan mengakumasih bujangan; padahal sudah punya anak istri. Teks berita kedua, tidak jauh berbeda dengan versi cerita pertama. Menceritakan seorang ABG, gadis yang masih duduk di bangku SMU ini berinisial BD (17) yang menjadi korban nafsu setan tetangganya, sedikit bebeda dengan cerita pertama. Sang korban sesaat sebelum terjadi pencabulan dicekoki minuman keras terlebih dahulu. Berlaku sebagai subjek adalah Win (Pelaku), hal tersebut terlihat pada paragraf pertama.
Sementara itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok Garyam. Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab. Indramayu menjadi korban nafsu setan tetangganya, Win (23). Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi bejat Win terungkap saat massa menggerebek tempatnya dan menyerahkannya ke polisi. Kalimat kedua, “Sebelumnya korban dicekoki miras”. Kalimat ini tentu berdasarkan pengakuan pelaku (Win). Atas dasar pertimbangan itulah Win ditempatkan sebagai subjek. Teks berita ketiga, Galamedia 9 April 2009 berjudul Dukun Cabul Hamili Anak Tiri, teks berita ini mengisahkan NCR (16) yang masih duduk di salah satu bangku SMU swasta di Desa Maruyung, Kec. Pacet, Kab. Bandung. NCR melahirkan bayi perempuan kembar, namun satu diantaranya meninggal dunia. Telah diselidiki lebih lanjut, ayah tirinya yang telah dengan tega menghamilinya hingga NCR melahirkan anak. Ayah tirinya bernama Ddg (35) yang dikenal berprofesi sebagai dukun tersebut mengakui jika dirinya telah memperdayai NCR sebanyak 20 kali.
Dalam teks berita ini berlaku sebagai subjek (pencerita) adalah Ddg atau pelaku pencabulan. Hal tersebut dapat tergambarkan pada paragraf akhir. Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat melakukan itu, karena sering melihat korban tidur dengan kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka dengan korban tinggal dalam satu rumah. “Hampir 20 kali saya menyetubuhi korban,” akunya. Kalimat dengan konsep pengakuan Ddg, kronologis peristiwa menjadi lebih jelas terlihat, dan pengungkapan tersebut berasal dari pengakuan pelaku (Ddg), atas pertimbangan itulah Ddg ditempatkan sebagai subjek dalam teks berita ini.

Analisis Posisi Objek pada Teks Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks berita tindakan asusila pada perempuan.
Posisi Objek
Tema
No.
Harian Umum/Edisi/Judul
Variabel
Data
1.
Galamedia/Rabu, 19
November 2008/ Cabuli
Gadis Remaja, Seorang
Duda Diciduk
Posisi Objek
Paragraf 6
Tersangka mengenal korban tiga hari sebelum
kejadian. “Hari Jumat (14/11) saya ketemu dengan dia
di daerah Rancabolang. Sabtunya janjian untuk ketemu
lagi. Di situ saya nyatakan kemauan saya dan dia
menerima. Terus janjian lagi hari Minggu di tempat
yang sama,” aku DH.

2.
Galamedia/Rabu, 8 April 2009/Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan
Posisi objek
Teks berita pertama, pada paragraf 4
Ir ditangkap setelah dihadang di jembatan Cirahong.
Sebelumnya petugas dari Ciamis mencarinya ke Kec.
Jatiwaras, Tasikmalaya. Ternyata Ir baru saja
meninggalkan Jati Waras dengan membawa SR, siswi
sebuah SMK di Ciamis. Petugas balik lagi dan
melakukan penghadangan di Jembatan Cirahong
hingga akhirnya tersangka pun ditangkap.
Teks berita kedua,
 pada paragraf 1
Sementara itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok
Garyam. Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab. Indramayu
menjadi korban nafsu setan tetangganya, Win (23).
Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi bejat Win
terungkap saat masa menggerebek tempatnya dan
menyerahkannya ke polisi.

3.
Galamedia/Kamis, 9 April 2009/Dukun Cabul Hamili Anak Tiri
Posisi Objek
Paragraf akhir
Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat
melakukan itu, karena sering melihat korban tidur
dengan kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka
denga korban tinggal dalam satu rumah. “Hampir 20 kali saya menyetubuhi korban,”akunya.

Analisis Data:
Berdasarkan tabel di atas, dalam Galamedia Rabu, 19 November 2008 berjudul “Cabuli Gadis Remaja, Seorang Duda Diciduk”, teks berita ini menempatkan SN sebagai korban perkosaan ditempatkan sebagai objek (yang diceritakan). Kejadian diceritakan oleh DH selaku pelaku perkosaan, tidak satupun kalimat atau pemaparan SN sebagai korban.
 Posisi SN sebagai korban di ambil alih sepenuhnya oleh DH, terlihat Pada paragraf enam. Tersangka mengenal korban tiga hari sebelum kejadian. “Hari Jumat (14/11) saya ketemu dengan dia di daerah Rancabolang. Sabtunya janjian untuk ketemu lagi. Di situ saya nyatakan kemauan saya dan dia menerima. Terus janjian lagi hari Minggu di tempat yang sama,” aku DH.
Paragraf di atas menyatakan korban rela dan pasrah pada seseorang laki-laki yang baru dia kenal, untuk janji berjumpa dalam waktu yang relatif singkat, hingga peritiwa pemerkosaan menimpa perempuan dan dalam teks berita ini tak ada penjelasan atau sekedar bantahan berasal dari suara perempuan atau korban. Sementara itu, pada Galamedia Rabu 8 April 2009 teks berjudul “Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan”, Teks berita ini menceritakan dua pelajar dalam dua wilayah hukum berbeda, yakni wilayah Polres Ciamis dan Polres Indramayu. Keduanya memiliki kesamaan yakni menjadi korban pencabulan. Teks berita pertama, berlaku sebagai objek adalah SR (korban). Dalam teks ini SR tidak tergambarkan suaranya sedikitpun, semua penjelasan milik wartawan atau subjek sepenuhnya. Hal tersebut terlihat pada paragraf keempat. Ir ditangkap setelah dihadang di jembatan Cirahong. Sebelumnya petugas dari Ciamis mencarinya ke Kec. Jatiwaras, Tasikmalaya. Ternyata Ir baru saja meninggalkan Jati Waras dengan membawa SR, siswi sebuah SMK di Ciamis. Petugas balik lagi dan melakukan penghadangan di Jembatan Cirahong hingga akhirnya tersangka pun ditangkap. Paragraf di atas, menginformasikan jika sosok SR hadir dan terlibat dalam peristiwa tersebut, namun tak ada penjelasan atas nama SR, untuk memperjelas atau hanya sekedar memberikan keterangan seputar peristiwa yang menimpa dirinya.
Sementara itu, pada cerita kedua tidak jauh berbeda dengan versi cerita pertama. Berlaku sebagai objek adalah BD (korban) yang sesaat sebelum terjadi pencabulan dicekoki minuman keras terlebih dahulu. BD sendiri tak tergambarkan dengan baik dalam teks berita ini, hal tersebut terlihat pada paragraf pertama. Sementara itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok Garyam. Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab. Indramayu menjadi korban nafsu setan tetangganya, Win (23). Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi bejat Win terungkap saat massa menggerebek tempatnya dan menyerahkannya ke polisi. Penggerebekan berlangsung sosok BD ikut hadir dalam peristiwa tersebut, namun tak ada satupun kutipan pernyataan yang berasal dari BD sebagai korban.

Analisis Posisi Penulis pada Teks Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks berita tindakan asusila pada perempuan.

Posisi Penulis
Tema: Pencabulan
No.
Harian
Umum/Edisi/Judul
Variabel
Data
1.
Galamedia/Rabu, 19
November 2008/
Cabuli Gadis Remaja,
Seorang Duda Diciduk
Posisi
Subjek
Paragraf 5
Menurut pengakuan tersangka DH yang juga duda
satu anak ini kepada wartawan di Mapolsekta
Rancasari, dirinya tidak menyangka akan ditahan
polisi akibat perbuatannya itu. “Soalnya kita
melakukannya suka sama suka, “ katanya.
2.
Galamedia/Rabu, 8
April 2009/Siswi SMA
dan SMK Korban
Pencabulan

Posisi
Subjek
Teks berita ini menceritakan dua kasus berbeda.
Teks pertama, paragraf lima.
Menurut keterangan, Ir diduga Melarikan SR, siswi
sebuah SMK di Ciamis. Perkenalan Ir dengan SR
berawal dari SMS nyasar, yang berlanjut dengan
perkenalan. Ir dengan gencar mengirim rayuan
gombal lewat SMS dan mengaku masih bujangan;
padahal sudah punya anak istri.
Teks berita kedua, paragraf pertama.
Sementara itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok
Garyam. Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab.
Indramayu menjadi korban nafsu setan tetangganya,
Win (23). Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi
bejat Win terungkap saat massa menggerebek
tempatnya dan menyerahkannya ke polisi.
3.
Galamedia/Kamis, 9
April 2009/Dukun
Cabul Hamili Anak
Tiri
Posisi
Subjek
Paragraf akhir.
Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat
melakukan itu, karena sering melihat korban tidur
dengan kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka
denga korban tinggal dalam satu rumah. “Hampir
20 kali saya menyetubuhi korban,” akunya.

Analisis:
Berdasarkan tabel di atas dalam teks berita Galamedia Rabu 19 November 2008 berjudul “Cabuli Gadis Remaja, Seorang Duda Diciduk”. DH bebas mengekspresikan semua kata-katanya yang menceritakan setiap detil kejadian terjadinya pencabulan tersebut, karena dalam teks ini DH adalah narator tunggal yang menceritakan segalanya. Sementara itu, SN sebagai korban cukup puas dengan menerima suaranya digambarkan oleh DH, karena tidak sekalipun kutipan pernyataan SN muncul dalam teks berita ini. Penulis dalam teks ini sebagai laki-laki  atau mengikuti arah pikiran dari DH sebagai pelaku dan sebagai laki-laki, hal tersebut tergambarkan pada paragraf akhir. Dikatakannya, perbuatannya itu kembali diulanginya setelah korban bangun sekitar pukul 18.00 WIB. Begitu bangun, dia ke kamar mandi. Terus kami main lagi di situ,ungkap DH yang bersikeras jika dirinya tidak bersalah, sebab apa yang dilakukannya itu atas dasar suka sama suka. “Saya sudah bilang siap bertanggung jawab jika dia hamil,” tegas DH.
Kalimat di atas menyatakan, “sebab apa yang dilakukannya itu atas dasar suka sama suka”, terlihat jelas jika wartawan lebih memprioritaskan semua ungkapan DH sebagai pelaku dalam posisi laki-laki, dengan konsep berita seperti itu posisi pembaca dalam teks berita ini diposisikan sebagai pihak laki-laki (DH). Pemosisian seperti itu pembaca tidak akan banyak protes, karena selaras dengan apa yang diinginkan penulis. Pada kalimat terakhir “Saya sudah bilang siap bertanggung jawab jika dia hamil,” tegas DH. Jika SN hamil, laki-laki akan bertanggung jawab, itu berarti jika SN tidak hamil dirinya tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah melecehkan SN.
Akhirnya antara penulis dan pembaca ini melestarikan bias gender yang terus ada dalam masyarakat. Seolah laki-laki makhluk yang paling berkuasa dan bebas mengungkapkan yang ada dalam pikirannya sendiri, tanpa harus memikirkan bagaimana suara perempuan sebagai korban tidak tergambarkan sedikitpun dalam berita tersebut. Sekalipun perempuan tersebut ikut andil terhadap kesalahan kasus tersebut, tak ada salahnya paparan berasal dari dua pihak yang terlibat kasus pemerkosaan tersebut.
Teks berita pertama, dalam Galamedia, Rabu 8 April 2009 berjudul “Siswi
SMA dan SMK Korban Pencabulan”, penulis atau wartawan tergolong orang lain yang kebetulan mengetahui kejadian tersebut. Hal ini dapat terlihat pada paragraf kedua, yaitu “Kasus yang terjadi di wilayah hukum Polres Ciamis menimpa SR (16), yang diduga di culik dan dicabuli”. Kalimat seperti itu seakan mempertegas jika penulis adalah orang lain yang ikut mengetahui akan kejadian pencabulan yang menimpa gadis berinisial SR (16) ini.
Penulis memposisikan dirinya sebagai laki-laki, terlihat pada paragraf ketiga dalam kalimat pertama, “Beberapa saat setelah ditangkap, Ir mencoba menggeretak petugas dengan mengatakan ayahnya seorang caleg dari sebuah partai besar dan mempunyai pesantren cukup besar”. Suara SR sebagai korban sama sekali tidak tampak dari awal hingga akhir berita, sesekali nampak suara Ir sebagai pelaku terdengar dalam berita ini. Seperti  biasa suara Ir hadir adalah untuk melakukan pembelaan agar dirinya tidak di gelandang polisi ke balik jeruji besi. Untuk itulah Ir menggeretak polisi dengan mengaku jika dirinya adalah anak dari orang yang cukup berpengaruh di daerah Ciamis, Ir mengaku ayahnya adalah salah seorang Caleg dari partai besar dan memiliki sebuah pesantren cukup besar. Kalimat tersebut seakan menjelaskan jika kekuasaan bisa mendapatkan segalanya, sekalipun menghalalkan pencabulan pada gadis ABG ini. Seakan semakin mempertegas jika perempuan tak ada artinya dibandingkan dengan kekuasaan yang dimiliki seseorang, sekalipun perempuan ini telah kehilangan harga dirinya dengan pencabulan ini. Teks berita kedua, Galamedia, Rabu 8 April 2009 berjudul “Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan”, yang kebetulan jauh lebih pendek dari teks berita pertama dalam pemberitaannya. Penulis masih menempatkan dirinya sebagai orang ketiga atau orang lain yang ikut mengetahui kejadin tersebut, korban maupun pelaku hanya menikmati porsi cerita dari versi wartawan yang menggambarkan dirinya. Penulis memposisikan dirinya sebagai perempuan, tergambar pada paragraf pertama, “Sebelumnya korban dicekoki minuman keras.
Aksi bejat Win terungkap saat masa menggerebek tempatnya dan menyerahkannya ke polisi”. Kalimat di atas terdapat klimat “dicekoki minuman” penulis mengungkapkan dari sisi perempuan yang pada saat itu dalam posisi tersudutkan dengan dicekoki miras oleh sang pelaku yang mempunyai sifat bejat..
Teks berita, Galamedia, Kamis 9 April 2009 berjudul “Dukun Cabul Hamili Anak Tiri”. Penulis lebih mengedepankan suara laki-laki, yaitu Ddg sebagai pelaku. Semua pengakuan atau kesaksian atas kejadian pencabulan yang menimpa NCR berasal dari suara Ddg, sementara suara perempuan dalam teks berita ini adalah NCR sebagai korban tak tertampilkan dengan baik dalam kutipan yang berasal dari pengakuan NCR sendiri atau sekedar klarifikasi atas penggambaran dirinya oleh Ddg (pelaku) yang terlanjur kurang baik. Meski banyak kutipan kesaksian bukan berasal dari pengakuan Ddg, melainkan dari keterangan kesaksian tetangga korban yang mengetahui kejadian tersebut, juga keterangan dari polisi yang menjelaskan kejadian pada penulis yang meliput berita tersebut. Dari runtutan kejadian yang seperti itu, dapat ditarik kesimpulan jika penulis dalam teks berita ini digolongkan sebagai laki-laki.
Semua bukan tanpa alasan, karena dari awal hingga akhir teks berita pengakuan demi pengakuan berasal dari pengakuan Ddg sebagai laki-laki. Ada beberapa kutipan penjelasan yang bukan berasal dari gagasan Ddg sebagai pelaku,
melainkan penjelasan yang berasal dari polisi yang telah menyelidiki kasus tersebut, dapat di lihat pada paragraf kelima. Menurut Iman, kasus pencabulan tersebut terungkap, setelah petugas menerima laporan dan informasi dari warga setempat pada Jumat (3/4). Sebelumnya, korban sempat melahirkan bayinya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Majalaya, kamis (2/4).
Penjelasan ini tidak banyak membantu menutupi kekosongan suara perempuan dalam hal ini adalah NCR sebagai perempuan, karena tidak ada ungkapan berasal dari suara korban.

Analisis Posisi Pembaca pada Teks Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks berita tindakan asusila pada perempuan.

POSISI PEMBACA
Tema: Pencabulan
No.
Harian
Umum/Edisi/Judul
Variabel
Data
1.
Galamedia/Rabu, 19
November 2008/
Cabuli Gadis Remaja,
Seorang Duda Diciduk
Posisi
Subjek
Paragraf akhir dalam kalimat 4
“sebab apa yang dilakukannya itu atas dasar
suka sama suka”.
2.
Galamedia/Rabu, 8
April 2009/Siswi SMA
dan SMK Korban
Pencabulan

Posisi
Subjek
Teks berita pertama, pada paragraf ketiga
dalam kalimat pertama. “Beberapa saat
setelah ditangkap, Ir mencoba menggeretak
polisi dengan mengatakan ayahnya seorang
caleg dari partai besar”.
Teks berita kedua, pada paragraf pertama,
terdapat kalimat “Sebelumnya korban
dicekoki miras”
3.
Galamedia/Kamis, 9
April 2009/Dukun
Cabul Hamili Anak
Tiri
Posisi
Subjek
Paragraf terakhir, kalimat 3
“Hampir 20 kali saya menyetubuhi
korban,”akunya

Analisis:
Berdasarkan tabel di atas dalam Galamedia, Rabu 19 November 2008 berjudul “Cabuli Gadis Remaja, Seorang Duda Diciduk” terdapat kalimat “sebab apa yang dilakukannya itu atas dasar suka sama suka”, terlihat jelas jika wartawan lebih memprioritaskan semua ungkapan DH sebagai pelaku dalam posisi laki-laki, dengan konsep berita seperti itu posisi pembaca dalam teks berita ini diposisikan sebagai pihak laki-laki (DH). Pemosisian seperti itu pembaca tidak akan banyak protes, karena selaras dengan apa yang diinginkan penulis. Pada akhirnya antara penulis dan pembaca ini melestarikan bias gender yang terus ada dalam masyarakat.
Mengikuti arah pikiran dari DH sebagai pelaku dan sebagai laki-laki, hal tersebut tergambarkan pada paragraf akhir. Dikatakannya, perbuatannya itu kembali diulanginya setelah korban bangun sekitar pukul 18.00 WIB. Begitu bangun, dia ke kamar mandi. Terus kami main lagi di situ,ungkap DH yang bersikeras jika dirinya tidak bersalah, sebab apa yang dilakukannya itu atas dasar
suka sama suka. “Saya sudah bilang siap bertanggung jawab jika dia hamil, “ ujar DH.
Melalui konsep pemberitaan yang seperti itu pembaca secara tidak langsung ikut tergolong sama dengan penulis, menempatkan dirinya sebagai laki-laki yang lebih berkuasa dibandingkan perempuan.Teks berita ini tidak menggambarkan kronologi kejadian sampai terjadinya penculikan yang berujung pencabulan. Padahal jika diruntut pelaku dan korban telah diketahui oleh polisi setidaknya, hal ini dapat dijadikan bahan penggalian untuk mendapatkan keterangan dari keduanya atas kejadian tersebut. Belum lagi tidak ada satupun kalimat yang menyatakan perlawanan dari perempuan sebagai korban. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi pembaca, peristiwa asusila tersebut terjadi karena, perempuan dalam teks berita tidak menolak saat diajak pergi oleh pelaku. Hal tersebut terlihat pada paragraf keempat. Ir ditangkap setelah dihadang di jembatan Cirahong. Sebelumnya petugas dari Ciamis mencarinya ke Kec. Jatiwaras, Tasikmalaya. Ternyata Ir baru saja meninggalkan Jati Waras dengan membawa SR, siswi sebuah SMK di Ciamis. Petugas balik lagi dan melakukan penghadangan di Jembatan Cirahong hingga akhirnya tersangka pun ditangkap.
Teks berita Galamedia, Rabu 8 April 2009 berjudul “Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan”. Menceritakan dua kisah, cerita pertama, Penulis memposisikan dirinya sebagai laki-laki, terlihat pada paragraf ketiga dalam kalimat pertama, “Beberapa saat setelah ditangkap, Ir mencoba menggeretak petugas dengan mengatakan ayahnya seorang caleg dari sebuah partai besar dan mempunyai pesantren cukup besar”. Suara SR sebagai korban sama sekali tidak tampak dari awal hingga akhir berita, sesekali nampak suara Ir sebagai pelaku dipaparkan kembali untuk diinformasikan oleh penulis menjadi sebuah teks berita.
Sementara itu, cerita kedua, pembaca menempatkan diri sebagai perempuan, terlihat pada paragraf pertama, terdapat kalimat “Sebelumnya korban dicekoki miras”. Ungkapan seperti itu menjadi acuan jika penulis berusaha mengungkapkan korban benar-benar diperdayai oleh pelaku, hingga pada akhirnya pembaca akan menempatkan posisinya pada saat dicekoki minuman keras.
Teks berita dalam Galamedia, Kamis April 2009 berjudul “Dukun Cabul Hamili Anak Tiri”, pada paragraf ke-14 terdapat kutipan ungkapan pelaku kepada penulis dan tergambarkan dalam satu paragraf. “Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat melakukan itu, karena sering melihat korban tidur dengan kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka dengan korban tinggal dalam satu rumah. Hampir 20 kali saya menyetubuhi korban, akunya”. Penulisan pada paragraf terakhir ini ingin menerangkan jika pelaku tidak mendapatkan perlawanan dari korban, hingga dapat menyetubuhi korban sebanyak 20 kali tanpa perlawanan yang berarti. Pembaca hanyut dalam konsep berita seperti itu, dan mengikuti alur pemikiran teks berita yang menginginkan laki-laki sebagai pencerita atau narator tunggal. Konsep teks berita yang seperti itu, pembaca tergolong atau dianggap sebagai laki-laki. Sementara itu, pihak korban atau perempuan dibiarkan tak ada, karena perempuan dalam teks berita ini rela atau pasrah saat dirinya diperdayai oleh pelaku (laki-laki) dalam teks berita ini.
Analisis Posisi Perempuan pada Teks Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks berita tindakan asusila pada perempuan.

Posisi Perempuan
Tema: Pencabulan
No.
Harian
Umum/Edisi/Judul
Variabel
Data
1.
Galamedia/Rabu, 19
November 2008/
Cabuli Gadis Remaja,
Seorang Duda Diciduk
Posisi
Perempuan
Paragraf 5
Menurut pengakuan tersangka DH yang juga duda
satu anak ini kepada wartawan di Mapolsekta
Rancasari, dirinya tidak menyangka akan ditahan
polisi akibat perbuatannya itu. “Soalnya kita
melakukannya suka sama suka,” aku DH.
2.
Galamedia/Rabu, 8
April 2009/Siswi SMA
dan SMK Korban
Pencabulan

Posisi
Perempuan
Teks berita pertama, paragraf 5
Menurut keterangan, Ir diduga melarikan SR,
siswi sebuah SMK di Ciamis. Perkenalan Ir
dengan SR berawal dari SMS nyasar, yang
berlanjut dengan perkenalan. Ir dengan gencar
mengirim rayuan gombal lewat SMS dan
mengaku masih bujangan; padahal sudah punya
anak istri.
Pada teks berita kedua, pada paragraf tujuh
kalimat ketiga. “Aksi bejat Win terungkap saat
masa menggerebek tempatnya dan
menyerahkannya ke polisi”.
3.
Galamedia/Kamis, 9
April 2009/Dukun
Cabul Hamili Anak
Tiri
Posisi
Perempuan
Paragraf 1, kalimat 2
Akibat perbuatannya, korban yang tinggal satu
rumah dengan tersangka melahirkan bayi kembar perempuan, satu diantaranya meninggal dunia.

Analisis:
Berdasarkan tabel di atas dalam teks berita Galamedia, Rabu 19 November 2008 berjudul “Dukun Cabul Hamili Anak Tiri”. Posisi perempuan tersisishkan dari posisi laki-laki dalam teks berita ini menjadi narator tunggal yang berbicara semua rangkaian cerita dalam kejadian tersebut. Hal tersebut dapat terlihat dari paragraf lima. “Menurut pengakuan tersangka DH yang juga duda satu anak ini kepada wartawan di Mapolsekta Rancasari, dirinya tidak menyangka akan ditahan polisi akibat perbuatannya itu. Soalnya kita melakukannya suka sama suka”. Kalimat “suka sama suka” seakan dalam kasus yang disajikan teks berita ini tidak ada unsur pemaksaan apalagi sampai terjadi pemerkosaan pada SN, dan dalam kalimat seperti itu menyiratkan jika perempuan (SN) rela untuk diperdayai oleh orang yang baru dia kenal beberapa hari, yakni DH sebagai pelaku
pencabulan terhadap dirinya.
Teks berita pertama, Galamedia, Rabu 8 April 2009 berjudul “Siswi SMA
dan SMK Korban Pencabulan”. Teks berita pertama, posisi perempuan melemah dan laki-laki masih jauh lebih berkuasa dalam berkata-kata atau memberikan informasi perihal peristiwa yang menimpa SR, belum lagi pada paragraf lima terdapat pernyaataan yang mengatakan “Menurut keterangan, Ir diduga melarikan SR, siswi sebuah SMK di Ciamis. Perkenalan Ir dengan SR berawal dari SMS nyasar, yang berlanjut dengan perkenalan. Ir dengan gencar mengirim rayuan gombal lewat SMS dan mengaku masih bujangan; padahal sudah punya anak istri”.
Paragraf di atas memberikan keterangan jika SR sebagai perempuan menurut saja di ajak berkenalan lewat SMS hingga mau di rayu oleh orang yang belum dia kenal, sampai pada akhirnya mau di ajak bertemu. Ungkapan demi ungkapan yang sebenarnya ingin membantu posisi SR agar terlihat benar-benar menjadi korban, namun pada akhirnya justru semakin menyudutkan SR sebagai korban, dan sebagai perempuan. Pasalnya tidak ada ungkapan atau keterangan seputar peristiwa yang telah merugikan perempuan tersebut.
Posisi perempuan dalam teks berita kedua, tak kalah lemahnya dengan teks
berita pertama, karena perempuan korban BD (17) tergambar seakan mau saja meminum miras yang diberikan pelaku. Dalam teks berita kedua ini tak terlihat satupun penggambaran yang menyatakan penolakan atau perlawanan dari BD sebagai korban. Belum lagi dari penangkapan Win (23) sebagai pelaku tidak tergambarkan karena pelaporan pelecehan bukan berasal dari BD sendiri sebagai korban, melainkan dari masyarakat sekitar rumah BD. Hal ini seakan tak ada inisiatif dari BD sebagai korban yang telah dilecehkan harga dirinya, tidak menuntut keadilan untuk dirinya sendiri agar pelaku di tangkap polisi dan menanggung akibat perbuataannya. Hal tersebut terlihat dalam paragraf tujuh, pada kalimat kedua dan kalimat ketiga “Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi bejat Win terungkap saat masa menggerebek tempatnya dan menyerahkannya ke polisi”.
Teks berita ini disajikan dalam bentuk beberapa paragraf pendek (dapat di
lihat teks berita utuh pada halaman lampiran), dengan penginformasian yang seperti itu banyak jawaban yang tidak didapatkan oleh para pembaca, misalnya apakah BD mau saja saat dicekoki minuman keras? Apakah BD sempat menolak atau melawan atas perlakuan Win tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak mendapatkan jawaban dalam teks berita ini. Hal ini sangat berpengaruh bagi
pembaca untuk mendapatkan informasi lengkap atas pemberitaan tindakan asusila
ini. Jika sudah begini informasi akan simpang siur tentang keadaan perempuan pada saat terjadinya pelecehan.
Teks berita dalam, Galamedia, Kamis 9 April 2009 berjudul “Dukun Cabul Hamili Anak Tiri”, posisi perempuan tak tampak sekalipun suaranya sekedar memberikan pembelaan terhadap dirinya, semua telah di dominasi oleh Ddg sebagai pelaku. Terlihat Paragraf pertama, kalimat kedua, “Akibat perbuatannya, korban yang tinggal satu rumah dengan tersangka melahirkan bayi kembar perempuan, satu diantaranya meninggal dunia”. Posisi perempuan tergeser dengan suara atau pengakuan cerita milik Ddg sebagai laki-laki. Teks berita ini memberikan satu sumbangan lagi penghilangan suara perempuan yang sering kali terjadi dan dibiarkan tak ada dalam teks media massa, sementara perempuan sesungguhnya ikut terlibat dalam peristiwa tersebut. Perempuan pula yang menjadi korban dan mengalami kerugian yang jauh lebih banyak dari pelaku. Di tambah dengan konsekuensi yang harus diterima oleh perempuan dalam teks ini adalah memiliki bayi yang belum dia inginkan.
Perempuan dalam teks ini harus berhenti dari bangku sekolahnya, teks berita ini akan membuat masyarakat berpikir tidak adakah perlawanan dari diri NCR sebagai perempuan? Bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi? Bagaimana
pemerkosaan tersebut bisa terjadi berulang hingga 20 kali? Pertanyaan yang muncul seperti itu tak mendapatkan jawaban dari perempuan sebagai korban. Pada
saat wartawan mengutip pernyataan pelaku, bermaksud ingin menyalahkan pelaku
atas perbuatannya tersebut, namun kenyataannya tak banyak membantu perempuan sebagai korban dalam teks berita ini. Hal tersebut dapat terlihat dalam
paragraf akhir yang berbunyi seperti ini. Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat melakukan itu, karena sering melihat korban tidur dengan kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka dengan korban tinggal dalam satu rumah. “Hampir 20 kali saya menyetubuhi korban,” akunya.
Kalimat pertama korban dianggap salah karena, saat tidur kerap memperlihatkan sebagian tubuhnya. Hal ini yang membuat Ddg merasa tergoda pada NCR. Jika kita telaah lebih dalam, pada saat kita tertidur tentu tak akan menyadari posisi tidur kita seperti apa? Apalagi ada beberapa bagian tubuhnya yang terlihat, karena pada saat tidur siapapun itu tidak dapat mengendalikan diri, dalam teks berita ini kebetulan perempuan (NCR). Jika memang laki-laki ini adalah ayah tiri yang baik mengapa tak menutupi bagian tubuh anak tirinya ini dengan selimut yang dapat melindungi tubuh anak tirinya tersebut. Pada kalimat kedua tak kalah kejam dengan pernyataan pelaku pada kalimat pertama, pelaku dapat memperdayai korban sebanyak 20 kali tanpa sekalipun digambarkan perlawanan pada diri NCR sebagai perempuan.
Namun, dalam teks berita ini perempuan di anggap sebagai salah satu pihak yang ikut bersalah dengan cara memperlihatkan sebagian tubuhnya pada saat tertidur. Pikiran laki-laki yang berusaha menyelamatkan diri dengan menyudutkan posisi perempuan dalam teks berita memiliki alibi, andai saja pada saat tidur NCR (perempuan) dapat lebih mengontrol bagian tubuhnya itu tentu peristiwa pemerkosaan ini tak akan pernah terjadi. Pemikiran seperti itu laki-laki sedikit terselamatkan dengan alasan peristiwa tersebut, bukan sepenuhnya kesalahan laki-laki, karena perempuan ini membiarkan dirinya dilecehkan oleh laki-laki.

B. Rangkuman
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan atau teori kritis, wacana terdiri atas struktur supra, mikro, dan makro.  Hal itu menunjukkan wacana tidak bisa terlepas dari tindakan, teks, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi yang melingkunginya. Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi (pengetahuan, ideologi, kepentingan, dan sebagainya) sosial pembuat wacana. Oleh karena itu, teori kritis sangat relevan digunakan dalam menganalisis wacana.

C. Umpan Balik
1.      Jelaskanlah secara garis besar hakikat analisis wacana kritis !
2.      Buatlah contoh analisis wacana kritis (Van Djick) dengan menggunakan petikan wacana dari salah satu surat kabar nasional!

D. Daftar Pustaka
Darma, Yoce A. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Eriyanto.2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara.
Jufri. 2006. Strukur Wacana dalam Lontara La Galigo: Kajian Kritis. Disertasi. (Tidak diterbitkan). Malang: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Program Pascasarjana. Universitas Negeri Malang.
Rosidi, Sakban. 2007. Analisis Wacana Kritis sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana. Makalah disajikan pada Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Bahasa, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007.

Tidak ada komentar: