Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 28 Desember 2014

MODUL WACA ARIFIN///hakikat wacana

BAGIAN I

HAKIKAT WACANA DAN ANALISIS WACANA


Kompetensi Dasar :

Mengenali hakikat wacana dan analisis wacana untuk mendapatkan pengetahuan teoretis berdasarkan perspektif atau pandangan formal, fungsional, dan formal-fungsional (dialektika).

Indikator :

1.     Mahasiswa dapat menjelaskan pendekatan wacana dan analisis wacana
2.     Mahasiswa dapat menjelaskan kakikat wacana berdasarkan pendekatan-pendekatan analisis wacana yang ada.
3.     Mahasiswa dapat menjelaskan kakikat analisis wacana berdasarkan pendekatan-pendekatan analisis wacana yang ada.

A.  Uraian Materi

1. Pendekatan  Wacana dan Analisis Wacana 
Ada banyak pengertian wacana dan pengertian analisis wacana. Pangertian itu ada yang sejalan dan ada pula yang berbeda. Adanya pengerian wacana dan pengertian analisis wacana yang beragam disebabkan oleh pandangan, pendekatan, atau paradigma yang digunakan para ahli berbeda-beda.  Pandangan, paradigma, atau pendekatan yang dimaksud pada prinsipnya dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu pandangan, paradigma, atau pendekatan formal, fungsional, dan dialektika, yaitu gabungan paradigma formal dan fungsional. 
1.1 Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana  Formal
Pendekatan wacana dan analisis wacana yang pertama adalah pendekatan formal yang memandang bahasa sebagai sistem tanda yang terpisah dari faktor-faktor eksternal bahasa. Bahasa bersifat sistemis dan sistematis. Artinya, bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik yang dikombinasikan oleh kaidah-kaidah yang dapat diramalkan (Ibrahim, 1999). Berdasarkan asumsi tersebut, deskripsi bahasa yang dihasilkan berupa ciri-ciri formal bahasa, yakni unsur-unsur bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis) dan kaidah-kaidah bahasa atau struktur bahasa. Pendekatan formal dikenal secara luas sebagai pendekatan struktural. Hal ini terungkap pada  pendapat  yang  menyatakan  prinsip  yang dianut pandangan struktural adalah bahasa terbentuk oleh seperangkat kaidah (Schiffrin, 2007). Pandangan kaum strukturalis ini yang menjadi pandangan dasar, pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana dan analisis wacana secara formal.

1.2 Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana  Fungsional
Pendekatan wacana dan analisis wacana yang kedua adalah pendekatan fungsional. Pendekatan fungsional memandang bahasa sebagai sistem terbuka. Bahasa tidak bisa lepas dari keberadaan faktor eksternal bahasa, yaitu ciri sosial, ciri biologis, ciri demografi, dan sebagainya. Penggunaan bahasa dalam konteks sosial merupakan sentral dalam analisisnya berdasarkan pandangan bahwa dalam fungsinya sebagai alat berkomunikasi, bahasa juga menunjukkan identitas sosial, bahkan budaya pemakainya (Ibrahim, 1999). Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa pendekatan fungsional pada prinsipnya mendasarkan pemeriannya pada pemakaian bahasa yang sebenarnya dalam masyarakat, meliputi kerangka dan latar (situasi, tempat, waktu), interaksi berbeda, serta norma sosial budaya masyarakat. Hasilnya memperlihatkan adanya berbagai variasi dan fungsi  bahasa sesuai dengan latar interaksi dan norma sosial, dan budaya masyarakat.  Pandangan atau pendekata tersebut melahirkan pengertian wacana sebagai bahasa dalam penggunaan. Wacana dipahami sebagai suatu peristiwa komunikasi, yakni perwujudan dari individu yang sedang berkomunikasi (Schiffrin, 2007). Berdasarkan pendekatan tersebut, analisis wacana lebih ditekankan pada upaya memahami maksud dan fungsi-fungsi penggunaan bahasa pada suatu wacana. Pandangan kaum fungsionalis ini yang menjadi pandangan dasar, pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana dan analisis wacana secara fungsional.

1.3  Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana Dialektika (Formal-Fungsional)
Pendekatan wacana dan analisis wacana yang ketiga adalah paradigma dialektika. Paradigma dialektika merupakan penggabungan pendekatan formal dan pendekatan fungsional. Paradigma ini memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Pandangan ini didasarkan pada pentingnya membahas teks dan konteks. Hubungan teks dan konteks tidak terlepas dari hubungan-hubungan lain yang sering dianggap berada antara bahasa dan konteks. Pemunculan paradigma katiga dapat dikatakan untuk meningkatkan cakupan analisis wacana. Pandangan ini yang menjadi pandangan dasar, pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana dan analisis wacana secara dialektika atau gabungan formal-fungsional.
Pemahaman mengenai paradigma adalah hal yang sangat fundamental dalam melakukan analisis wacana. Paradigma yang digunakan akan memberikan arahan bagi seseorang dalam melakukan analisis wacana. Dengan berangkat dari paradigma yang pasti dan jelas, hasil analisis wacana yang diperoleh pun menjadi jelas. Selain itu, paradigma juga memegang peranan penting bagaimana nantinya seseorang  melakukan analisis wacana, bagaimana ia memandang suatu fenomena, kepekaannya dan daya analisisnya.

2. Hakikat Wacana
Wacana berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu vacana, yang berarti bacaan. Selanjutnya, kata wacana itu (vacana) masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru, yang berarti ‘bicara, kata, dan ucapan’. Kemudian, kata wacana dalam bahasa Jawa Baru itu diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana, yang berarti ‘ucapan, percakapan, kuliah’ (Poerwadarminta 1976:1144). Selanjutnya, kata wacana dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai terjemahan kata discourse dalam bahasa Inggris. Kata discourse secara etimologis berasal dari bahasa latin, yaitu discursusus ‘lari kian kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari, berjalan kencang’. Lebih lanjut dinyatakan oleh Baryadi (2002:2) bahwa istilah wacana dan discourse dipakai dalam istilah linguistik. Dalam hal ini, wacana dimengerti sebagaimana dikatakan Stubbs (1983) bahwa wacana  adalah bahasa di atas kalimat. Wacana dipandang sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari unsur-unsur yang secara hierarkis lebih besar tatarannya dari klausa dan kalimat. Hal itu dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Bagan 2.1  Hierarki Satuan-satuan Bahasa

Trapezoid: WACANA
KALIMAT
KLAUSA
FRASA
KATA
MORFEM
FONEM
FONA

           





(Sumber: Tarigan 1987:27)
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Kridalaksana (1978:23), bahwa dalam konteks tata bahasa, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Artinya, wacana itu mencakup kalimat, alinea atau paragraf, penggalan wacana, dan wacana utuh. Hal ini dipertegas oleh Djajasudarma (1994:3), bahwa wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, frasa, bahkan kata yang membawa amanat yang lengkap.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebuah wacana dalam realisasinya selalu berupa sekumpulan kalimat. Kalimat dapat dibentuk dari sekumpulan klausa, frasa, kata, morfem, fonem, dan fona. Berkaitan dengan hal itu, bahasa yang digunakan untuk membentuk suatu wacana harus bersifat kohesif dan koheren, atau terjalin erat antara satu dan yang lain, disusun secara teratur dan sistematis di dalam rangkaian kalimat, baik dalam bentuk lisan maupun tulis. Hakikat wacana seperti diuraikan tersebut pada dasarnya beranjak dari pandangan formal. Berdasarkan pendekatan formal, wacana berwujud kalimat-kalimat yang runtut dan utuh. Wacana dibangun dengan struktur tertentu.
Wacana dapat pula beranjak dari pandangan fungsional, yakni wacana dipandang sebagai bahasa dalam penggunaan. Dengan cara pandang tersebut, wacana dipahami sebagai peristiwa komunikasi, yakni perwujudan dari individu yang sedang berkomunikasi. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan oleh pembicara dipandang sebagai wujud dari tindakan pembicaranya (Schiffrin, 2007:24).   
Pengertian wacana dalam pandangan fungsional juga tampak pada pandangan Samsuri (1987:1), wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi yang dapat menggunakan bahasa lisan dan bahasa tertulis. Itu berarti, wacana mempelajari bahasa dalam pemakaiannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Darma (2009:1), bahwa wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang harus ada dalam suatu rangkaian kesatuan situasi. Dapat dikatakan bahwa wacana tidak bisa terlepas dari konteks (situasi) yang melingkunginya. Jack Ricards, et al. (1987:83-84) dalam Longman Dictionary of Applied Linguistik, menyatakan bahwa wacana (discourse) merupakan contoh umum bagi contoh-contoh penggunaan bahasa, yakni bahasa yang diproduksi sebagai hasil dari suatu tindakan komunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wacana menekankan pada segi pemakaian bahasa. Hal itu sejalan dengan pernyataan Sobur (2009), bahwa wacana adalah rangkaian ujaran atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, baik dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Pada hakikatnya, unsur nonsegmental dalam sebuah wacana berhubungan dengan situasi, tujuan, makna, dan konteks yang berada dalam rangkaian tindak tutur.
Hakikat wacana juga dikembangkan berdasarkan pandangan formal dan fungsional secara dialektis. Artinya, aspek-aspek kebahasaan yang disusun dan digunakan oleh pembicara dipandang sebagai wujud dari tindakan pembicaranya (Schiffrin, 2007:24). Hal tersebut sesuai dengan pandangan yang disampaikan Tarigan (1987:27), yaitu wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi; atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi, yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis. Selain itu, wacana dapat dipandang sebagai ujaran, yakni dipahami sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak hanya dipandang sebagai sistem (langue), tetapi juga dipandang sebagai parole. Meskipun ujaran dalam suatu wacana disusun berdasarkan gramatika (sistem bahasa), tetapi makna ujaran itu timbul karena lawan bicara juga memperhatikan konteks penggunaan bahasanya. Dengan demikian, selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus diperhatikan pada saat menyusun dan memahami wacana.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Webster (dalam Syamsuddin 1997:5), bahwa wacana dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus dalam satu rangkaian (connected) dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa yang diungkapkan dalam wacana itu pasti menyangkut suatu hal (subjek) dan pengungkapannya berjalan menurut tata cara yang teratur. Dalam hal ini, wacana dapat berbentuk percakapan singkat atau sepenggal tulisan.
Dalam perkembangannya, pandangan formal dan fungsional dikenal dengan pandangan kritis. Fairclough dan Wodak (1997) dalam Darma (2009:51) menyatakan bahwa dalam pandangan kritis, wacana dilihat sebagai pemakaian bahasa, baik tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk praktik sosial. Menggunakan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa deskriptif (menggunakan bahasa) tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi. Wacana ini dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas melalui perbedaan representasi dalam posisi sosial yang ditampilkan.
Berdasarkan uraian tentang wacana dari beberapa ahli bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pendekatan formal, wacana adalah satuan bahasa di atas kalimat yang terlengkap dan terluas dengan kohesi dan koherensi yang tinggi, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, serta dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Selanjutnya, berdasarkan pendekatan fungsional, wacana adalah rekaman peristiwa komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis dalam konteks interaksi yang mempunyai makna, maksud, atau tujuan tertentu. Sementara itu, berdasarkan pendekatan formal dan fungsional secara dialektis, wacana berupa rangkaian tuturan lisan atau tulisan yang teratur yang mengungkapkan suatu hal (subjek). Dalam pandangan ini, wacana dapat dikatakan sebagai pemakaian bahasa, baik tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk dari praktik sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi atau pandangan penulis dalam konteks sosial.

3. Hakikat Analisis Wacana
Ada tiga pandangan berbeda mengenai bahasa dalam analisis wacana (Hikam, dalam Eriyanto, 2001:4). Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Aliran ini menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa adanya hambatan. Hal ini berlaku selama ia dinyatakan dengan logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif dari sebuah pernyataan, sebab yang paling penting adalah apakah pernyataan itu sudah benar menurut kaidah semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan bahasa sebagaimana dalam pandangan formal terhadap bahasa.  Analisis wacana di sini dikembangkan berdasarkan pandangan atau pendekatan formal.
 Pandangan yang kedua diwakili oleh kaum konstruktivisme. Dalam aliran ini, bahasa tidak dipandang sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan oleh subjek sebagai penyampai pernyataan. Justru, konstruksivisme memandang subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan wacana. Dalam hal ini, bahasa dipahami sebagai pernyataan yang dihidupkan dengan tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan realitas sosial. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan maksud tertentu. Analisis wacana adalah suatu upaya untuk membongkar maksud penulis yang tersembunyi dalam wacana itu. Analisis wacana seperti ini dikembangkang berdasarkan pandangan fungsional atau padangan interpretivisme.
Selanjutnya, pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Aliran ini mengoreksi pandangan konstruksivisme yang kurang sensitif pada produksi dan reproduksi makna yang terjadi, baik secara historis maupun institusional. Menurut aliran ini, paham konstruksivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu. Pemikiran inilah yang akan melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan konstelansi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Pemilihan bahasa dalam paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek dan strategi tertentu. Oleh karena itulah, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar praktik kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi dalam wacana. Analisis wacana seperti ini  dapat dikatakan menggunakan paradigma dialektika, yaitu mengaitkan unsur formal kebahasaan yaitu diksi, bentuk-bentuk, dan fungsi atau maksud penggunaan bahasa yang direalisasikan dalam bentuk tuturan.  
Ancangan atau paradigma kritis menurut J.L. Mey, R.E. Asher (1998) dalam (Jufri, 2006:24) merupakan suatu asumsi yang menguraikan aspek bahasa dan menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu, perlu digunakan pilihan bahasa yang tepat untuk menggambarkan tujuan tertentu dalam praktik sosial.
Pada hakikatnya, tindakan digunakan untuk memahami suatu wacana.  Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa konsekuensi bagaimana bahasa dilihat. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan membujuk, mengganggu, bereaksi, menanggapi, menyarankan, memperjuangkan, memengaruhi, berdebat, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol, bukan sesuatu yang diekspresikan atau dikendalikan di luar kesadaran. Dengan konsep tersebut, wacana dipahami sebagai suatu bentuk interaksi yang berfungsi untuk menjalin hubungan sosial. Dalam hal ini, penulis menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan pembaca.  
Dalam analisis wacana kritis (AWK), perlu dikaji konteks suatu wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini dimengerti, diproduksi, dan dianalisis dalam konteks tertentu. AWK juga mengkaji konteks dari komunikasi; siapa yang mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan dalam situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan komunikasi, dan bagaimana perbedaan antara setiap pihak. Bahasa dalam hal ini dipahami dalam konteks secara keseluruhan.
Ada tiga hal sentral dalam pengertian teks, konteks, dan wacana.  Teks  adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, melainkan semua jenis ekspresi komunikasi yang ada di dalamnya. Selanjutnya, pengertian konteks dalam hal ini, yaitu memasukkan semua jenis situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi, serta fungsi yang dimaksudkan. Sementara itu, wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatiannya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Dalam hal ini dibutuhkan proses kognisi dan gambaran spesifik dari budaya yang dibawa dalam wacana tersebut.
Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Sebagai contoh, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mengenai pertentangan terhadap kasus Century. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis, tempat teks itu diciptakan (bagaimana situasi sosial politik dan suasana pada saat itu). Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis, perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut dengan kontrol. Bentuk kontrol tersebut terhadap wacana bisa bermacam-macam. Kontrol terhadap konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus berbicara, dan siapa pula yang hanya mendengar dan mengiakan, atau siapa yang mendominasi dan siapa yang didominasi. Selain konteks, kontrol dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana. Hal ini dapat dilihat dari penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu. 
Selain itu, ada konsep sentral dalam AWK, yaitu ideologi. Pada hakikatnya, setiap bentuk teks, percakapan, dan sebagainya adalah salah satu praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana kelompok dominan mempersuasi dan mengomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki, sehingga absah dan benar. Semua karakteristik penting dari analisis wacana kritis, tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi penjelasan bagaimana wacana dikembangkan dan memengaruhi khalayak.
Pada hakikatnya, ideologi dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Tidak bisa dimungkiri bahwa teks disajikan sebagai cerminan dari suatu hegemoni (ideologi dan kekuasaan). Teori klasik mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok dominan yang bertujuan untuk memproduksi dan melegitiminasi dominasi mereka. Hegemoni dalam pandangan Fairclough lebih menekankan pada teori kekuasaan dengan pemahaman bahwa kekuasaan suatu komunitas yang dominan dapat menguasai komunitas yang lain.
Ada banyak ranting aliran (variance) dalam paradigma analis wacana kritis, tetapi semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari ideologi, kepentingan, dan jaring-jaring kekuasaan. Oleh karena itu, analisis wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai peranti untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan berwacana.
Menurut Rosidi (2007:11), dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana kritis yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan Teun A. Van Dijk. Dibanding sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih jernih dalam merinci struktur, komponen, dan unsur-unsur wacana. Teun A. Van Dijk memperlakukan wacana sebagai entitas berstruktur. Karena itu, pendekatan yang ditawarkan pun bertolak dari pencermatan atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: struktur supra, struktur mikro, dan struktur makro (superstructure, micro structure, and macrostructure) (Rosidi, 2007:10).  Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana. Sementara itu, struktur mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning) suatu wacana. Ini dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh pemakaian bahasa dalam suatu wacana.
Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi sosial pembuat wacana. Secara teoretik, pernyataan ini didasarkan pada penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan. Bila dikehendaki sampai pada ihwal bagaimana wacana tertentu bertali-temali dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat, maka analisis wacana kritis ini harus dilanjutkan dengan analisis sosial.
Melalui analisis wacana kritis, bahasa telah digunakan sebagai peranti kepentingan. Wacana publik, terutama pada kasus yang melibatkan kepentingan yang saling berbenturan, terbukti telah dijadikan sebagai senjata, baik bagi yang kuat maupun bagi yang lemah. Satu pihak menggunakan wacana sebagai sarana untuk mengendalikan dan merekayasa batin yang lain. Sebaliknya, pihak lain, dengan peranti wacana pula melakukan perlawanan, atau sekurang-kurangnya melakukan pembangkangan.
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan atau teori kritis, wacana terdiri atas struktur supra, mikro, dan makro.  Hal itu menunjukkan wacana tidak bisa terlepas dari tindakan, teks, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi yang melingkunginya. Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi (pengetahuan, ideologi, kepentingan, dan sebagainya) sosial pembuat wacana. Oleh karena itu, teori kritis sangat relevan digunakan dalam menganalisis wacana.

B. Rangkuman
Ada banyak pengertian wacana dan pengertian analisis wacana. Pangertian itu ada yang sejalan dan ada pula yang berbeda. Adanya pengerian wacana dan pengertian analisis wacana yang beragam disebabkan oleh pandangan, pendekatan, atau paradigma yang digunakan para ahli berbeda-beda.  Pandangan, paradigma, atau pendekatan yang dimaksud pada prinsipnya dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu pandangan, paradigma, atau pendekatan formal, fungsional, dan dialektika, yaitu gabungan paradigma formal dan fungsional. 
Berdasarkan pendekatan formal, wacana adalah satuan bahasa di atas kalimat yang terlengkap dan terluas dengan kohesi dan koherensi yang tinggi, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, serta dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Berdasarkan pendekatan fungsional, wacana adalah rekaman peristiwa komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis dalam konteks interaksi yang mempunyai makna, maksud, atau tujuan tertentu. Sementara itu, berdasarkan pendekatan formal dan fungsional secara dialektis, wacana berupa rangkaian tuturan lisan atau tulisan yang teratur yang mengungkapkan suatu hal (subjek). Dalam pandangan ini, wacana dapat dikatakan sebagai pemakaian bahasa, baik tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk dari praktik sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi atau pandangan penulis dalam konteks sosial.
Sementara itu, analisis wacana merupakan istilah umum yang banyak dipakai dari berbagai disiplin ilmu dan dengan berbagai paradigma. Ada tiga paradigma tentang analisis wacana antara lain: paradigma formal (menonjolkan struktur), paradigma fungsional (menonjolkan penggunaan dalam konteks) dan paradigma formal dan fungsional (dialektik). 
Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris/strukturalis menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala. Pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran tersebut adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya. Sebab, yang terpenting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran tersebut tentang wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama. Wacana dapat diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran sintaksis dan semantik (Rosidi, 2003: 8).
Pandangan kedua, yang diwakili oleh kaum konstruktivisme/ fungsionalis. Aliran ini dipengaruhi oleh fenomenologi yang menolak pandangan positivism-empiris tentang subjek dan objek bahasa dipisahkan. Aliran konstruktivisme memandang bahasa tidak lagi dipahami sebagai realitas objek belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme memandang justru subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan wacana. Bahasa dipahami sebagai pernyataan yang dihidupkan dengan tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yaitu tindakan pembentukan diri atau pengungkapan oleh penulis atau penutur. Oleh karena itu wacana adalah suatu upaya pengunggkapan oleh penulis atau penutur yang menyatakan pernyataan tersebut (Rosidi, 2003: 8).           
Berdasarkan pandangan tersebut, David (1994:20-22) mengklasifikasikan menjadi dua paradigma, yaitu paradigma formal dan paradigma fungsional sebagai berikut :
STRUKTURAL
FUNGSIONAL
v Struktur bahasa (kode) sebagai tata bahasa.
v Hanya sebagai alat yang dapat berkorelasi apa yang dianalisis sebagai kode mendahului analisis penggunaan.
v Fungsi referensi semantik dipakai sebagai normanya.

v Element struktur dianalisis
(perspektif historis atau universal).
v Fungsi (adaptasi), ada keseimbanagan bahasa; semua bahasa pada hakikatnya sama.
v Kode bersifat homogen dan komunitas yang seragam.

v Struktur tuturan sebagai cara berbicara.
v Analisis penggunaan di dahulukan, kemudian analisis kode.
v Pengorganisasian fitur-fitur tambahan memperhatikan kode dan digunakan secara integral.
v Stilistik dan fungsi sosial.

v Elemen dan strukturnya sebagai pendekatan etnografis.

v Fungsi (adaptasi), bahasa bervariasi, gaya, actual, tidak semuanya sama.
v Komunitas tuturan sebagai gaya bahasa.  

Menengahi kedua perbedaan pandangan tersebut, muncul kajian wacana secara dialektik yang memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue) tetapi juga dipandang sebagai parole. Meskipun ujaran dalam suatu wacana disusun berdasarkan gramatika (sistem bahasanya). Dengan demikian, selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus di perhatikan pada saat menyusun suatu ujaran.  

C. Umpan Balik
1.     Jelaskan pendekatan wacana dan analisis wacana yang umumnya dikenal dalam ilmu bahasa!
2.     Jelaskan kakikat wacana berdasarkan pendekatan-pendekatan analisis wacana yang ada!
3.     Jelaskan kakikat analisis wacana berdasarkan pendekatan-pendekatan analisis wacana yang ada!

D. Daftar Pustaka
Arifin, Dr. , M.Pd. SAP, Silabus, dan Handout  Mata Kuliah Analisis Wacana.
Baryadi, Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
Brown dan Yule.1996. Analisis Wacana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Darma, Yoce A. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Djajasudarma, Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: PT Eresco.
Hadi, Sutrisno.1994. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Jorgensen, Marianne dan Louise J Philips. 2007. Analisis wacana Teori & Metode. (Terjemahan).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jufri. 2006. Strukur Wacana dalam Lontara La Galigo: Kajian Kritis. Disertasi. (Tidak diterbitkan). Malang: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Program Pascasarjana. Universitas Negeri Malang.
Kridalaksana, Harimurti. 1978. Keutuhan Wacana dalam Bahasa dan Sastra. Tahun IV No. 1 Jakarta: PPPB.
Oktavianus, 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang : Andalas University.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rosidi, Sakban. 2007. Analisis Wacana Kritis sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana. Makalah disajikan pada Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Bahasa, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007.
Samsuri, 1988. Analisis Wacana. Malang: Proyek Peningkatan dan Pengembangan Perguruan Tinggi Malang.
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. (Terjemahan). Yogyakarta: Pusatka Pelajar.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tarigan, H. G. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Tidak ada komentar: