BAGIAN I
HAKIKAT WACANA DAN ANALISIS
WACANA
Kompetensi Dasar :
Mengenali hakikat wacana
dan analisis wacana untuk mendapatkan pengetahuan
teoretis berdasarkan perspektif atau pandangan formal, fungsional, dan
formal-fungsional (dialektika).
Indikator :
1.
Mahasiswa
dapat menjelaskan pendekatan wacana dan analisis wacana
2.
Mahasiswa
dapat menjelaskan kakikat wacana berdasarkan pendekatan-pendekatan analisis wacana yang ada.
3.
Mahasiswa
dapat menjelaskan kakikat analisis wacana berdasarkan pendekatan-pendekatan analisis wacana yang ada.
A. Uraian Materi
1. Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana
Ada banyak pengertian wacana dan pengertian analisis wacana. Pangertian itu ada yang sejalan dan ada pula
yang berbeda. Adanya pengerian wacana dan pengertian analisis wacana yang
beragam disebabkan oleh pandangan, pendekatan, atau paradigma yang digunakan
para ahli berbeda-beda. Pandangan,
paradigma, atau pendekatan yang dimaksud pada prinsipnya dapat dibedakan atas
tiga macam, yaitu pandangan, paradigma, atau pendekatan formal, fungsional, dan
dialektika, yaitu gabungan paradigma formal dan fungsional.
1.1 Pendekatan
Wacana dan Analisis Wacana Formal
Pendekatan wacana dan analisis
wacana yang pertama adalah pendekatan formal yang memandang bahasa sebagai sistem tanda yang
terpisah dari faktor-faktor eksternal bahasa. Bahasa bersifat sistemis dan
sistematis. Artinya, bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem
fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik yang dikombinasikan oleh
kaidah-kaidah yang dapat diramalkan (Ibrahim, 1999). Berdasarkan asumsi
tersebut, deskripsi bahasa yang dihasilkan berupa ciri-ciri formal bahasa,
yakni unsur-unsur bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis) dan kaidah-kaidah
bahasa atau struktur bahasa. Pendekatan formal dikenal secara luas sebagai
pendekatan struktural. Hal ini terungkap pada
pendapat yang menyatakan
prinsip yang dianut pandangan
struktural adalah bahasa terbentuk oleh seperangkat kaidah (Schiffrin, 2007). Pandangan kaum strukturalis ini yang menjadi
pandangan dasar, pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana
dan analisis wacana secara formal.
1.2 Pendekatan
Wacana dan Analisis Wacana Fungsional
Pendekatan wacana dan analisis wacana yang kedua adalah pendekatan
fungsional. Pendekatan fungsional memandang bahasa sebagai
sistem terbuka. Bahasa tidak bisa lepas dari keberadaan faktor eksternal
bahasa, yaitu ciri sosial, ciri biologis, ciri demografi, dan sebagainya.
Penggunaan bahasa dalam konteks sosial merupakan sentral dalam analisisnya
berdasarkan pandangan bahwa dalam fungsinya sebagai alat berkomunikasi, bahasa
juga menunjukkan identitas sosial, bahkan budaya pemakainya (Ibrahim, 1999).
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa pendekatan fungsional
pada prinsipnya mendasarkan pemeriannya pada pemakaian bahasa yang sebenarnya
dalam masyarakat, meliputi kerangka dan latar (situasi, tempat, waktu), interaksi
berbeda, serta norma sosial budaya masyarakat. Hasilnya memperlihatkan adanya
berbagai variasi dan fungsi bahasa
sesuai dengan latar interaksi dan norma sosial, dan budaya masyarakat. Pandangan atau pendekata tersebut melahirkan
pengertian wacana sebagai bahasa dalam penggunaan. Wacana
dipahami sebagai suatu peristiwa komunikasi, yakni perwujudan dari individu yang
sedang berkomunikasi (Schiffrin, 2007). Berdasarkan pendekatan
tersebut, analisis wacana lebih ditekankan pada upaya memahami maksud dan
fungsi-fungsi penggunaan bahasa pada suatu wacana. Pandangan kaum fungsionalis
ini yang menjadi pandangan dasar, pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian
wacana dan analisis wacana secara fungsional.
1.3 Pendekatan Wacana dan Analisis Wacana Dialektika (Formal-Fungsional)
Pendekatan wacana dan analisis wacana yang ketiga adalah paradigma dialektika. Paradigma dialektika merupakan penggabungan
pendekatan formal dan pendekatan fungsional. Paradigma ini
memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai kumpulan unit
struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Pandangan ini didasarkan pada pentingnya membahas teks dan
konteks. Hubungan teks dan konteks tidak terlepas dari hubungan-hubungan lain
yang sering dianggap berada antara bahasa dan konteks. Pemunculan paradigma
katiga dapat dikatakan untuk meningkatkan cakupan analisis wacana. Pandangan ini yang menjadi pandangan dasar,
pendekatan, atau paradigma yang melahirkan pengertian wacana dan analisis
wacana secara dialektika atau gabungan formal-fungsional.
Pemahaman mengenai paradigma adalah hal
yang sangat fundamental dalam melakukan analisis wacana. Paradigma yang
digunakan akan memberikan arahan bagi seseorang dalam melakukan analisis
wacana. Dengan berangkat dari paradigma yang pasti dan jelas, hasil analisis
wacana yang diperoleh pun menjadi jelas. Selain itu, paradigma juga memegang peranan penting bagaimana nantinya
seseorang melakukan analisis wacana,
bagaimana ia memandang suatu fenomena, kepekaannya dan daya analisisnya.
2. Hakikat Wacana
Wacana berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu vacana,
yang berarti bacaan. Selanjutnya, kata wacana itu (vacana) masuk
ke dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru, yang berarti ‘bicara, kata, dan
ucapan’. Kemudian, kata wacana dalam
bahasa Jawa Baru itu diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana, yang berarti ‘ucapan,
percakapan, kuliah’ (Poerwadarminta 1976:1144). Selanjutnya, kata wacana dalam bahasa Indonesia dipakai
sebagai terjemahan kata discourse dalam bahasa Inggris. Kata discourse
secara etimologis berasal dari bahasa latin, yaitu discursusus ‘lari
kian kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere.
Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari,
berjalan kencang’. Lebih lanjut dinyatakan oleh Baryadi (2002:2) bahwa istilah wacana dan discourse dipakai
dalam istilah linguistik. Dalam hal ini, wacana dimengerti sebagaimana dikatakan Stubbs (1983) bahwa wacana adalah bahasa di atas kalimat. Wacana dipandang sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari unsur-unsur yang secara
hierarkis lebih besar tatarannya dari klausa dan kalimat.
Hal itu dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Bagan 2.1 Hierarki
Satuan-satuan Bahasa
(Sumber: Tarigan
1987:27)
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Kridalaksana
(1978:23), bahwa dalam konteks tata bahasa, wacana merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar. Artinya, wacana itu mencakup kalimat, alinea atau
paragraf, penggalan wacana, dan wacana utuh. Hal ini dipertegas oleh
Djajasudarma (1994:3), bahwa wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang
utuh (novel, buku seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, frasa,
bahkan kata yang membawa amanat yang lengkap.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebuah wacana dalam
realisasinya selalu berupa sekumpulan kalimat. Kalimat dapat dibentuk dari
sekumpulan klausa, frasa, kata, morfem, fonem, dan fona. Berkaitan dengan hal
itu, bahasa yang digunakan untuk membentuk suatu wacana harus bersifat kohesif
dan koheren, atau terjalin erat antara satu dan yang lain, disusun secara
teratur dan sistematis di dalam rangkaian kalimat, baik dalam bentuk lisan
maupun tulis. Hakikat wacana seperti diuraikan tersebut pada dasarnya beranjak
dari pandangan formal. Berdasarkan pendekatan formal, wacana berwujud
kalimat-kalimat yang runtut dan utuh. Wacana dibangun dengan struktur tertentu.
Wacana dapat
pula beranjak dari pandangan fungsional, yakni wacana dipandang sebagai bahasa
dalam penggunaan. Dengan cara pandang tersebut, wacana dipahami sebagai
peristiwa komunikasi, yakni perwujudan dari individu yang sedang berkomunikasi.
Dalam hal ini, bahasa yang digunakan oleh pembicara dipandang sebagai wujud
dari tindakan pembicaranya (Schiffrin, 2007:24).
Pengertian wacana dalam pandangan fungsional juga tampak
pada pandangan Samsuri (1987:1), wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh
tentang peristiwa komunikasi yang dapat menggunakan bahasa lisan dan bahasa
tertulis. Itu berarti, wacana mempelajari bahasa dalam pemakaiannya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Darma (2009:1), bahwa wacana adalah pembahasan bahasa
dan tuturan yang harus ada dalam suatu rangkaian kesatuan situasi. Dapat
dikatakan bahwa wacana tidak bisa terlepas dari konteks (situasi) yang
melingkunginya. Jack Ricards, et al. (1987:83-84) dalam Longman Dictionary
of Applied Linguistik, menyatakan bahwa wacana (discourse) merupakan
contoh umum bagi contoh-contoh penggunaan bahasa, yakni bahasa yang diproduksi
sebagai hasil dari suatu tindakan komunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa wacana menekankan pada segi pemakaian bahasa. Hal itu sejalan dengan
pernyataan Sobur (2009), bahwa wacana adalah rangkaian ujaran atau rangkaian
tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara
teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, baik dibentuk oleh
unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Pada hakikatnya, unsur nonsegmental
dalam sebuah wacana berhubungan dengan situasi, tujuan, makna, dan konteks yang
berada dalam rangkaian tindak tutur.
Hakikat
wacana juga dikembangkan berdasarkan pandangan formal dan fungsional secara dialektis.
Artinya, aspek-aspek kebahasaan yang disusun dan digunakan oleh pembicara
dipandang sebagai wujud dari tindakan pembicaranya (Schiffrin, 2007:24). Hal
tersebut sesuai dengan pandangan yang disampaikan Tarigan (1987:27), yaitu
wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi; atau terbesar di
atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi, yang
berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan
secara lisan atau tertulis. Selain itu, wacana dapat dipandang sebagai ujaran,
yakni dipahami sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas
dari konteks. Dengan cara pandang tersebut, keberadaan kalimat dalam suatu
wacana tidak hanya dipandang sebagai sistem (langue), tetapi juga
dipandang sebagai parole. Meskipun ujaran dalam suatu wacana disusun
berdasarkan gramatika (sistem bahasa), tetapi makna ujaran itu timbul karena
lawan bicara juga memperhatikan konteks penggunaan bahasanya. Dengan demikian,
selain kaidah tata bahasa, konteks penggunaan bahasa juga harus diperhatikan
pada saat menyusun dan memahami wacana.
Hal serupa
juga diungkapkan oleh Webster (dalam Syamsuddin 1997:5), bahwa wacana dapat
berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus
dalam satu rangkaian (connected) dan dibentuk oleh lebih dari sebuah
kalimat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa yang diungkapkan dalam wacana itu pasti
menyangkut suatu hal (subjek) dan pengungkapannya berjalan menurut tata cara
yang teratur. Dalam hal ini, wacana dapat berbentuk percakapan singkat atau
sepenggal tulisan.
Dalam perkembangannya, pandangan formal dan
fungsional dikenal dengan pandangan kritis. Fairclough dan Wodak (1997)
dalam Darma (2009:51) menyatakan bahwa dalam pandangan kritis, wacana dilihat
sebagai pemakaian bahasa, baik tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk
praktik sosial. Menggunakan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah
hubungan dialektis di antara peristiwa deskriptif (menggunakan bahasa) tertentu
dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik
wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi. Wacana ini dapat memproduksi dan
mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial,
laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas melalui perbedaan
representasi dalam posisi sosial yang ditampilkan.
Berdasarkan uraian tentang wacana dari beberapa ahli bahasa
tersebut, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pendekatan formal, wacana adalah
satuan bahasa di atas kalimat yang terlengkap dan terluas dengan kohesi dan
koherensi yang tinggi, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, serta
dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Selanjutnya, berdasarkan
pendekatan fungsional, wacana adalah rekaman peristiwa komunikasi dengan
menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis dalam konteks interaksi
yang mempunyai makna, maksud, atau tujuan tertentu. Sementara itu, berdasarkan
pendekatan formal dan fungsional secara dialektis, wacana berupa rangkaian
tuturan lisan atau tulisan yang teratur yang mengungkapkan suatu hal (subjek).
Dalam pandangan ini, wacana dapat dikatakan sebagai pemakaian bahasa, baik
tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk dari praktik sosial. Praktik
wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi atau pandangan penulis dalam konteks
sosial.
3. Hakikat Analisis Wacana
Ada tiga pandangan berbeda
mengenai bahasa dalam analisis wacana (Hikam, dalam Eriyanto, 2001:4).
Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Aliran ini menyatakan
bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya.
Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat langsung diekspresikan melalui
penggunaan bahasa tanpa adanya hambatan. Hal ini berlaku selama ia dinyatakan
dengan logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Dalam
kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut
adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif dari sebuah pernyataan, sebab
yang paling penting adalah apakah pernyataan itu sudah benar menurut kaidah
semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk
menggambarkan tata aturan bahasa sebagaimana dalam pandangan formal terhadap
bahasa. Analisis wacana di sini dikembangkan berdasarkan
pandangan atau pendekatan formal.
Pandangan yang kedua diwakili oleh kaum
konstruktivisme. Dalam aliran ini, bahasa tidak dipandang sebagai alat untuk
memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan oleh subjek sebagai
penyampai pernyataan. Justru, konstruksivisme memandang subjek sebagai sentral
utama dalam kegiatan wacana. Dalam hal ini, bahasa dipahami sebagai pernyataan
yang dihidupkan dengan tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah
tindakan penciptaan realitas sosial. Oleh karena itu, analisis wacana
dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan maksud tertentu. Analisis wacana
adalah suatu upaya untuk membongkar maksud penulis yang tersembunyi dalam
wacana itu. Analisis wacana seperti ini dikembangkang berdasarkan pandangan fungsional atau
padangan interpretivisme.
Selanjutnya, pandangan ketiga
disebut sebagai pandangan kritis. Aliran ini mengoreksi pandangan
konstruksivisme yang kurang sensitif pada produksi dan reproduksi makna yang
terjadi, baik secara historis maupun institusional. Menurut aliran ini, paham
konstruksivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang
inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk
jenis-jenis subjek tertentu. Pemikiran inilah yang akan melahirkan paradigma
kritis. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan konstelansi kekuatan
yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Pemilihan bahasa dalam
paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk
subjek dan strategi tertentu. Oleh karena itulah, analisis wacana kritis
digunakan untuk membongkar praktik kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi
dalam wacana. Analisis wacana seperti ini
dapat dikatakan menggunakan paradigma dialektika, yaitu mengaitkan unsur
formal kebahasaan yaitu diksi, bentuk-bentuk, dan fungsi atau maksud penggunaan
bahasa yang direalisasikan dalam bentuk tuturan.
Ancangan atau paradigma kritis menurut J.L. Mey, R.E. Asher
(1998) dalam (Jufri, 2006:24) merupakan suatu asumsi yang menguraikan aspek
bahasa dan menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu,
perlu digunakan pilihan bahasa yang tepat untuk menggambarkan tujuan tertentu
dalam praktik sosial.
Pada hakikatnya, tindakan digunakan untuk memahami suatu
wacana. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa konsekuensi bagaimana bahasa
dilihat. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan membujuk,
mengganggu, bereaksi, menanggapi, menyarankan, memperjuangkan,
memengaruhi, berdebat, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu
yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol, bukan sesuatu yang
diekspresikan atau dikendalikan di luar kesadaran. Dengan konsep tersebut,
wacana dipahami sebagai suatu bentuk interaksi yang berfungsi untuk menjalin
hubungan sosial. Dalam hal ini, penulis menggunakan bahasa untuk berinteraksi
dengan pembaca.
Dalam analisis wacana kritis
(AWK), perlu dikaji konteks suatu wacana, seperti latar, situasi, peristiwa,
dan kondisi. Wacana dalam hal ini dimengerti, diproduksi, dan dianalisis dalam
konteks tertentu. AWK juga mengkaji konteks dari komunikasi; siapa yang
mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan dalam
situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan
komunikasi, dan bagaimana perbedaan antara setiap pihak. Bahasa dalam hal ini
dipahami dalam konteks secara keseluruhan.
Ada tiga hal sentral dalam
pengertian teks, konteks, dan wacana.
Teks adalah semua bentuk bahasa,
bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, melainkan semua jenis
ekspresi komunikasi yang ada di dalamnya. Selanjutnya, pengertian konteks dalam
hal ini, yaitu memasukkan semua jenis situasi dan hal yang berada di luar teks
dan memengaruhi pemakaian bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi, serta
fungsi yang dimaksudkan. Sementara itu, wacana dimaknai sebagai konteks dan
teks secara bersama. Titik perhatiannya adalah analisis wacana menggambarkan
teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Dalam hal ini
dibutuhkan proses kognisi dan gambaran spesifik dari budaya yang dibawa dalam
wacana tersebut.
Salah satu aspek penting untuk
bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis
tertentu. Sebagai contoh, kita melakukan analisis wacana teks selebaran
mengenai pertentangan terhadap kasus Century. Pemahaman mengenai wacana
teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis,
tempat teks itu diciptakan (bagaimana situasi sosial politik dan suasana pada
saat itu). Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis, perlu tinjauan untuk
mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa
bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
Analisis wacana kritis
mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan, atau
apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi
merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan
adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Kekuasaan dalam
hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut dengan
kontrol. Bentuk kontrol tersebut terhadap wacana bisa bermacam-macam. Kontrol
terhadap konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan
harus berbicara, dan siapa pula yang hanya mendengar dan mengiakan, atau siapa
yang mendominasi dan siapa yang didominasi. Selain konteks, kontrol dapat juga
diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana. Hal ini dapat dilihat dari
penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu.
Selain itu, ada konsep sentral
dalam AWK, yaitu ideologi. Pada hakikatnya, setiap bentuk teks, percakapan, dan
sebagainya adalah salah satu praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu.
Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana kelompok dominan mempersuasi
dan mengomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki, sehingga
absah dan benar. Semua karakteristik penting dari analisis wacana kritis,
tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi
penjelasan bagaimana wacana dikembangkan dan memengaruhi khalayak.
Pada hakikatnya, ideologi dan
kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Tidak bisa dimungkiri bahwa teks disajikan
sebagai cerminan dari suatu hegemoni (ideologi dan kekuasaan). Teori klasik
mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok dominan yang bertujuan untuk
memproduksi dan melegitiminasi dominasi mereka. Hegemoni dalam pandangan
Fairclough lebih menekankan pada teori kekuasaan dengan pemahaman bahwa
kekuasaan suatu komunitas yang dominan dapat menguasai komunitas yang lain.
Ada banyak
ranting aliran (variance) dalam paradigma analis wacana kritis, tetapi
semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari
ideologi, kepentingan, dan jaring-jaring kekuasaan. Oleh karena itu, analisis
wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai peranti untuk membongkar
kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan
berwacana.
Menurut
Rosidi (2007:11), dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana kritis
yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan Teun A.
Van Dijk. Dibanding sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih
jernih dalam merinci struktur, komponen, dan unsur-unsur wacana. Teun A. Van
Dijk memperlakukan wacana sebagai entitas berstruktur. Karena itu, pendekatan
yang ditawarkan pun bertolak dari pencermatan atas tiga tingkatan struktur
wacana, yaitu: struktur supra, struktur mikro, dan struktur makro (superstructure,
micro structure, and macrostructure) (Rosidi, 2007:10).
Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika,
seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan,
dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan
penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan,
akan diatur demi kepentingan pembuat wacana. Sementara itu, struktur mikro menunjuk
pada makna setempat (local meaning) suatu wacana. Ini dapat digali dari
aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Struktur makro menunjuk
pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari
tema atau topik yang diangkat oleh pemakaian bahasa dalam suatu wacana.
Dengan
menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi
sosial pembuat wacana. Secara teoretik, pernyataan ini didasarkan pada
penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak
dan struktur wacana yang dihasilkan. Bila dikehendaki sampai pada ihwal
bagaimana wacana tertentu bertali-temali dengan struktur sosial dan pengetahuan
yang berkembang dalam masyarakat, maka analisis wacana kritis ini harus
dilanjutkan dengan analisis sosial.
Melalui
analisis wacana kritis, bahasa telah digunakan sebagai peranti kepentingan.
Wacana publik, terutama pada kasus yang melibatkan kepentingan yang saling
berbenturan, terbukti telah dijadikan sebagai senjata, baik bagi yang kuat maupun
bagi yang lemah. Satu pihak menggunakan wacana sebagai sarana untuk
mengendalikan dan merekayasa batin yang lain. Sebaliknya, pihak lain, dengan
peranti wacana pula melakukan perlawanan, atau sekurang-kurangnya melakukan
pembangkangan.
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam pandangan atau teori kritis, wacana terdiri atas struktur supra, mikro,
dan makro. Hal itu menunjukkan wacana
tidak bisa terlepas dari tindakan, teks, konteks, historis, kekuasaan, dan
ideologi yang melingkunginya. Dengan menganalisis keseluruhan komponen
struktural wacana, dapat diungkap kognisi (pengetahuan, ideologi, kepentingan,
dan sebagainya) sosial pembuat wacana. Oleh karena itu, teori kritis sangat
relevan digunakan dalam menganalisis wacana.
B. Rangkuman
Ada banyak pengertian wacana dan pengertian analisis wacana. Pangertian itu ada yang sejalan dan ada pula
yang berbeda. Adanya pengerian wacana dan pengertian analisis wacana yang
beragam disebabkan oleh pandangan, pendekatan, atau paradigma yang digunakan
para ahli berbeda-beda. Pandangan,
paradigma, atau pendekatan yang dimaksud pada prinsipnya dapat dibedakan atas
tiga macam, yaitu pandangan, paradigma, atau pendekatan formal, fungsional, dan
dialektika, yaitu gabungan paradigma formal dan fungsional.
Berdasarkan
pendekatan formal, wacana adalah satuan bahasa di atas kalimat yang terlengkap
dan terluas dengan kohesi dan koherensi yang tinggi, yang mampu mempunyai awal
dan akhir yang nyata, serta dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Berdasarkan pendekatan
fungsional, wacana adalah rekaman peristiwa komunikasi dengan menggunakan
bahasa, baik secara lisan maupun tertulis dalam konteks interaksi yang
mempunyai makna, maksud, atau tujuan tertentu. Sementara itu, berdasarkan
pendekatan formal dan fungsional secara dialektis, wacana berupa rangkaian
tuturan lisan atau tulisan yang teratur yang mengungkapkan suatu hal (subjek).
Dalam pandangan ini, wacana dapat dikatakan sebagai pemakaian bahasa, baik
tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk dari praktik sosial. Praktik
wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi atau pandangan penulis dalam konteks
sosial.
Sementara itu, analisis wacana merupakan istilah umum yang banyak dipakai dari berbagai
disiplin ilmu dan dengan berbagai paradigma. Ada tiga paradigma tentang
analisis wacana antara lain: paradigma formal (menonjolkan struktur), paradigma
fungsional (menonjolkan penggunaan dalam konteks) dan paradigma formal dan
fungsional (dialektik).
Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris/strukturalis
menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di
luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung
diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala. Pernyataan yang
logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu
ciri dari pemikiran tersebut adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas.
Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman
tersebut adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif atau nilai yang
mendasari pernyataannya. Sebab, yang terpenting adalah apakah pernyataan itu
dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena
itu, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran tersebut tentang
wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat,
bahasa dan pengertian bersama. Wacana dapat diukur dengan pertimbangan
kebenaran/ketidakbenaran sintaksis dan semantik (Rosidi, 2003: 8).
Pandangan kedua, yang diwakili oleh kaum konstruktivisme/
fungsionalis. Aliran ini dipengaruhi oleh fenomenologi yang menolak pandangan
positivism-empiris tentang subjek dan objek bahasa dipisahkan. Aliran
konstruktivisme memandang bahasa tidak lagi dipahami sebagai realitas objek
belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme
memandang justru subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan wacana. Bahasa
dipahami sebagai pernyataan yang dihidupkan dengan tujuan tertentu. Setiap
pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yaitu tindakan
pembentukan diri atau pengungkapan oleh penulis atau penutur. Oleh karena itu
wacana adalah suatu upaya pengunggkapan oleh penulis atau penutur yang
menyatakan pernyataan tersebut (Rosidi, 2003: 8).
Berdasarkan pandangan tersebut, David (1994:20-22)
mengklasifikasikan menjadi dua paradigma, yaitu paradigma formal dan paradigma fungsional sebagai berikut :
STRUKTURAL
|
FUNGSIONAL
|
v
Struktur bahasa (kode) sebagai
tata bahasa.
v
Hanya sebagai alat yang dapat
berkorelasi apa yang dianalisis sebagai kode mendahului analisis penggunaan.
v
Fungsi referensi semantik
dipakai sebagai normanya.
v
Element struktur dianalisis
(perspektif
historis atau universal).
v
Fungsi (adaptasi), ada
keseimbanagan bahasa; semua bahasa pada hakikatnya sama.
v
Kode bersifat homogen dan
komunitas yang seragam.
|
v
Struktur tuturan sebagai cara
berbicara.
v
Analisis penggunaan di
dahulukan, kemudian analisis kode.
v
Pengorganisasian fitur-fitur
tambahan memperhatikan kode dan digunakan secara integral.
v
Stilistik dan fungsi sosial.
v
Elemen dan strukturnya sebagai
pendekatan etnografis.
v
Fungsi (adaptasi), bahasa
bervariasi, gaya, actual, tidak semuanya sama.
v
Komunitas tuturan sebagai gaya
bahasa.
|
Menengahi kedua perbedaan pandangan tersebut, muncul kajian
wacana secara dialektik yang memandang wacana sebagai ujaran, yakni
wacana dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari
konteks. Dengan cara pandang tersebut, maka keberadaan kalimat dalam suatu
wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue) tetapi juga dipandang
sebagai parole. Meskipun ujaran dalam suatu wacana disusun berdasarkan
gramatika (sistem bahasanya). Dengan demikian, selain kaidah tata bahasa,
konteks penggunaan bahasa juga harus di perhatikan pada saat menyusun suatu
ujaran.
C. Umpan Balik
1.
Jelaskan
pendekatan wacana dan analisis wacana yang umumnya dikenal dalam ilmu bahasa!
2.
Jelaskan
kakikat wacana berdasarkan pendekatan-pendekatan analisis
wacana yang ada!
3.
Jelaskan
kakikat analisis wacana berdasarkan pendekatan-pendekatan analisis
wacana yang ada!
D. Daftar Pustaka
Arifin, Dr. , M.Pd. SAP, Silabus, dan Handout Mata Kuliah Analisis Wacana.
Baryadi, Praptomo. 2002. Dasar-dasar
Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
Brown dan
Yule.1996. Analisis Wacana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Darma,
Yoce A. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Djajasudarma, Fatimah.
1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: PT Eresco.
Hadi, Sutrisno.1994. Metodologi
Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Jorgensen, Marianne dan
Louise J Philips. 2007. Analisis wacana Teori & Metode. (Terjemahan).Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jufri. 2006. Strukur
Wacana dalam Lontara La Galigo: Kajian Kritis. Disertasi. (Tidak
diterbitkan). Malang: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Program
Pascasarjana. Universitas Negeri Malang.
Kridalaksana, Harimurti. 1978. Keutuhan Wacana dalam
Bahasa dan Sastra. Tahun IV No. 1 Jakarta: PPPB.
Oktavianus, 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang : Andalas
University.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rosidi, Sakban. 2007. Analisis Wacana Kritis sebagai
Ragam Paradigma Kajian Wacana. Makalah disajikan pada Sekolah Bahasa, atas
prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Bahasa, Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang, 15 Desember 2007.
Samsuri, 1988. Analisis Wacana. Malang: Proyek Peningkatan dan Pengembangan Perguruan Tinggi
Malang.
Schiffrin, Deborah.
2007. Ancangan Kajian Wacana. (Terjemahan). Yogyakarta: Pusatka Pelajar.
Sobur, Alex. 2006. Analisis
Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tarigan, H. G. Pengajaran Wacana. Bandung:
Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar