BAGIAN V
METODE-METODE ANALISIS WACANA
Kompetensi Dasar:
Mengetahui
jenis-jenis metode analisis wacana
Indikator:
1.
Menyebut berbagai metode yang dapat digunakan dalam analisis wacana.
2.
Menjelaskan metode yang cocok digunakan
untuk menganalisis wacana tertentu.
A. Uraian Materi
1. Pengantar
Wacana (discourse) mengandung pengertian yang berbeda-beda dalam bidang
ilmu yang berbeda. Wacana (discourse),
dalam level konseptual makro dipandang sebagai domain umum segala pernyataan
baik berupa ujaran lisan atau teks tulis yang memiliki makna dan memiliki efek
dalam dunia nyata. Wikipedia
mendefinisikan wacana sebagai perdebatan atau komunikasi tulis atau lisan (http://www.ischool.utexas.edu/discourse.html,
diakses 10 Oktober 2011). Secara umum, wacana dipandang sebagai hal
perbincangan yang terjadi dalam masyarakat tentang topik tertentu. Dalam ranah
yang lebih ilmiah, Michael Stubbs menyatakan bahwa sesuatu disebut wacana jika
memiliki karakteristik (a) memberi perhatian terhadap penggunaan bahasa yang
lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi perhatian pada hubungan
antara masyarakat dan bahasa, (c) memberi perhatian terhadap perangkat
interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari (dalam Slembrouck, 2006: 1-5).
Dalam ranah linguistik, wacana
dipahami sebagai unit kebahasaan yang lebih besar daripada kata atau kalimat
yang dapat melibatkan satu atau lebih orang. Dari ranah linguistik ini, maka
Crystal dan Cook mendefinisikan unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat
berupa satuan bahasa yang runtut (koheren) dan memiliki tujuan dan konteks
tertentu (dalam Nunan, 1993: 5). Sementara itu, Lubis mendefinisikan wacana
sebagai kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis atau diucapkan atau
dikomunikasikan. Sejalan dengan pandangan ahli-ahli di atas, Tarigan (1993:25)
menyatakan wacana adalah satuan bahasa; terlengkap, terbesar, dan tertinggi;
diatas kalimat/ klausa; teratur; berkesinambuangan baik lisan dan tulisan dan mempunyai awal dan akhir
yang nyata.
Ini berarti wacana dapat
diartikan sebagai objek atau ide yang diperbincangkan kepada publik secara
terbuka baik secara lisan maupun tulis. Dalam kaitan ini wacana merupakan unit bahasa. Wacana merupakan rekaman
kebahasaan yang utuh mengenai peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulisan.
Wacana dapat dikatakan sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan
(menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya) dan membentuk satu
kesatuan makna. Purwo (1993: 4) mengartikan wacana sebagai peristiwa wicara,
yaitu apa yang terjadi antara pembicara dengan penerima. Sedangkan Schiffrin (1994
: 18) mengartikan wacana sebagai bahasa yang memiliki sistem tertentu yang
digunakan sesuai dengan konteks (Dalam Arifin).
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa tidak semua
urutan-urutan kata dalam bahasa dapat dianggap sebagai wacana. Ada
kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Kriteria itulah digunakan untuk
menentukan sekelompok kalimat dapat disebut sebagai wacana atau tidak. Wacana
sebagai satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat dan
klausa yang memenuhi syarat kekohesifan dan kekoherensian, berkesinambuangan
serta mempunyai awal maupun akhir yang jelas baik yang disampaikan secara lisan
maupun tulisan.
Meskipun cara pandang terhadap suatu wacana berbeda-beda,
bahasa masih menjadi objek kajian. Mengkaji suatu wacana pada dasar adalah
menganalisis penggunaan bahasa yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini,
penggunaan bahasa yang dimaksud tidak hanya aspek kebahasaan saja, tetapi juga
mencakup aspek penyusunan pesan, penalaran logis, dan adanya fakta-fakta yang
dapat meyakinkan sebagai argumentasinya. Dengan kata lain, pada prinsipnya
wacana merupakan perpaduan dari empat jenis struktur, yaitu struktur gagasan,
proses pikiran pembicara, pilihan bahasa pembicara dan situasi. Dari cara
pandang tersebut kemudian munculah analisis wacana (Brown dan Yule,1983: 26). Sesuai dengan
pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu
bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari
kalimat. Apabila mengacu pada pengertian dan prinsip analisis tersebut, maka
pembahasan wacana mencakup masalah struktur gagasan wacana, struktur paparan
dan struktur bahasa dalam wacana (Kartomiharjo,1992: 1), dalam Arifin).
Berkembangnya studi wacana atau analisis wacana dalam ranah
linguistik merupakan bentuk ketidakpuasan paradigma linguistik formal
struktural yang cenderung memandang bahasa sebagai sistem yang terdiri atas
unit mikro seperti imbuhan, frasa, kata, klausa, kalimat yang kurang peduli
terhadap penggunaan bahasa (Language Use).
Padahal makna sering tidak bisa dipahami secara komprehensif dalam kata,
klausa, ataupun kalimat yang terpisah dari konteksnya. Makna sering harus
dilihat dalam unit yang lebih besar dan luas seperti percakapan dan harus mempertimbangkan
konteks.
Dalam melakukan analisis
wacana memerlukan metode kerja. Ada sejumlah metode yang bisa diterapkan,
bahkan sudah diterapkan oleh para ahli wacana. Dalam buku Metode Analisis Teks dan Wacana dipaparkan ada 12 metode analisis
wacana (Titscer, Stefan, dkk, penerjemah Gasali, dkk, 2009). Kedua belas metode
itu adalah (1) Metode Analisis Isi, (2) Grounded Theory, (3) Metode Etnografi,
(4) Metode MCD Etnometodologis, (5) Metode Analisis Percakapan Etnometodologis,
(6) Metode Semiotik Naratif, (7) Metode SYMLOG, (8) Metode CDA, (9) Metode Pragmatik Fungsional, (10) Metode
Teori Pembedaan, dan (11) Metode Hermeneutik Objektif, dan (12) Metode Friming.
2. Metode Analisis Isi
Metode Analisis Isi (Content Analysis Method) merupakan metode analisis suatu teks. Pendekatan metode ini bersifat kualitaif dan teks ditafsirkan dalam unit
analisis yang bisa dihitung. Secara sederhana, metode ini diartikan sebagai
metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan sebuah teks. Dalam hal ini,
teks dapat berupa kata-kata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam
bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan.
Ini berarti metode analisis isi bukan sekadar mengkaji persoalan isi
teks yang komunikatif melainkan juga mengungkap bentuk linguistiknya. Maka oleh
Titscher, dkk.(2009: 94) dinyatakan bahwa metode analisis isi lebih mengenai
sebuah strategi penelitian daripada sekadar sebuah metode analisis teks
tunggal.
Pelopor analisis
isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat
lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi (Titscher,
dkk., 2009 : 96). Metode analisis isi berusaha melihat konsistensi makna dalam
sebuah teks. Konsistensi ini dapat dijabarkan dalam pola-pola terstruktur yang
dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang sistem nilai di balik teks itu.
Metode analisis isi menuntut pola kerja yang objektif, sistematis, dan dapat
digeneralisasikan (Ekomadyo, 2006 : 52).
Sejalan dengan kemajuan teknologi, selain
secara manual kini telah tersedia komputer untuk mempermudah proses penelitian
analisis isi, yang dapat terdiri atas dua macam, yaitu perhitungan kata-kata, dan “kamus”
yang dapat ditandai yang sering disebut General Inquirer Program.
Analisis isi tidak dapat diberlakukan pada semua penelitian sosial. Analisis
isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut: (1) data yang tersedia
sebagian besar terdiri dari bahan-bahan yang terdokumentasi (buku, surat kabar,
pita rekaman, naskah/manuscript), (2) ada keterangan pelengkap atau kerangka
teori tertentu yang menerangkan tentang
dan sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut (3) peneliti memiliki
kemampuan teknis untuk mengolah bahan-bahan/data-data yang dikumpulkannya
karena sebagian dokumentasi tersebut bersifat sangat khas/ spesifik.
Asumsi dasar metode analisis isi adalah bahwa isi atau
muatan suatu teks dipandang sebagai hasil proses komunikasi yang distrukturkan
seperti siapa berkata tentang apa, pada saluran mana, kepada siapa, dan pada
efek yang bagaimana (Lasswell, 1946, dalam Titscher, dkk., 2009 : 96). Asumsi
ini oleh Merten (1983 : 56) dikatakan bahwa isi suatu teks ditransportasikan
oleh komunikator melalui media tertentu ke komunikan atau penerima isi teks
(dalam Titscher, dkk., 2009 : 96).
Tujuan metode analisis isi ini adalah untuk menguraikan
dalam rangka menyimpulkan isi proses komunikasi dengan cara mengidentifikasi
karakteristik tertentu pada pesan-pesan yang jelas secara objektif, sistematis,
dan kuantitaif.
Kerangka kerja metode analisis isi dapat disampaikan di
sini berdasarkan pandangan beberapa pakar. Pandangan pakar yang diuraikan
berikut ini sesungguhnya secara prinsip tidak jauh berbeda. Menurut Neuman
(2000 : 296-298, dalam Ekomadyo, 2006: 52) langkah-langkah kerja metode
analisis isi adalah (1) menentukan unit analisis (misal menentukan jumlah teks
yang dijadikan sebuah kode); (2) menentukan sampling, (3) menentukan variabel,
(4) menyusun kategori pengkodean, dan (5) menarik simpulan. Oleh Titscher, dkk.
(2009: 98-102) merumuskan kerangka kerja atau prosedur kerja metode analisis isi adalah (1)
menentukan sample, (2) menentukan unit analisis, (3) menentukan kategori dan
koding, (4) menenttukan reliabilitas, (5) menentukan atau melakukan analisis
dan evaluasi. Berbeda dengan kedua pakar di atas, Mayring (1988: 42), dalam
Titscher, dkk., 2009: 108) menentukan prosedur kerja metode analisis isi adalah
(1) penentuan materi, (2) analisis situasi sumber teks, (3) pengarakteran
materi secara formal, (4) penentuan arah analisis, (5) menentukan diferensiasi
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab sesuai dengan teori yang ada, (6)
penyeleksian teknik-teknik analisis, (7) pendefinisian unit-unit analisis, (8)
analisis materi, dan (9) interpretasi.
2. Metode Grounded Theory
Meode Grounded Theory (GT) penekanan analisisnya pada
tindakan dan situasi yang problematik sehingga GT sering juga disebut sebagai
metode pemecahan masalah (Strauss, 1987:
5, dalam Titscher, dkk. 2009: 122). GT merupakan teori secara induktif diambil
dari kajian terhadap fenomena yang diwakilinya. GT suatu dasar bagi
penganalisisan data secara sistematis dan intensif.
Tujuan GT selalu mencoba mengkonseptualisasikan data
dengan fokus kajian pada eksplorasi dan penciptaan hipotesis.
Oleh Strauss (1987) dan Strauss & Corbin (1990) dalam
Titsche, dkk. (2009 :126 – 132) dinyatakan bahwa prosedur kerja GT adalah (1)
pengumpulan data, (2) penentuan konsep dan indikator, (3) penentuan prosedur
koding, (4) analisis dan penyimpulan.
3. Metode Etnografi
Kajian hubungan bahasa dengan budaya merupakan titik awal dicetuskannya metode etnografi dalam
metode analisis wacana. Para pakar budaya tidak membantah bahwa bahasa itu
berada dalam konteks budaya dan tetap terbuka kemungkinan mengenai penjelasan
hubungannya dengan budaya, apakah bahasa berfungsi sebagai ungkapan budaya atau
apakah bahasa bisa ditentukan oleh sifat-sifat nonlinguistik. Metode etnografi
mencoba memberi penjelasan secara lengkap tentang makna dan prilaku yang
tertanam dalam sebuah struktur nilai, tindakan, dan norma yang luas.
Adapun tujuan metode etnografi dalam analisis wacana
adalah menginterpretasikan teks berdasarkan latar belakang struktur budaya atau
menggunakan teks sebagai alat untuk mengkonstruksi budaya masyarakat. Oleh
Hymes (1995 : 20) dikatakan bahwa dalam menggunakan metode etnografi kita harus
tahu pola-pola apa yang ada dalam konteks apa dan bagaimana, di mana, dan kapan
pola-pola itu muncul (dalam Titscher, dkk. 2009: 151).
Penekanan pada metode etnografi adalah pada pengumpulan
data. Pengumpulan data yang penting adalah dengan metode observasi partisipan.
Dalam analisis data dengan metode etnografi ini tak bisa terpisah dengan metode
pengumpulan datanya. Dalam analisis teks, cara kerja metode etnografi ini
dengan cara mengajukan pertanyaan mengenaik teks yang dianalisis. Oleh Cicourel
teknik ini disebut analisis wawancara psikiatris (dalam Titscher, dkk. 2009 :
152). Selain itu, dengan metode etnografi, konteks merupakan hal yang sangat
penting karena konteks di sisni tidak hanya konteks linguistik tetapi juga
konteks nonlinguistik yang bersifat situasional (Malinowski, 1966 : 22, dalam
Titscher, dkk. 2009 : 153).
4. Metode Analisis MCD Etnometodologis
Metode Analisis Membership Categorization Device (MCD)
ini berakar pada pandangan filsafat fenomenologi Hussel dan Wittgenstein yang
mengkaji hubungan bahasa tutur dengan pandangan hidup. Dalam hal ini ditekankan
bahwa menuturkan sebuah bahasa tertentu merupakan bagian dari aktivitas atau
pandangan hidup (Wittgenstein, 1984, dalam Titscher, dkk. 2009: 171).
Metode analisis MCD ini memiliki 4 asumsi dasar pokok
yaitu (1) hakikat performatif dari realitas sosial, (2) indeksikalitas, (3)
refleksikalitas, (4) demonstrabilitas tindakan. Asumsi hakikat performatif, MCD
menyimpulkan bahwa makna dan tatanan bahasa tutur diciptakan dalam interaksi
yang sedang berlangsung. Bahasa, seperti halnya aktivitas yang lain merupakan
produk situasional dari kaidah dari sistem yang ada. Indeksikalitas berarti
semua fenomena yang diamati terikat pada kondisi situasional pemroduksiannya.
Karena itu, makna ungkapan linguistik juga bersifat indeksional yang berarti
bahwa makna itu terdapat dalam penggunaan bahasa yang konkret. Dalam kaitan
asumsi refleksitas, mengacu pada kenyataan bahwa tindak tutur dan konteks itu
saling berhubungan. Bahasa terikat konteks maka bahasa yang sedang dijadikan
komunikasi sajalah mestinya diberikan makna karena sebuah tuturan tidak hanya
terjadi dalam teks pemroduksian dan penginterpretasiannya namun juga secara
bersama memberikan kontribusi pada konteks tuturan berikutnya (Heritage, 1984,
dalam Titscher, dkk. 2009 : 176).
Menurut Silverman (1993) bahwa tujuan yang ingin dicapai
oleh metode analisis MCD ini adalah untuk memahami kapan dan bagaimana anggota
masyarakat membuat deskripsi agar selanjutnya bisa menggambarkan mekanisme yang
digunakan untuk menghasilkan uraian yang tepat dan cocok (dalam Titscher, dkk.
2009 : 176). Analisis MCD berusaha memastikan sesuatu yang berada di balik
pemahaman terhadap unit-unit kecil tekstual yang kebanyakan merupakan kalimat
atau pernyataan tunggal. Disimpulkan bahwa analisis MCD dikembangkan untuk
menganalisis situasi, percakapan, interaksi komunikasi sehari-hari.
5. Metode Analisis Percakapan Etnometodologis
Akar atau titik awal pemunculan dan asumsi dasar metode
analisis percakapan etnometodologis sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan
metode analisis MCD.
Oleh Bergman (1994) dikatakan bahwa tujuan metode
analisis percakapan etnometodologis adalah berusaha menemukan prosedur dan
prinsip generatif yang digunakan oleh partisipan untuk menghasilkan struktur
karakteristik dan tatanan dari sebuah situasi komunikatif (dalam Titscher, dkk.
2009 : 177). Dalam usaha untuk mengerti
pengetahuan partisipan tentang keadaan mereka sehari-hari, analisis percakapan
berusaha menemukan bagaimana aspek-aspek percakapan tertentu dipandang oleh
para penuturnya sendiri.
Analisis percakapan berkutat pada analisis teks yang
berasal dari situasi alami atau nyata. Metode yang dipakai terikat konteks dan
teks dipahami sebagai produk interaktif dan hasil interpretasi bersama para
mitra tutur dalam suatu percakapan.
Analisis percakapan memiliki kaidah berikut: (1) Tujuan
penelitian hendaknya dirumuskan sejelas-jelasnya dan hipotesis hendaknya diuji,
(2) Semua jenis informasi yang penting bagi percakapan hendaknya dibuat
eksplisit, (3) Catatan pengumpulan data harus cermat.
6. Metode Semiotik
Metode semiotik ini pertama kali dicetuskan oleh Greimas.
Asumsi dasar teorinya berpangkal pemahaman semiotik terhadap komunikasi.
Komunikasi terdiri atas proses-proses semiotik, yaitu hubungan antara tanda (sign) dan petanda (signfield) melalui makna. Menurut Peice, hubungan antara tanda dan
petanda bersifat konvensional, komponen makna menjadi perantara antara penanda
dan petanda.
Pengertian semiotika secara terminologis adalah
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco (dalam Teun, 1993), semiotik sebagai
“ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya,
hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya. Menurut Eco (dalam Teun, 1993), ada sembilan belas bidang
yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik
binatang, semiotik tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan,
paralinguistik, semiotik medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa
yang diformalkan, bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa
alam, komunikasi visual, sistem objek, dan sebagainya Semiotika di bidang
komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja bisa mengambil objek
penelitian, seperti pemberitaan di media massa, komunikasi periklanan,
tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik.
Berdasarkan metode ini, teks yang dianalisis dipandang
sebagai sitem tanda yang selalu terdiri atas (1) struktur lahir/luar (surface structure) pada tataran kata dan
sintaksis dan (2) struktur batin/dalam (deep structure) yang memiliki makna mendasar (underlying meaning). Struktur
lahir merupakan bentuk teks yang segera bisa dikenali dan siap diakses.
Sedangkan, struktur batin merupakan sistem dasar nilai mendasar yang disematkan
dalam sebuah teks dan sitem ini terdiri atas norma, nilai, dan sikap yang
bersifat universal.
Tujuan metode semiotik naratif mencoba mengidentifikasi
struktur naratif sebuah teks yang menjembatani struktur batin dengan struktur
lahir. Karena itulah, Fiol (1990) menegaskan bahwa melalui pemahaman terhadap
struktur naratif selaku perantara itulah yang memungkinkan timbulnya pemahaman
terhadap struktur batin (dalam Titscher, dkk. 2009 : 211).
Menurut Greimas (1983, 1987) garis besar metode semiotik
naratif suatu teks dikarakterisasi oleh enam peran yang disebut dengan aktan
atau aktor yang berfungsi mengarahkan jalannya cerita. Keenam peran yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
(1)
Destinator
(penentu arah), yang mengacu pada kekuatan khusus yang memberlakukan aturan dan
nilai dan mempresentasikan ideologi teks.
(2)
Receiver (penerima), yang membawa nilai.
(3)
Subjek, yang menduduki peran utama dalam
narasi.
(4)
Objek, merupakan objek narasi yang
dikemukakan oleh subjek.
(5)
Adjuvant (daya dukung), yang membantu
subjek dalam usahanya mencapai objek.
(6)
Traitor (daya penghambat), yang
mempresentasikan segala hal yang mencoba menghambat subjek agar tidak bisa
mencapai tujuannya.
Selain
enam peran aktan tersebut, ada juga dua pengaruh lain yang dapat menentukan
alur cerita yaitu ruang dan waktu. Oleh Greimas, kedua pengaruh tersebut
sebagai isotop. Isotop ruang
mengkategorisasikan lingkungan tempat terjadinya cerita. Isotop waktu
mengkategorisasikan pada psoses waktu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan
datang. Tugas analisis semiotik naratif adalah menguraikan keenam
aktan dan isotop tadi selama
berlangsungnya narasi.
7. Metode SYMLOG
SYMLOG
merupakan akronim System for the Multiple Level Observation of Group. Metode
ini didAsari atas teori kognisi sosial, interaksionisme simbolik, teori
pertukaran sosial, dan pendekatan terapi keluarga. Metode ini disebut
multilevel karena mempertimbangkan dinamika kelompok dan kepribadian individu
dan memberikan wawasan sistematis tentang hubungan antara dinamika individu dan
dinamika kelompok social.
Dalam
metode ini tiap kelompok harus (a) memadukan para anggotanya secara emosional,
(b) memecahkan ketegangan yang muncul, (c) mengambil keputusan. Menurut
Schneider (1989) menyatakan bahwa SYMLOG menyelidiki tiga tataran yaitu (1)
prilaku verbal dan nonverbal kelompok social, (2) isi gagasan selama
berlangsungnya komunikasi dalam kelompok masyarakat, dan (3) nilai-nilai pro
dan kontra yang terjadi dalam kelompok social.
Metode
SYMLOG ini memiliki tujuan mengkaji kelompok social dan bagaimana hubungan
mereka dalam kelompok tersebut.
Prosedur
metode SYMLOG adalah menggabungkan prilaku, isi, dan nilai dalam bentuk pesan
yang berfungsi merekam waktu interaksi, pelaku interaksi, komentar bahasa
tentang prilaku interaksi, nilai yang diekspresikan oleh pelaku intarksi
terhadap ide.
8. Metode Analisis Wacana Kritis (CDA)
Istilah wacana
yang digunakan dalam CDA yang dikembangkan para pakar linguistik terutama
Norman Fairclough dan Ruth Wodak dimaknai sebagai pernyataan-pernyataan yang
tidak hanya mencerminkan atau mempresentasikan juga mengkonstruksi dan
membentuk entitas dan relasi sosial. Pemahaman wacana dalam CDA merupakan suatu
analisis yang melihat atau mencermati hal-hal yang meretas batas yang tidak
dikaji dalam analisis wacana biasa. Pemahaman dasar CDA
adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai obyek studi bahasa. Bahasa
tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam
pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain
pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan
praktik tertentu termasuk praktik ideologi.
Analisis Wacana Kritis (AWK atau CDA) melihat
pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam
CDA dipandang menyebabkan hubungan dialektis antara peristiwa diskursif
tertentu dengan situasi, istitusi, dan struktur sosial. Konsep ini di pertegas
oleh Fairclough dan Wodak yang melihat praktik wacana bisa jadi menampilkan
efek ideologis artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak
imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan
minoritas, sehingga perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial.
Oleh Teun Van Dijk
(2000: 13, dalam Purbani, 2009: 5) dinyatakan bahwa agenda utama CDA adalah
mengungkap bagaimana kekuasaan, dominasi, dan ketidaksetaraan dipraktikan,
direproduksi atau dilawan oleh teks tulis serta perbincangan dalam konteks
sosial dan politik. CDA mengambil posisi nonkonformis atau melawan arus
dominasi dalam kerangka besar untuk melawan keadilan sosial.
Lebih lanjut, Fairclough dan Wodak (dalam
Selden, dkk., 1993) berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana
bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan
ideologinya masing-masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari
analisis kritis menurut mereka: 1). Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai
tindakan (actions) yaitu
mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Sesorang berbicara, menulis,
menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Wacana
dalam prinsip ini, dipandang sebagai sesuatu yang betujuan apakah untuk
mendebat, mempengaruhi, membujuk, menyangga, bereaksi dan sebagainya. Selain
itu wacana dipahami sebagai sesuatu yang di ekspresikan secara sadar,
terkontrol bukan sesuatu di luar kendali atau diekspresikan secara sadar. 2).
Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti
latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Titik perhatianya adalah analisis wacana
menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. 3).
Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat
dimengerti tanpa menyertakan konteks. 4). Kekuasaan. Analisis wacana kritis
mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau
apa pun tidak di pandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi
merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan
adalah salah satu kunci hubungan anatara wacana dan masyarakat.
Dari paparan Fairclough dan Wodak di atas dapat
dikatakan bahwa prinsip dasar dan karakteristik CDA adalah (1) memberi
perhatian pada masalah-masalah soaial, (2) percaya bahwa relasi kekuasaan
bersifat diskursif atau mengada dalam wacana, (3) percaya bahwa wacana berperan
dalam pembentukan masyarakat dan kultur, (4) percaya bahwa wacana berperan
dalam membangun ideologi, (5) percaya bahwa wacana bersifat historis, (6)
wacana berperan sebagai mediasi antara teks dan masyarakat sosial, (7) wacana
bersifat interpretatif dan eksplanatif, serta (8) percaya bahwa wacana
merupakan suatu bentuk aksi/praktik sosial, (9) penggunaan bahasa secara
bersamaan tersusun atas identitas sosial, relasi sosial, dan sistem pengetahuan
dan keyakinan.
Dengan demikian,
CDA bersifat inter/multidisipliner yang merupakan persentuhan linguistik dan
susastra dengan ilmu-ilmu sosial, politik dan budaya. Semua
karakteristik penting dari analsis wacana kritis tentunya membutuhkan pola
pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi penjelasan bagaimana
wacana di kembangkan maupun mempengaruhi khalayak.
9. Metode Pragmatik Fungsional
Metode pragmatik fungsional memandang dirinya sebagai
sebuah reaksi terhadap proses tambahan dari kompetensi kehilangan dalam
linguistik yang termanifestasi dalam penciptaan
istilah-istilah seperti pragmalinguistik, atau psikolinguistik,
sosiolinguistik. Titik tolak penggunaan metode ini adalah bahwa bahasa
merupakan objek penggunaan, dengan bahasa kita bisa melakukan sesuatu.
Metode pragmatik fungsional mengembangkan konsep tindak
tutur menjadi tindakan tutur dan membedakannya dengan tindak tutur. Tindak tutur
berkonsentrasi hanya kepada penutur dan orientasinya pada analisis kalimat
individual, sedangkan tindakan tutur merupakan tindakan yang terpenuhi dengan
menggunakan bahasa dan memiliki status bentuk wajib yang disepakati secara
sosial. Tindakan tutur memiliki 3 tindakan gatra/konstituen: (1) ujaran, (2)
tindak proposisional, dan (3) tindak ilokusioner.
10. Metode Teori Pembedaan
Dalam proses komunikasi dengan penerapan metode ini,
komunikasi dipandang sebagai proses penyeleksian komponen informasi, ujaran, dan pemahaman. Unit analisis teori pembedaan adalah satuan
gramatikal. Desain teori pembedaan dalam analisis teks mengikuti
beberapa fase (1) analsis atas pembedaan-pembedaan yang eksplisit, (2) analisis
atas pembedaan-pembedaan yang implisit,
(3) membandingkan pembedaan yang eksplisit dengan implisit, (4) merangkum.
11. Metode
Hermeneutik Objektif
Hermeneutik berurusan dengan teks-teks. Hermeneutik
adalah metode analisis untuk mengungkapkan atau menafsirkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata
yang tertuang dalam teks yang telah disusunnya (Hardiman, 2002 : 37).
Manusia selalu berurusam dengan bahasa. Kehidupan keseharian manusia
tidak bisa lepas dari bahasa baik lisan maupun tulisan, khususnya dalam
percakapan maka manusia senatiasa melakukan penafsiran secara terus menerus.
Karena itu, dapat dikatan hermeneutik merupakan gejala khas manusia sebab
manusia tidak bisa membebaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi
makna, termasuk memberi makna suatu teks.
Hermeneutik memahami makna sebuah teks sebagai sebuah
struktur sosial yang muncul secara interaktif. Ini berarti hermeneutik
merupakan prosedur imterpretatif untuk menguak realitas sosial dalam teks.
Dengan demikian, tujuan pokok metode hermeneutik bertujuan membongkar struktur-struktur
pada interaksi dalam teks.
12. Metode Framing
Analisis
Framing adalah bagian dari analisis isi yang melakukan penilaian tentang wacana
persaingan antarkelompok yang muncul atau
tampak di media. Dikenal konsep bingkai, yaitu gagasan sentral yang
terorganisasi, dan dapat dianalisis melalui dua turunannya, yaitu simbol berupa
framing device dan reasoning device. Framing device menunjuk pada penyebutan
istilah tertentu yang menunjukkan “julukan” pada satu wacana, sedangkan
reasoning device menunjuk pada analisis sebab-akibat. Di dalamnya terdapat
beberapa ‘turunan’, yaitu metafora, perumpamaan atau pengandaian. Catchphrases
merupakan slogan-slogan yang harus dikerjakan. Exemplar mengaitkan bingkai dengan contoh, teori atau pengalaman masa silam. Depiction
adalah “musuh yang harus dilawan bersama”, dan visual image adalah
gambar-gambar yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Pada instrumen
penalaran, Roots (dalam Holsty, 2003) memperlihatkan analisis
sebab-akibat, Appeals to principles merupakan premis atau klaim moral, dan
Consequences merupakan kesimpulan logika penalaran.
B. Rangkuman
Sebuah wacana baik tulis
maupun lisan, baik yang dipandang
sebagai suatu bahasa maupun realitas sosial bisa dianalisis dengan berbagai
metode. Metode-metode yang dimaksud yaitu (1) Metode Analisis Isi, (2) Grounded
Theory, (3) Metode Etnografi, (4) Metode MCD Etnometodologis, (5) Metode
Analisis Percakapan Etnometodologis, (6) Metode Semiotik , (7) Metode SYMLOG,
(8) Metode CDA, (9) Metode Pragmatik Fungsional, (10) Metode Teori Pembedaan,
(11) Metode Hermeneutik Objektif, dan (12) Metode Framing.
Para peneliti analisis wacana
diberi kebebasan untuk memilih metode-metode analsisis yang ada bergantung
karakteristik wacana yang dihadapinya.
C.
Umpan Balik
1.
Sebutkan metode-metode yang dapat digunakan dalam analisis wacana.
2.
Jelaskan metode
yang cocok digunakan menganalisis wacana percakapan untuk menggungkapkan
penggunaan tindak tutur!
D. Daftar
Pustaka
Arifin. 2011. Materi Kuliah Analisis
Wacana. Singaraja: Undiksha.
Giovanna,. Borradori 2003. Philosophy in a time of
Terror: Dialogues With Jurgen Habermas And Jacques Derrida.
Chicago: The University of Chicago Press.
Hardiman, F. Budi.
2002. Melampaui Positisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Holsty, W.
2003. www.analysis of semanthic. 2 November 2009.
Michel, Foucaullt. 1990. The History
of Sexuality: An Introduction: Volume I. Vintage Books.
Samsuri. 1988. Analisis Wacana. Malang:
IKIP Malang.
Selden, Raman, and Peter Widdowson.
1993. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory: Third Edition. Kentucky: The
University Press of Kentucky.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa
Teun, Van Djik. 1993. Discourse And
Society: Vol 4 (2). London, Newbury Park and New Delhi: Sage.
Titscher, Stefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks dan
Wacana (penerjemah Gazali, dkk.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wikepedia (http://www.ischool.utexas.edu/discourse.html),
diakses 10 Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar