Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 28 Desember 2014

METODE-METODE ANALISIS WACANA

BAGIAN V
METODE-METODE ANALISIS WACANA


Kompetensi Dasar:
      Mengetahui jenis-jenis metode analisis wacana

Indikator:
1.      Menyebut berbagai metode yang dapat digunakan dalam analisis wacana.
2.      Menjelaskan metode yang cocok digunakan untuk menganalisis wacana tertentu.

A. Uraian Materi

1. Pengantar
Wacana (discourse) mengandung pengertian yang berbeda-beda dalam bidang ilmu yang berbeda. Wacana (discourse), dalam level konseptual makro dipandang sebagai domain umum segala pernyataan baik berupa ujaran lisan atau teks tulis yang memiliki makna dan memiliki efek dalam dunia nyata.  Wikipedia mendefinisikan wacana sebagai perdebatan atau komunikasi tulis atau lisan (http://www.ischool.utexas.edu/discourse.html, diakses 10 Oktober 2011). Secara umum, wacana dipandang sebagai hal perbincangan yang terjadi dalam masyarakat tentang topik tertentu. Dalam ranah yang lebih ilmiah, Michael Stubbs menyatakan bahwa sesuatu disebut wacana jika memiliki karakteristik (a) memberi perhatian terhadap penggunaan bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi perhatian pada hubungan antara masyarakat dan bahasa, (c) memberi perhatian terhadap perangkat interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari (dalam Slembrouck, 2006: 1-5).  
Dalam ranah linguistik, wacana dipahami sebagai unit kebahasaan yang lebih besar daripada kata atau kalimat yang dapat melibatkan satu atau lebih orang. Dari ranah linguistik ini, maka Crystal dan Cook mendefinisikan unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat berupa satuan bahasa yang runtut (koheren) dan memiliki tujuan dan konteks tertentu (dalam Nunan, 1993: 5). Sementara itu, Lubis mendefinisikan wacana sebagai kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis atau diucapkan atau dikomunikasikan. Sejalan dengan pandangan ahli-ahli di atas, Tarigan (1993:25) menyatakan wacana adalah satuan bahasa; terlengkap, terbesar, dan tertinggi; diatas kalimat/ klausa; teratur; berkesinambuangan baik  lisan dan tulisan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata.
Ini berarti wacana dapat diartikan sebagai objek atau ide yang diperbincangkan kepada publik secara terbuka baik secara lisan maupun tulis.  Dalam kaitan ini wacana merupakan unit bahasa. Wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh mengenai peristiwa komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Wacana dapat dikatakan sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan (menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya) dan membentuk satu kesatuan makna. Purwo (1993: 4) mengartikan wacana sebagai peristiwa wicara, yaitu apa yang terjadi antara pembicara dengan penerima. Sedangkan Schiffrin (1994 : 18) mengartikan wacana sebagai bahasa yang memiliki sistem tertentu yang digunakan sesuai dengan konteks (Dalam Arifin).
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa tidak semua urutan-urutan kata dalam bahasa dapat dianggap sebagai wacana. Ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Kriteria itulah digunakan untuk menentukan sekelompok kalimat dapat disebut sebagai wacana atau tidak. Wacana sebagai satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat dan klausa yang memenuhi syarat kekohesifan dan kekoherensian, berkesinambuangan serta mempunyai awal maupun akhir yang jelas baik yang disampaikan secara lisan maupun tulisan.  
Meskipun cara pandang terhadap suatu wacana berbeda-beda, bahasa masih menjadi objek kajian. Mengkaji suatu wacana pada dasar adalah menganalisis penggunaan bahasa yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini, penggunaan bahasa yang dimaksud tidak hanya aspek kebahasaan saja, tetapi juga mencakup aspek penyusunan pesan, penalaran logis, dan adanya fakta-fakta yang dapat meyakinkan sebagai argumentasinya. Dengan kata lain, pada prinsipnya wacana merupakan perpaduan dari empat jenis struktur, yaitu struktur gagasan, proses pikiran pembicara, pilihan bahasa pembicara dan situasi. Dari cara pandang tersebut kemudian munculah analisis wacana (Brown dan Yule,1983: 26). Sesuai dengan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Apabila mengacu pada pengertian dan prinsip analisis tersebut, maka pembahasan wacana mencakup masalah struktur gagasan wacana, struktur paparan dan struktur bahasa dalam wacana (Kartomiharjo,1992: 1),  dalam Arifin).
Berkembangnya studi wacana atau analisis wacana dalam ranah linguistik merupakan bentuk ketidakpuasan paradigma linguistik formal struktural yang cenderung memandang bahasa sebagai sistem yang terdiri atas unit mikro seperti imbuhan, frasa, kata, klausa, kalimat yang kurang peduli terhadap penggunaan bahasa (Language Use). Padahal makna sering tidak bisa dipahami secara komprehensif dalam kata, klausa, ataupun kalimat yang terpisah dari konteksnya. Makna sering harus dilihat dalam unit yang lebih besar dan luas seperti percakapan dan harus mempertimbangkan konteks.
Dalam melakukan analisis wacana memerlukan metode kerja. Ada sejumlah metode yang bisa diterapkan, bahkan sudah diterapkan oleh para ahli wacana. Dalam buku Metode Analisis Teks dan Wacana dipaparkan ada 12 metode analisis wacana (Titscer, Stefan, dkk, penerjemah Gasali, dkk, 2009). Kedua belas metode itu adalah (1) Metode Analisis Isi, (2) Grounded Theory, (3) Metode Etnografi, (4) Metode MCD Etnometodologis, (5) Metode Analisis Percakapan Etnometodologis, (6) Metode Semiotik Naratif, (7) Metode SYMLOG, (8) Metode CDA,  (9) Metode Pragmatik Fungsional, (10) Metode Teori Pembedaan, dan (11) Metode Hermeneutik Objektif, dan (12) Metode Friming.

2. Metode Analisis Isi
Metode Analisis Isi (Content Analysis Method) merupakan metode analisis suatu teks.  Pendekatan metode ini bersifat kualitaif dan teks ditafsirkan dalam unit analisis yang bisa dihitung. Secara sederhana, metode ini diartikan sebagai metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan sebuah teks. Dalam hal ini, teks dapat berupa kata-kata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan.  Ini berarti metode analisis isi bukan sekadar mengkaji persoalan isi teks yang komunikatif melainkan juga mengungkap bentuk linguistiknya. Maka oleh Titscher, dkk.(2009: 94) dinyatakan bahwa metode analisis isi lebih mengenai sebuah strategi penelitian daripada sekadar sebuah metode analisis teks tunggal.
Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi (Titscher, dkk., 2009 : 96). Metode analisis isi berusaha melihat konsistensi makna dalam sebuah teks. Konsistensi ini dapat dijabarkan dalam pola-pola terstruktur yang dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang sistem nilai di balik teks itu. Metode analisis isi menuntut pola kerja yang objektif, sistematis, dan dapat digeneralisasikan (Ekomadyo, 2006 : 52).
Sejalan dengan kemajuan teknologi, selain secara manual kini telah tersedia komputer untuk mempermudah proses penelitian analisis isi, yang dapat terdiri atas dua macam, yaitu perhitungan kata-kata, dan “kamus” yang dapat ditandai yang sering disebut General Inquirer Program. Analisis isi tidak dapat diberlakukan pada semua penelitian sosial. Analisis isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut: (1) data yang tersedia sebagian besar terdiri dari bahan-bahan yang terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, naskah/manuscript), (2) ada keterangan pelengkap atau kerangka teori  tertentu yang menerangkan tentang dan sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut (3) peneliti memiliki kemampuan teknis untuk mengolah bahan-bahan/data-data yang dikumpulkannya karena sebagian dokumentasi tersebut bersifat sangat khas/ spesifik.
Asumsi dasar metode analisis isi adalah bahwa isi atau muatan suatu teks dipandang sebagai hasil proses komunikasi yang distrukturkan seperti siapa berkata tentang apa, pada saluran mana, kepada siapa, dan pada efek yang bagaimana (Lasswell, 1946, dalam Titscher, dkk., 2009 : 96). Asumsi ini oleh Merten (1983 : 56) dikatakan bahwa isi suatu teks ditransportasikan oleh komunikator melalui media tertentu ke komunikan atau penerima isi teks (dalam Titscher, dkk., 2009 : 96).
Tujuan metode analisis isi ini adalah untuk menguraikan dalam rangka menyimpulkan isi proses komunikasi dengan cara mengidentifikasi karakteristik tertentu pada pesan-pesan yang jelas secara objektif, sistematis, dan kuantitaif.
Kerangka kerja metode analisis isi dapat disampaikan di sini berdasarkan pandangan beberapa pakar. Pandangan pakar yang diuraikan berikut ini sesungguhnya secara prinsip tidak jauh berbeda. Menurut Neuman (2000 : 296-298, dalam Ekomadyo, 2006: 52) langkah-langkah kerja metode analisis isi adalah (1) menentukan unit analisis (misal menentukan jumlah teks yang dijadikan sebuah kode); (2) menentukan sampling, (3) menentukan variabel, (4) menyusun kategori pengkodean, dan (5) menarik simpulan. Oleh Titscher, dkk. (2009: 98-102) merumuskan kerangka kerja atau prosedur  kerja metode analisis isi adalah (1) menentukan sample, (2) menentukan unit analisis, (3) menentukan kategori dan koding, (4) menenttukan reliabilitas, (5) menentukan atau melakukan analisis dan evaluasi. Berbeda dengan kedua pakar di atas, Mayring (1988: 42), dalam Titscher, dkk., 2009: 108) menentukan prosedur kerja metode analisis isi adalah (1) penentuan materi, (2) analisis situasi sumber teks, (3) pengarakteran materi secara formal, (4) penentuan arah analisis, (5) menentukan diferensiasi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab sesuai dengan teori yang ada, (6) penyeleksian teknik-teknik analisis, (7) pendefinisian unit-unit analisis, (8) analisis materi, dan (9) interpretasi.

2. Metode Grounded Theory
Meode Grounded Theory (GT) penekanan analisisnya pada tindakan dan situasi yang problematik  sehingga GT sering juga disebut sebagai metode  pemecahan masalah (Strauss, 1987: 5, dalam Titscher, dkk. 2009: 122). GT merupakan teori secara induktif diambil dari kajian terhadap fenomena yang diwakilinya. GT suatu dasar bagi penganalisisan data secara sistematis dan intensif.
Tujuan GT selalu mencoba mengkonseptualisasikan data dengan fokus kajian pada eksplorasi dan penciptaan hipotesis.
Oleh Strauss (1987) dan Strauss & Corbin (1990) dalam Titsche, dkk. (2009 :126 – 132) dinyatakan bahwa prosedur kerja GT adalah (1) pengumpulan data, (2) penentuan konsep dan indikator, (3) penentuan prosedur koding, (4) analisis dan penyimpulan.

3. Metode Etnografi
Kajian hubungan bahasa dengan budaya merupakan titik  awal dicetuskannya metode etnografi dalam metode analisis wacana. Para pakar budaya tidak membantah bahwa bahasa itu berada dalam konteks budaya dan tetap terbuka kemungkinan mengenai penjelasan hubungannya dengan budaya, apakah bahasa berfungsi sebagai ungkapan budaya atau apakah bahasa bisa ditentukan oleh sifat-sifat nonlinguistik. Metode etnografi mencoba memberi penjelasan secara lengkap tentang makna dan prilaku yang tertanam dalam sebuah struktur nilai, tindakan, dan norma yang luas.
Adapun tujuan metode etnografi dalam analisis wacana adalah menginterpretasikan teks berdasarkan latar belakang struktur budaya atau menggunakan teks sebagai alat untuk mengkonstruksi budaya masyarakat. Oleh Hymes (1995 : 20) dikatakan bahwa dalam menggunakan metode etnografi kita harus tahu pola-pola apa yang ada dalam konteks apa dan bagaimana, di mana, dan kapan pola-pola itu muncul (dalam Titscher, dkk. 2009: 151).
Penekanan pada metode etnografi adalah pada pengumpulan data. Pengumpulan data yang penting adalah dengan metode observasi partisipan. Dalam analisis data dengan metode etnografi ini tak bisa terpisah dengan metode pengumpulan datanya. Dalam analisis teks, cara kerja metode etnografi ini dengan cara mengajukan pertanyaan mengenaik teks yang dianalisis. Oleh Cicourel teknik ini disebut analisis wawancara psikiatris (dalam Titscher, dkk. 2009 : 152). Selain itu, dengan metode etnografi, konteks merupakan hal yang sangat penting karena konteks di sisni tidak hanya konteks linguistik tetapi juga konteks nonlinguistik yang bersifat situasional (Malinowski, 1966 : 22, dalam Titscher, dkk. 2009 : 153).


4. Metode Analisis MCD Etnometodologis
Metode Analisis Membership Categorization Device (MCD) ini berakar pada pandangan filsafat fenomenologi Hussel dan Wittgenstein yang mengkaji hubungan bahasa tutur dengan pandangan hidup. Dalam hal ini ditekankan bahwa menuturkan sebuah bahasa tertentu merupakan bagian dari aktivitas atau pandangan hidup (Wittgenstein, 1984, dalam Titscher, dkk. 2009: 171).
Metode analisis MCD ini memiliki 4 asumsi dasar pokok yaitu (1) hakikat performatif dari realitas sosial, (2) indeksikalitas, (3) refleksikalitas, (4) demonstrabilitas tindakan. Asumsi hakikat performatif, MCD menyimpulkan bahwa makna dan tatanan bahasa tutur diciptakan dalam interaksi yang sedang berlangsung. Bahasa, seperti halnya aktivitas yang lain merupakan produk situasional dari kaidah dari sistem yang ada. Indeksikalitas berarti semua fenomena yang diamati terikat pada kondisi situasional pemroduksiannya. Karena itu, makna ungkapan linguistik juga bersifat indeksional yang berarti bahwa makna itu terdapat dalam penggunaan bahasa yang konkret. Dalam kaitan asumsi refleksitas, mengacu pada kenyataan bahwa tindak tutur dan konteks itu saling berhubungan. Bahasa terikat konteks maka bahasa yang sedang dijadikan komunikasi sajalah mestinya diberikan makna karena sebuah tuturan tidak hanya terjadi dalam teks pemroduksian dan penginterpretasiannya namun juga secara bersama memberikan kontribusi pada konteks tuturan berikutnya (Heritage, 1984, dalam Titscher, dkk. 2009 : 176).
Menurut Silverman (1993) bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh metode analisis MCD ini adalah untuk memahami kapan dan bagaimana anggota masyarakat membuat deskripsi agar selanjutnya bisa menggambarkan mekanisme yang digunakan untuk menghasilkan uraian yang tepat dan cocok (dalam Titscher, dkk. 2009 : 176). Analisis MCD berusaha memastikan sesuatu yang berada di balik pemahaman terhadap unit-unit kecil tekstual yang kebanyakan merupakan kalimat atau pernyataan tunggal. Disimpulkan bahwa analisis MCD dikembangkan untuk menganalisis situasi, percakapan, interaksi komunikasi sehari-hari.


5. Metode Analisis Percakapan Etnometodologis
Akar atau titik awal pemunculan dan asumsi dasar metode analisis percakapan etnometodologis sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode analisis MCD.
Oleh Bergman (1994) dikatakan bahwa tujuan metode analisis percakapan etnometodologis adalah berusaha menemukan prosedur dan prinsip generatif yang digunakan oleh partisipan untuk menghasilkan struktur karakteristik dan tatanan dari sebuah situasi komunikatif (dalam Titscher, dkk. 2009 : 177).  Dalam usaha untuk mengerti pengetahuan partisipan tentang keadaan mereka sehari-hari, analisis percakapan berusaha menemukan bagaimana aspek-aspek percakapan tertentu dipandang oleh para penuturnya sendiri.
Analisis percakapan berkutat pada analisis teks yang berasal dari situasi alami atau nyata. Metode yang dipakai terikat konteks dan teks dipahami sebagai produk interaktif dan hasil interpretasi bersama para mitra tutur dalam suatu percakapan.
Analisis percakapan memiliki kaidah berikut: (1) Tujuan penelitian hendaknya dirumuskan sejelas-jelasnya dan hipotesis hendaknya diuji, (2) Semua jenis informasi yang penting bagi percakapan hendaknya dibuat eksplisit, (3) Catatan pengumpulan data harus cermat.

6. Metode Semiotik
Metode semiotik ini pertama kali dicetuskan oleh Greimas. Asumsi dasar teorinya berpangkal pemahaman semiotik terhadap komunikasi. Komunikasi terdiri atas proses-proses semiotik, yaitu hubungan antara tanda (sign) dan petanda (signfield) melalui makna. Menurut Peice, hubungan antara tanda dan petanda bersifat konvensional, komponen makna menjadi perantara antara penanda dan petanda.
Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco (dalam Teun, 1993), semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut Eco (dalam Teun, 1993), ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik binatang, semiotik tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan, paralinguistik, semiotik medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa yang diformalkan, bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa alam, komunikasi visual, sistem objek, dan sebagainya Semiotika di bidang komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja bisa mengambil objek penelitian, seperti pemberitaan di media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik.
Berdasarkan metode ini, teks yang dianalisis dipandang sebagai sitem tanda yang selalu terdiri atas (1) struktur lahir/luar (surface structure) pada tataran kata dan sintaksis dan (2) struktur batin/dalam (deep structure) yang memiliki  makna mendasar (underlying meaning). Struktur lahir merupakan bentuk teks yang segera bisa dikenali dan siap diakses. Sedangkan, struktur batin merupakan sistem dasar nilai mendasar yang disematkan dalam sebuah teks dan sitem ini terdiri atas norma, nilai, dan sikap yang bersifat universal.
Tujuan metode semiotik naratif mencoba mengidentifikasi struktur naratif sebuah teks yang menjembatani struktur batin dengan struktur lahir. Karena itulah, Fiol (1990) menegaskan bahwa melalui pemahaman terhadap struktur naratif selaku perantara itulah yang memungkinkan timbulnya pemahaman terhadap struktur batin (dalam Titscher, dkk. 2009 : 211).
Menurut Greimas (1983, 1987) garis besar metode semiotik naratif suatu teks dikarakterisasi oleh enam peran yang disebut dengan aktan atau aktor yang berfungsi mengarahkan jalannya cerita. Keenam peran yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1)      Destinator (penentu arah), yang mengacu pada kekuatan khusus yang memberlakukan aturan dan nilai dan mempresentasikan ideologi teks.
(2)      Receiver (penerima), yang membawa nilai.
(3)      Subjek, yang menduduki peran utama dalam narasi.
(4)      Objek, merupakan objek narasi yang dikemukakan oleh subjek.
(5)      Adjuvant (daya dukung), yang membantu subjek dalam usahanya mencapai objek.
(6)      Traitor (daya penghambat), yang mempresentasikan segala hal yang mencoba menghambat subjek agar tidak bisa mencapai tujuannya.
                Selain enam peran aktan tersebut, ada juga dua pengaruh lain yang dapat menentukan alur cerita yaitu ruang dan waktu. Oleh Greimas, kedua pengaruh tersebut sebagai isotop.  Isotop ruang mengkategorisasikan lingkungan tempat terjadinya cerita. Isotop waktu mengkategorisasikan pada psoses waktu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.  Tugas analisis semiotik naratif adalah menguraikan keenam aktan  dan isotop tadi selama berlangsungnya narasi.

7. Metode SYMLOG
SYMLOG merupakan akronim System for the Multiple Level Observation of Group. Metode ini didAsari atas teori kognisi sosial, interaksionisme simbolik, teori pertukaran sosial, dan pendekatan terapi keluarga. Metode ini disebut multilevel karena mempertimbangkan dinamika kelompok dan kepribadian individu dan memberikan wawasan sistematis tentang hubungan antara dinamika individu dan dinamika kelompok social.
Dalam metode ini tiap kelompok harus (a) memadukan para anggotanya secara emosional, (b) memecahkan ketegangan yang muncul, (c) mengambil keputusan. Menurut Schneider (1989) menyatakan bahwa SYMLOG menyelidiki tiga tataran yaitu (1) prilaku verbal dan nonverbal kelompok social, (2) isi gagasan selama berlangsungnya komunikasi dalam kelompok masyarakat, dan (3) nilai-nilai pro dan kontra yang terjadi dalam kelompok social.
Metode SYMLOG ini memiliki tujuan mengkaji kelompok social dan bagaimana hubungan mereka dalam kelompok tersebut.
Prosedur metode SYMLOG adalah menggabungkan prilaku, isi, dan nilai dalam bentuk pesan yang berfungsi merekam waktu interaksi, pelaku interaksi, komentar bahasa tentang prilaku interaksi, nilai yang diekspresikan oleh pelaku intarksi terhadap ide.



8. Metode Analisis Wacana Kritis (CDA)
Istilah wacana yang digunakan dalam CDA yang dikembangkan para pakar linguistik terutama Norman Fairclough dan Ruth Wodak dimaknai sebagai pernyataan-pernyataan yang tidak hanya mencerminkan atau mempresentasikan juga mengkonstruksi dan membentuk entitas dan relasi sosial. Pemahaman wacana dalam CDA merupakan suatu analisis yang melihat atau mencermati hal-hal yang meretas batas yang tidak dikaji dalam analisis wacana biasa. Pemahaman dasar CDA adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai obyek studi bahasa. Bahasa tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi.
Analisis Wacana Kritis (AWK atau CDA) melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam CDA dipandang menyebabkan hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, istitusi, dan struktur sosial. Konsep ini di pertegas oleh Fairclough dan Wodak yang melihat praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologis artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas, sehingga perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial.
Oleh Teun Van Dijk (2000: 13, dalam Purbani, 2009: 5) dinyatakan bahwa agenda utama CDA adalah mengungkap bagaimana kekuasaan, dominasi, dan ketidaksetaraan dipraktikan, direproduksi atau dilawan oleh teks tulis serta perbincangan dalam konteks sosial dan politik. CDA mengambil posisi nonkonformis atau melawan arus dominasi dalam kerangka besar untuk melawan keadilan sosial.
Lebih lanjut, Fairclough dan Wodak (dalam Selden, dkk., 1993) berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari analisis kritis menurut mereka: 1). Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions) yaitu mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Sesorang berbicara, menulis, menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Wacana dalam prinsip ini, dipandang sebagai sesuatu yang betujuan apakah untuk mendebat, mempengaruhi, membujuk, menyangga, bereaksi dan sebagainya. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu yang di ekspresikan secara sadar, terkontrol bukan sesuatu di luar kendali atau diekspresikan secara sadar. 2). Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Titik perhatianya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. 3). Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks. 4). Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun tidak di pandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan anatara wacana dan masyarakat.  
Dari paparan Fairclough dan Wodak di atas dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dan karakteristik CDA adalah (1) memberi perhatian pada masalah-masalah soaial, (2) percaya bahwa relasi kekuasaan bersifat diskursif atau mengada dalam wacana, (3) percaya bahwa wacana berperan dalam pembentukan masyarakat dan kultur, (4) percaya bahwa wacana berperan dalam membangun ideologi, (5) percaya bahwa wacana bersifat historis, (6) wacana berperan sebagai mediasi antara teks dan masyarakat sosial, (7) wacana bersifat interpretatif dan eksplanatif, serta (8) percaya bahwa wacana merupakan suatu bentuk aksi/praktik sosial, (9) penggunaan bahasa secara bersamaan tersusun atas identitas sosial, relasi sosial, dan sistem pengetahuan dan keyakinan.
Dengan demikian, CDA bersifat inter/multidisipliner yang merupakan persentuhan linguistik dan susastra dengan ilmu-ilmu sosial, politik dan budaya. Semua karakteristik penting dari analsis wacana kritis tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi penjelasan bagaimana wacana di kembangkan maupun mempengaruhi khalayak.



9. Metode Pragmatik Fungsional
Metode pragmatik fungsional memandang dirinya sebagai sebuah reaksi terhadap proses tambahan dari kompetensi kehilangan dalam linguistik yang termanifestasi dalam penciptaan  istilah-istilah seperti pragmalinguistik, atau psikolinguistik, sosiolinguistik. Titik tolak penggunaan metode ini adalah bahwa bahasa merupakan objek penggunaan, dengan bahasa kita bisa melakukan sesuatu.
Metode pragmatik fungsional mengembangkan konsep tindak tutur menjadi tindakan tutur dan membedakannya dengan tindak tutur. Tindak tutur berkonsentrasi hanya kepada penutur dan orientasinya pada analisis kalimat individual, sedangkan tindakan tutur merupakan tindakan yang terpenuhi dengan menggunakan bahasa dan memiliki status bentuk wajib yang disepakati secara sosial. Tindakan tutur memiliki 3 tindakan gatra/konstituen: (1) ujaran, (2) tindak proposisional, dan (3) tindak ilokusioner.

10. Metode Teori Pembedaan
Dalam proses komunikasi dengan penerapan metode ini, komunikasi dipandang sebagai proses penyeleksian komponen informasi, ujaran, dan pemahaman.  Unit analisis teori pembedaan adalah satuan gramatikal.  Desain  teori pembedaan dalam analisis teks mengikuti beberapa fase (1) analsis atas pembedaan-pembedaan yang eksplisit, (2) analisis atas pembedaan-pembedaan yang  implisit, (3) membandingkan pembedaan yang eksplisit dengan implisit, (4) merangkum.

11. Metode Hermeneutik Objektif
Hermeneutik berurusan dengan teks-teks. Hermeneutik adalah metode analisis untuk mengungkapkan atau menafsirkan  pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata yang tertuang dalam teks yang telah disusunnya (Hardiman,  2002 : 37).  Manusia selalu berurusam dengan bahasa. Kehidupan keseharian manusia tidak bisa lepas dari bahasa baik lisan maupun tulisan, khususnya dalam percakapan maka manusia senatiasa melakukan penafsiran secara terus menerus. Karena itu, dapat dikatan hermeneutik merupakan gejala khas manusia sebab manusia tidak bisa membebaskan diri dari kecenderungan dasarnya untuk memberi makna, termasuk memberi makna suatu teks.
Hermeneutik memahami makna sebuah teks sebagai sebuah struktur sosial yang muncul secara interaktif. Ini berarti hermeneutik merupakan prosedur imterpretatif untuk menguak realitas sosial dalam teks. Dengan demikian, tujuan pokok metode hermeneutik bertujuan membongkar struktur-struktur pada interaksi dalam teks.

12. Metode Framing
Analisis Framing adalah bagian dari analisis isi yang melakukan penilaian tentang wacana  persaingan  antarkelompok  yang  muncul  atau tampak di media. Dikenal konsep bingkai, yaitu gagasan sentral yang terorganisasi, dan dapat dianalisis melalui dua turunannya, yaitu simbol berupa framing device dan reasoning device. Framing device menunjuk pada penyebutan istilah tertentu yang menunjukkan “julukan” pada satu wacana, sedangkan reasoning device menunjuk pada analisis sebab-akibat. Di dalamnya terdapat beberapa ‘turunan’, yaitu metafora, perumpamaan atau pengandaian. Catchphrases merupakan slogan-slogan yang harus dikerjakan. Exemplar mengaitkan bingkai dengan contoh, teori atau pengalaman masa silam. Depiction adalah “musuh yang harus dilawan bersama”, dan visual image adalah gambar-gambar yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Pada instrumen penalaran, Roots (dalam Holsty, 2003) memperlihatkan analisis sebab-akibat, Appeals to principles merupakan premis atau klaim moral, dan Consequences merupakan kesimpulan logika penalaran.

B. Rangkuman
Sebuah wacana baik tulis maupun lisan,  baik yang dipandang sebagai suatu bahasa maupun realitas sosial bisa dianalisis dengan berbagai metode. Metode-metode yang dimaksud yaitu (1) Metode Analisis Isi, (2) Grounded Theory, (3) Metode Etnografi, (4) Metode MCD Etnometodologis, (5) Metode Analisis Percakapan Etnometodologis, (6) Metode Semiotik , (7) Metode SYMLOG, (8) Metode CDA, (9) Metode Pragmatik Fungsional, (10) Metode Teori Pembedaan, (11) Metode Hermeneutik Objektif, dan (12) Metode Framing.
Para peneliti analisis wacana diberi kebebasan untuk memilih metode-metode analsisis yang ada bergantung karakteristik wacana yang dihadapinya.

C. Umpan Balik
1.      Sebutkan metode-metode yang dapat digunakan dalam analisis wacana.
2.      Jelaskan metode yang cocok digunakan menganalisis wacana percakapan untuk menggungkapkan penggunaan tindak tutur!

D. Daftar Pustaka
Arifin. 2011. Materi Kuliah Analisis Wacana. Singaraja: Undiksha.
Giovanna,. Borradori 2003. Philosophy in a time of Terror: Dialogues With Jurgen  Habermas  And Jacques Derrida. Chicago: The University of Chicago Press.
Hardiman, F. Budi.  2002.  Melampaui Positisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Holsty, W. 2003. www.analysis of semanthic. 2 November 2009.
Michel, Foucaullt. 1990. The History of Sexuality: An Introduction: Volume I. Vintage Books.
Samsuri. 1988. Analisis Wacana. Malang: IKIP Malang.   
Selden, Raman, and Peter Widdowson. 1993. A Reader’s Guide to Contemporary Literary  Theory: Third Edition. Kentucky: The University Press of Kentucky.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa
Teun, Van Djik. 1993. Discourse And Society: Vol 4 (2). London, Newbury Park and New Delhi: Sage.
Titscher, Stefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana (penerjemah Gazali, dkk.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wikepedia (http://www.ischool.utexas.edu/discourse.html), diakses 10 Oktober 2011.

Tidak ada komentar: