Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 20 Maret 2014

ANALISIS KESALAHAN MORFOLOGIS BAHASA INDONESIA


ANALISIS KESALAHAN MORFOLOGIS
BAHASA INDONESIA

1.         Pendahuluan
1.1     Pengertian proses morfologis
Pada hakekatnya, suatu kata dapat digolongkan atas dua macam yaitu kata yang bermorfem tunggal atau monomorfemis dan kata yang bermorfem lebih dari satu atau disebut polimorfemis.
Suatu kata yang monomorfemis tidak akan mengalami peristiwa pembentukan sebelumnya sebab morfem itu merupakan satu-satunya unsur atau anggota kata. Seperti contoh bentuk kata pergi pada kalimat Dia akan pergi ke sekolah yang terdiri atas satu morfem yaitu morfem (pergi). Dari morfem tersebut sama sekali tidak mengalami peristiwa pembentukan, akan tetapi ini berbeda dengan suatu kata yang polimorfemis. Morfem-morfem yang menjadi anggota kata ini mengalami peristiwa pembentukan sebelumnya. Peristiwa pembentukan ini biasanya disebut proses morfologis.
1.2     Ciri suatu kata yang mengalamai proses morfologis
Dalam bahasa Indonesia, bentuk dasar tidak selalu bermorfem tunggal tetapi mungkin berupa morfem kompleks. Misalnya, bentuk dasar kata membelajarkan adalah belajar, bentuk dasar kata bersusah payah adalah susah payah dan bentuk dasar kata ketidakadilan adalah tidak adil. Bentuk dasar itu terdiri atas dua morfem.
Disamping itu, dilihat dari wujudnya, bentuk dasar dapat berupa pokok kata. Misalnya, bentuk dasar kata menemukan, berjuang dan perhubungan adalah pokok kata temu, juang,dan hubung;bentuk dasar kata mencangkul, perbaikan, dan disatukan adalah kata cangkul, baik dan satu; bentuk kata dasar mengesampingkan, ketidakmampuan, dan dikemukakan adalah kelompok kata samping, tidak mampu,dan ke muka.
Ciri lain bahwa suatu kata dikatakan mengalami proses morfologis ialah penggabungan atau perpaduan morfem-morfem itu mengalami perubahan arti. Bentuk dasar cangkul setelah digabungi morfem meN- sehingga menjadi kata mencangkul yang artinya melakukan pekerjaan dengan alat cangkul. Dengan demikian, apabila ada kata yang seolah-olah mengalami perubahan dari bentuk dasarnya tetapi tidak diikuti oleh perubahan arti, maka peristiwa seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai hasil proses morfologis. Misalnya, di samping kata semakin terdapat juga kata semangkin (biasanya “ragam bahasa pejabat”), di samping kata sepeda terdapat juga kata sepedah. Perubahan [ƞ] pada semakin dan [h] pada sepeda, tidak diikuti oleh perubahan arti. Sebab itulah perubahan pada kata di atas tidak termasuk proses morfologis.
1.3     Macam proses morfologis
Dalam bahasa Indonesia, peristiwa pembentukan kata ada tiga macam yaitu:
1)      Pembentukan kata dengan menambahkan morfem afiks pada bentuk dasar.
2)      Pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar.
3)      Pembentukan kata dengan menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar.
Hasil pembentukan kata model pertama terlihat pada kata misalnya, menulis, pembangunan, dan makanan. Kata menulis terbentuk dari kata dasar tulis dan imbuhan meN-, kata pembangunan terbentuk dari bentuk dasan bangun dan morfem imbuhan peN-an, dan kata makanan terbentuk dari bentuk makan dan morfem imbuhan –an.
Hasil pembentukan kata model kedua terlihat pada kata misalnya, murid-murid, mencari-cari, memukul-mukul yang terbentuk dari kata dasar murid, mencari, dan memukul dengan morfem ulang.
Hasil pembentukan kata model ketiga terlihat pada kata misalnya, meja hijau, tinggal landas, dan mata kaki. Kata meja hijau terbentuk dari kata dasar meja dan hijau; kata tinggal landas terbentuk dari kata dasar tinggal dan landas; kata mata kaki terbentuk dari kata dasar mata dan kaki.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa berdasarkan proses pembentukannya, dalam bahasa Indonesia terdapat kata berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk.
1.4     Pembentukan kata di luar proses morfoogis
Proses morfologis tercatat hal-hal deskriptif dalam pembentukan kata-kata (baru). Di luar itu, masih ada pembentukan kata-kata baru dengan proses lain. Proses yang dimaksud antara lain: (1) akronim, (2) abreviasi, (3) abrevi-akronim, (4) kontraksi, (5) kliping, dan (6) afiksasi pungutan.
Studi terhadap akronim sangat banyak dan sudah lama, apalagi akronimisasi dalam bahasa-bahasa Nusantara pernah diteliti oleh Renward Brandstetter dalam Hal Bunyi dalam Bahasa 2 Indonesia (1957). Dicontohkan akronim bahasa Jawa, misalnya paklik (bapak cilik), bangjo (abang ijo); dalam bahasa Sawu, ora enen ‘barang sesuatu’ diakronimkan menjadi ranen; dalam bahasa Bugis, ponglila ‘lidah belakang’ mejadi polila (Brandstetter, 1957: 95–96).
Abreviasi adalah apa yang sehari-hari disebut “singkatan” (Sudaryanto, 1983: 230). Yang diambil biasanya huruf terdepan; misalnya ABC (Anggota Bromo Corah), PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan lain-lain. Pengucapannya ada yang dibaca sebagai huruf abjad, misalnya FKP (ef-ka-pe); ada juga yang tidak, misalnya PPP (pe-tiga).
Abreviakronim adalah gabungan antara akronim dengan abreviasi. Misalnya, Polri (Polisi Republik Indonesia), Pemilu (Pemilihan Umum), dan lain-lain.
Kontraksi atau pengerutan, misalnya begitu (bagai itu), begini (bagai ini). Dalam bahasa Jawa, kita temukan ning (nanging); kawit  dibreviakronimkan menjadi kit; mau kue menjadi mengke.
Kliping adalah pengambilan kata dalam suku khusus kata yang selanjutnya dianggap sebagai kata baru (Samsuri, 1988: 130). Misalnya, influenza menjadi flu; purnawirawan menjadi pur; professional menjadi prof.
Yang terakhir adalah proses afiksasi pungutan tidak asing lagi. Kita lihat {anti-} (antikomunis, antikekerasan), {non-} (nonformal, non-Amerika, nonpemerintah), {antar-} (antardaerah, antarsiswa), {swa-} (swasembada, swadaya, swalayan), dll.. dalam proses lebih lanjut, jika sudah tidak terasa keasingannya, ia masuk sebagai keluarga afiks bahasa Indonesia.
2.         Permasalahan
2.1     Masalah
Masalah yang ada di sini adalah sebagai berikut:
1)      Kesalahan pada penggunaan bahasa seringkali kita temukan.
2)      Proses pembentukan kata dan makna kata banyak yg belum memahami dgn tepat.
3)      Permasalahan yang ada dalam penggunaan bahasa sangat perlu diperhatikan seperti pada penggunaan kata, banyak bahasa baru yang kita temukan mengandung makna yang sama atau pun berbeda seperti pada penggunaan kata ‘macan’ yang berarti manis cantik, ‘lapendos’ yang berarti laki-laki penuh dosa, dsb. Yang sering diucapkan oleh anak remaja.
2.2     Tujuan
Tujuan daripada makalah ini adalah sebagai berikut:
1)      Dapat memahami pemakaian bahasa dengan baik.
2)      Memahami dan mengetahui proses pembentukan kata dan makna suatu kata.
3)      Mendeskripsikan jenis pembentukan kata

3.         Pembahasan
Setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia walaupun dikatakan mempunyai system, dalam pemakaiannya selalu timbul masalah, baik masalah yang berhubungan dengan bunyi, bentuk kata, maupun pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya pemakai bahasa yang bersangkutan. Oleh sebab itu, timbulnya masalah kebahasaan pada bahasa tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia, tidak berarti bahasa itu kurang maju, kurang mapan, dan sebagainya.
Pemakaian kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema-problema. Problema-problema tersebut antara lain:
1)      Akibat bentukan baru
2)      Akibat kontaminasi
3)      Akibat adanya unsur serapan
4)      Akibat analogi
5)      Akibat perlakuan kluster
6)      Akibat morfologis bentuk serapan, dan
7)      Akibat perlakuan bentuk majemuk.
3.1     Problema akibat bentukan baru
Pada akhir-akhir ini banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakai bahasa Indonesia. Misalnya, bentuk memberhentikan, memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan,dan dikesanakan, misalnya dalam kalimat:
1)      Direktur CV “Marga” telah memberhentikan sekertarisnya.
2)      Apakah saudara tidak tahu bahwa Ketua RT telah memberlakukan keputusan rapat warga seminggu yang lalu?
3)      Keberhasilan yang anda capai selama ini harus anda pertahankan.
4)      Kita harus belajar giat agar keterbelakangan kita tidak terulang.
5)      Agar tidak semrawut, barang-barang ini perlu dikesanakan.
Bentuk memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru sebab bentuk yang berkontruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks + bentuk dasar + sufiks) sebelumnya tidak ditemukan. Dari kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan: “Apakah dibenarkan suatu konstruksi yang dibentuk dengan dua prefiks?” Pertanyaan itu sebenarnya akibat ketidaktahuannya atas proses pembentukan konstruksi di atas. Konstruksi ini memang terdiri atas empat morfem, tetapi pembentukannya tidak secara serentak. Konstruksi ini dibentuk secara bertahap. Pertama, konstruksi ini dibentuk dari gabungan {ber-} dan henti. Lalu, konstruksi berhenti dibentuk dengan menambahkan {meN-} dan {-kan} (sebagai simulfiks). Sehingga berkonstruksi memberhentikan. Begitu pula konstruksi memberlakukan. Pertama-tama, konstruksi itu terbentuk dari ber- dan laku. Dari bentuk berlaku, dibentuklah memberlakukan, dengan menambahkan {men-N} dan –kan (sebagai simulfiks).
Bagaimana dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakangan? Proses pembentukan konstruksi ini sama dengan proses pembentukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. Demikian bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentukan baru sebagai hasil anaogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini berbentuk dasar frase, yaitu ke sana, ke kiri, ke samping, dan ke muka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi dapat juga polimorfemis, biasa dua morfem, tiga morfem, empat morfem. Begitu juga bentuk dasar suatu konstruksi dapat berbentuk morfem terikat, morfem bebas, baik kata maupun frase.
3.2     Problema akibat kontaminasi
Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang mengacaukan konstruksi kebahasaan. Dua konstruksi, yang semestinya harus berdiri sendiri secara terpisah, dipadukan menjadi suatu konstruksi. Akibatnya, konstruksi itu menjadi kacau atau rancu. Artinya, kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya *diperlebarkan, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan merupakan hasil penyampur adukkan konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing-masing berarti ‘dibuat menjadi lebih besar lagi’ dan ‘dibuat jadi lebar’. Oleh sebab itu, konstruksi diperlebarkan dianggap sebagai kata yang rancu.
Konstruksi *mengenyampingkan, juga dianggap sebagai konstruksi yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping. Peluluhan seperti itu disebut salah, sebab bunyi [s] bukan bunyi awal bentuk dasar. Bunyi awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. oleh sebab itu bunyi [k] –lah yang diluluhkan apabila bergabung dalam morfem {meN-kan}. Jadi yang benar adalah mengesampingkan.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan hasil pencampuran konstruksi dipelajari dan diajarkan, yang masing-masing mempunyai arti tersendiri. Dengan pencampuran itu artinya menjadi kabur. Oleh sebab itu, dikatakan sebagai bentuk yang rancu.
3.3     Problema akibat unsur serapan
Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia juga membuat problema tersendiri. Hal itu terlihat pada kekacauan dan keragu-raguan pemakaian bentuk data-data, datum-datum, data, datum; fakta-fakta, faktum-faktum, fakta, faktum; alumni, alumnus, para alumni, para alumnus. Kita ketahui bahwa kata data dan datum, fakta dan faktum, alumni dan alumnus berasal dari bahasa Latin, yang masing-masing pasangan kata itu berarti ‘jamak’ dan ‘tunggal’. Ternyata, dari pasangan itu terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk jamaknya yaitu data, fakta dan alumni, sedangkan bentuk tunggalnya yaitu, datum, faktum, dan alumnus, tidak teserap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah selanjutnya adalah: “Apa bentuk tunggalnya apabila yang terserap hanya bentuk jamaknya?”. Bagi orang awam, pertanyaan ini memang logis, tetapi pengamat bahasa Indonesia pertanyaan ini terasa janggal. Mengapa? Kita tahu bahwa unsure asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan sendirinya berarti tunggal. Akibatnya, walaupun yang diserap bentuk jamaknya, ia langsung dianggap bentuk tunggal. Dengan demikian konstruksi data-data, fakta-fakta, para alumni, banyak data, dan banyak fakta dianggap benar, sedangkan konstruksi *datum-datum, *faktum-faktum, dan *para alumnus dianggap salah. Sehubungan dengan hal tersebut, konstruksi para hadirin, hadirin sekalian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun bahasa asingnya (bahasa Arab) bentuk hadirin, ulama, arwah berarti ‘jamak’.
3.4     Problema akibat analogi
Sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa menurut contoh yang sudah ada. Gejala analogi ini sangat penting dalam pemakaian bahasa sebab pada dasarnya pemakaian bahasa dalam penyusunan kalimat, frase dan kata beranalogi pada contoh yang sudah ada dan diketahuinya. Sebagai contoh, dengan adanya bentuk ketidakadilan, kita dapat membentuk konstruksi ketidakberesan, ketidakbaikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk dikesampingkan kita dapat membentuk konstruksinya dikekanankan, dikesanakan, dikesinikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk pemersatu yang berarti ‘yang mempersatukan’ kita dapat membentuk konstruksi pemerhati ‘yang memperhatikan’; dan dengan adanya pasangan bentuk penyuruh dan pesuruh yang masing-masing berarti ‘orang yang menyuruh’ dan ‘orang yang disuruh’, kita dapat membentuk pasangan konstruksi penatar dan petatar, pendaftar dan pedafar.
Masalah berikutnya, dengan adanya gejla analogi ini adalah banyaknya pemakai bahasa Indonesia yang salah analogi. Hal tersebut terjadi karena ketidakpahaman mereka terhadap bentuk-bentuk yang dicontohkannya dan yang dibuatnya. Misalnya, kata pihak dijadikan *fihak, kata anggota menjadi *anggauta, dan kata serapan alternatif  dijadikan *alternasi.
3.5     Problema akibat perlakuan kluster
Kluster atau konsonan rangkap membuat problema tersendiri dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal kluster. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan, misalnya program, proklamasi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi, kritik, kronologi. Kata-kata ini apabila dibentuk oleh afiks yang bernasal, misalnya {meN-(-kan/-i)} dan {peN-an}, maka akan menimbulkan problema: “Apakah konsonan awalnya diluluhkan sebagai konsonan k,p,t,s. dalam bahasa Indonesia asli?” Manakah yang benar deretan berikut?
A                                                     B
Memprogramkan                           memrogramkan
Pemprograman                              pemrograman
Memproklamasikan                       memroklamasikan
Mentraktir                                     menraktir
Pentraktiran                                   penraktiran
Mentransfer                                   menransfer
Pentransferan                                penransferan
Mensponsori                                  menyponsori, menyeponsori
Menstandarkan                             menytandarkan, menyetandarkan
Penstandaran                                 penytandaran, penyetandaran
Mengklasifikasikan                       menglasisifikasikan
Mengkritik                                    mengritik, mengeritik
Pengkritikan                                  pengritikan, pengeritikan
Apabila menurut system bahasa Indonesia, kita cenderung memilih/menggunakan deretan B. tetapi, ada beberapa keberatan /kelemahannya, antara lain:
1)      Bentuk serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan titik (walaupun keduanya berawal dengan k,p,t,s);
2)      Apabila diluluhkan, kemungkinan besar akan menyulitkan penelusuran kembali bentuk aslinya;
3)      Ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman arti.
Oleh karena itu, kita sebaiknya memilih deretan A, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk serapan yang berkluster.
3.6     Problema akibat proses morfologis unsur serapan
Problema ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, yaitu berkenaan dengan perlakuan unsur asing. Hanya saja yang menjadi tekanan di sini adalah proses morfologisnya.
Hampir semua bentuk serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaannya adalah “Apakah semua bentuk serapan mengikuti system pembentukan kata yang selama ini diterapkan dalam bentuk-bentuk bahasa Indonesia asli?”. Masalah itu timbul karena selama ini terdapat persaingan pemakaian pasangan konstruksi. Misalnya, menterjemahkan dan menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir dan memarkir, mengkalkulasikan dan mengalkulasikan. Mana yang benar? Konstruksi yang telah diasimilasikan ataukah yang belum diasimilasikan?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut maka perlu diketahui sifat atau kondisi untuk serapan. Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1)      Bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga sudah tidak terasa lagi keasingannya.
2)      Bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa keasingannya.
Bentuk serapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara penuh mengikuti system bahasa Indonesia termasuk proses morfologisnya, sedangkan kelompok kedua belum dapat diperlakukan secara penuh mengikuti system bahasa Indonesia. Berdasarkan rambu-rambu ini, kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap kedalam bahasa Indonesia atau belum. Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan tersebut patut diperlakukan secara penuh mengikuti system bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah digabung dengan {meN-kan} maka akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan system bahasa Indonesia, fon [p] yang mengawali bentuk dasar akan luluh apabila bergabung dengan afiks {meN-kan/i} dan {peN-(an)}.
3.7     Problema akibat perlakuan bentuk majemuk
Problema morfologis terakhir yang berhasil dicatat disini adalah problema akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungjawaban dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan Negara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh tersebut terlihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan bentuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap renggang. Pendapat pertama menganggap unsur-unsur bentuk tanggung jawab, warga Negara, dan sebar luas padu sehingga tidak mungkin disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau akhiran, misalnya itu harus diletakkan di awal unsure pertama dan/atau di akhir unsur kedua. Sebaliknya, pendapat kedua menganggap unsur-unsur bentuk tanggung jawab, warga Negara, dan sebar luas renggang sehingga memungkinkan disisipi bentuk lain di antaranya. Oleh sebab itu, ketiga bentuk itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab, kewargaan Negara, dan menyebarkan luas.
Mana yang tepat dari kedua pendapat tersebut? Suatu bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila unsur-unsurnya longgar tidak alagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi frase. Dengan demikian, pendapat pertamalah yang yang tepat, yaitu pendapat yang memperlakukan unsur-unsur bentuk majemuk sebagai satu kesatuan.
4.         Penutup
4.1     Simpulan
Problema yang sering kita jumpai dalam kesalahan morfologis adalah sebagai berikut:
1)      Problema akibat bentukan baru,
2)      Problema akibat konttaminasi,
3)      Problema akibat adanya unsur serapan,
4)      Problema akibat analogi,
5)      Problema akibat perlakuan kluster,
6)      Problema akibat proses morfologis bentuk serapan, dan
7)      Problema akibat perlakuan bentuk majemuk.
4.2     Saran
Masih banyak problema yang akan terus muncul dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Fenomena ini sehingga menjadi tanda bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup dan masih menjalankan fungsinya secara aktif sebagai alat komunikasi bagi pemakainya. Yang paling penting adalah setiap kali ada fenomena bentukan baru kita harus bias menyiasatinya dengan arif. Janganlah kita bersikap normatif yang cenderung menyalahkan setiap fenomena baru yang muncul.

5.         Daftar Pustaka
Ramlan, M.  1979. Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi, Suatu Tinjauan Deskriptif.
Yogyakarta: UP Karyono.
             .  1982. Kata Depan atau Preposisi  Bahasa  Indonesia. Yogyakarta:  UP
Karyono.
Samsuri. 1976. “Kesejajaran antara meN-I dan meN-kan”. Bahasa dan Sastra, Th.
II, No. 2: 33 – 39.
Brandestetter, Renward. 1957. Hal Bunyi dalam  Bahasa Indonesia. Terj. Sjaukat
Djajadinigrat. Jakarta: Pustaka Rakyat
Muslich, Masnur. 2008. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Deskriptif.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.




 



Tidak ada komentar: