ANALISIS KESALAHAN MORFOLOGIS
BAHASA INDONESIA
1.
Pendahuluan
1.1 Pengertian
proses morfologis
Pada
hakekatnya, suatu kata dapat digolongkan atas dua macam yaitu kata yang
bermorfem tunggal atau monomorfemis
dan kata yang bermorfem lebih dari satu atau disebut polimorfemis.
Suatu
kata yang monomorfemis tidak akan mengalami peristiwa pembentukan sebelumnya
sebab morfem itu merupakan satu-satunya unsur atau anggota kata. Seperti
contoh bentuk kata pergi pada
kalimat Dia akan pergi ke sekolah
yang terdiri atas satu morfem yaitu morfem (pergi).
Dari morfem tersebut sama sekali tidak mengalami peristiwa pembentukan, akan
tetapi ini berbeda dengan suatu kata yang polimorfemis. Morfem-morfem yang
menjadi anggota kata ini mengalami peristiwa pembentukan sebelumnya. Peristiwa
pembentukan ini biasanya disebut proses morfologis.
1.2 Ciri
suatu kata yang mengalamai proses morfologis
Dalam
bahasa Indonesia, bentuk dasar tidak selalu bermorfem tunggal tetapi mungkin
berupa morfem kompleks. Misalnya, bentuk dasar kata membelajarkan adalah belajar,
bentuk dasar kata bersusah payah adalah
susah payah dan bentuk dasar kata ketidakadilan adalah tidak adil. Bentuk dasar itu terdiri
atas dua morfem.
Disamping
itu, dilihat dari wujudnya, bentuk dasar dapat berupa pokok kata. Misalnya,
bentuk dasar kata menemukan, berjuang dan
perhubungan adalah pokok kata temu, juang,dan hubung;bentuk dasar kata mencangkul,
perbaikan, dan disatukan adalah
kata cangkul, baik dan satu; bentuk kata dasar mengesampingkan, ketidakmampuan, dan dikemukakan adalah kelompok kata samping, tidak mampu,dan ke muka.
Ciri
lain bahwa suatu kata dikatakan mengalami proses morfologis ialah penggabungan
atau perpaduan morfem-morfem itu mengalami perubahan arti. Bentuk dasar cangkul setelah digabungi morfem meN-
sehingga menjadi kata mencangkul yang
artinya melakukan pekerjaan dengan alat cangkul. Dengan demikian, apabila ada
kata yang seolah-olah mengalami perubahan dari bentuk dasarnya tetapi tidak
diikuti oleh perubahan arti, maka peristiwa seperti ini tidak dapat dikatakan
sebagai hasil proses morfologis. Misalnya, di samping kata semakin terdapat juga kata semangkin (biasanya “ragam bahasa
pejabat”), di samping kata sepeda
terdapat juga kata sepedah. Perubahan
[ƞ] pada semakin dan [h] pada sepeda, tidak diikuti oleh perubahan
arti. Sebab itulah perubahan pada kata di atas tidak termasuk proses
morfologis.
1.3 Macam
proses morfologis
Dalam bahasa
Indonesia, peristiwa pembentukan kata ada tiga macam yaitu:
1) Pembentukan
kata dengan menambahkan morfem afiks pada bentuk dasar.
2) Pembentukan
kata dengan mengulang bentuk dasar.
3) Pembentukan
kata dengan menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar.
Hasil
pembentukan kata model pertama terlihat pada kata misalnya, menulis, pembangunan, dan makanan. Kata menulis terbentuk dari kata dasar tulis dan imbuhan meN-, kata pembangunan
terbentuk dari bentuk dasan bangun dan
morfem imbuhan peN-an, dan kata makanan terbentuk
dari bentuk makan dan morfem imbuhan
–an.
Hasil
pembentukan kata model kedua terlihat pada kata misalnya, murid-murid, mencari-cari, memukul-mukul yang terbentuk dari kata
dasar murid, mencari, dan memukul dengan morfem ulang.
Hasil
pembentukan kata model ketiga terlihat pada kata misalnya, meja hijau, tinggal landas, dan mata kaki. Kata meja hijau terbentuk dari kata dasar meja dan hijau; kata tinggal landas terbentuk dari kata
dasar tinggal dan landas; kata mata kaki terbentuk dari kata dasar mata dan kaki.
Dari
uraian di atas, terlihat bahwa berdasarkan proses pembentukannya, dalam bahasa
Indonesia terdapat kata berimbuhan,
kata ulang, dan kata majemuk.
1.4 Pembentukan
kata di luar proses morfoogis
Proses
morfologis tercatat hal-hal deskriptif dalam pembentukan kata-kata (baru). Di
luar itu, masih ada pembentukan kata-kata baru dengan proses lain. Proses yang
dimaksud antara lain: (1) akronim, (2) abreviasi, (3) abrevi-akronim, (4)
kontraksi, (5) kliping, dan (6) afiksasi pungutan.
Studi
terhadap akronim sangat banyak dan
sudah lama, apalagi akronimisasi dalam bahasa-bahasa Nusantara pernah diteliti
oleh Renward Brandstetter dalam Hal Bunyi
dalam Bahasa 2 Indonesia (1957). Dicontohkan akronim bahasa Jawa, misalnya
paklik (bapak cilik), bangjo (abang ijo); dalam bahasa Sawu, ora enen ‘barang sesuatu’ diakronimkan
menjadi ranen; dalam bahasa Bugis, ponglila ‘lidah belakang’ mejadi polila (Brandstetter, 1957: 95–96).
Abreviasi adalah
apa yang sehari-hari disebut “singkatan” (Sudaryanto, 1983: 230). Yang diambil
biasanya huruf terdepan; misalnya ABC (Anggota
Bromo Corah), PPP (Partai Persatuan
Pembangunan) dan lain-lain. Pengucapannya ada yang dibaca sebagai huruf abjad,
misalnya FKP (ef-ka-pe); ada juga
yang tidak, misalnya PPP (pe-tiga).
Abreviakronim adalah
gabungan antara akronim dengan abreviasi. Misalnya, Polri (Polisi Republik Indonesia), Pemilu (Pemilihan Umum), dan lain-lain.
Kontraksi atau
pengerutan, misalnya begitu (bagai
itu), begini (bagai ini). Dalam
bahasa Jawa, kita temukan ning (nanging);
kawit dibreviakronimkan menjadi kit; mau kue menjadi mengke.
Kliping adalah
pengambilan kata dalam suku khusus kata yang selanjutnya dianggap sebagai kata
baru (Samsuri, 1988: 130). Misalnya, influenza
menjadi flu; purnawirawan menjadi
pur; professional menjadi prof.
Yang
terakhir adalah proses afiksasi pungutan
tidak asing lagi. Kita lihat {anti-} (antikomunis,
antikekerasan), {non-} (nonformal,
non-Amerika, nonpemerintah), {antar-} (antardaerah,
antarsiswa), {swa-} (swasembada,
swadaya, swalayan), dll.. dalam proses lebih lanjut, jika sudah tidak
terasa keasingannya, ia masuk sebagai keluarga afiks bahasa Indonesia.
2.
Permasalahan
2.1
Masalah
Masalah
yang ada di sini adalah sebagai berikut:
1) Kesalahan
pada penggunaan bahasa seringkali kita temukan.
2)
Proses pembentukan kata dan makna kata banyak
yg belum memahami dgn tepat.
3)
Permasalahan yang ada dalam penggunaan
bahasa sangat perlu diperhatikan seperti pada penggunaan kata, banyak bahasa
baru yang kita temukan mengandung makna yang sama atau pun berbeda seperti
pada penggunaan kata ‘macan’ yang berarti manis cantik, ‘lapendos’ yang
berarti laki-laki penuh dosa, dsb. Yang sering diucapkan oleh anak remaja.
2.2
Tujuan
Tujuan
daripada makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Dapat
memahami pemakaian bahasa dengan baik.
2) Memahami
dan mengetahui proses pembentukan kata dan makna suatu kata.
3) Mendeskripsikan
jenis pembentukan kata
3.
Pembahasan
Setiap
bahasa, termasuk bahasa Indonesia walaupun dikatakan mempunyai system, dalam
pemakaiannya selalu timbul masalah, baik masalah yang berhubungan dengan
bunyi, bentuk kata, maupun pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat
bahasa yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya
pemakai bahasa yang bersangkutan. Oleh sebab itu, timbulnya masalah kebahasaan
pada bahasa tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia, tidak berarti bahasa
itu kurang maju, kurang mapan, dan sebagainya.
Pemakaian
kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema-problema.
Problema-problema tersebut antara lain:
1) Akibat
bentukan baru
2) Akibat
kontaminasi
3) Akibat
adanya unsur serapan
4) Akibat
analogi
5) Akibat
perlakuan kluster
6) Akibat
morfologis bentuk serapan, dan
7) Akibat
perlakuan bentuk majemuk.
3.1 Problema
akibat bentukan baru
Pada
akhir-akhir ini banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakai
bahasa Indonesia. Misalnya, bentuk memberhentikan,
memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan,dan dikesanakan, misalnya dalam kalimat:
1) Direktur
CV “Marga” telah memberhentikan sekertarisnya.
2) Apakah
saudara tidak tahu bahwa Ketua RT telah memberlakukan
keputusan rapat warga seminggu yang lalu?
3) Keberhasilan
yang anda capai selama ini harus anda pertahankan.
4) Kita
harus belajar giat agar keterbelakangan kita
tidak terulang.
5) Agar
tidak semrawut, barang-barang ini perlu dikesanakan.
Bentuk
memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru
sebab bentuk yang berkontruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks + bentuk
dasar + sufiks) sebelumnya tidak ditemukan. Dari kenyataan itu, lalu timbul
pertanyaan: “Apakah dibenarkan suatu konstruksi yang dibentuk dengan dua prefiks?”
Pertanyaan itu sebenarnya akibat ketidaktahuannya atas proses pembentukan
konstruksi di atas. Konstruksi ini memang terdiri atas empat morfem, tetapi
pembentukannya tidak secara serentak. Konstruksi ini dibentuk secara bertahap.
Pertama, konstruksi ini dibentuk dari gabungan {ber-} dan henti. Lalu, konstruksi berhenti
dibentuk dengan menambahkan {meN-} dan {-kan} (sebagai simulfiks).
Sehingga berkonstruksi memberhentikan. Begitu
pula konstruksi memberlakukan. Pertama-tama,
konstruksi itu terbentuk dari ber- dan
laku. Dari bentuk berlaku, dibentuklah memberlakukan, dengan menambahkan {men-N}
dan –kan (sebagai simulfiks).
Bagaimana
dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakangan? Proses pembentukan
konstruksi ini sama dengan proses pembentukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. Demikian bentuk dasarnya
adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi
dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentukan baru sebagai hasil anaogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini berbentuk dasar frase, yaitu ke sana, ke kiri, ke samping, dan ke muka. Konstruksi ini dibenarkan
sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi dapat juga polimorfemis,
biasa dua morfem, tiga morfem, empat morfem. Begitu juga bentuk dasar suatu
konstruksi dapat berbentuk morfem terikat, morfem bebas, baik kata maupun
frase.
3.2 Problema
akibat kontaminasi
Kontaminasi
merupakan gejala bahasa yang mengacaukan konstruksi kebahasaan. Dua
konstruksi, yang semestinya harus berdiri sendiri secara terpisah, dipadukan
menjadi suatu konstruksi. Akibatnya, konstruksi itu menjadi kacau atau rancu.
Artinya, kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya *diperlebarkan, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi
*diperlebarkan merupakan hasil
penyampur adukkan konstruksi diperlebar dan
dilebarkan yang masing-masing
berarti ‘dibuat menjadi lebih besar lagi’ dan ‘dibuat jadi lebar’. Oleh sebab
itu, konstruksi diperlebarkan dianggap
sebagai kata yang rancu.
Konstruksi
*mengenyampingkan, juga dianggap
sebagai konstruksi yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan
artinya, tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping. Peluluhan seperti itu
disebut salah, sebab bunyi [s] bukan bunyi awal bentuk dasar. Bunyi awal
bentuk dasar ke samping adalah [k].
oleh sebab itu bunyi [k] –lah yang diluluhkan apabila bergabung dalam morfem
{meN-kan}. Jadi yang benar adalah mengesampingkan.
Konstruksi
*dipelajarkan merupakan hasil
pencampuran konstruksi dipelajari dan
diajarkan, yang masing-masing
mempunyai arti tersendiri. Dengan pencampuran itu artinya menjadi kabur. Oleh
sebab itu, dikatakan sebagai bentuk yang rancu.
3.3 Problema
akibat unsur serapan
Adanya
unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia juga membuat
problema tersendiri. Hal itu terlihat pada kekacauan dan keragu-raguan
pemakaian bentuk data-data, datum-datum,
data, datum; fakta-fakta, faktum-faktum, fakta, faktum; alumni, alumnus, para
alumni, para alumnus. Kita ketahui bahwa kata data dan datum, fakta dan
faktum, alumni dan alumnus berasal dari bahasa Latin, yang
masing-masing pasangan kata itu berarti ‘jamak’ dan ‘tunggal’. Ternyata, dari
pasangan itu terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk jamaknya yaitu
data, fakta dan alumni, sedangkan bentuk tunggalnya yaitu, datum, faktum, dan alumnus, tidak
teserap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah
selanjutnya adalah: “Apa bentuk tunggalnya apabila yang terserap hanya bentuk
jamaknya?”. Bagi orang awam, pertanyaan ini memang logis, tetapi pengamat
bahasa Indonesia pertanyaan ini terasa janggal. Mengapa? Kita tahu bahwa
unsure asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu
kesatuan bentuk dan sendirinya berarti tunggal. Akibatnya, walaupun yang
diserap bentuk jamaknya, ia langsung dianggap bentuk tunggal. Dengan demikian
konstruksi data-data, fakta-fakta, para
alumni, banyak data, dan banyak
fakta dianggap benar, sedangkan konstruksi *datum-datum, *faktum-faktum, dan *para alumnus dianggap salah. Sehubungan dengan hal tersebut,
konstruksi para hadirin, hadirin
sekalian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun bahasa
asingnya (bahasa Arab) bentuk hadirin,
ulama, arwah berarti ‘jamak’.
3.4 Problema
akibat analogi
Sebagai
istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa menurut contoh yang sudah ada.
Gejala analogi ini sangat penting dalam pemakaian bahasa sebab pada dasarnya
pemakaian bahasa dalam penyusunan kalimat, frase dan kata beranalogi pada
contoh yang sudah ada dan diketahuinya. Sebagai contoh, dengan adanya bentuk ketidakadilan, kita dapat membentuk
konstruksi ketidakberesan,
ketidakbaikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk dikesampingkan kita dapat membentuk konstruksinya dikekanankan, dikesanakan, dikesinikan, dan
seterusnya; dengan adanya bentuk pemersatu
yang berarti ‘yang mempersatukan’ kita dapat membentuk konstruksi pemerhati ‘yang memperhatikan’; dan
dengan adanya pasangan bentuk penyuruh dan
pesuruh yang masing-masing berarti
‘orang yang menyuruh’ dan ‘orang yang disuruh’, kita dapat membentuk pasangan
konstruksi penatar dan petatar, pendaftar dan pedafar.
Masalah
berikutnya, dengan adanya gejla analogi ini adalah banyaknya pemakai bahasa
Indonesia yang salah analogi. Hal tersebut terjadi karena ketidakpahaman
mereka terhadap bentuk-bentuk yang dicontohkannya dan yang dibuatnya.
Misalnya, kata pihak dijadikan *fihak, kata anggota menjadi *anggauta, dan
kata serapan alternatif dijadikan *alternasi.
3.5 Problema
akibat perlakuan kluster
Kluster
atau konsonan rangkap membuat problema tersendiri dalam pembentukan kata
bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak
mengenal kluster. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia)
itu berasal dari unsur serapan, misalnya program,
proklamasi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala,
klasifikasi, kritik, kronologi. Kata-kata ini apabila dibentuk oleh afiks
yang bernasal, misalnya {meN-(-kan/-i)} dan {peN-an}, maka akan menimbulkan
problema: “Apakah konsonan awalnya diluluhkan sebagai konsonan k,p,t,s. dalam bahasa Indonesia asli?”
Manakah yang benar deretan berikut?
A B
Memprogramkan memrogramkan
Pemprograman pemrograman
Memproklamasikan memroklamasikan
Mentraktir menraktir
Pentraktiran penraktiran
Mentransfer menransfer
Pentransferan penransferan
Mensponsori menyponsori,
menyeponsori
Menstandarkan menytandarkan,
menyetandarkan
Penstandaran penytandaran,
penyetandaran
Mengklasifikasikan menglasisifikasikan
Mengkritik mengritik,
mengeritik
Pengkritikan pengritikan,
pengeritikan
Apabila
menurut system bahasa Indonesia, kita cenderung memilih/menggunakan deretan B.
tetapi, ada beberapa keberatan /kelemahannya, antara lain:
1) Bentuk
serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli,
yaitu konsonan rangkap dan titik (walaupun keduanya berawal dengan k,p,t,s);
2) Apabila
diluluhkan, kemungkinan besar akan menyulitkan penelusuran kembali bentuk aslinya;
3) Ada
beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman arti.
Oleh
karena itu, kita sebaiknya memilih deretan A, yaitu tidak meluluhkan bunyi
awal bentuk serapan yang berkluster.
3.6 Problema
akibat proses morfologis unsur serapan
Problema
ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, yaitu berkenaan dengan perlakuan
unsur asing. Hanya saja yang menjadi tekanan di sini adalah proses
morfologisnya.
Hampir
semua bentuk serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan penambahan
afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaannya adalah “Apakah semua bentuk
serapan mengikuti system pembentukan kata yang selama ini diterapkan dalam
bentuk-bentuk bahasa Indonesia asli?”. Masalah itu timbul karena selama ini
terdapat persaingan pemakaian pasangan konstruksi. Misalnya, menterjemahkan dan menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai,
memparkir dan memarkir,
mengkalkulasikan dan mengalkulasikan.
Mana yang benar? Konstruksi yang telah diasimilasikan ataukah yang belum
diasimilasikan?
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut maka perlu diketahui sifat atau kondisi untuk
serapan. Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1) Bentuk
serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga sudah tidak
terasa lagi keasingannya.
2) Bentuk
serapan yang masih baru sehingga masih terasa keasingannya.
Bentuk
serapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara penuh mengikuti system
bahasa Indonesia termasuk proses morfologisnya, sedangkan kelompok kedua belum
dapat diperlakukan secara penuh mengikuti system bahasa Indonesia. Berdasarkan
rambu-rambu ini, kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap kedalam
bahasa Indonesia atau belum. Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan tersebut
patut diperlakukan secara penuh mengikuti system bahasa Indonesia. Dengan
demikian, apabila bentuk terjemah
digabung dengan {meN-kan} maka akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan system bahasa Indonesia, fon [p]
yang mengawali bentuk dasar akan luluh apabila bergabung dengan afiks
{meN-kan/i} dan {peN-(an)}.
3.7 Problema
akibat perlakuan bentuk majemuk
Problema
morfologis terakhir yang berhasil dicatat disini adalah problema akibat
perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian
bentuk pertanggungjawaban dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan
kewargaan Negara, menyebarluaskan dan
menyebarkan luas. Dari contoh
tersebut terlihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang
unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan bentuk majemuk yang unsur-unsurnya
dianggap renggang. Pendapat pertama menganggap unsur-unsur bentuk tanggung jawab, warga Negara, dan sebar luas padu sehingga tidak mungkin
disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau akhiran,
misalnya itu harus diletakkan di awal unsure pertama dan/atau di akhir unsur
kedua. Sebaliknya, pendapat kedua menganggap unsur-unsur bentuk tanggung jawab, warga Negara, dan sebar luas renggang sehingga
memungkinkan disisipi bentuk lain di antaranya. Oleh sebab itu, ketiga bentuk
itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan
jawab, kewargaan Negara, dan menyebarkan
luas.
Mana
yang tepat dari kedua pendapat tersebut? Suatu bentuk dikatakan bentuk majemuk
apabila unsur-unsurnya longgar tidak alagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi
frase. Dengan demikian, pendapat pertamalah yang yang tepat, yaitu pendapat
yang memperlakukan unsur-unsur bentuk majemuk sebagai satu kesatuan.
4.
Penutup
4.1 Simpulan
Problema
yang sering kita jumpai dalam kesalahan morfologis adalah sebagai berikut:
1) Problema
akibat bentukan baru,
2) Problema
akibat konttaminasi,
3) Problema
akibat adanya unsur serapan,
4) Problema
akibat analogi,
5) Problema
akibat perlakuan kluster,
6) Problema
akibat proses morfologis bentuk serapan, dan
7) Problema
akibat perlakuan bentuk majemuk.
4.2 Saran
Masih
banyak problema yang akan terus muncul dalam pembentukan kata bahasa
Indonesia. Fenomena ini sehingga menjadi tanda bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa yang hidup dan masih menjalankan fungsinya secara aktif sebagai alat
komunikasi bagi pemakainya. Yang paling penting adalah setiap kali ada
fenomena bentukan baru kita harus bias menyiasatinya dengan arif. Janganlah
kita bersikap normatif yang cenderung menyalahkan setiap fenomena baru yang
muncul.
5.
Daftar Pustaka
Ramlan, M. 1979. Ilmu
Bahasa Indonesia: Morfologi, Suatu Tinjauan Deskriptif.
Yogyakarta: UP
Karyono.
.
1982. Kata Depan atau Preposisi Bahasa
Indonesia. Yogyakarta: UP
Karyono.
Samsuri. 1976. “Kesejajaran antara
meN-I dan meN-kan”. Bahasa dan Sastra, Th.
II, No. 2: 33 – 39.
Brandestetter, Renward. 1957. Hal Bunyi dalam Bahasa Indonesia. Terj. Sjaukat
Djajadinigrat.
Jakarta: Pustaka Rakyat
Muslich, Masnur. 2008. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke
Arah Deskriptif.
Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar