BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sastra
daerah yang berbentuk lisan maupun tulisan merupakan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan. Salah satu sastra daerah yang perlu dilestarikan adalah cerita
rakya (legenda). Pada masyarakat Sasak sebagai salah satu kultur budaya yang mengandung pesona dari
dahulu hingga sekarang. Cerita rakyat merupakan warisan leluhur kita yang
mengandung banyak nilai budaya untuk melestarikan sastra daerah. Cerita yang
diterima dari pendahulu, kemudian kepada penerus yang disampaikan dalam bentuk cerita tutur atau
dari mulut ke mulut. Setiap wilayah tentunya mempunyai legenda yang dituturkan
secara lisan.
Cerita
rakyat yang pada mulanya dilisankan selain berfungsi untuk menghibur, juga
dapat memberikan pendidikan moral, namun sekarang sudah digeser oleh berbagai
bentuk hiburan yang lebih menarik dalam berbagai jenis siaran melalui televisi,
radio, surat kabar, dan lain sebagainya. Supaya kultur
budaya masyarakat tidak tergeser
oleh perkembangan kebudayaan modern yang bersifat temporatif atau sementara.
Hal ini disebabkan karena legenda-legenda yang hidup dan berkembang pada
masyarakat lebih bersifat abstrak dan imajinatif. Agar berbagai cerita rakyat tersebut tidak punah dan
terjaga, sebagai sebuah karya seni yang indah dan luhur, sastra lama patut dilestariankan.
Setiap daerah, khususnya yang ada di daerah Lombok, memiliki
beragam kebudayaan. Hal itu dapat di sinyalir bahwa legenda mempunyai kedudukan
dan fungsi yang sangat penting dalam masyarakat pendukungnya. Ini
semua terangkat dari nilai universal struktur pikiran manusia dan nilai
kebudayaan. Salah satu bentuk ungkapan tradisional yang tumbuh dan berkembang
dari kebudayaan suku Sasak di pulau Lombok adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam legenda yang ada di daerah Lombok yang berkembang pada masyarakat Sasak
hingga dewasa ini. Nilai-nilai yang terkandung dalam legenda-legenda tersebut
berfungsi sebagai pengikat secara kolektif pada berbagai aspek kehidupan
masyarakat, baik kehidupan sosial budaya maupun dalam kehidupan bermasyarakat
secara umum, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Seni sebagia
suatu produk budaya dihasilkan oleh nilai-nilai universal, dan kebudayaan
memiliki berbagai bentuk dan fungsi dalam kehidupan manusia. Seni juga sebagai
salah satu alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, memiliki berbagai
bentuk perungkap yang pada prinsipnya digunakan untuk mengkomunikasikan pikiran
dan perasaan manusia yang timbul dari masa ke masa. Salah satu bentuk pengungkap seni adalah yang
berbentuk ungkapan tradisional.
Beranjak dari
pemikiran dan pandangan masyarakat kebudayaan secara subjektif yang menyangkut
tata nilai batin dalam konteks perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan,
maka dikemukakan konsepsi dan nilai kebudayaan secara universal. Nilai universal
bermakna bahwa tata nilai yang menyangkut aspek kehidupan manusia yang paling
mendasar adalah ruang seluruh bangsa yang ada di dunia. Pandangan tersebut
sejalan dengan pendapat seorang sosiologi terkemuka Levi Straus yang berbicara
tentang struktur pikiran manusia sebagai faktor yang universal. Baginya variasi
kebudayaan merupakan variasi kekal dan jika dikembangkan pada struktur pikiran
manusia yang mendasar, akan ditemukan bahwa tidak ada bangsa yang dikategorikan
primitif atau modern (Levi Straus dalam Darmanto, 1986 : 36).
Ungkapan
tersebut menunjukan bahwa apa yang diungkapkan oleh suatu suku bangsa yang
dilatarbelakangi oleh kebudayaan merupakan suatu kebenaran etis dan
kebijaksanaan yang menyangkut nilai kemanusiaan. Maka Variasi kebudayaan tidak
akan diragukan oleh suku bangsa lain secara universal nilainya dapat diterima
secara objektif.
Kebudayaan
berisi aspek-aspek kehidupan baik dalam kontrak maupun sosial menyangkut
jasmani maupun rohani dan intektual. (Bakeri,1984:38) mengemukakan bahwa
nilai kebudayaan objektif berisi ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan,
ekonomi, dan Agama.
Selama ini
cerita-cerita yang hidup dan berkembang pada zaman dahulu kebanyakan berbentuk
lisan dan kalau tidak diwariskan secara turun-temurun dikhawatirkan akan menghilang,
terlebih pada perkembangan zaman yang semakain modern. Mengingat di dalam
cerita legenda Batu Tinggang ini belum diketahui secara pasti apa struktur dan
nilai-nilai yang dikandung di dalam legenda tersebut. Maka peneliti akan
menggali apa struktur dan nilai yang terkandung didalamnya. Di samping itu
nilai-nilai yang terkandung dalam
legenda tersebut hingga masih dijadikan pendoman hidup bagi masyarakat
setempat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membentuk para pencinta seni
budaya daerah Sasak untuk dapat mengerti, memahami, dan dapat mengamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Maka penulis
mengangkat cerita ini ke dalam judul “Analisis
Legenda
Batu Tinggang yang terdapat di Dusun Batu
Tinggang Desa Labulia Kecamatan Jonggat Kabupaten
Lombok Tengah.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut .
1. Bagaimanakah
Struktur Legenda
Batu Tinggang pada masyarakat Sasak Dusun Batu Tinggang Desa Labulia Kecamatan
Jonggat?
2. Nilai apakah yang terkandung dalam
legenda Batu Tinggang di Desa Labulia Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah?
1.3 Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan struktur
dan nilai-niali yang terkandung dalam legenda Batu Tinggang pada masyarakat
Sasak Dusun Batu Tinggang Desa Labulia Kecamatan Jonggat yang masih dipercaya
dan dianut atau diikuti oleh masyarakat Sasak Dusun Batu Tinggang Desa Labulia
Kecamatan Jonggat Lombok Tengah sekarang ini.
1.4 Manfaat
Penelitian
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1.4.1 Manfaat
teoritis
a. Penelitian
ini diharapkan dapat bemberikan tambahan ilmu pengetahuan dan informasi tentang
kebudayaan masyarakat Sasak, serta bagi pengembangan teori tentang struktur dan
nilai-nilai budaya yang terkandung dalam legenda yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat Sasak umumnya dan pada masyarakat Dusun Batu Tinggang Desa
Labulia Kecamatan Jonggat pada khususnya.
b. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi perangsang bagi penelitian lain untuk
memperluas ruang lingkup penelitian yang belum dukaji dalam penelitian ini dapat memberi kesadaran dan bimbingan secara tidak
langsung untuk menjaga kemurnian budaya peninggalan nenek moyang sehingga berguna bagi kemajuan
dunia pendidikan.
1.4.2 Manfaat
praktis
a. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan input kepada guru sejarah nasional
dan umum serta guru sejarah budaya khususnya sebagai bahan pertimbangan dalam
mengembangkan materi pembelajaran bagi anak di sekolah.
b. Hasil
dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memperluas dan memperdalam
materi pembelajaran, serta menggugah kesadaran dan kebanggaan terhadap
kebudayaan daerah sendiri pada khususnya dan kebudayaan nasiaonal pada
umumnya.
BAB
II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep dasar
Batasan-batasan
yang sekaligus merupakan konsep dasar dari penelitian ini, yakni bahwa yang
dimaksud dengan Legenda adalah cerita yang dipercayai oleh masyarakat Dusun
Batu Tinggang Desa Labulia sebagai hal yang benar-benar terjadi, memiliki latar
belakang sejarah, peristiwa yang luar biasa, baik legenda yang merupakan cerita
tentang asal-usul suatu tempat, cerita sejarah, maupun cerita kepahlawanan.
Okkek S. Zaimar
(1979 : 3) strukturalisme dalam sebuah karya sastra fiksi atau puisi adalah
sebuah totalitas yang dibangun secara koherensi oleh berbagai unsur
pembangunannya. Struktur karya sastra dapat pula diartikan sebagai susunan,
penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi kemampuannya. Nilai dalam penelitian
ini yaitu nilai-nilai yang berupa norma-norma yang teratur dan tertib yang
menjadi pedoman hidup baik dalam bersikap maupun bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Masyarakat
Sasak yaitu masyarakat
yang hidup dan tinggal di Dusun Batu Tinggang Desa Labulia Kecamatan
Jonggat kabupaten Lombok Tengah sekarang ini.
2.2 Pengertian
Cerita Rakyat
Cerita rakyat mempunyai kedudukan dan fungsi
yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat. Cerita rakyat
diartikan tuturan sesuatu kejadian misalnya terjadinya kejadian yang
sesungguhnya terjadi ataupun yang sifatnya rekaan semata yang diwujudkan dalam
gambar. Cerita rakyat pada mulanya bersifat
turun temurun dan penyampaiannya
melalui lisan. Oleh karena itu cerita rakyat sering pula disebut sastra lisan.
Cerita rakyat dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengambarkan sesuatu
kejadian, sifatnya menghibur, dan dapat membawa kita ke alam hayalan.
W. R. Bascom (dalam Danandjaya, 1997 : 50) cerita rakyat di bagi menjadi
tiga golongan yaitu sebagai berikut:
1. mite, yaitu cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta
diangap suci oleh yang punya cerita.
Mite ditokohi oleh dewa atau mahkuk setengah dewa, pristiwa terjadi di
dunia lain atau dunia yang bukan kita
kenal sekarang.
2. legenda, cerita prosa rakyat yang cirri-cirinya
sama dengan mite, yaitu diangap benar-benar pernah terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Legenda ditokohkan oleh seorang manusia
walaupun adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa. Tempat
terjadi adalah dunia sekarang ini, dan waktu terjadi belum terlalu lampau.
3. dongeng
adalah cerita pendek kolektif kesusastraan
lisan. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang
tidak dianggap benar-benar terjadi.
Dengan diceritakan untuk hiburan walaupun banyak juga yang melukiskan
kebenaran, berisikan pelajaran (moral) atau bahan sindiran.
Dalam
perkembangan cerita rakyat banyak kita temukan adanya kemiripan cerita dari
berbagai daerah yang
kita kenal dengan kemiripan versi, varian, dan motif cerita. Prosa rakyat
merupakan hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan dan penilaian tentang
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi (Saad, 1997). Cerita rakyat memiliki
unsur-unsur cerita sama seperti cerita yang lain seperti tokoh/watak,
penokohan, sudut pandang, latar tema, dan struktur. Fungsi cerita rakyat secara garis besarnya
adalah sebagai sarana hiburan semata dan sebagai media pendidikan.
2.3 Jenis
Cerita
Sastra sebagai
salah satu dari hasil karya, cipta, rasa manusia atau masyarakat merupakan
bagian dari kebudayaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sastra rakyat dapat digolongkan menjadi dua bagian utama, yakni : puisi dan
prosa. Puisi meliputi mantera, pantun, dan pribahasa. Sedangkan prosa rakyat
terdiri dari legenda, dongeng, dan mite.
1.
Mite
Mite atau
metologi merupakan cerita yang memiliki
latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar
terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang ga’ib, dan umumnya ditokohi
oleh dewa atau setengah dewa, yang peristiwanya terjadi pada masa lampau yang
lama. Contoh : peristiwa kejadian suatu tempat, cerita terjadinya alam semesta.
2. Legenda
Legenda
merupakan cerita yang dipercayai oleh masyarakat benar-benar terjadi, mempunyai
latar belakang sejarah, peristiwa yang luar biasa, tetapi tidak dianggap suci
karena tidak ditokohi oleh dewa dan kejadiannyan di dunia kita, bukan di dunia
lain yang peristiwanya tidak terlalu lampau. Contoh : cerita asal usul, cerita
sejarah, asal usul tempat, cerita dedaktis.
3. Dongeng
Dongeng
merupakan cerita yang lahir berdasarkan khayalan semata atau bersifat
imajinatif. Pada umumnya tokoh-tokoh dongeng tersebut berupa binatang, seperti
kancil, serigala, kura-kura dan sebagainya. Bisa dikatakan cerita yang
benar-benar terjadi (terutama kejadian-kejadian zaman dahulu yang bersifat
aneh).
Sastra
rakyat atau folklor merupakan adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang
diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan atau budaya kolektif secara tradisional dalam versi yang berbeda, memiliki
sejumlah ciri khas yang tidak dimiliki budaya lain.
Ciri-ciri folklor yaitu :
a. Folklor
diciptakan, disebarkan dan diwariskan secara lisan (dari mulut ke mulut )
b. Tersebar
di wilayah tertentu
c. Folklor
terdiri dari banyak versi
d. Tidak
diketahui penciptanya
e. Mengandung
pesan moral
Menurut Jan
Harold Brundvand yang berkebangsaan Amerika menggolongkan sastra rakyat (
folklor ) menjadi 3 golongan, yakni folklor lisan, folklor sebagai lisan, dan
folklor bukan lisan.
1) Folklor
lisan
Folklor lisan
adalah folklor yang bentuknya murni lisan, yaitu diciptakan, disebarluaskan dan
diwariskan secara lisan. Contohnya bahasa rakyat (logat, julukan), ungkapan
tradisional (pribahasa, pepatah), pertanyaan tradisional (teka teki), puisi
rakyat (pantun syair), cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng) dan
nyanyian rakyat (lagu-lagu daerah).
2) Folklor
sebagai lisan
Folkor sebagai
lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan
lisan. Contohnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari
rakyat, adat istiadat, upacara dan pesta rakyat.
3) Folklor
bukan lisan
Folklor bukan
lisan adalah folklor yang bentuknya lisan tetapi cara pembuatannya diajarkan
secara lisan. Contohnya : arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian, musik
rakyat, masakan dan minuman
rakyat,
serta obat-obatan tradisional.
2.4 Pengertian
Legenda
Menurut
Laelasari dkk dalam Kamus Besar Indonesia Istilah Sastra (2006 : 149),
mengartikan Legenda sebagai cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada
hubungannya dengan peristiwa sejarah. Legenda merupakan cerita yang dipercayai
oleh masyarakat benar-benar terjadi, mempunyai latar belakang sejarah,
peristiwa yang luar biasa, tetapi tidak dianggap suci karena tidak ditokohi
oleh dewa dan kejadiannya di dunia kita, bukan di dunia lain yang peristiwanya tidak terlalu
lampau.
Sedangkan
menurut Bascom (1990), legenda adalah cerita mirip dongeng mite yang di anggap
benar-benar terjadi tetapi tidak suci, melibatkan tokoh makhluk ajaib.
Kejadianya di dunia nyata dan waktu kejadiannya tidak terlampau jauh. Legenda dipercayai oleh
masyarakat yang diyakini benar-benar terjadi karena mempunyai latar belakang,
memiliki sejarah dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa namun tidak dianggap
suci karena tidak ditokohi oleh dewa-dewa dan kejadian ceritanya di dunia kita
bukan di dunia lain. Contohnya : cerita asal-usul gunung tangkuban perahu,
asal-usul danau toba, Banyuwangi. Cerita sejarah, misalnya legenda terbentuknya
candi prambanan.
Legenda sangat
mirip dengan mite namun penceritaan mite umumnya ditokohi oleh para dewa-dewa
atau manusia setengah dewa yang dianggap suci dan peristiwanya tidak terjadi di
dunia kita melainkan di dunia lain, seperti cerita terjadinya alam semesta,
cerita Shinta Rhama dari India, cerita dewa-dewa India. Persamaan legenda
mitologi yakni sama-sama cerita yang memiliki latar belakang sejarah,
dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi dan dianggap
suci.
2.5
Legenda Dalam Kehidupan Masyarakat Sasak
Bagi masyarakat Sasak,
khusunya masyarakat Dusun Batu Tinggang Desa Labulia Kecamatan Jonggat
Kabupaten Lombok Tengah, legenda merupakan cerita yang dipercayai benar-benar
terjadi, mempunyai latar belakang sejarah, dan peristiwa-peristiwa yang luar
biasa. Bahkan bagi masyarakat di Dusun Batu Tinggang Desa Labulia,
legenda-legenda yang hidup dan berkembang sampai sekarang dianggap suci dan
mengandung nilai-nilai sosial kemasyarakatan, Agama serta mengandung
nilai-nilai “kekeramatan”. Nilai kekeramatan inilah yang dianggap memiliki
kekuatan magis atau kesaktian yang apabila dilanggar maka orang yang melakunya
akan mengalami nasib “sial” yang dalam bahasa Sasak disebut “tulah manuh”. Nilai-nilai kekeramatan ini
pula menyebabkan masyarakat Sasak, khususnya masyarakat Dusun Batu Tinggang
Desa Labulia Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah selalu menjaga dan
menghidupkan serta mengembangkan legenda-legenda Sasak secara turun temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan kata lain kepercayaan
terhadap nilai-nilai kekeramatan tersebut
sudah menjadi bagian dari kebudayaan dan telah dijadikan pedoman hidup
masyarakat setempat baik dalam bersikap maupun bertingkah laku dalam hidup
sehari-hari.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai tang terkandung dalam
legenda-legenda Sasak telah dijadikan sebagai pedoman dan norma yang mengatur
tata tertib hubungan satu anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.
2.6 Teori
Struktur
Mursal
Esten dalam kertas kerjanya berjudul “Beberapa Catatan Dari Kerja Penelitian”
(1979 : 5) menyatakan bahwa metode struktur
bertolak dari dasar pemikiran bahwa setiap karya sastra atau bukan.
Menyelidiki makna karya sastra dengan mempelajari unsur-unsur struktunya dan
hubungan satu sama lain.
Dengan
teori tersebut, maka karya sastra dipandang sebagai peristiwa kesenian (seni
budaya) yang terdiri atas norma-norma dan secara keseluruhan membangun sebuah
struktur. Kemudian untuk memahami kejelasan dan keutuhan karya sastra yang
bersangkutan perlu dilakukan analisis atau unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya. Struktur dipelopori oleh Formalis Rusia dan kelompok linguistik praha
pada abad 19 yang menekankan pada faktor-faktor ekstrinsik karya sastra
sehingga dipandang sebagia cermin jaman atau cermin kehidupan pengarang dengan
memperhatikan latar belakang sejarah dan sosial. Strukturalisme sebagai suatu
pendekatan mencakup segala bidang fenomena sosial kemasyarakatan (antropologi,
sosiologi, polotik, ekonomi dan psikologis), ilmu-ilmu kemanusiaan (sastra,
linguistik, sejarah) dan seni rupa. Namun, penekanan pada sifat otonomi karya
sastra dewasa ini dipandang orang sebagai kelemahan aliran strukturalisme dan
atau kajian struktural. Hal ini disebabkan sebuah karya sastra tidak mungkin
dipisahkan sama sekali dari latar belakang sosial budaya atau latar belakang
kesejarahannya. Melepaskan karya sastra itu menjadi kurang bermakna, atau
paling tidak maknanya menjadi amat terbatas, atau bahkan makna menjadi sulit
ditafsirkan. Hal ini berarti karya sastra menjadi kurang bermanfaat bagi
kehidupan. Oleh karena itu, analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan
analisis yang lain seperti semiotik sehingga menjadi analisis srtuktural
semiotik, atau analisis struktural yang dikaitkan dengan keadaan sosial budaya
secara lebih luas.
Analisis
karya sastra dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengkaji mendeskripsikan fungsi dan hubungan antara unsur intrinsik fiksi yang
bersangkutan. Misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan
pentokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Bagaimana
hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk makna yang padu.
a.
Tema
Tema
menurut Stanton (1965 : 20) dan Kenny (1966 : 88) adalah makna yang dikandung
oleh sebuah cerita. Menurut Glasaria bahwa tema adalah ide sentral atau inti
persoalan atau latar belakang permasalahan yang dijadikan karangan (1986 : 31). Jadi tema adalah persoalan yang
menduduki tempat utama dalam karya sastra.
b.
Alur atau plot
Yaitu
rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu
kesatuan yang padu, bulat dan utuh. Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot
cerita Aristoteles dalam Nurgiyantoro (2007:142), mengemukakan bahwa sebuah
plot haruslah terdiri dari beberapa tahap yaitu :
1.
Tahap awal
Tahap
awal sebuah cerita biasanya disebut tahap perkenalan, yang pada umumnya berisi
sejumlah informasi yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada
tahap-tahap berikutnya. Tahap awal berfungsi untuk memberikan informasi dan
penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
2.
Tahap tengah
Tahap
ini disebut tahap pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah
mulai dimunculkan pada tahap awal, semakin meningkat, semakin menegangkan.
3.
Tahap akhir
Tahap
akhir disebut juga tahap pelarian menampilkan adegan tertentu sebagai akibat
klimaks. Tahap ini berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal
bagaimanakah akhir sebuah cerita.
c.
Penokohan
Tokoh
cerita menurut Abrams (1981 : 20) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif, atau drama, oleh pembaca memiliki kualitas moral dan
kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan.
Jenis-jenis tokoh:
1.
Tokoh utama dan
tokoh tambahan
2.
Tokoh
protagonist dan antagonis
3.
Tokoh sederhana
dan tokoh bulat
4.
Tokoh statis dan tokoh berkembang
5.
Tokoh tipikal
dan tokoh netral
d.
Latar
Latar
atau setting disebut landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
(Abrams, 1981:175). Stanton (1965) mengelompokan latar bersama dengan tokoh dan
plot kedalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah dihadapi dan dapat
diimajinasi oleh pembaca secara factual jika membaca cerita fiksi.
Latar setting
dapat dibedakan menjadi dua :
1.
Latar material
ialah lukisan latar belakang alam atau linkungan dimana tokoh tersebut berada.
2.
Latar sosial
adalah lukisan tatakrama, tingkah laku, adat dan pandangan hidup.
e.
Amanat
Amanat
ialah pemecahan yang diberikan pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra.
Amanat biasa disebut makna.
f.
Sudut Pandang (
pint of vieu)
Sudut
pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari mana
peristiwa dan tindakan itu dilihat, sudut pandang menyaran pada sebuah cerita
dikisahkan.
2.7 Teori
Semiotik
Teori
semiotik digunakan sebagai pendekatan sastra adalah semiotic. Penelitian sastra
dan pendekatan semiotic itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan
strukturalisme. Dikemukakan Junus (1981 : 17) bahwa semiotic itu merupakan
lanjutan atau perkembangan strukturalisme. Strukturalisme itu tidak dapat
dipisahkan dengan semiotic. Alasannya adalah karya sastra itu merupakan
struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan tanda-tanda, maknanya,
dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya
secara optimal.
Semiotik
adalah ilmu tentang tanda-tanda ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotic itu
mempelajari system-sistem, aturan, konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiaotik meliputi
analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi
tambahan dan meneliti cirri-ciri (sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara
wacana mempunyai makna (Preminger, dkk.,1974 : 980).
Tokoh
semiotik pakar linguistik yaitu ferdinan
de Saussure (1857-1913) menyebut ilmu itu dengan nama seismologi sedangkan
Charles sander peirce (1839-1414) menyebutnya semiotik (semioties). Tanda-tanda
dalam semiotic ada dua yaitu penanda (signifier) dan petanda (segnifizet).
Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.
Contoh karya” ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti
“orang yang melahirkan kita”. Charles sandar Pierce (1839-1414) menyebutkan
tiga macam tanda yaitu antara penanda dan petanda 1) Icon
(ikon) yaitu tanda yang menunjukan hubungan yang bersifat alamiah atau
memiliki kesamaan antara penanda dan petandanya. Contoh : potret menandai orang
yang dipotret, gambar pohon yang menandai pohon. 2) Indeks yaitu tanda yang
menunjukkan hubungan kausa /sebab akibat antara penanda dan petanda. Contoh
asap menandai api, mendung akan menandai akan hujan 3) Simbol yaitu tanda yang
bersifat arbitret (semau-maunya) sesuai konvensi suatu lingkungan sosial
seperti bahasa dan budaya. Contoh “ Ibu” dalam bahasa Indonesia,
Mother dalam bahasa inggris. Jadi bermacam-macam tanda tetapi satu arti.
Dikatakan
Preminger bahwa studi semiotic sastra adalah usaha untuk menganalisis
tanda-tanda dan lambang. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam
-ragam seperti jenis sastra dan prosa dan puisi. Prosa ragamnya: cerpen, novel,
roman. Puisi ragamnya: puisi lirik, syair, pantun dan sebagainya. Tiap ragam
itu mempunyai konvensi sendiri. Sebagai contoh puisi (genri) yang mempunyai
satuan tanda seperti kosa kata, bahasa kiasan (personifikasi, simile,
metafora). Dari beberapa pendapat para ahli di atas
tentang teori semiotik, maka peneliti menggunakan teori semiotic berdasarkan
pendapat yang dikemukakan oleh Junus (1981:17), karena karya sastra itu merupaka
struktur tanda-tanda yang bermakna dan tanpa memperhatikan tanda-tanda,
maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Data dan
Sumber Data.
Data
dalam penelitian ini adalah legenda Batu Tinggang pada masyarakat Sasak Desa Labulia Kecamatan
Jonggat Kecamatan Lombok Tengah. Legenda yang akan dijadikan sebagai subjek
penelitian adalah “Legenda Batu Tinggang”. Karena legenda ini sangat dikenal
oleh masyarakat dan masih dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Semua
data-data tersebut diperoleh dari sumber utama, yakni informasi yang berjumlah
empat (4) orang. Keempat orang tersebut dipilih sebagai informan karena telah
memiliki persyaratan sebagai berikut :
a.
berumur minimal
58 tahun
b.
merupakan penduduk
asli dusun setempat
c.
mengetahui legenda
yang ada di dusun Batu Tinggang
d.
bisa berkomunikasi
(bercerita) dengan baik dan lancar.
Adapun keempat
orang yang menjadi informan tersebut adalah sebagai berikut :
No.
|
Nama informan
|
Umur
|
L/P
|
Pekerjaan
|
Alamat
|
Ket
|
1.
2.
3.
4.
|
H.Mulyadi
H.L. Jumardi
Amaq Kecok
Amaq Teman
|
62
58
65
70
|
L
L
L
L
|
Guru
Guru
Petani
Petani
|
Batu tinggang
Batu tinggang
Batu tinggang
Batu tinggang
|
Tokoh masy
Tokoh masy
Tokoh masy
Tokoh masy
|
Legenda yang
dipercayai oleh masyarakat Dusun Batu
Tinggang
Desa Labulia sebagai hal yang benar-benar terjadi, memiliki latar belakang
sejarah, peristiwa yang luar biasa, baik legenda yang merupakan cerita tentang
asal-usul suatu tempat, cerita sejarah, maupun cerita kepahlawanan. Lokasi penelitian legenda tersebut berada di
Dusun Batu Tinggang Desa Labulia
Kecamatan Jonggat kabupaten Lombok Tengah sekarang ini.
3.2 Metode
Metode
yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian ini yaitu metode rekaman,
terjemahan, wawancara, observasi dan dokumentasi.
3.2.1 Metode
Rekaman
Metode
rekaman yakni suatu metode yang dugunakan dalam penelitian melalui kegiatan
merekam data-data yang terkumpul selama penelitian berlansung. Dengan demikian
data-data yang diperoleh dapat disimpan baik dalam bentuk tulisan ,gambar,
maupun suara.
3.2.2 Metode
Transkripsi
Metode
transkripsi yakni suatu metode yang digunakan dalam penelitian melalui kegiatan
menyalin teks dengan mengubah ejaannya ke dalam ejaan lain untuk menunjukkan
lafal bunyi unsur bahasa yang bersangkutan.
Dalam
penelitian ini metode transkripsi digunakan untuk menyalin teks bahasa yang
digunakan dalam mengisahkan legenda-legenda Sasak yang ada dalam buku lontar
atau tulisan-tulisannya ke dalam teks bahasa Indonesia dengan cara mengubah
ejaan bahasa Sasak atau bahasa Sangsekerta ke dalam ejaan bahasa Indonesia.
3.2.3 Metode
Terjemahan
Metode
ini adalah untuk menterjemahkan atau mengalihbahasakan suatu data yang
menggunakan suatu bahasa ke bahasa lain sehingga mudah dimengerti.
3.2.4 Metode
Wawancara
Wawancara adalah
merupakan proses tanya jawab dalam penelitian yang berlansung secara lisan
dalam dua orang atau lebih saling bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan. Tanpa wawancara penelitian akan kehilangan
informasi yang hanya dapat diperoleh dengan bertanya langsung kepada responden
untuk menggali informasi. Dalam penelitian ini metode rekaman dilakukan
terhadap data-data hasil wawancara dengan responden dan hasil observasi di
lapangan. Wawancara adalah sebuah dialog yang
dilakukan oleh seorang pewawancara untuk memperoleh informasi dari informan
(Arikunto, 2006: 155).Teknik wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara
bebas terpimpin. Wawancara bebas terpimpin adalah tanya jawab secara lisan
antara peneliti dengan responden, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
secara bebas dan terarah.
Teknik wawancara yaitu menanyakan
hal-hal yang dianggap penting masyarakat menyangkut peranan mantra dalam
kehidupan sosial masyarakat Labulia.
Hal ini sesuai dengan judul yang peneliti angkat yaitu “Analisis Legenda Batu Tinggang Yang Terdapat di Dusun Batu
Tinggang Desa Labulia Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah. Dalam hal ini peneliti mencari informasi
dengan mnggunakan wawancara dengan beberapa narasumber.
3.2.5 Metode
Obsevasi
Salah
satu cara mengumpulkan informasi deskriptif adalah melalui pengamatan
(observasi), yakni alat pengumpulan yang dilakukan dengan cara mengamati dan
mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki.
Penggunaan
metode observasi ini dimaksudkan untuk mengamati secara langsung kebiasaan
sehari-hari masyarakat setempat yang meliputi bahasa, religi, dan adat istiadat
(tradisi perkawinan, upacara kelahiran, upacara sunatan, upacara kematian serta
kesenian) yang saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Dusun Batu Tinggang
Desa Labulia Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah. Dimana hal-hal tersebut
erat kaitannya dengan Legenda Batu Tinggang yang hidup dan berkembang pada
masyarakat Sasak.
3.2.6 Metode
Dokumentasi
Metode
dokumentasi adalah suatu metote untuk mencari data mengenai hal-hal yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, prasasti, agenda, dan sebagainya. Maksud
dari penggunaan metode dokumentasi adalah untuk mencacat dan mendokumentasikan
tempat bersejarah (prasasti, tugu,dan bentuk tempat tinggal masyarakat) yang
merupakan peninggalan dari Legenda Batu Tinggang pada masyarakat Dusun Batu
Tingggang Desa Labulia Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah.
3.3 Analisis
Data
Metode
analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif deskriftif. Bogdan dan
Tylor (1975 : 5) mendifinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat dinikmati. Menurut pengertian
Bogdan dan Tylor tersebut, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu
tersebut secara holistic (utuh).
Menurut
Lincoln dan Guba (1985 : 39) analisis kualitatif menghendaki adanyan
kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan
dari konteksnya. Uraian di atas menunjukan bahwa analisis kualitatif
deskriftif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari individu dan prilaku dapat diamati. Dalam penelitian
skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif
karena penelitian kualitatif seperti diungkapkan oleh para ahli adalah
penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak didapat melalui
penggunaan prosedur statistic.
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berupa kajian etnografi
terdapat fenomena Legenda Batu Tinggang dengan langkah-langkah sebagi berikut :
a.
Identifikasi
Identifikasi
adalah pengumpulan bahan-bahan cerita menjadi bentuk cerita yang utuh. Untuk
menemukan data, peneliti melakukan pengamatan ke Dusun Batu Tinggang dan memilih informan
yang mengetahui cerita tersebut kemudian mewawamcarai
sambil merekam responden untuk mengumpul data. Selanjutnya peneliti
mentranskripsikan data tersebut untuk mengubah ejaannya ke dalam ejaan lain dan
menterjemahkan data itu kedalam bahasa Indonesia.
b.
Klasifikasi
Klasifikasi
merupakan pengelompokan data cerita yang telah diperoleh. Yakni mana dari
cerita yang termasuk struktur dan yang termasuk nilai. Kemudian untuk
melengkapinya ditentukan tokoh apa yang paling menonjol atau
peristiwa-peristiwa apa yang paling ditonjolkan. Dari segi struktur akan
dikelompokkan seperti tokoh, watak, tema,
alur, dan plot yang dalam cerita itu .dari segi nilai.
c.
Interpretasi
Interpretasi
menafsirkan data-data yang dipeloreh hasil penafsiran ini untuk menemukan makna
struktur dan nilai Legenda Batu Tinggang secara menyeluruh dan terperinci
sesuai dengan data-data yang telah diperoleh selama penelitian dilakukan dan
selanjutnya peneliti menyusun hasil penelitian
Bertitik
tolak dari hasil di atas, peneliti melakukan penafsiran terhadap Legenda Batu
Tinggang. Adapun penafsiran yang peneliti miliki adalah sebagai
berikut :
1.
struktur yang
terkandung pada Legenda Batu Tinggang meliputi tema, latar, alur, penokohan,
sudut pandang dan amanat.
2.
nilai yang
terkandung lebih banyak memuat nilai bersifat kemasyarakatan seperti pentingnya
hidup bergotong-royong dan bersama, berperilaku sopan santun dalam bertutur kata, saling membantu satu sama
lain. Sedangkan nilai yang besifat pendidikan antara lain, mengajar masyarakat
giat belajar dan menuntut ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya agar mampu
mengndalikan diri dalam hidup bermasyarakat.
BAB V
PENUTUP
5.1
SIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan tentang legenda batu tinggang di
atas maka dapat disimpulkan bahwa.
1. Struktur
legenda batu tinggang di Desa Labulia Dusun Batu
Tinggang
mengandung unsur yang terdiri dari: Tema, Tokoh, Alur / Plot, Setting, Amanat, dan Sudut
pandang..
2. Nilai-nilai yang terkandung dalam legenda batu
tinggang adalah Bagi masyarakat Sasak, khusunya
masyarakat Dusun Batu Tinggang Desa Labulia Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok
Tengah, legenda merupakan cerita yang dipercayai benar-benar terjadi, mempunyai
latar belakang sejarah, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Bahkan bagi
masyarakat di Dusun Batu Tinggang Desa Labulia, legenda-legenda yang hidup dan
berkembang sampai sekarang dianggap suci dan mengandung nilai-nilai sosial
kemasyarakatan, Agama serta mengandung nilai-nilai “kekeramatan”. Nilai
kekeramatan inilah yang dianggap memiliki kekuatan magis atau kesaktian yang
apabila dilanggar maka orang yang melakunya akan mengalami nasib “sial” yang
dalam bahasa Sasak disebut “tulah
manuh”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai
tang terkandung dalam legenda-legenda Sasak telah dijadikan sebagai pedoman dan
norma yang mengatur tata tertib hubungan satu anggota masyarakat dengan anggota
masyarakat lainnya
5.2 SARAN-SARAN
1. Agar
pembaca karya sastra daerah lebih meningkatkan apresiasinya, sehingga
karya sastra daerah yang bernilai tinggi
tersebut tidak mengalami kepunahan.
2. Kepada
Mahasiswa dan pelajar Jurusan Pendidikan Bahasa, Sasatra Indonesia dan Daerah
lebih meningkatkan dan mengembangkan penelitian yang berhubungan dengan sastra
yang bersifat kedaerahan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakeri, Ahmad. 1984. Sejarah Perkembengan kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta : Widya Utama.
Darmanto, Usman. 1986. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta : Dikti
Depdikbud
Depdikbud, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta
: Muhammadiyah University Press.
Hartoko, dick. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Edisi Kedua . Jakarta : Gramedia
Koentjorodiningrat. 1977. Sosiaologi Budaya.
Yogyakarta: Widya Utama
Laelasari, 2006. Kamus istilah Sastra. Bandung:
Nuansa Aulia.
Luxecemburg, Jan Van, at al. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Edisi
Kedua, (Alih Bahasa: Dick Hartoko). Jakarta
: Gramedia
Nazir, Muhammad. 1985. Metode Penelitian. Bandung : Aksara.
Nurgiyanto, Burhan, 2007. Teori Pengkajian fiksi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik
dan Penerpannya. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Sukatman. 1992. Unsur-Unsur
Instrinsik Dalam Karya Sastra. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar