SKRIPSI
MAKNA SIMBOLIK MANTRA
DAN PERANGKAT BENDA YANG DIGUNAKAN DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK DI
PRINGGABAYA
Skripsi ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan
dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP)
HAMZANWADI SELONG
2011
LEMBAR PERSETUJUAN
MAKNA SIMBOLIK MANTRA DAN PERANGKAT BENDA YANG DIGUNAKAN
DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK DI PRINGGABAYA
AGUS SUPRIYONO
NPM: 05451089
Skripsi ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan
dalam
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
program Studi Pendididkan Bahasa dan Sasatra Indonesia
Menyetujui,
Pembimbing
I
Dra. FITRIYAH HASI, M. Pd.
NIS. 330 311 1011
|
Pembimbing
II
M. IRFAN, M. Pd.
NIS. 330 311 1113
|
Mengetahui,
Ketua Program
Studi PBSI
PADLURRAHMAN, S. Pd. M. Pd.
NIS. 330 311 185
LEMBAR PENGESAHAN
MAKNA SIMBOLIK MANTRA DAN PERANGKAT BENDA YANG DIGUNAKAN
DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK DI PRINGGABAYA
AGUS SUPRIYONO
NPM: 05451089
Skripsi ini telah diuji oleh Dewan Penguji pada:
Hari……Tanggal…..Bulan…. Tahun 2010
Dewan
Penguji
1. Dra. Fitriyah Hasiy, M.Pd. ( ………………………. )
(Ketua
Penguji)
2. Muh. Irfan, M.Pd. (
……….….…..………. )
(Anggota)
3. Drs. L. Mas’ud, M.Pd. (
…………..…..………. )
(Anggota)
Mengetahui dan Mengesahkan
Ketua STKIP Hamzanwadi Selong
Drs. H.
MUH. SURUJI
NIS. 3303021012
MOTTO
Engkau merupakan pralambang dirimu dan menara yang kau
dirikan tak lain dan tak hanya adalah sosok kebesaran pribadimu
(Khalil Gibran)
Kebenaran sejati bukan terletak dalam untaian kalimat-kalimat
panjang tetapi bagaimana kebenaran itu dicari dan diperjuangkan.
(Sirot Elvax’s)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan kepada ke dua orang tuaku
tercinta yang telah banyak berkorban dan berjuang selama studi ku dan sampai
terselesaikannya penulisan skripsi ini, sebagai tanda baktiku,
Saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat dalam menyusun skripsi ini
sebagai tanda cinta dan kasihku.
Serta para rekan-rekan seidealis,seperjuangan (Ary Kurnia
Ningsih, Milsa Yunita Rizka, Arni yuningsih, Ozzy, Dalox, Sulman, Bidon, Zhean,
Livi, Ucil dan lain-lain) yang telah banyak memberikan dukungan dan motivasi
dalam hidupku. Dan untuk almamater tercinta SKIP Hamzanwadi Selong
KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya serta
taufiq dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan
batas waktu yang telah ditentukan dari Lembaga STKIP Hamzanwadi Selong.
Skripsi ini dijadikan sebagai
persyaratan untuk menyelesaikan studi Strata Satu (S1). Pada jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia.
Dalam penulisan skripsi
atau karya ilmiah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak secara langsung
maupun tidak langsung, maka melalui kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Drs.H. Muh. Suruji selaku Ketua STKIP Hamzanwadi
Selong,
2. Bapak Padlurrahman, S. Pd., M. Pd. Selaku Ketua
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Hamzanwadi Selong
3. Ibu Dra. Fitriyah Hasiy, M. Pd selaku pembimbing I
yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga skirpsi ini dapat
diselasaikan.
4. Bapak M. Irfan, M. Pd. selaku pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga skirpsi ini dapat diselasaikan.
5. Kepala Desa pringgabaya bersama stafnya, atas izin
serta partisipasinya, peneliti dapat melaksanakan penelitian disekolah yang
dibina sehingga apa yang penulis harapkan dapat tercapai sesuai dengan harapan.
6. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan motivasi,
semangat untuk menyelesaikan tugas penelitian skripsi ini.
7. Semua pihak yang ikut mengambil andil dalam membantu
penulisan yang tak dapat disebutkan satu persatu.
Peneliti menyadari sepenuhnya, Skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu Penulis mengharapkan saran dan kritik
konstruktif dari pembaca. Akhirnya semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita semua, terutama
bagi diri pribadi penulis.
Selong, April 2010
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ………………………………………………………… i
LEMBAR
PERSETUJUAN ………………………………………………… ii
LEMBAR
PENGESAHAN ………………………………………………….. iii
MOTO DAN
PERSEMBAHAN …………………………………………… iv
KATA
PENGANTAR ……………………………………………………… v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vi
BAB. I PENDAHULUAN……………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………. 1
1.2 Identifikasi Masalah…………………………………….… 4
1.3 Batasan Masalah ………………………………………….. 4
1.4 Rumusan Masalah ………………………………………… 5
1.5 Tujuan Penelitian ………………………………………… 5
1.6 Manfaat Penelitian………………………………………….. 5
a. Manfaat Teoritis………………….…………………… 5
b. Manfaat Praktis………..…………………..……………. 6
BAB. II LANDASAN
TEORI
2.1 Konsep Tentang
Makna Bahasa………………….……………. 7
2.2 Tanda dan Lambang ……….……………..…………………… 9
2.3
Konsep Tindak Tutur ………..…………………………….. 10
2.4
Tuturan ………….……………………...…………………... 12
2.5
Mantra……………… ………….…………………………… 14
2.6 Budaya …………………………..………………………….. 15
2.7 Latar
belakang Desa Padamara Kecamatan Pringgaba 1…….…17
2.8 Hasil
Penelitian yang Relevan…………………………………20
BAB. III METODE
PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian ………………………………………… 21
3.2 Data da Sumber Data ………………………………………. 21
3.3 Lokasi Penelitian …………………………………………. 21
3.4
Metode Pengumpulan Data ……………………….………… 22
3.5
Metode Analisis Data……………………………….……….. 23
BAB. IV PEMBAHASAN
DAN HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Desa Pringgabaya Kecamatan
Pringgabaya………….25
A. Sejarah singkat desa Pringgabaya Kecamatan
Pringgabaya……… 25
B. Letak geografis desa Pringgabaya Kecamatan
Pringgabaya……….. 27
C. Kondisi Demografis desa Pringgabaya Kecamatan
Pringgabaya……28
D. Penduduk dan pekerjaan masyarakat desa
Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya…………………………………………………………..29
E. Fasilitas social di desa Pringgabaya
Kecamatan Pringgabaya……….29
4.2 Deskripsi
hasil penelitian………………………………………………...30
4.2.1 Prosesi
Adat Perkawinan suku Sasak di Pringgabaya………………….30
4.2.2 Makna
Simbolik Tuturan (Mantra) Dalam Prosesi adat Perkawinan Suku Sasak di
Pringgabaya……………………………………………………36
4.2.3
Pengaruh Makna Simbolik Tuturan (Mantra) Dalam Prosesi Adat Perkawinan Suku
Sasak di Pringgabaya…………………………………42
BAB V PENUTUP..……………………………………………………………..45
5.1
Kesimpulan………………………………………………………………45
5.2
Saran-Saran………………………….………………………...…………46
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Budaya berdasarkan pada perasaan, kepercayaan dan proses berpikir anggota masyarakat.
Karena itu budaya perlu mendapatkan perhatian dan pelestarian sehingga dapat
dinikmati dan dipahami oleh generasi selanjutnya. Salah satu jalan untuk
melestarikan dan memahami budaya tersebut adalah melalui analisis atau Penelitian–Penelitian
mengenai budaya itu sendiri. Menurut E. B. Tylor Kebudayaan adalah: Keseluruhan
aktifitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
lain (Ratna: 2005: 5). Dalam
menganalisis budaya, seorang Peneliti selayaknya memiliki pengetahuan dasar tentang budaya itu
sendiri, yang salah satunya berupa pemahaman tentang cara hidup masyarakat dan
selanjutnya dapat mendeskripsikannya kembali baik secara lisan maupun tertulis.
Salah satu bentuk pendeskripsian budaya yang dapat dijumpai saat ini yaitu
karya sastra.
Sebagai salah satu produk budaya, seni memiliki berbagai bentuk
pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan masyarakat yang tumbuh
dan bekembang dari waktu ke waktu. Salah satu bentuk pengungkapan seni sebagai
produk budaya adalah folklor yaitu yang berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja
dalam Sirajudin. 1993: 2). Folklor adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif yang tersebar
dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja secara
tradisional dalam versi yang berbeda.
Makna simbolik tuturan sebagai salah
satu karya sastra menawarkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan
kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh
kesungguhan. Namun hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan
tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur-unsur nilai religius dan memang segala sesuatu itu berdasarkan
kepada suatu yang religius (Wellk dan warren dalam Darmawan. 2006: 2). Hal
itu disebabkan karena pada
dasarnya setiap orang yang mampu menghayati tanda dan lambang sebagai sarana
untuk perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, Perenungan yang dilakukan dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab.
Masyarakat Sasak adalah salah satu
suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat, adat istiadat yang kental sekali dan alami
pada masyarakat Sasak antara lain prosesi adat istiadat perkawinan dalam
masyarakat suku Sasak, kegiatan pelaksanaan adat selalu melebur dengan tuturan
atau mantra. Tuturan atau Mantra dalam masyarakat adalah sebuah tuturan
kata-kata yang mempunyai ruh, kata-kata yang berjiwa yang mengandung petuah dan
hanya jiwa yang hidup yang dapat memberikan rasa atau reaksi sesuai dengan
makna apa yang terdapat dibalik makna kata-kata dalam sebuah tuturan atau
mantra. Dengan melestarikan adat budaya,
kita akan menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang memiliki daya diri. Kita
adalah bagian dari bangsa dan sebagai mahluk sosial mestinya kita ingin
menujukkan identitas diri suku Sasak. Makna simbolik mantra dan benda yang
digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak, ditinjau dari
fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana
kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun
sama dalam titik hidup dan kehidupan.
Dilihat dari lahiriahnya makna dari
sebuah tuturan atau mantra itu terdiri dari kata-kata yang bertuah dan kata-kata yang tersusun
rapi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat
penggunanya serta dapat memberikan penjelasan tentang apa yang sebenarnya dan bagaimana makna
simbolik mantra dan benda yang digunakan
dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak dan hubungannya dengan sesama manusia dan hubungannya dengan sang
pencipta.
Mengingat betapa pesatnya dinamika
penomena alam lingkungan yang tidak bersahabat lagi, kalau ditinjau dari asas
budaya, maka sepantasnyalah kita mengungkapkan apa yang ada di pangkuan Sasak
Lombok ini, salah satunya yaitu makna simbolik mantra dan benda yang digunakan
dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak. Apakah arti sebuah acara adat kalau
dilihat secara lahiriahnya, namun acara adat ini penuh dengan lambang dan
penanda dalam makna simbolik mantra
dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat Sasak
di Pringgabaya. Menurut keterangan Informan adalah sejak adanya penghuni di
pulau Lombok ini, pada waktu itu belum ada
agama Islam.
Berdasarkan dari latar belakang di
atas dan untuk menanamkan kecintaan masyarakat terhadap makna simbolik mantra
dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat Sasak agar
dapat mengerti, memahami, dan mengamalkan ajara-ajaran yang terkandung di dalamnya, Penulis merasa tertarik untuk
mengadakan Penelitian tentang: “Makna Simbolik Mantra Dan Benda Yang Digunakan
Dalam Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat
Suku Sasak Di Desa Pringgabaya“.
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka identifikasi masalah yang akan dibahas adalah
1.
Mengidentifikasi
makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan
masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
2.
Mengidentifikasi
pengaruh makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat
perkawinan bagi masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
1.3 Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang penelitian, maka Peneliti
memberikan batasan masalah yang akan diteliti. Dan adapun batasan masalah yang
akan diteliti
1.
Fungsi makna simbolik tuturan dalam prosesi adat
perkawinan masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
2.
Pengaruh makna simbolik mantra dan benda yang digunakan
dalam prosesi adat perkawinan bagi masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
1.4
Rumusan Masalah
Mengacu kepada latarbelakang masalah
di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam Penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagaimakah Makna Simbolik Mantra dan benda yang
digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat Suku Sasak di Pringgabaya?
2.
Adakah pengaruh makna simbolik mantra dan benda yang
digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Bagi Masyarakat suku Sasak di Pringgabaya?
1.5
Tujuan Penilitan
Setiap Penelitian tentunya mempunyai
tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah untuk mengetahui:
1.
Mendeskripsikan Makna Simbolik Mantra dan benda yang
digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat Suku Sasak di Pringgabaya.
2.
Mendeskripsikan Pengaruh Makna Simbolik Mantra dan
benda yang digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Suku Sasak.
1.6 Manfaat
Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini
bermanfaat untuk:
1.
Menambah hasanah dari budaya Sasak, khususnya dalam
Makna Simbolik Mantra dan benda yang digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan
Masyarakat suku Sasak.
2.
Memberikan peluang bagi Peneliti budaya Sasak
berikutnya untuk meneliti budaya daerah Sasak yang belum diangkat dalam Penelitian
ini dengan kajian yang lebih luas dan mendalam.
2. Manfaat Praktis
1.
Sebagai usaha pelestarian dan pengimventarisasi budaya
daerah khususnya Makna Simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi
adat perkawinan masyarakat suku Sasak.
2.
Untuk pendidikan tentang ragam budaya Sasak
3.
Membantu masyarakat dalam menentukan aspek fungsi makna
simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat pekawinan
masyarakat suku Sasak.
4.
Sebagai perwujudan peran aktif dalam melestarikan dan
mengembangkan budaya Sasak khususnya makna simbolik mantra dan benda yang
digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Konsep Tentang Makna Bahasa
Makna adalah hubungan antara bentuk bahasa dengan objek atau sesuatu (hal)
yang diacunya (Finoza, 2008: 109). Lebih jelas Aristoteles, seorang
pemikir Yunani, yang hidup pada abad ke-3 sebelum Masehi adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah
makna, beliau mengatakan
bahwa kata sebagai satuan terkecil yang mengandung makna, Aristoteles juga mengungkapkan bahwa kata itu dapat dibedakan menjadi dua
yaitu kata yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom dan makna kata yang
hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ulliman 1973: 30). (Plato, 347-429 SM). Dalam bukunya Crathylus,
mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung
makna-makna tertentu (dalam Sudirman, 2007: 2). Dalam
batasan yang lain Ferdinand
de sausure ( 1996 ) memberikan teori tentang tanda / makna Yakni signifie (
Inggris signified ) yang diartikan dan significant (Inggris;singnifier) yang
mengartikan. Tanda linguistik itu adalah lambang bahasa seperti kata sedangkan
yang diartikan / signifie itu adalah makna (dalam
Sudirman, 2007: 2).
Sejalan dengan itu Criptoper
Reising (1835) Filosof berkebangsaan Jerman mengungkapkan konsep baru tentang
makna yang diberi nama Gramar, menurut beliau makna dapat di bagi kedalam tiga
katagori yaitu Semasiologi :ilmu
tentang tanda, Sintaksis : ilmu tentang kalimat dan Etimologi : ilmu tentang
asal-usul kata serta hubungannya dengan perubahan bentuk maupun perubahan
makna. (dalam Sudirman, 2007: 2)
Pengertian makna (sense-bahasa
inggris) di bedakan dari arti (meaning-bahasa ingris) itu sendiri (terutama
kata-kata). Sejalan dengan itu, Lyons
1977 menyebutkankan bahwa mengkaji atau
memberikan makna suatu kata adalah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan
dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari
kata-kata lain (dalam Fatimah1999,5).
Dari kajian makna bahasa menurut
para ahli di atas berkaitan juga dengan pendapat (Wallaco and C. Haafe, 1973) mengungkapkan bahwa befikir
dengan bahasa, sebenarnya sekaligus melibatkan makna (Fatimah, 1999: 5).
2.2 Tanda dan lambang
Pada abad ke-18 teori tentang tanda
dikembangkan oleh Perre yang menegaskan dengan munculnya buku Themeaning of
meaning karangan Ogden
dan Richard pada tahun 1923. Dalam perkembangannya teori tanda kemudian dikenal
dengan semiotik, yang di bagi
dalam 3 cabang yaitu : simantik, sintaktik, dan pragmatik Simantik yang berhubungan dengan tanda-tanda, sintaktik berhubungan dengan
gabungan tanda-tanda (susunan tanda-tanda) sedangkan pragmatik berhubungan dengan asal usul pemakaian
dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam
tingkah laku berbahasa (dalam Sumarsono, 2009: 17).
Sejak gerakan romantik, pikiran dan seni eropa sangat tertarik
kepada lambang-lambang dan kadang-kadang tergoda oleh lambang itu. Sebagaimana
dikatakan secara singkat oleh Emerson ”kita
adalah lambang dan menghuni lambang”. Imajinasi Penyair penuh dengan
lambang-lambang yang bermakna metafisika (Sumarsono,
2009: 16). Lambang dan simbol memiliki hubungan tidak
langsung dengan kenyataan. Tanda dalam bentuk huruf-huruf disebut lambang atau simbol. Perbedaan tanda
dan simbol terletak pada hubungannya dengan kenyataan, tanda menyatakan hubungan
langsung dengan kenyataan sedangkan
simbolik tidak.
Lambang menurut Plato adalah kata
didalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah obyek yang kita hayati didunia berupa rujukan yang ditunjuk oleh lambang
tersebut. Hubungan lambang dengan bahasa dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan
alat komunikasi yang terdiri atas tanda dan lambang (simbol-simbol) ini
memiliki bentuk dan makna (berisi dua) atau dikatakan expression and
contens atau signifier dan signified.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia simbol adalah lambang sedangkan simbolik adalah
sebagai lambang menjadi lambang mengenai lambang (dalam Depdiknas, 2005: 1066).
2.2
Konsep
Tindak Tutur.
Konsep adalah penyebaran teori.
Teori tindak tutur lebih dijabarkan oleh para lingusitik diantaranya Searle (dalam
Wijana, 1996: 17). Menyatakan
bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat
diwujudkan oleh seorang penutur dalam melakukan tindak tutur yakni tindak tutur
lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi (Setiawan, 2005: 17).
1. Tindak Lokusi
Wijana (dalam Setiawan, 2005:
18-19) menyatakan bahwa tindak lokusi adalah tindak tutur untuk meyatakan
sesuatu. Tindak tutur ini disebut The Act of Saying Something. Konsep
lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau
tuturan dalam hal ini dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri atas dua
unsur, yakni subjek atau topik dan predikat atau comment yang relative paling
mudah untuk diidentfikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat
dilakukan tanpa menyertakan konteks tertuturnya tercakup dalam situasi tutur.
Sehubungan
dengan tindak lokusi, Leech memberikan rumus tindak lokusi. Bahwa tindak tutur
lokusi berarti penutur menuturkan kepada mitra tutur bahwa kata-kata yang
diucapkan dengan suatu makna dan acuan tertentu (dalam Setiawan, 2005: 19). Dari batasan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa tindak lokusi hanya berupa tindakan menyatakan sesuatu dalam
arti yang sebenarnya tanpa disertai unsur nilai dan efek terhadap mitra
tuturanya.
2. Tindak Ilokusi
Lubis
memberikan definisi lebih rinci dengan beberapa batasan mengenai tindak ilokusi
yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan, permintaan maaf
dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang
mewujudkan suatu ungkapan (dalam
Setiawan, 2005: 22).
Subyakto-Nababan
menambahkan bahwa tindak ilokusi adalah tindak bahasa yang diidentifikasikan
dengan kalimat pelaku yang eksplisif. Tindak ilokusi merupakan tekanan atau
kekuatan kehendak orang lain yang terungkap dengan kata-kata kerja menyuruh, memaksa, mendikte kepada dan sebagainya (dalam Setiawan, 2005: 22).
3. Tindak Perlokusi
Menurut
Wijana (dalam Setiawan, 2005: 25) tindak perlokusi adalah tindak tutur yang
pengaturannya dimaksud untuk mempengaruhi lawan tutur. Subyakto-Nababan memberian definisi mengenai tindak perlokusi,
yaitu tindak bahasa yang dilkakukan sebagai akibat atau efek dari suatu ucapan
orang lain (dalam Setiawan, 2005:
25).
Tindak
lokusi dan ilokusi juga dapat masuk dalam kategori tindak perlokusi bila
memiliki daya ilokusi yang kuat yaitu mampu menimbulkan efek tertentu bagi
mitra tutur.
2.4 Tuturan
Bahasa dalam keadaannya yang abstrak
(karena berada didalam benak) tidak bisa langsung dicapai oleh pengamat tanpa melalui medium buatan seperti
kamus dan buku tata bahasa. Bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindak atau
tingkah tuturan individual (individual act of speech) wujudnya adalah bahasa
lisan.
L. boomfield dalam bukunya language
(1993). Bahasa merupakan alur
teori behafiorisme, sebagai suatu rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan
(respon) (Sumarsono, 2009: 13). Sebagaimana yang dikatakan oleh Malinowski,
dalam beberapa hal kita memakai tutur untuk membentuk tindakan, bahkan dalam pengertian yang ekstrim,
sering dikatakan, tutur sendiri adalah tindakan (Sumarsono, 2004: 322). Tindak tutur adalah sepenggal tutur yang dihasilkan sebagai
bagian dari interaksi sosial. Menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur
dapat dipakai untuk membuat kejadian karena kebanyakan ujaran yang merupakan tindak tutur, yang
mempunyai daya-daya.
Menurut Hymes dalam (Sumarsono, 2004:
325) ada beberapa komponen tutur yang dapat dijelaskan, diantaranya :
1.
Bentuk Pesan (Masage Form)
Bentuk pesan merupakan hal yang mendasar dan salah satu pusat
tindak tutur disamping isi pesan.
2.
Isi Pesan (Message Kontent)
Bentuk pesan dan isi pesan merupakan pusat tindak tutur dan
focus bagi “struktur sintaksis”nya, keduanya juga saling bergantung. Isi pesan
berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik, dan perubahan
topik.
3.
Latar (Setting)
Latar mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur,
dan biasanya mengacu kepada keadaan fisik.
4.
Suasana (Scence)
Berbeda dengan latar, suasana mengacu kepada “latar
psikologis”, atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis
suasana tertentu
Tutur dalam suatu komunikasi
memiliki kaidah-kaidah tertentu, dan menentukan kaidah tersebut adalah tutur,
kita dapat melihat dibalik tutur ada
nilai-nilai sosial budaya. Artinya dengan melihat tutur seseorang atau
sekelompok orang kita dapat menentukan setidak-tidaknya dapat menerka apa yang
dituturkan. Menurut Gumperz (1982)
pakar etnografi dan komunikasi menjelaskan bahwa harus menyadari sepenuhnya,
banyak penggunaan bahasa sebagaimana halnya tata bahasa adalah “Rule Governed”
mengandung kaidah (Sumarsono, 2004: 337).
2.5 Mantra
Mantra yang dalam istilah bahasa Sasak
sering juga disebut bahasa beciq adalah perkataan atau ucapan yang
dapat mendatangkan gaya
gaib (misalnya manusia dapat menyembuhkan atau mendatangkan celaka). Mantra
adalah susunan gaib, biasanya di ucapkan olehdukun atau pawang untuk mendaningi
kekuatan gaib, hal ini senada dengan pendapat yang menyatakan bahwa: mantra
adalah kata-kata yang mengandung hikmah dan kekuatan gaib. Kata-kata ini biasanya
diucapkan oleh orang-orang tertentu seperti dukun atau pawang (dalam Darmawan,
2006: 9).
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mantra berarti perkataan atau kalimat
yang dapat mendatangkan daya gaib. Tidak semua orang boleh mengucapkan mantra,
karena kesalahan dalam mengucapkan menurut kepercayaan para dukun dapat
mendatangkan bahaya. Jika dilihat dari cara membacanya oleh para dukun jelas
bahwa mantra adalah suatu bentuk bahasa yang istimewa yang biasa dipakai
berkomunikasi dengan alam gaib dan dalam hal ini ada hubungan dialog dengan hal
yang tidak konkrit, karena itu, dalam mantra terdapat tuturan, tetapi tuturan
itu tuturan sepihak.
Mantra sebagai salah satu sastra
daerah Sasak yang merupakan unsur kebudayaan digunakan untuk mengungkapkan
pikiran perasaan manusia, mantra merupakan salah satu sastra lisan erat
kaitannya dengan tradisi masyarakatnya, dalam sastra lisan yang penting ialah
isi karya sastra, tujuannya, serta yang tersirat dalam sastra itu yang
berkaitan dengan masyarakat, sementara Finengan menjelaskan hal yang penting
dalam mendeskripsikan tujuan dan fungsi karya sastra lisan ialah hubunga dengan
kepercayaan, agama, pengalaman dan lambang-lambang khusus yang bersifat lokal (dalam
Darmawan, 2006: 11).
Di atas telah dijelaskan bahwa mantra
merupakan kata-kata yang memiliki kekuatan gaib, yang dibacakan bukan sembarang
orang, maka dengan demikian
dapat kita pastikan bahwa mantra itu memiliki variasi dan fungsi tertentu.
Secara umum mantra dapat digolongkan menjadi dua yaitu untuk mendatangkan
kesenengan, kecintaan dan menghindari bahaya, sehingga fungsinyapun bisa menjadi dua yaitu untuk mendatangkan
kebahagiaan, keselamatan dan penolak
bahaya dan lain-lain.
Dalam Penelitian ini akan dipaparkan
secara umum bahwa kedua jenis mantra yang akan dianalisis memiliki fungsi
sebagai berikut
a.
Mantra “senggeger”
berfungsi untuk menimbulkan rasa kasih sayang atau suka kepada sesuatu yang
diinginkan dan untuk mendapatkan kharisma secara umum dari semua kalangan
masyarakat.
b.
Mantra penangkal atau tolak bala berfungsi agar
terhindar dari perbuatan manusia yang dapat membahayakan keselamatan diri.
2.6 Budaya
Kebudayaan adalah ciptaan dari
segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis dan indah,
sehingga dapat dinikmati dengan panca indera (yaitu penglihat, penghidup,
pengecap, perasa dan pendengar) (Koentjraningrat, 1977: 19). Menurut pakar antropologi menjelaskan
bahwa Kebudayaan itu keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik sendiri manusia
dengan belajar (Koetjraningrat,
1990: 180). Menurut Tylor, seorang
ahli Antropologi mendefinisikan, budaya sebagai pengetahuan kepercayaan, kesenian,
hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain, kecakapan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat (Mulyadi,
1999: 20). Jadi budaya merupakan jerih
payah (hasil Karya) manusia dalam berinteraksi, baik dengan sesama manusia,
maupun dengan lingkungan, hal ini bisa kita temukan pengaruh lingkungan
terhadap budaya sangat besar sehingga orang yang berlatar belakang akan
memiliki budaya yang berbeda dengan yang berlatar belakang perkotaan atau
pertanian.
Pendapat yang senada dengan uraian
di atas menjelaskan bahwa adanya
unsur-unsur budaya berupa perilaku
yang nyata di satu pihak dan di lain pihak adanya unsur-unsur budaya berupa
nilai-nilai, kepercayaan, norma dan perilaku manusia. (Mulyadi,1999: 20).
Setiap kebudayaan terwujud dan berkembang dalam kondisi tertentu. Hal tersebut
juga terlihat dalam beberapa pendapat seperti yang dikemukakan taylor bahwa
kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang secara material, meyangkut
aspek-aspek ekonomi, politik, sosial dan pandangan hidup atau meliputi
unsu-unsur universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian, dan seluruh unsur
itu disebut kebudayaan (dalam Soerjanto,
1993: 64).
Dari pandangan tersebut, kebudayaan
adalah ciptaan manusia dan syarat bagi kehidupn manusia. Manusia menciptakan
kebudayaan dan kebudayaan menjadikan
manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Terlepas dari itu, sebagaimana
yang dapat kita lihat dalam tatanan masyarakat lombok khususnya masyarakat Sasak,
budaya Sasak mempunyai tempat tersendiri dalam masyarakat, dan tradisi yang
masih tetap dipelihara oleh masyarakat Sasak khususnya oleh para bangsawan.
Pengenalan kebudayaan sama artinya dengan pengenalan bahasa,
pengajaran bahasa merupakan
mengajaran budaya, pengajaran budaya adalah manusia tentang manusia. Kemampuan
manusia dalam membangun budaya menciptakan pemahaman tentang realita yang
diungkapkan secara simbolik dan mewariskan kepada generasi selanjutnya dan sangat tergantung pada bahasa. Bahasa
adalah inti hakikat kemanusiaan, tapi bahasa manusia sangat kompleks sehingga
pemahaman ilmiah tentang kesanggupan berbahasa baru bersifat sebagian dan
sementara. Bahasa tanpa budaya tidak bisa berjalan begitu juga sebaliknya tanpa bahasa, budaya tidak
akan ada artinya (Gunawan, 1981: 53).
2.7 Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam
bagian ini akan dikemukakan
beberapa hasil Penelitian yang mempunyai relevansi dengan Penelitian ini. Saharuddin (2004) dalam Penelitian berjudul “Betotok Suatu Tinjauan Kultur Etnografi”. Berdasarkan hasil Penelitian dapat disimpulkan bahwa Betotok
dilaksanakan oleh masyarakat Sasak di desa Sukarara karena diyakini dapat
memberikan makna yang positif bagi pengantin dan keturunannya.
Munawar (2007) dalam Penelitian
berjudul “Sistem Adat Perkawinan Sasak Antara Jamaah Nahdlatul Wathan (NW) dan
Jamaah As-Sunnah di desa
Kalijaga. Kesimpulan dari Penelitian ini adalah Adanya perbedaan pandangan
antara jamah Nahdlathul Wathan dan as-sunnah yang menyebabkan tidak begitu
berlakunya adat perkawinan Sasak di desa Kalijaga Utara dimana kedua golongan Islam ini bertumpu pada
“syariat” apa yang sesuai dengan syariat dan apa yang tidak sesuai dibuang atau
tidak dipakai.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian
Yang menjadi objek atau kajian dalam Penelitian
ini adalah Fungsi makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi
adat perkawinan masyarakat Sasak di desa Pringgabaya.
3.2. Data
dan Sumber Data
Yang
dimaksud dengan sumber data dalam Penelitian adalah subjek dari mana data
diperoleh (Arikunto, 2006: 129). Sesuai dengan pendekatan Penelitian
yang digunakan maka sumber data yang diperlukan adalah sebagai berikut :
a.
Person
Person yaitu
sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan atau jawaban
tertulis melalui angket. Sumber data dalam penelitian ini adalah orang
yang dimintai keterangan atau diwawancarai tentang makna simbolik tuturan dalam
prosesi adat perkawinan tersebut, lebih lanjut dikenal dengan istilah Informan.
Informan dalam penelitian ini adalah orang yang tahu dan melaksanakan serta
mempunyai pengalaman banyak tentang budaya Sasak, khususnya yang terkait dengan
makna simbolik tuturan adat perkawinan yang meliputi para tokoh masyarakat,
tokoh agama, tokoh adat, dan orang yang bertugas khusus sebagai pelaku dalam
acara tersebut yang disebut mangku.
Dalam penelitian ini yang menjadi personnya
adalah Informan yang diambil oleh Peneliti dari masyarakat yang ada di desa Pringgabaya. Peneliti menentukan Imforman dengan
menggunakan teknik purposive sampling yang artinya bahwa imforman ditentukan
berdasarkan tujuan Penelitian itu sendiri, atau bisa dikatakan bahwa tehnik porpusive
sampling merupakan tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu,
Sugiono (1999: 78) juga menjelaskan teknik penentuan sampel secara purposive
sampling merupakan teknik penentuan sampel yang didasarkan pada satu kebetulan,
yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan Peneliti dapat sebagai
sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber
data (http://digilib.petra.ac.id).
b.
Paper
Paper yaitu
sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa hurup, angka, gambar, atau
simbol-simbol lain. Dan dalam Penelitian ini yang diangkat menjadi paper oleh Peneliti
adalah makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat
perkawinan suku Sasak di desa Pringgabaya.
3.3. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian di lakukan di Desa Pringgabaya
Kabupaten Lombok Timur. Adapun alasan untuk memilih lokasi ini karena di desa
ini lokasi yang sangat kuat adat asli suku Sasak dilakukan setiap ada ritual.
3.4. Metode
Pengumpulan Data
1. Metode Observasi
Sutrisno Hadi (1986) mengemukakan bahwa, obsevasi
merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai
proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang penting adalah proses
pengamatan dan ingatan (Sugiono, 2007: 45). Di dalam pengumpulan data dengan
menggunakan metode obsevasi, Penulis secara
langsung mengadakan pengamatan di saat proses acara ritual, adapun mengenai
tempat dimana metode ini di lakukan, Penulis dapat mengemukakan sebagai
berikut:
1.
Mengamati situasi dan kondisi masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
2.
Mengamati proses perkawinan dan situasi masyarakat suku
Sasak di Pringgabaya.
2. Metode
Transkripsi
Kata transkripsi
menurut Brataatmaja (1994: 301). Berarti alih tulis/penyalinan. Jadi metode transkripsi merupakan
cara pengumpulan data dengan jalan penyalinan (alih tulis), dalam hal ini Penulis
menyalin atau alih tulis mantra dan benda yang digunakan yang masih mengunakan
bahasa Sasak dari hasil informasi yang di dapatkan kedalam bentuk bahasa
Indonesia tulisan atau kalimat. Metode ini digunakan untuk menguraikan dan
menganalisis dari data yang sudah ada agar dapat dipahami oleh pembaca dari
hasil Penelitian ini.
3. Metode Terjemahan
Metode Terjemahan, kata terjemahan berarti menyalin
suatu bahasa ke bahasa yang lain (Hozin, 1994: 565). Jadi metode terjemahan
merupakan metode pengumpulan data dengan menyalin bahasa ke bahasa yang lain.
Metode ini dipergunakan untuk menyalin bahasa simbolik mantra dan benda yang
digunakan yang masih menggunakan bahasa Sasak ke dalam bahasa Indonesia.
4. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan Penelitian dengan jalan tanya jawab sambil bertatap muka antara si
penanya dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang
dinamakan interview quide (panduan wawancara) (Nazir, 2005: 194). Jadi dari penutur aslinya Peneliti
akan menggali apa yang ada dan mengamati acara ritual pada saat acara
berlangsung. Peneliti akan mengkaji adakah pengaruh makna simbolik mantra dan
benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak di desa Padamara
kecamatan Pringgabaya. Ini dilakukan dengan melakukan wawancara, mencatat semua
penjelasan Informan, mencatat bahasa simbol yang digunakan dalam acara ini.
5. Dokumentasi
Tehnik dokumentasi adalah
mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2006: 231).
Tehnik ini digunakan Peneliti untuk mengumpulkan data yang diambil dari prosesi
acara perkawinan masyarakat di Pringgabaya dan mendokumentasikan hasil
wawancara secara langsung dengan Informan.
3.5. Metode Analisis Data
Untuk mendapat hasil Penelitian yang
baik nilai dan fungsi makna simbolik tuturan dalam masyarakat Sasak Peneliti
menggunakan metode deskriptif, metode ini dirancang untuk mengumpulkan
informasi tentang keadaan-keadaan nyata seperti sekarang ini. Tujuan utama
dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat atau suatu
keadaan yang sementara berjalan pada saat Penelitian dilakukan, dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Traves, 1978:20). Selanjutnya dalam
analisis ini ditempuh beberapa hal berikut :
Identifikasi, dalam kamus lengkap
bahasa Indonesia identifikasi berarti penetapan (Hazin, 1994: 132). Jadi identifikasi dalam Penelitian merupakan
penetapan masalah yang akan diteliti yaitu yang berkaitan dengan fungsi makna
simbolik mantra dan benda yang
digunakan dalam prosesi adat perkawinan sesuai dengan rumusan masalah
yang telah diajukan di atas.
Klasifikasi berarti memasukkan atau menempatkan
fakta-fakta ke dalam suatu hubungan logis berdasarkan suatu sistem (Akhadiah, 1994: 39). Dari pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa klasifikasi merupakan kegiatan menempatkan
fakta sesuai dengan hubungan logis. Dalam penelitian ini klasifikasi dilakukan
untuk menempatkan fungsi antara fakta yang ada dengan penjelasan yang akan
dilakukan Peneliti.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Adapun mengenai gambaran umum desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya, Penulis
akan menguraikan satu persatu antara lain:
a.
Sejarah singkat desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
b.
Letak geografis desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
c.
Letak demografis desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
d.
Penduduk dan pekerjaan masyarakat desa Pringgabaya
Kecamatan Pringgabaya
e.
Fasilitas social di desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Maka untuk lebih jelasnya dirincikan sub pokok pembahasan sebagai
berikut:
A. Sejarah Singkat Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Pringgabaya dikenal sejak zaman penjajahan, khususnya ketika Lombok Timur
dibebaskan dari pendudukan belanda dan jepang. Kata Pringgabaya berasal dari
kata pringga yang artinya hutan yang sangat lebat sedangkan baya artinya bahaya
jadi kata Pringgabaya artinya hutan yang berbahaya, karena kalau sudah malam
tiba tidak ada orang yang berani lewat untuk menyeberang dari arah timur kearah
barat dan yang dari arah barat tidak berani melewati arah ketimur lewat
Pringgabaya ini, karena kalau ada orang yang lewat ketika matahari telah
tenggelam selalu ada korban jiwa yang menimpa mereka yang lewat Pringgabaya itu
karena dibunuh oleh alam gaib, dan suatu ketika ada orang yang berusaha untuk
menghentikan niat jahat alam gaib ini, namanya Raden Abdul Aziz beliau ini
datang kehutan melakukan pertemuan dengan alam gaib ini dengan menggunakan
menyan, waktu bertemu Raden Abdul Aziz ini mengeluh dengan kejadian yang sering
terjadi korban kepada masyarakat setempat, lalu ketika alam gaib ini meminta
kepada Raden Abdul Aziz ini, kejadian ini akan berakhir apa bila alam gaib ini
diberikan empat puluh empat kepala manusia jadi tumbalnya, akhirnya Raden Abdul
Aziz tidak menyetujuinya.
Pertemuan yang kedua Raden Abdul
Aziz datang lagi untuk bertemu dengan alam gaib itu dengan masalah yang sama,
malam yang kedua alam gaib ini niatnya berubah dan dia meminta tumbal empat
puluh kerbau yang disembelih. Karena karbau harganya sangat mahal dan sulit
didapatkan waktu dulu dan permintaan alam gaib ini tidak disetujui oleh Raden
Abdul Aziz. Pada malam ketiga yaitu malam terakhir untuk meminta permintaan
alam gaib ini Raden Abdul Aziz sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
meluluhkan hati alam gaib ini. Dengan ijin yang maha kuasa akhirnya alam gaib
meminta tumbal dengan menyembelih ayam sebanyak empat puluh empat dengan empat
warna yaitu warna hitam mulus, putih mulus, kuning sanggar dan tiga warna. Dan
permintaan ini disanggupi oleh Raden Abdul Aziz. Semua masyarakat Pringgabaya
berbondong-bondong mencari ayam tiga warna dan di sembelih untuk di jadikan
tumbal. Dan sampai sekarang acara ini tetap dilakukan setiap tanggal 1 Muharram
atau setahun sekali yang istilahnya disebut sekarang tetulak desa artinya
mengenang kejadian yang sudah menimpa desanya dengan menelan korban jiwa pada massa itu.
B. Letak Geografis Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Desa Pringgabaya merupakan salah satu dari lima desa di kecamatan Pringgabaya yang
memiliki: 3209.900 ha, yang berlokasi 26
dari pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Adapun desa Pringgabaya terletak
antara 0-50 M diatas permukaan laut
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa
Labuan Lombok
Sebelah Selatan : Batuyang
Sebelah Timur : Selat
Alas
Sebelah Barat :
Selaparang
Dari luas wilayah seluas 3209.900 ha, desa Pringgabaya terbagi menjadi 12
wilayah kekadusan yang terdiri dari:
1.
Kadus Saimbang : Sutiman
2.
Kadus Karangkapitan
: Bp. Aminah
3.
Kadus Otak Desa : Aenudin Dahrun
4.
Kadus Embur : Muh. Yusuf
5.
Kadus Jejangka : L. Sadrah
6.
Kadus Belawong : Muksin
7.
Kadus Pucangsari
: Mustakim
8.
Kadus Ketapang : L. Mahfuz
9.
Kadus Dasan Lendang
: H. Muh. Saleh
10. Kadus
Cemporongan : Usman
11. Kadus
Tinggir : L.
Amiruddin
12. Kadus
Dasan Segara : Khaerudin
C. Kondisi Demografis Desa Pringgabaya
Kecamatan Pringgabaya
Desa Pringgabaya sampai akhir tahun 2008 berpenduduk: 18.644 jiwa dengan
rincian:
a.
Laki-laki : 8.977
b.
Perempuan : 9.667
Jumlah KK : 5.921
Selanjutnya pemerintah desa dilengkapi oleh lembaga / institusi desa
sebagai mitra kepala desa dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan,
dan social kemasyarakatan . adapun lembaga / institusi tersebut terdiri dari:
1.
Badan Pemusyarawatan Desa (BPD)
2.
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
3.
Bazisdes
4.
Karang Taruna
5.
TP. PKK
6.
Forum Komunikasi Masyarakat Hilir (FKMH)
7.
Remaja Masjid
8.
Kelompok Zikir
9.
Kelompok Asuhan Keluarga
10. Kelompok
Tani dan Peternakan
D. Penduduk dan Pekerjaan Masyarakat Desa Pringgabaya
Kecamatan Pringgabaya
Jumlah penduduk desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya adalah : 18.644
orang yang terdiri dari:
a.
Laki-laki : 8.977
b.
Perempuan : 9.667
Jumlah : 18.644
Sebagian besar penduduk desa Pringgabaya banyak menggantungkan kehidupan
mereka dari beberapa sector:
1.
Sektor Pertanian :
1.518 orang
2.
Sektor Buruh :
4.602 orang
3.
Sektor Perdagangan : 220 orang
4.
Sektor PNS POLRI/TNI :
200 orang
5.
Sektor Industri :
139 orang
6.
Sektor Angkutan :
53 orang
7.
Sektor Tukang Kayu/Batu :
287 orang
8.
Sektor Guru : 177 orang
9.
Sektor Karyawan Swasta :
102 orang
10. Sektor
Lain-lain : 344 orang
E. Fasilitas Sosial di Desa Pringgabaya
Kecamatan Pringgabaya
Desa Pringgabaya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
masyarakat, kualitas derajat kesehatan masyarakat, kualitas pemahaman dan
pengalaman terhadap ajaran agama serta memelihara budaya dari tahun ke tahun
terbukti telah dibangun sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan dan
meningkatkan SDM seutuhnya. Dapat digambarkan bahwa sarana pendidikan tingkat
TK, SD/MI, SLTP/MTs, SMK/MA dan SMA baik negeri maupun swasta sebanyak 23 buah,
guru 166 orang dengan murid sebanyak 4.225 orang siswa.
Di bidang kesehatan tingkat derajat kesehatan masyarakat desa Pringgabaya
Kecamatan Pringgabaya dari tahun ke tahun cukup menggembirakan, karena didukung
oleh sarana dan prasarana yang cukup tinggi dalam mensukseskan program bidang
kesehatan, dapat digambarkan bahwa jumlah sarana kesehatan Pustu 1 buah,
Polindes 2 buah, Posyandu 27 buah, dengan 1 orang Dokter Umum, dan 14 paramedis
dan dibantu 3 Bidan bersalin yang sudah terlatih.
Dalam bidang penghayatan dan pengalaman dalam bidang agama, desa Pringgabaya
mempunyai kerukunan dan ketaatan yang cukup tinggi dalam melaksanakan ibadah
setiap harinya. Ini terbukti meningkatnya pembangunan sarana dan prasarana
pendidikan non formal seperti pondok pesantren, TPA/TPQ, Masjid-Masjid, Musalla
dan Majlis Ta’lim dengan partisipasi masyarakat yang cukup tinggi. Dapat juga
digambarkan bahwa jumlah Masjid sebanyak 18 buah, Musalla 23 buah, Majlis
Ta’lim sebanyak 3 buah dengan pemeluk agama mayoritas Islam (demografis desa Pringgabaya
kecamatan Pringgabaya, 2009).
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian
A.
Prosesi Adat Perkawinan
Suku Sasak di Pringgabaya
Adat perkawinan
pada masyarakat Lombok Timur khususnya di desa Pringgabaya dikaitkan dengan
upacara adat sorong serah aji kerama.
Seorang pemuda (terune) dapat
memperoleh seorang istri berdasarkan adat dengan dua cara yaitu: pertama dengan
solah (meminang kepada keluarga si
gadis); kedua dengan cara merariq
(melarikan si gadis), Setelah salah satu cara ini sudah dilakukan, maka
keluarga pria akan melakukan tata cara perkawinan sesuai adat Sasaknya .
Upacara perkawinan di desa Pringgabaya sering
dikaitkan dengan upacara adat perkawinan sorong
serah aji kerama yang merupakan salah satu tradisi yang ada sejak zaman
dahulu dan telah melekat dengan kuat serta utuh didalam tatanan kehidupan
masyarakat suku Sasak di desa Pringgabaya, bahkan beberapa kalangan masyarakat
baik itu tokoh agama dan tokoh masyarakat adat itu sendiri menyatakan bahwa
jika tidak melaksanakan upacara adat ini akan menjadi aib bagi keluarga dan masyarakat setempat.
Sorong
serah berasal dari kata sorong yang berarti mendorong dan serah yang berarti menyerahkan, jadi sorong serah merupakan suatu pernyataan
persetujuan kedua belah pihak baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki
dalam prosesi suatu perkawinan antara terune
(jejaka) dan dedare (gadis) (19
Maret, 2010 http://www.....)
Prosesi upacara ini merupakan salah satu
rangkaian upacara terpenting pada perkawinan adat Sasak di desa Pringgabaya.
Adapun prosesi perkawinan yang dilakukan di desa Pringgabaya adalah sebagai
berikut:
a. Besejati
Besejati maksudnya,dari keluarga
pihak pengantin laki-laki mengutus beberapa orang tokoh masyarakat setempat
atau tokoh adat untuk melaporkan kepada keliang atau kepala Dusun, untuk
mempermaklumkan mengenai perkawinan tersebut tentang jati diri calon pengantin
laki-laki, kemudian kepala Dusun akan menindak lanjutinya kepada keluarga pihak
perempuan, dan keluarga perempuan akan memberi tahu semua keluarganya untuk
bermusyawarah. Dari hasil musyawarahnya akan dipertahankan sampai pada proses
perkawinan di antaranya beselabar dan sorongserah karena sesuai dengan adat
budaya desanya sendiri .
b. Beselabar
Beselabar
maksudnya, keluarga dari pihak laki-laki datang kerumah keluarga perempuan,
untuk memepermaklumkan kepada keluarga perempuan yang ditindaklanjuti dengan
pembicaraan adat istiadatnya meliputi aji kerama yang terdiri dari nilai-nilai
strata sosial.
1.
Keturunan Bangsawan yang dikenal dengan kalangan menak
aji keramanya Rp. 66.400
Maksudnya: enam puluh enam ribu empat ratus di ambil
dari ajaran Islam yaitu enam tambah enam sama dengan dua belas artinya tetap
dalam ajaran agama Islam yaitu ilmu dua belas. Dan adapun yang empat ratus itu
adalah bentuk simbol dari empat unsur kehidupan antara lain: Air, angin, api,
dan tanah
2.
Keturunan Berbape
yang dikenal dengan kalangan Bapak aji keramanya Rp. 33.400
Maksudnya: tiga puluh tiga ribu empat ratus memiliki
makna yang di ambil dari ajaran Islam yaitu tiga tambah tiga sama dengan enam
yang diambil dari rukun iman yang artinya iman menurut bahasa adalah percaya sedangkan menurut istilah
mengucapkan dengan lisan, membenarkan dalam hati dan mengerjakan dengan segenap
anggota badan dengan demikian, orang sudah menyatakan beriman haruslah
menyatupadukan antara ucapan, sikap dan prilaku anggota badan untuk melakukan
perbuatan yang sesuai dengan tuntutan iman. (Shalih, 2009: 3) Dasar pokok yang wajib diimani dalam Islam ada 6 antara
lain:
a. Beriman kepada Allah
Makna beriman kepada Allah telah ditegaskan oleh nabi
Muhammad SAW “awwaluddin ma’rifatullah”
yang artinya permulaan agama itu ialah mengenal Allah. Karena dialah asal
segala ilmu fardhu ain atas tiap-tiap mukallaf (Shalih, 2009: 4).
Mengenal Allah itu harus didukung
dengan mengenal sifat-sifat Allah yang wajib. Sifat wajib bagi Allah itu adalah
sifat yang harus ada pada zat Allah SWT sebagai kesempurnaan baginya. Allah SWT adalah khalik, zat yang memiliki
sifat yang tidak sama dengan makhluk-Nya. Allah tidak bersifat kekurangan hanya
bersifat kesempurnaan dan
tidak ada yang menyerupai dia. Dia juga maha suci, maha mendengar, maha melihat
dan maha mengetahui segala perbuatan mahluk-Nya yang zahir dan yang batin, lagi
amat berkuasa dan hidup kekal selama-lamanya (Salih, 2009: 4).
b. Beriman kepada malaikat Allah
Makna beriman kepada malaikat-malaikat Allah adalah
percaya kepada malaikat sebagai pesuruh Allah yang taat selamanya dalam
menjalankan segala perintah Allah taala yang selalu diwajibkan kepadanya.
Kepatuhan malaikat dan ketaatannya menjalankan perintah Allah digambarkan dalam
Al-Quran surat
at tahrim ayat 6 yang artinya”Hai
orang-orang yang briman, pelihara dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6).
Malaikat
itu bukanlah laki-laki bukan pula perempuan. Malaikat dijadikan oleh Allah dari
badan yang halus tidak mempunyai hawa nafsu hanya mempunyai akal. Oleh sebab
itu tidak pernah sama sekali ingkar kepada Allah. Adapun tempatnya memenuhi
langit dan bumi, tetapi tiada menghendaki tempat seperti mahluk-mahluk lainnya
sebab badannya itu seperti cahaya tidak membutuhkan tempat bagi dirinya. Dan
keyakinan atas semua yang terkait dengan malaikat itulah yang disebut dengan
beriman (Shalih, 2009: 26-27)
c. Beriman kepada rasul Allah
Makna beriman kepada rasul Allah ialah mempercayai
bahwa Allah SWT telah mengutus rasul-rasulnya untuk membimbing dan menuntun
umat manusia kejalan hidup yang benar diridhai oleh Allah SWT. Beriman kepada
rasul artinya mempercayai sepernuh hati bahwa Allah SWT telah mengutus rasul
untuk menyampaikan peraturan-peraturan dan hukum-hukum Allah SWT kepada ummat
manusia. Rasul diutus Allah SWT dari kalangan manusia agar dapat berkomunikasi
dengan ummatnya, mengajar, memberi tahukan tentang Allah SWT sebagi Khalik
(Shalih, 2009: 32).
d.
Beriman kepada
kitab-kitab Allah
Makna beriman kepada kitab Allah adalah wahyu Allah
yang disampaikan kepada para rasul untuk diajarkan kepada manusia sebagi
petunjuk dan pedoman hidupnya. Kitab yang wajib diketahui ada 4 yaitu kitab
taurat, zabur, injil dan Al-Quran. Dan suruh ummat manusia wajib meyakininya.
Dan keyakinan itulah disebut sebagi iman kepada kitab-kitab Allah SWT (Ibid,
2009: 31)
e. Beriman kepada hari kiamat
Percaya kepada hari kiamat atau hari pembalasan yang
akan datang nanti. Entah kapankah datangnya, hanya Allah yang mengetahui.
Didalam Al-Quran surat Al-a’raf ayat 187 dijelaskan tentang hari kiamat yang
artinya “Mereka menanyakan kepadamu
tentang hari kiamat: “bilakah terjadinya ?” katakanlah : “sesungguhnya
pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi tuhan ku; tidak seorangpun yang
dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain dia. Kiamat itu amat berat
(huru-haranya bagi mahluk) yang di langit dan di bumi.kiamat itu tidak akan
dating kepada mu melainkan dengan tiba-tiba ”. meraka bertanya kepada mu
seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah :“sesungguhnya
pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah disisi Allah, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui” (Q.S. Al-A’raf ayat 187).
f. Beriman
kepada Qadha dan Qadar
Qadha yaitu ketetapan atau ketentuan, yang dimaksudkan
adalah ketetapan dan ketentuan Allah sejak zaman azali, yang belum diketahui
dan belum diterima oleh mahluk-Nya sedangkan Qadar adalah ketetapan dan
ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT atas mahluk-Nya dan telah
diterima serta telah berlaku bagi mahluk-Nya. Secara singkatnya Qadha merupakan
garis perencanaan Allah yang akan diberlakukan kepada manusia sedangkan Qadar
merupakan pelaksanaan dari rencana yang telah digariskan oleh Allah SWT (sering
disebut takdir). Keimanan terhadap Qadha dan Qadar bahwa segala apa saja yang
terjadi atas diri seseorang itu semuanya dari Allah SWT yaitu telah ditakdirkan
oleh Allah SWT (Saleh. 2009: 40).
3.
Keturunan jajar karang yang dikenal dengan kalangan
Amaq aji keramanya Rp. 5.400
Lima ribu empat ratus
maksudnya lima
di ambil dari rukun Islam yang ke-lima yaitu:
a)
Mengucapkan dua kalimah syahadat
Kalimah
lailahaillalloh dibedakan menjadi empat bagian.
1).
La dikatakan
kalimah syari’at La merupakan kalimah
nafi artinya tiada sifat jalal
(kebesaran tuhan kita). Kalimah La
sendiri sifat-sifat Allah antara lain: Wujud,
Qidam, Baka, Muqholafatuhulil Hawadits.
2). Ilaha dikatakan kalimah thariqoh. Ilaha dalam kalimah lailahaillalloh
merupakan kalimah manfiyu artinya
meniadakan sifat jamal (keelokan).
Kalimah Ilaha sendiri masuk
sifat-sifat Allah antara lain: Sama,
bashar, Kalam, Samiun, Mutakallimun, Bashirun.
3). Illa dikatakan kalimah haqiqat. Illa dalam kalimah
lailahaillalloh merupakan kalimah isba’at
artinya menetapkan sifat qohar
(kekuasaan). Kalimah Illa sendiri
masuk sifat-sifat Allah antara lain Qudrat,
Iradat, Ilmu, Hayat.
4).
Allah dikatakan kalimah itsbah. Allah dalam kalimah lailahaillalloh
merupakan kalimah mutsbat artinya
yang ditetapkan sifat kamal (kesempurnaan)
(Saleh, 2009:18-19).
b)
Shalat lima
waktu sehari semalam
Diantara kewajiban-kewajiban yang harus kita lakukan
adalah shalat lima
waktu sehari semalam. Subuh, zuhur, asyar, maghrib, dan isya. Shalat ini harus
dilakukan oleh seorang mukallaf,
meski dalam keadaan bagaimanapun kecuali
jika ada halangan yang dibenarkan oleh agama atau uzur syar’i.
Sedemikian pentingnya kepentingan shalat, maka perintah menjalankanyapun
disampaikan langsung oleh Allah SWT kepada rasul Allah saat beliau dimi’rajkan. Betapa pentingnya dan utamanya waktu
shalat lima
waktu bagi umat Islam yang sudah mukallaf.
Firman Allah dalam alquran surat
an-nisa ayat 103 yang artinya
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin” (QS. AN-Nisa’) (Asrori,1998:168).
c)
Puasa pada bulan ramadhan sekali setahun
Perintah melakukan puasa Ramadhan secara harfiah
terbilang unik. Allah berfirman, “Hai
orang-orang beriman telah diwajibkan shiyam (puasa )seperti juga diwajibkan
(kepada orang beriman/umat ) sebelum kalian. Mudah-mudahan dengan melaksanakan puasa kamu menjadi orang-orang yang
bertakwa (Laallakum tattaqun). Terbilang unik secara harfiah karena
harfiahnya (kalimat) perintahnnya.
Meskipun bunyinya agak berlainan tapi maknanya sama dan sasarannya sama yaitu
menahan dan mengendalikan .
Ayat tersebut berupa perintah melakukan shiyam, asal kata shoma yasumu shiyaman, artinya menahan atau mengendalikan. Kemudian
ketika bersahur, ada waktu yang ditentukan yaitu waktu imsak. Imsak artinya
menahan atau mengendalikan. Secara syariah jika telah masuk waktu imsak,
hendaklah menahan mengendalikan perbuatan lahiriah yang membatalkan niat dan
puasa itu, dari makan, minum dan seksual.
Setelah imsak berlalu maka batalkan perbuatan lahiriah
dengan futur (buka). Artinya
diperbolehkan melakukan fitrah manusia lagi seperti makan, minum dan seksual
dengan istri/suami. Baru kemudian dengan hal tersebut mencapai dearajat
tingkatan takwa. Tapi, harus dicermati bunyi firman Allah, dengan kata-kata: Laallakum Tataqun artinya semoga kalian bertakwa.
d)
Membayar zakat jika sudah sampai nisabnya
Rukun Islam yang ke empat adalah membayar zakat,
perintah membayar zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang beriman, allah SWT
telah memeritahkan kepada ummat untuk membayar zakat sebagimana firmannya dalam
surat
Al-baqarah ayat 110 yang artinya:”
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan
kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah:
110).
e)
Naik haji kebaitullah bagi yang mampu
Rukun Islam yang ke lima adalah haji, dan haji wajib bagi seorang
muslim yang telah mampu perjalanannya ke tanah suci, baik bekalnya maupun
kebutuhan lain yang diperlukan. Jika diantara kita ada yang telah mampu untuk
menunaikannya hendaklah segera pergi menunaikannya, jangan ditunda-tunda.
Rasulallah SAW bersabda yang artinya “segeralah
kalian menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya salah satu dari kalian tidak
tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.” (HR. Ahmad). (Asrori, 1998:284)
Dan adapun yang empat ratus itu adalah bentuk simbol
dari empat unsur kehidupan antara lain: Air, angin, api, dan tanah
Untuk mengetahui makna kata
air, angin, api, dan tanah. Maka perlu adanya proyeksi fitur simantis dari
kata-kata tersebut. Dan adapun proyeksi fitur tersebut antara lain:
1.
Air (ada, aktif, bergerak, tampak, dan sumber
kehidupan);
2.
Angin (ada, aktif, bergerak, tidak tampak, dan sumber
kehidupan);
3.
Api (ada, aktif, bergerak, tampak, dan sumber
kehidupan) dan
4.
Tanah (ada, aktif, tidak bergerak, tampak, dan sumber
kehidupan).
Dari proyeksi fitur simantis
kata air, angin, api, dan tanah, memiliki makna tersendiri dalam kehidupan
rumah tangga ke dua mempelai.
§
Air maknanya memberikan kedamaian kepada ke dua
mempelai yang aman dan sejahtera.
§
Angin maknanya memberikan kesejukan kepada ke
dua mempelai dalam membangun rumah tangga yang harmonis.
§
Api maknanya memberikan semangat kepada ke dua
mempelai dalam membangun rumah tangga untuk meraih cita-cita bersama.
§
Tanah maknanya memberikan ketentraman kepada ke
dua mempelai dalam membina rumah tangga yang bahagia.
c. Sorong Serah
Inti dari
pelaksanaan sorong serah ini adalah
pengumuman resmi acara perkawinan seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang disertai dengan penyerahan peralatan
mempelai pihak laki-laki atau yang dikenal dengan nama ajen-ajen. Dalam
acara sorong serah aji krama ini
pihak laki-laki dan perempuan masing-masing diwakili sekelompok masyarakat adat yang terdiri dari juru bahasa adat atau yang disebut pembayun, Kepala Desa sebagai pengemong adat dan Kepala Dusun sebagai pamong adat. Pada akhir proses sorong serah jika terjadi kesepakatan maka antar pembayun penyorong dari pihak laki-laki dan pembayun penampi dari pihak perempuan, akan menyatakan ”atas ijin dari sidang adat perempuan (maksudnya mempelai perempuan) saya terima, maksudnya perempuan ini diterima secara adat”. Prosesi ini disebut pegat aji krama. Salah seorang tokoh adat akan diminta untuk megat tali jinah biasanya menggunakan kepeng bolong yang diikat kemudian diputus sebagai pertanda bahwa berakhirnya sorong serah.
pihak laki-laki dan perempuan masing-masing diwakili sekelompok masyarakat adat yang terdiri dari juru bahasa adat atau yang disebut pembayun, Kepala Desa sebagai pengemong adat dan Kepala Dusun sebagai pamong adat. Pada akhir proses sorong serah jika terjadi kesepakatan maka antar pembayun penyorong dari pihak laki-laki dan pembayun penampi dari pihak perempuan, akan menyatakan ”atas ijin dari sidang adat perempuan (maksudnya mempelai perempuan) saya terima, maksudnya perempuan ini diterima secara adat”. Prosesi ini disebut pegat aji krama. Salah seorang tokoh adat akan diminta untuk megat tali jinah biasanya menggunakan kepeng bolong yang diikat kemudian diputus sebagai pertanda bahwa berakhirnya sorong serah.
d. Akad Nikah
Akad nikah ini adalah salah satu
proses yang wajib harus dilakukan oleh kedua mempelai setelah melakukan proses
yang sudah di paparkan di atas, akad nikah ini akan di hadiri oleh tokoh
masyarakat tokoh agama dan tokoh adat untuk menyaksikan selama akad nikah di
lakukan, akad nikah ini dilakukan di masjid, musolla dan bisa di rumah. Maka
dari rombongan wali akan datang secara adat untuk menjemput wali di saat akad
nikah akan dilaksanakan di kediaman laki-laki. Dari pihak laki-laki akan
disiapkan kendaraan untuk menjemput rombongan keluarga perempuan.
Semua biaya hingga akad nikah usai
ditanggung oleh pihak laki-laki. Karena ini ketentuan adat, maka semua berlaku
fair tidak ada yang saling merasa tidak enak soal biaya, karena telah
dibicarakan dengan detil pada proses-proses adat sebelumnya katanya.
e. Mandi Pengantin
Dalam pelaksanaan mandi pengantin
ini di lakuakan setelah akad nikah maupun sebelum akad nikah berlangsung,
tujuan untuk mandi pengantin ini untuk membersihkan diri dari segala kotoran
dan selalu dalam kesucian dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Mandi
pengantin ini tidak hanya sekedar mandi biasa, tetapai dimandikan oleh tokoh
adatnya atau sesepuh yang ada dalam masyarakatnya meliputi mantra-mantra
bahan-bahan yang digunakan saat mandi pengantin diantaranya.
1.
Bokor
2.
Lekong
3.
Kunyit
4.
Kelapa
f. Nyongkolan
Dalam
pelaksanaan nyongkolan keluarga pihak
laki-laki disertai oleh kedua mempelai
mengunjungi pihak keluarga perempuan yang diiringi oleh kerabat dan handai
taulan dengan mempergunakan pakaian adat diiringi gamelan bahkan gendang beleq
dan akan di sambut oleh keluarga dari pihak perempuan dengan menggunakan
pakaian adat. Sekaligus adat ini sebagai pemberi tahuan kepada semua masyarakat
bahwa dia telah menikah dan tidak di ganggu oleh laki-laki lain yang belum
mengetahuinya, ini tujuannya dalam adat nyongkolan yang dilakukan oleh
masyarakat Pringgabaya.
B. Makna Simbolik Mantra dan benda yang
digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Suku Sasak Di Pringgabaya.
a. Makna Simbolik Lisan
Makna simbolik lisan merupakan
rangkaian upacara prosesi perkawinan yang dilakukan masyarakat Pringgabaya,
makna simbolik lisan ini dilakukan pada rangkaian prosesi upacara perkawainan
pada saat mandi pengantin sedang berlangsung. Yang bertugas atau yang berhak
memandikan pengantin itu adalah mangku adat atau pawang dan disaksikan oleh tokoh agama dan masyarakat
sekitar. Makna simbolik lisan ini dapat mendatangkan daya gaib bagi orang yang
meyakininya dan mendatangkan pengaruh bagi kehidupan rumah tangganya. Makna
simbolik lisan atau mantra memiliki makna yang mengandung hikmah dan kekuatan
gaib, makna simbolik lisan atau mantra ini dibacakan oleh orang-orang tertentu
seperti pawang, dukun dan orang yang paling dihargai dimasyarakat itu
sendiri.
Dua buah mantra
dan empat diantaranya simbol yang digunakan saat acara adat perkawinan
di Padamara Kecamatan Pringgabaya. Mantra yang dimaksud adalah Mantara untuk
Pengantin Laki-laki dan Mantra untuk Pengantin Perempuan
1) Mantra untuk Pengantin Laki-laki
Berbunyi “Roh nyawa
anak manusia ngangen aku pardu atasku dengan karena Allah Ta’ala asih na menga
atenbi ngangen aku berkat lailahaillAllah Muhammadurrasulullah”.
Arti kata : roh nyawa manusia mengingat aku wajib atas
aku dengan karena Allah SWT, hatinya terbuka selalu mengingatku karena izin Allah
dan Muhammad utusan Allah.
Uraian makna: Agar pengantin perempuan selalu ingat
kepada suaminya di waktu menjalani hubungan rumah tangga, dan mengerti tanggung
jawab sebagai seorang istri dan berbakti kepada suaminya dan apapun masalah
yang dihadapi agar dijalani bersama dan tetap bertahan tetap sayang seperti melebihi sayangnya waktu
pacaran meskipun itu sangat menyakitkan dalam kehidupan rumah tangganya karena
semua itu cobaan dari Allah.
2) Mantra Untuk Pengantin Perempuan
Berbunyi “Pahit
peria bi kaken belo tetanda bi entik berkat lailahaillAllah
Muhammadurrasulullah”.
Arti kata: pahit
pare dia makan panjang tanda kehidupan yang akan di jalani atau dipegang
Uraian makna: Dalam perjalanan berumah tangga tidak
selamanya orang itu akan bahagia, akan tetapi kesusahan itu akan datang juga
meskipun perjalanan itu menyakitkan dalam berumah tangga, kalau di jalani
dengan tabah, hati yang sabar dan penuh keikhlasan, hubungan perkawinannya akan
berjalan panjang karena segala sesuatu datangnya dari Allah.
b. Makna Simbolik Benda
Makna simbolik benda merupakan
rangkaian prosesi adat perkawinan masyarakat Pringgabaya, benda yang dipakai
dalam prosesi perkawinan ini memiliki makna tersendiri yang tidak terlepas dari
ajaran Islam. Karena dasar hukum yang diikuti adalah semuanya dari ajaran
Islam, tata kerama, kebaktian, sopan santun budi pekerti dan sebagainya ini
adalah tuntutan dalam ajaran agama Islam bagi semua manusia . Maka makna simbolik benda merupakan simbol
kehidupan yang menjadi gambaran kepada kedua mempelai selama mejalani rumah
tangga untuk medapatkan rumah tangga yang bahagia.
Makna simbolik benda yang terkandung
dalam Simbol-simbol dan yang digunakan dalam acara ritual khususnya mandi
pengantin oleh masyarakat Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya antara lain :
1) Bokor
Bokor terbuat dari besi kuningan yang bentuknya seperti bejana. Bokor ini merupakan simbol nilai
kehidupan dimana dalam menjalani rumah tangga banyak sekali yang harus dibangun
dan yang akan dijalani dalam kehidupan berumah tangga, diantara yang harus
dibangun adalah mental yang kuat karena, mental salah satu menjadi tolok ukur
untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang baik.
Bokor maksudnya dalam tatanan kehidupan untuk membangun rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera harus memiliki tekad, mental yang kuat dan
apa bila rizki yang di dapatkan laki-laki maupun perempuan itu adalah hartanya
berdua dan dinikmati bersama-sama. Simbol ini merupakan untuk memperjuangkan
cita-citanya semaksimal mungkin untuk membangun kehidupan rumah tangga yang
sejati, mengerti dalam menjalani rumah tangganya dan tetap dalam lindungan yang
Maha kuasa. Bokor ini tidak digunakan
disembarang tempat atau dipakai setiap hari akan tetapi digunakan dalam
acara-acara tertentu seperti acara perkawinan, hitanan dan aqiqah (Informan: L.Wiranom, 75 Tahun).
2) Lekong
Lekong dalam bahasa Indonesia adalah kemiri yang bentuknya bulat
lonjong dan keras. Lekong itu minyaknya sangat keras kalau dibandingkan dengan
minyak kelapa, lekong merupakan simbol nilai sosial dalam rumah tangga
perkawinan karena, salah satu untuk membangun rumah tangga yang aman adalah
saling mengarahkan, saling bimbing dan saling bantu dalam hal yang
positif.
Lekong maksudnya agar mempelai
laki-laki maupun perempuan tegas keras untuk saling mengayomi, membimbing dan
saling melindungi dalam hal kebaikan untuk rumah tangganya, apa bila kita
saling mengayomi, saling bimbing dan saling menasehati yang mengandung kebaikan
kalau dipatuhi berarti hidupnya akan jadi selamat dunia dan akhirat, aman,
sejahtera lahir dan batin. Sebagai seorang suami wajib membimbing istri agar
dapat hidup aman dan tentram begitu juga seorang istri. Apa bila seorang suami
atau istri ataupun orang lain memberikan nasihat maka harus diperhatikan dengan
baik dan sungguh-sungguh, nasehat atau petunjuk dari seorang suami atau istri
ataupun orang lain yang mengandung kebaikan hendaknya jangan dilanggar tetapi
dilaksanakan. (Informan: L. Wiranom, 75 Tahun).
3) Kunyit
Kunyit dalam bahasa Indonesia adalah kunyit yang bentuknya agak panjang dan warnanya kuning. Kunyit
merupakan simbol dari nilai psikologis dalam menjalin rumah tangga karena,
tanpa ada daya tarik atau ketertarikan
antara laki-laki dan perempuan dalam hati masing-masing tidak mungkin
akan menjalin hubungan rumah tangga. Daya tarik atau ketertarikan psikologis
yang dimaksud adalah kecantikan, ketampanan, tingkah laku, tata cara, dan budi
pekerti.
Maksudnya menyinari hati kedua
mempelai agar tetap menjalin cinta kasih untuk sehidup semati. Ikrar sehidup
semati sebagai lambang perasaan cinta kasih agar tetap saling menyayangi,
saling ingat dan tetap sayang dikala jauh, perasaan rasa sayang dan cinta kasih
kedua mempalai tidak bisa dipisahkan oleh apapun. Jalinan cinta kasih yang
telah dijalin dan diyakini harus dipertahankan dengan segala upaya untuk meraih
cita-cita hidup bersama untuk membangun
rumah tangga yang bahagia. (Informan: L. Wiranom, 75 Tahun).
4) Nyiur
Nyiur dalam bahasa Indonesi nyiur itu adalah kelapa, Kelapa itu
minyaknya tidak sekeras minyak lekong. Kelapa merupakan simbol dari nilai
religius dalam menjalani rumah tangga karena, dalam acara akad nikah yang
khususnya dalam khotbah nikah sering disampaikan oleh tuan guru dan para ustaz
adalah berbakti kepada suami, dalam ajaran Islam hukumnya wajib bagi seorang
istri berbakti kepada suami karena, dengan kebaktian seorang istri kepada suami
memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kedua belah pihak untuk menuju
rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warohmah.
Kelapa maksudnya agar kedua
mempelai punya hati yang lemah lembut agar rasa kasih sayang selalu ada selama
menjalani rumah tangga, saling menghormati, menghargai, sopan dan santun dan
berbakti kepada suami ataupun. Karena
rasa saling menghormati, menghargai, sopan dan santun memiliki nilai yang
berarti untuk menuju rumah tangga yang sakiynah, mawaddah dan warohmah. Jalinan
rumah tangga yang dijalani dengan jalinan kasih dan sayang harus dipertahankan
dengan cara saling menghormati dan saling menghargai dan kesopanan suami
ataupun istri. Dan kalau ada masalah supaya salah satu diantara mereka ada yang
mengalah agar tidak terjadi pertikaian berkelanjutan
di antara mereka karena mengalah untuk kebaikan itu adalah hal yang terbaik dalam
hidup (Informan: L.Wiranom, 75 Tahun).
C. Pengaruh
Makna Simbolik Mantra dan benda yang digunakan dalam Prosesi Adat Perkawinan bagi
Masyarakat Suku Sasak di Pringgabaya.
Dalam hal perkawinan suku Sasak di
Pringgabaya makna simbolik mantra dan benda yang digunakan memiliki pengaruh
yang cukup besar dalam masyarakatnya maupun desa lain. Di tengah-tengah
perkembangan zaman modern saat sekarang ini budaya suku Sasak tentang makna
simbolik mantra dan benda yang digunakan masih di pertahankan khususnya
masyarakat desa Pringgabaya walaupun mengalami sedikit pergesaran atau
perubahan pada beberapa aspek lainnya. Makna simbolik mantra dan benda yang
digunakan dalam prosesi adat perkawinan ini tidak pernah terlepas dalam ajaran
Islam karena komunitas masyarakatnya sebagian besar agama Islam, budaya ini
merupakan salah satu peninggalan nenek moyangnya sejak zaman dahulu dan tetap
di lakukan setiap acara prosesi perkawinan di desa Pringgabaya tersebut. Karena
diyakini prosesi perkawinan seperti ini memberikan pengaruh bagi kehidupan
kedua belah pihak mempelai maupun bagi masyarakat setempat. Salah satu pengaruh
makna simbolik (tuturan) dalam prosesi adat perkawinan yang Peneliti temukan
pada masyarakat Pringgabaya adalah sebagai berikut:
a.
Kebudayaan masyarakat yang kuat karena makna simbolik
berkaitan dengan ajaran keagamaan dalam hal makna simbolik lisan dan makna
simbolik benda.
b.
Dapat meningkatkan kelanggengan kehidupan berumah tangga
baik bagi kedua mempelai maupun bagi kedua pihak keluarga kedua mempelai,
sehingga meminimalkan tingkat perceraian dalam berumah tangga, karena prosesi
adat pernikahan yang dilakukan membutuhkan suatu waktu dan biaya yang tidak
sedikit serta perhargaan terhadap prosesi adat perkawinan tersebut, karena
dalam prosesinya terdapat makna simbolik yang sakral.
c.
Mempengaruhi semangat gotong royong dan saling membantu
antar masyarakat karena dalam prosesi adat pernikahan membutuhkan
keitkutsertaan masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama.
d.
Dalam perkembangannya makna simbolik dalam prosesi adat
pernikahan mengalami sedikit perubahan baik berupa penambahan maupun
pengurangan dikarenakan beberapa faktor yakni: adanya sebagian masyarakat
melakukan prosesi pernikahan lebih condong pada tata cara yang diajarkan agama,
hanya prosesi syarat dan rukun nikah tanpa melalui prosesi adat, karena prosesi
adat pernikahan membutuhkan biaya yang lebih besar. Hal ini banyak ditemukan
pada masyarakat yang ekonomi menengah ke bawah.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil hasil pembahasan di atas
maka Penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa:
Prosesi
perkawinan yang dilakukan di desa Pringgabaya adalah bersejati, berselabar,
sorong serah, akad nikah, mandi penganten dan nyongkolan merupakan rangkaian
upacara adat perkawinan di desa Pringgabaya.Makna simbolik mantra dan benda
yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan di Pringgabaya, terdiri dari makna
simbolik lisan dan makna simbolik benda. Makna simbolik lisan di antaranya :
mantra untuk pengantin laki- laki dan mantra untuk pengantin perempuan dengan
makna dan tujuan untuk kelanggengan pasangan suami istri. Sedangkan makna
simbolik benda yaitu: bokor, lekong, kunyit dan nyiur yang masing-masing memiliki
makna tersendiri yang berkaitan dengan propsesi adat perkawinan di desa
Pringgabaya..
Semua
simbol-simbol tuturan dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak di Pringgabaya
tersebut memiliki makna yang sangat luas bagi yang menjalani maupun kelurga serta kerabat lainnya. Pengaruh makna
simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan bagi
masyarakat suku Sasak di Pringgabaya dapat meningkatkan kelanggengan kehidupan
berumah tangga baik bagi kedua mempelai maupun bagi kedua pihak keluarga kedua
mempelai, dalam perkembangannya makna simbolik dalam prosesi adat perkawinan
mengalami sedikit perubahan baik berupa penambahan maupun pengurangan
dikarenakan faktor tertentu.
5.2 Saran-Saran
Demikian banyak budaya daerah yang
perlu mendapat perhatian untuk dikaji lebih dalam yang memiliki makna sangat
luhur. Salah satunya adalah Makna simbolik mantra dan benda yang digunakan
dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak di Pringgabaya. Penulis mengkaji tema
tersebut karena merasa terpanggil untuk menggali nilai dan makna simbolik
budaya-budaya yang memerlukan perhatian dan pelestarian oleh kita semua. Atas
dasar hal tersebut, Penulis mengharap agar analisis ini dapat ditindaklanjuti
untuk lebih berkualitas sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam
pemeliharaan budaya dan sastra lainnya. Secara lebih khusus harapan sebagai
saran ini, Penulis tujukan kepada:
1.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi NTB pada
umumnya dan secara lebih khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Lombok
Timur bersama jajaranya agar memberikan
perhatiannya untuk pengalian budaya dan sastra lama serta menjaga
perkembangannya sehingga dapat dinikmati oleh anak cucu keturunan Sasak.
2.
Lembaga
pendidikan STKIP sebagai lembaga ilmiah pencetak sumber daya manusia agar memberikan
jati dirinya sebagai lembaga tinggi yang berkembang pada komunitas masyarakat Sasak
untuk memberikan kotribusinya terhadap perkembangan budaya dan sastra Lokal
demi kelestarian budaya Sasak.
3.
Saudara mahasiwa-mahasiswi yang konsen terhadap
perkembangan budaya dan sastra Sasak dapat memberikan kecintaanya terhadap
perkembangannya sehingga dapat menjadi motivasi internal untuk mempelajari,
mengkaji, meneliti budaya-budaya yang
terpendam.
4.
Bagi segenap pembaca, Penulis berharap dapat memberikan
dorongan untuk pertumbuhan dan perkembangan,
serta pemeliharaan budaya dan sastra Sasak dengan bersedia mengumpulkan,
mengoleksi, berbagai bentuk budaya dan sastra yang masih berkembang yang
memiliki nilai-nilai luhur untuk dikembangkan..
DAFTAR PUSTAKA
-
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Balai
Pustaka.
-
Chaer Abdul. 2003. Linguistik
Umum. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
-
. 2007. Kajian Bahasa (Struktur Internal Pemakaian Dan Pembelajaran).
Jakarta: Rineka
Cipta.
-
Depdiknas. 2005.
Kamus besar bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.
-
Djajasudarman Fatimah T. 1999. Semantik Pengantar Kearah Ilmu Makna.
Bandung: Refika
Aditama.
-
2008. Semantik
Pengantar Kearah Ilmu Makna. Bandung:
Refika Aditama.
-
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
-
Ratna Khuta Nyoma. 2005. Sastra Dan Curtular Studies. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
-
Shaleh. L. 2009. Ilmu
Tauhid Lengkap. Pondok Pesanteren Al. Aziziah. Mataram.
-
Sirojudin. 1993. Persepsi
Masyarakat Lombok Timur Terhadap Folklor Lisan
Lelakak Dan Relevansinya Dengan Tujuan Pendidikan (Skripsi)
-
Sudirman. 2007. Diktat
Semantik.STKIP Hamzanwadi Selong.
-
Sumarsono. 2004. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
-
2009.
Semantik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar