Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 20 Maret 2014

MAKNA SIMBOLIK MANTRA DAN PERANGKAT BENDA YANG DIGUNAKAN DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK


SKRIPSI

MAKNA SIMBOLIK MANTRA DAN PERANGKAT BENDA YANG DIGUNAKAN DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK DI PRINGGABAYA


















Skripsi ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan
dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) HAMZANWADI SELONG
2011






LEMBAR PERSETUJUAN

MAKNA SIMBOLIK MANTRA DAN PERANGKAT BENDA YANG DIGUNAKAN DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK DI PRINGGABAYA

AGUS SUPRIYONO
NPM: 05451089

Skripsi ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan
 dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
program Studi Pendididkan Bahasa dan Sasatra Indonesia


Menyetujui,



Pembimbing I



Dra. FITRIYAH HASI, M. Pd.
NIS. 330 311 1011
Pembimbing II



M. IRFAN, M. Pd.
NIS. 330 311 1113


Mengetahui,
Ketua Program Studi PBSI



 PADLURRAHMAN, S. Pd. M. Pd.
                                                NIS. 330 311 185

LEMBAR PENGESAHAN

MAKNA SIMBOLIK MANTRA DAN PERANGKAT BENDA YANG DIGUNAKAN DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN SUKU SASAK DI PRINGGABAYA

AGUS SUPRIYONO
NPM: 05451089

Skripsi ini telah diuji oleh Dewan Penguji pada: Hari……Tanggal…..Bulan…. Tahun 2010
           



Dewan Penguji


1.         Dra. Fitriyah Hasiy, M.Pd.                           ( ………………………. )
            (Ketua Penguji)


2.         Muh. Irfan, M.Pd.                                         ( ……….….…..………. )
            (Anggota)


3.         Drs. L. Mas’ud, M.Pd.                                  ( …………..…..………. )
            (Anggota)




Mengetahui dan Mengesahkan
Ketua STKIP Hamzanwadi Selong



Drs. H. MUH. SURUJI
NIS. 3303021012









MOTTO


Engkau merupakan pralambang dirimu dan menara yang kau dirikan tak lain dan tak hanya adalah sosok kebesaran pribadimu
(Khalil Gibran)

Kebenaran sejati bukan terletak dalam untaian kalimat-kalimat panjang tetapi bagaimana kebenaran itu dicari dan diperjuangkan.
(Sirot Elvax’s)
























PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan kepada ke dua orang tuaku tercinta yang telah banyak berkorban dan berjuang selama studi ku dan sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini, sebagai tanda baktiku, Saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat dalam menyusun skripsi ini sebagai tanda cinta dan kasihku.
Serta para rekan-rekan seidealis,seperjuangan (Ary Kurnia Ningsih, Milsa Yunita Rizka, Arni yuningsih, Ozzy, Dalox, Sulman, Bidon, Zhean, Livi, Ucil dan lain-lain) yang telah banyak memberikan dukungan dan motivasi dalam hidupku. Dan untuk almamater tercinta SKIP Hamzanwadi Selong














KATA PENGANTAR


Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya serta taufiq dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan dari Lembaga STKIP Hamzanwadi Selong.
Skripsi ini dijadikan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan studi Strata Satu (S1). Pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia.
Dalam penulisan skripsi atau karya ilmiah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, maka melalui kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Bapak Drs.H. Muh. Suruji selaku Ketua STKIP Hamzanwadi Selong,
2.      Bapak Padlurrahman, S. Pd., M. Pd. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Hamzanwadi Selong
3.      Ibu Dra. Fitriyah Hasiy, M. Pd selaku pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga skirpsi ini dapat diselasaikan.
4.      Bapak M. Irfan, M. Pd. selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga skirpsi ini dapat diselasaikan.
5.      Kepala Desa pringgabaya bersama stafnya, atas izin serta partisipasinya, peneliti dapat melaksanakan penelitian disekolah yang dibina sehingga apa yang penulis harapkan dapat tercapai sesuai dengan harapan.
6.      Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan motivasi, semangat untuk menyelesaikan tugas penelitian skripsi ini.
7.      Semua pihak yang ikut mengambil andil dalam membantu penulisan yang tak dapat disebutkan satu persatu.
Peneliti menyadari sepenuhnya, Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu Penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif dari pembaca. Akhirnya semoga skripsi  ini dapat berguna bagi kita semua, terutama bagi diri pribadi penulis.



Selong, April 2010
Penulis,



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL …………………………………………………………       i
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………………    ii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………..   iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN ……………………………………………     iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………      v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….     vi
BAB.  I        PENDAHULUAN………………………………………………     1
1.1  Latar Belakang  …………………………………………….        1
1.2  Identifikasi Masalah…………………………………….…         4
1.3  Batasan Masalah   …………………………………………..        4
1.4  Rumusan Masalah …………………………………………        5
1.5  Tujuan Penelitian   …………………………………………        5
                     1.6  Manfaat Penelitian…………………………………………..      5
a.    Manfaat Teoritis………………….……………………     5
b.    Manfaat Praktis………..…………………..…………….  6
BAB.  II              LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Tentang Makna Bahasa………………….…………….  7
2.2 Tanda dan Lambang ……….……………..……………………   9
                     2.3 Konsep Tindak Tutur ………..……………………………..      10
2.4 Tuturan ………….……………………...…………………...     12
2.5 Mantra……………… ………….……………………………     14
     2.6 Budaya …………………………..…………………………..    15
     2.7 Latar belakang Desa Padamara Kecamatan Pringgaba 1…….…17
     2.8 Hasil Penelitian yang Relevan…………………………………20
BAB.  III     METODE PENELITIAN
                     3.1  Objek Penelitian    …………………………………………      21
                     3.2  Data da Sumber Data ……………………………………….    21
                     3.3  Lokasi Penelitian  ………………………………………….      21
                     3.4 Metode Pengumpulan Data ……………………….…………   22
                     3.5 Metode Analisis Data……………………………….………..   23
BAB.  IV     PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
      4.1 Gambaran Umum Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya………….25
A.   Sejarah singkat desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya………   25
B.     Letak geografis desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya……….. 27
C.     Kondisi Demografis desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya……28
D.    Penduduk dan pekerjaan masyarakat desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya…………………………………………………………..29
E.     Fasilitas social di desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya……….29
4.2 Deskripsi hasil penelitian………………………………………………...30
4.2.1 Prosesi Adat Perkawinan suku Sasak di Pringgabaya………………….30
4.2.2 Makna Simbolik Tuturan (Mantra) Dalam Prosesi adat Perkawinan Suku Sasak di Pringgabaya……………………………………………………36
4.2.3 Pengaruh Makna Simbolik Tuturan (Mantra) Dalam Prosesi Adat Perkawinan Suku Sasak di Pringgabaya…………………………………42
BAB V PENUTUP..……………………………………………………………..45
5.1 Kesimpulan………………………………………………………………45
5.2 Saran-Saran………………………….………………………...…………46
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN











BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang Masalah
            Budaya berdasarkan pada perasaan, kepercayaan dan proses berpikir anggota masyarakat. Karena itu budaya perlu mendapatkan perhatian dan pelestarian sehingga dapat dinikmati dan dipahami oleh generasi selanjutnya. Salah satu jalan untuk melestarikan dan memahami budaya tersebut adalah melalui analisis atau Penelitian–Penelitian mengenai budaya itu sendiri. Menurut E. B. Tylor Kebudayaan adalah: Keseluruhan aktifitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain (Ratna: 2005: 5). Dalam menganalisis budaya, seorang Peneliti selayaknya memiliki   pengetahuan dasar tentang budaya itu sendiri, yang salah satunya berupa pemahaman tentang cara hidup masyarakat dan selanjutnya dapat mendeskripsikannya kembali baik secara lisan maupun tertulis. Salah satu bentuk pendeskripsian budaya yang dapat dijumpai saat ini yaitu karya sastra.
            Sebagai salah satu produk budaya, seni memiliki berbagai bentuk pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan masyarakat yang tumbuh dan bekembang dari waktu ke waktu. Salah satu bentuk pengungkapan seni sebagai produk budaya adalah folklor yaitu yang berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja dalam Sirajudin. 1993: 2). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang  tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda.
            Makna simbolik tuturan sebagai salah satu karya sastra menawarkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Namun hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur-unsur nilai religius dan memang segala sesuatu itu berdasarkan kepada suatu yang religius (Wellk dan warren dalam Darmawan. 2006: 2). Hal itu disebabkan karena pada dasarnya setiap orang yang mampu menghayati tanda dan lambang sebagai sarana untuk perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, Perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
            Masyarakat Sasak adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat, adat istiadat yang kental sekali dan alami pada masyarakat Sasak antara lain prosesi adat istiadat perkawinan dalam masyarakat suku Sasak, kegiatan pelaksanaan adat selalu melebur dengan tuturan atau mantra. Tuturan atau Mantra dalam masyarakat adalah sebuah tuturan kata-kata yang mempunyai ruh, kata-kata yang berjiwa yang mengandung petuah dan hanya jiwa yang hidup yang dapat memberikan rasa atau reaksi sesuai dengan makna apa yang terdapat dibalik makna kata-kata dalam sebuah tuturan atau mantra.  Dengan melestarikan adat budaya, kita akan menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang memiliki daya diri. Kita adalah bagian dari bangsa dan sebagai mahluk sosial mestinya kita ingin menujukkan identitas diri suku Sasak. Makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak, ditinjau dari fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan.
            Dilihat dari lahiriahnya makna dari sebuah tuturan atau mantra itu terdiri dari kata-kata yang bertuah dan kata-kata yang tersusun rapi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat penggunanya serta dapat memberikan penjelasan tentang apa yang sebenarnya dan bagaimana makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak dan hubungannya dengan sesama manusia dan hubungannya dengan sang pencipta.
            Mengingat betapa pesatnya dinamika penomena alam lingkungan yang tidak bersahabat lagi, kalau ditinjau dari asas budaya, maka sepantasnyalah kita mengungkapkan apa yang ada di pangkuan Sasak Lombok ini, salah satunya yaitu makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak. Apakah arti sebuah acara adat kalau dilihat secara lahiriahnya, namun acara adat ini penuh dengan lambang dan penanda dalam makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat Sasak di Pringgabaya. Menurut keterangan Informan adalah sejak adanya penghuni di pulau Lombok ini, pada waktu itu belum ada agama Islam.
            Berdasarkan dari latar belakang di atas dan untuk menanamkan kecintaan masyarakat terhadap makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat Sasak agar dapat mengerti, memahami, dan mengamalkan ajara-ajaran yang terkandung di dalamnya, Penulis merasa tertarik untuk mengadakan Penelitian tentang: “Makna Simbolik Mantra Dan Benda Yang Digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat  Suku Sasak Di Desa Pringgabaya“.
1.2     Identifikasi Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang akan dibahas adalah
1.      Mengidentifikasi makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak di Pringgabaya. 
2.      Mengidentifikasi pengaruh makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan bagi masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
1.3     Batasan Masalah
            Sesuai dengan latar belakang penelitian, maka Peneliti memberikan batasan masalah yang akan diteliti. Dan adapun batasan masalah yang akan diteliti
1.      Fungsi makna simbolik tuturan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
2.      Pengaruh makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan bagi masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
1.4     Rumusan Masalah
            Mengacu kepada latarbelakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam Penelitian ini sebagai berikut:
1.      Bagaimakah Makna Simbolik Mantra dan benda yang digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat Suku Sasak di Pringgabaya?
2.      Adakah pengaruh makna simbolik mantra dan benda yang digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Bagi Masyarakat suku Sasak di Pringgabaya?
1.5     Tujuan Penilitan
            Setiap Penelitian tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1.      Mendeskripsikan Makna Simbolik Mantra dan benda yang digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat Suku Sasak di Pringgabaya.
2.      Mendeskripsikan Pengaruh Makna Simbolik Mantra dan benda yang digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Suku Sasak.
1.6     Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
            Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk:
1.      Menambah hasanah dari budaya Sasak, khususnya dalam Makna Simbolik Mantra dan benda yang digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat suku Sasak.
2.      Memberikan peluang bagi Peneliti budaya Sasak berikutnya untuk meneliti budaya daerah Sasak yang belum diangkat dalam Penelitian ini dengan kajian yang lebih luas dan mendalam.
2.      Manfaat Praktis
1.      Sebagai usaha pelestarian dan pengimventarisasi budaya daerah khususnya Makna Simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak.
2.      Untuk pendidikan tentang ragam budaya Sasak
3.      Membantu masyarakat dalam menentukan aspek fungsi makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat pekawinan masyarakat suku Sasak.
4.      Sebagai perwujudan peran aktif dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Sasak khususnya makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Sasak.
















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1     Konsep Tentang Makna Bahasa
            Makna adalah hubungan antara bentuk bahasa dengan objek atau sesuatu (hal) yang diacunya (Finoza, 2008: 109). Lebih jelas Aristoteles, seorang pemikir Yunani, yang hidup pada abad ke-3 sebelum Masehi adalah  pemikir pertama yang menggunakan istilah makna, beliau mengatakan bahwa kata sebagai satuan terkecil yang mengandung makna, Aristoteles juga mengungkapkan bahwa kata itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu kata yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom dan makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ulliman 1973: 30). (Plato, 347-429 SM). Dalam bukunya Crathylus, mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu (dalam Sudirman, 2007: 2).  Dalam batasan yang lain Ferdinand de sausure ( 1996 ) memberikan teori tentang tanda / makna Yakni signifie ( Inggris signified ) yang diartikan dan significant (Inggris;singnifier) yang mengartikan. Tanda linguistik itu adalah lambang bahasa seperti kata sedangkan yang diartikan / signifie itu adalah makna (dalam Sudirman, 2007: 2).                       
Sejalan dengan itu Criptoper Reising (1835) Filosof berkebangsaan Jerman mengungkapkan konsep baru tentang makna yang diberi nama Gramar, menurut beliau makna dapat di bagi kedalam tiga katagori yaitu Semasiologi :ilmu tentang tanda, Sintaksis : ilmu tentang kalimat dan Etimologi : ilmu tentang asal-usul kata serta hubungannya dengan perubahan bentuk maupun perubahan makna. (dalam Sudirman, 2007: 2)
            Pengertian makna (sense-bahasa inggris) di bedakan dari arti (meaning-bahasa ingris) itu sendiri (terutama kata-kata). Sejalan dengan itu, Lyons 1977  menyebutkankan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata adalah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain (dalam Fatimah1999,5).
            Dari kajian makna bahasa menurut para ahli di atas berkaitan juga dengan pendapat (Wallaco and C. Haafe, 1973) mengungkapkan bahwa befikir dengan bahasa, sebenarnya sekaligus melibatkan makna (Fatimah, 1999: 5).
2.2 Tanda dan lambang
            Pada abad ke-18 teori tentang tanda dikembangkan oleh Perre yang menegaskan dengan munculnya buku Themeaning of meaning karangan Ogden dan Richard pada tahun 1923. Dalam perkembangannya teori tanda kemudian dikenal dengan semiotik, yang di bagi dalam 3 cabang yaitu : simantik, sintaktik, dan pragmatik Simantik yang berhubungan dengan tanda-tanda, sintaktik berhubungan dengan gabungan tanda-tanda (susunan tanda-tanda) sedangkan pragmatik berhubungan dengan asal usul pemakaian dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam tingkah laku berbahasa (dalam Sumarsono, 2009: 17).
            Sejak gerakan romantik, pikiran dan seni eropa sangat tertarik kepada lambang-lambang dan kadang-kadang tergoda oleh lambang itu. Sebagaimana dikatakan secara singkat oleh Emerson ”kita adalah lambang dan menghuni lambang”. Imajinasi Penyair penuh dengan lambang-lambang yang bermakna metafisika (Sumarsono, 2009: 16). Lambang dan simbol memiliki hubungan tidak langsung dengan kenyataan. Tanda dalam bentuk huruf-huruf  disebut lambang atau simbol. Perbedaan tanda dan simbol terletak pada hubungannya dengan kenyataan, tanda menyatakan hubungan langsung dengan kenyataan sedangkan simbolik tidak.
            Lambang menurut Plato adalah kata didalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah obyek yang kita hayati didunia berupa rujukan yang ditunjuk oleh lambang tersebut. Hubungan lambang dengan bahasa dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang terdiri atas tanda dan lambang (simbol-simbol) ini memiliki bentuk dan makna (berisi dua) atau dikatakan expression and contens  atau signifier dan signified. Dalam kamus besar bahasa Indonesia simbol adalah lambang sedangkan simbolik adalah sebagai lambang menjadi lambang mengenai lambang (dalam Depdiknas, 2005: 1066).
2.2         Konsep Tindak Tutur.
            Konsep adalah penyebaran teori. Teori tindak tutur lebih dijabarkan oleh para lingusitik diantaranya Searle (dalam Wijana, 1996: 17). Menyatakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur dalam melakukan tindak tutur yakni tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi (Setiawan, 2005: 17).
1.       Tindak Lokusi
               Wijana (dalam Setiawan, 2005: 18-19) menyatakan bahwa tindak lokusi adalah tindak tutur untuk meyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut The Act of Saying Something. Konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri atas dua unsur, yakni subjek atau topik dan predikat atau comment yang relative paling mudah untuk diidentfikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tertuturnya tercakup dalam situasi tutur.
Sehubungan dengan tindak lokusi, Leech memberikan rumus tindak lokusi. Bahwa tindak tutur lokusi berarti penutur menuturkan kepada mitra tutur bahwa kata-kata yang diucapkan dengan suatu makna dan acuan tertentu (dalam Setiawan, 2005: 19). Dari batasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak lokusi hanya berupa tindakan menyatakan sesuatu dalam arti yang sebenarnya tanpa disertai unsur nilai dan efek terhadap mitra tuturanya.
2.       Tindak Ilokusi
Lubis memberikan definisi lebih rinci dengan beberapa batasan mengenai tindak ilokusi yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan, permintaan maaf dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan (dalam Setiawan, 2005: 22).
Subyakto-Nababan menambahkan bahwa tindak ilokusi adalah tindak bahasa yang diidentifikasikan dengan kalimat pelaku yang eksplisif. Tindak ilokusi merupakan tekanan atau kekuatan kehendak orang lain yang terungkap dengan kata-kata kerja  menyuruh, memaksa, mendikte kepada dan sebagainya (dalam Setiawan, 2005: 22).
3.       Tindak Perlokusi
Menurut Wijana (dalam Setiawan, 2005: 25) tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengaturannya dimaksud untuk mempengaruhi lawan tutur. Subyakto-Nababan memberian definisi mengenai tindak perlokusi, yaitu tindak bahasa yang dilkakukan sebagai akibat atau efek dari suatu ucapan orang lain (dalam Setiawan, 2005: 25).
Tindak lokusi dan ilokusi juga dapat masuk dalam kategori tindak perlokusi bila memiliki daya ilokusi yang kuat yaitu mampu menimbulkan efek tertentu bagi mitra tutur.
2.4     Tuturan
            Bahasa dalam keadaannya yang abstrak (karena berada didalam benak) tidak bisa langsung dicapai oleh pengamat tanpa melalui medium buatan seperti kamus dan buku tata bahasa. Bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindak atau tingkah tuturan individual (individual act of speech) wujudnya adalah bahasa lisan.
            L. boomfield dalam bukunya language (1993). Bahasa merupakan alur teori behafiorisme, sebagai suatu rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon) (Sumarsono, 2009: 13). Sebagaimana yang dikatakan oleh Malinowski, dalam beberapa hal kita memakai tutur untuk membentuk tindakan, bahkan dalam pengertian yang ekstrim, sering dikatakan, tutur sendiri adalah tindakan (Sumarsono, 2004: 322). Tindak tutur adalah sepenggal tutur yang dihasilkan sebagai bagian dari interaksi sosial. Menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadian karena kebanyakan ujaran yang merupakan tindak tutur, yang mempunyai daya-daya.  
            Menurut Hymes dalam (Sumarsono, 2004: 325) ada beberapa komponen tutur yang dapat dijelaskan, diantaranya :
1.      Bentuk Pesan (Masage Form)
       Bentuk pesan merupakan hal yang mendasar dan salah satu pusat tindak tutur disamping isi pesan.
2.      Isi Pesan (Message Kontent)
       Bentuk pesan dan isi pesan merupakan pusat tindak tutur dan focus bagi “struktur sintaksis”nya, keduanya juga saling bergantung. Isi pesan berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik, dan perubahan topik.
3.      Latar (Setting)
       Latar mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur, dan biasanya mengacu kepada keadaan fisik.
4.      Suasana (Scence)
       Berbeda dengan latar, suasana mengacu kepada “latar psikologis”, atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana tertentu
            Tutur dalam suatu komunikasi memiliki kaidah-kaidah tertentu, dan menentukan kaidah tersebut adalah tutur, kita dapat melihat dibalik tutur ada nilai-nilai sosial budaya. Artinya dengan melihat tutur seseorang atau sekelompok orang kita dapat menentukan setidak-tidaknya dapat menerka apa yang dituturkan. Menurut Gumperz (1982) pakar etnografi dan komunikasi menjelaskan bahwa harus menyadari sepenuhnya, banyak penggunaan bahasa sebagaimana halnya tata bahasa adalah “Rule Governed” mengandung kaidah (Sumarsono, 2004: 337).
2.5    Mantra
            Mantra yang dalam istilah bahasa Sasak sering juga disebut bahasa  beciq adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan gaya gaib (misalnya manusia dapat menyembuhkan atau mendatangkan celaka). Mantra adalah susunan gaib, biasanya di ucapkan olehdukun atau pawang untuk mendaningi kekuatan gaib, hal ini senada dengan pendapat yang menyatakan bahwa: mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmah dan kekuatan gaib. Kata-kata ini biasanya diucapkan oleh orang-orang tertentu seperti dukun atau pawang (dalam Darmawan, 2006: 9).
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mantra berarti perkataan atau kalimat yang dapat mendatangkan daya gaib. Tidak semua orang boleh mengucapkan mantra, karena kesalahan dalam mengucapkan menurut kepercayaan para dukun dapat mendatangkan bahaya. Jika dilihat dari cara membacanya oleh para dukun jelas bahwa mantra adalah suatu bentuk bahasa yang istimewa yang biasa dipakai berkomunikasi dengan alam gaib dan dalam hal ini ada hubungan dialog dengan hal yang tidak konkrit, karena itu, dalam mantra terdapat tuturan, tetapi tuturan itu tuturan sepihak.
            Mantra sebagai salah satu sastra daerah Sasak yang merupakan unsur kebudayaan digunakan untuk mengungkapkan pikiran perasaan manusia, mantra merupakan salah satu sastra lisan erat kaitannya dengan tradisi masyarakatnya, dalam sastra lisan yang penting ialah isi karya sastra, tujuannya, serta yang tersirat dalam sastra itu yang berkaitan dengan masyarakat, sementara Finengan menjelaskan hal yang penting dalam mendeskripsikan tujuan dan fungsi karya sastra lisan ialah hubunga dengan kepercayaan, agama, pengalaman dan lambang-lambang khusus yang bersifat lokal (dalam Darmawan, 2006: 11).
            Di atas telah dijelaskan bahwa mantra merupakan kata-kata yang memiliki kekuatan gaib, yang dibacakan bukan sembarang orang, maka dengan demikian dapat kita pastikan bahwa mantra itu memiliki variasi dan fungsi tertentu. Secara umum mantra dapat digolongkan menjadi dua yaitu untuk mendatangkan kesenengan, kecintaan dan menghindari bahaya, sehingga fungsinyapun bisa menjadi dua yaitu untuk mendatangkan kebahagiaan, keselamatan dan penolak bahaya dan lain-lain.
            Dalam Penelitian ini akan dipaparkan secara umum bahwa kedua jenis mantra yang akan dianalisis memiliki fungsi sebagai berikut
a.    Mantra “senggeger” berfungsi untuk menimbulkan rasa kasih sayang atau suka kepada sesuatu yang diinginkan dan untuk mendapatkan kharisma secara umum dari semua kalangan masyarakat.
b.    Mantra penangkal atau tolak bala berfungsi agar terhindar dari perbuatan manusia yang dapat membahayakan keselamatan diri.
2.6 Budaya
            Kebudayaan adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis dan indah, sehingga dapat dinikmati dengan panca indera (yaitu penglihat, penghidup, pengecap, perasa dan pendengar) (Koentjraningrat, 1977: 19). Menurut pakar antropologi menjelaskan bahwa Kebudayaan itu keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik sendiri manusia dengan belajar (Koetjraningrat, 1990: 180). Menurut Tylor, seorang ahli Antropologi mendefinisikan, budaya sebagai pengetahuan kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan dan lain-lain, kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Mulyadi, 1999: 20).  Jadi budaya merupakan jerih payah (hasil Karya) manusia dalam berinteraksi, baik dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan, hal ini bisa kita temukan pengaruh lingkungan terhadap budaya sangat besar sehingga orang yang berlatar belakang akan memiliki budaya yang berbeda dengan yang berlatar belakang perkotaan atau pertanian.
            Pendapat yang senada dengan uraian di atas menjelaskan bahwa  adanya unsur-unsur budaya berupa perilaku yang nyata di satu pihak dan di lain pihak adanya unsur-unsur budaya berupa nilai-nilai, kepercayaan, norma dan perilaku manusia. (Mulyadi,1999: 20). Setiap kebudayaan terwujud dan berkembang dalam kondisi tertentu. Hal tersebut juga terlihat dalam beberapa pendapat seperti yang dikemukakan taylor bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang secara material, meyangkut aspek-aspek ekonomi, politik, sosial dan pandangan hidup atau meliputi unsu-unsur universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian, dan seluruh unsur itu disebut kebudayaan  (dalam Soerjanto, 1993: 64).
            Dari pandangan tersebut, kebudayaan adalah ciptaan manusia dan syarat bagi kehidupn manusia. Manusia menciptakan kebudayaan dan kebudayaan menjadikan  manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Terlepas dari itu, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam tatanan masyarakat lombok khususnya masyarakat Sasak, budaya Sasak mempunyai tempat tersendiri dalam masyarakat, dan tradisi yang masih tetap dipelihara oleh masyarakat Sasak khususnya oleh para bangsawan.
            Pengenalan kebudayaan sama artinya dengan pengenalan bahasa, pengajaran bahasa merupakan mengajaran budaya, pengajaran budaya adalah manusia tentang manusia. Kemampuan manusia dalam membangun budaya menciptakan pemahaman tentang realita yang diungkapkan secara simbolik dan mewariskan kepada generasi selanjutnya dan sangat tergantung pada bahasa. Bahasa adalah inti hakikat kemanusiaan, tapi bahasa manusia sangat kompleks sehingga pemahaman ilmiah tentang kesanggupan berbahasa baru bersifat sebagian dan sementara. Bahasa tanpa budaya tidak bisa berjalan begitu juga sebaliknya tanpa bahasa, budaya tidak akan ada artinya (Gunawan, 1981: 53).
2.7 Hasil Penelitian yang Relevan
            Dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa hasil Penelitian yang mempunyai relevansi dengan Penelitian ini. Saharuddin (2004) dalam Penelitian berjudul “Betotok Suatu Tinjauan Kultur Etnografi. Berdasarkan hasil Penelitian dapat disimpulkan bahwa Betotok dilaksanakan oleh masyarakat Sasak di desa Sukarara karena diyakini dapat memberikan makna yang positif bagi pengantin dan keturunannya.
            Munawar (2007) dalam Penelitian berjudul “Sistem Adat Perkawinan Sasak Antara Jamaah Nahdlatul Wathan (NW) dan Jamaah As-Sunnah di desa Kalijaga. Kesimpulan dari Penelitian ini adalah Adanya perbedaan pandangan antara jamah Nahdlathul Wathan dan as-sunnah yang menyebabkan tidak begitu berlakunya adat perkawinan Sasak di desa Kalijaga Utara dimana kedua golongan Islam ini bertumpu pada “syariat” apa yang sesuai dengan syariat dan apa yang tidak sesuai dibuang atau tidak dipakai.
















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.       Objek Penelitian
          Yang menjadi objek atau kajian dalam Penelitian ini adalah Fungsi makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat Sasak di desa Pringgabaya.

3.2.      Data dan Sumber Data
            Yang dimaksud dengan sumber data dalam Penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2006: 129). Sesuai dengan pendekatan Penelitian yang digunakan maka sumber data yang diperlukan adalah sebagai  berikut :
a.       Person
Person yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan atau jawaban tertulis melalui angket. Sumber data dalam penelitian ini adalah orang yang dimintai keterangan atau diwawancarai tentang makna simbolik tuturan dalam prosesi adat perkawinan tersebut, lebih lanjut dikenal dengan istilah Informan. Informan dalam penelitian ini adalah orang yang tahu dan melaksanakan serta mempunyai pengalaman banyak tentang budaya Sasak, khususnya yang terkait dengan makna simbolik tuturan adat perkawinan yang meliputi para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan orang yang bertugas khusus sebagai pelaku dalam acara tersebut yang disebut mangku.
 Dalam penelitian ini yang menjadi personnya adalah Informan yang diambil oleh Peneliti dari masyarakat yang ada di desa Pringgabaya. Peneliti menentukan Imforman dengan menggunakan teknik purposive sampling yang artinya bahwa imforman ditentukan berdasarkan tujuan Penelitian itu sendiri, atau bisa dikatakan bahwa tehnik porpusive sampling merupakan tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, Sugiono (1999: 78) juga menjelaskan teknik penentuan sampel secara purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel yang didasarkan pada satu kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan Peneliti dapat sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (http://digilib.petra.ac.id).
b.      Paper
Paper yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa hurup, angka, gambar, atau simbol-simbol lain. Dan dalam Penelitian ini yang diangkat menjadi paper oleh Peneliti adalah makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak di desa Pringgabaya.
3.3.         Lokasi Penelitian
          Lokasi Penelitian di lakukan di Desa Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur. Adapun alasan untuk memilih lokasi ini karena di desa ini lokasi yang sangat kuat adat asli suku Sasak dilakukan setiap ada ritual.
3.4.      Metode Pengumpulan Data
1.      Metode Observasi
Sutrisno Hadi (1986) mengemukakan bahwa, obsevasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang penting adalah proses pengamatan dan ingatan (Sugiono, 2007: 45). Di dalam pengumpulan data dengan menggunakan metode obsevasi, Penulis secara langsung mengadakan pengamatan di saat proses acara ritual, adapun mengenai tempat dimana metode ini di lakukan, Penulis dapat mengemukakan sebagai berikut:
1.    Mengamati situasi dan kondisi masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
2.    Mengamati proses perkawinan dan situasi masyarakat suku Sasak di Pringgabaya.
2.      Metode Transkripsi
Kata transkripsi menurut Brataatmaja (1994: 301). Berarti alih tulis/penyalinan. Jadi metode transkripsi merupakan cara pengumpulan data dengan jalan penyalinan (alih tulis), dalam hal ini Penulis menyalin atau alih tulis mantra dan benda yang digunakan yang masih mengunakan bahasa Sasak dari hasil informasi yang di dapatkan kedalam bentuk bahasa Indonesia tulisan atau kalimat. Metode ini digunakan untuk menguraikan dan menganalisis dari data yang sudah ada agar dapat dipahami oleh pembaca dari hasil Penelitian ini.
3.       Metode Terjemahan
Metode Terjemahan, kata terjemahan berarti menyalin suatu bahasa ke bahasa yang lain (Hozin, 1994: 565). Jadi metode terjemahan merupakan metode pengumpulan data dengan menyalin bahasa ke bahasa yang lain. Metode ini dipergunakan untuk menyalin bahasa simbolik mantra dan benda yang digunakan yang masih menggunakan bahasa Sasak ke dalam bahasa Indonesia.
4.      Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan Penelitian dengan jalan tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview quide (panduan wawancara) (Nazir, 2005: 194). Jadi dari penutur aslinya Peneliti akan menggali apa yang ada dan mengamati acara ritual pada saat acara berlangsung. Peneliti akan mengkaji adakah pengaruh makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak di desa Padamara kecamatan Pringgabaya. Ini dilakukan dengan melakukan wawancara, mencatat semua penjelasan Informan, mencatat bahasa simbol yang digunakan dalam acara ini.
5.      Dokumentasi
Tehnik dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2006: 231). Tehnik ini digunakan Peneliti untuk mengumpulkan data yang diambil dari prosesi acara perkawinan masyarakat di Pringgabaya dan mendokumentasikan hasil wawancara secara langsung dengan Informan.

3.5.         Metode Analisis Data
          Untuk mendapat hasil Penelitian yang baik nilai dan fungsi makna simbolik tuturan dalam masyarakat Sasak Peneliti menggunakan metode deskriptif, metode ini dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata seperti sekarang ini. Tujuan utama dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat atau suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat Penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Traves, 1978:20). Selanjutnya dalam analisis ini ditempuh beberapa hal berikut :
          Identifikasi, dalam kamus lengkap bahasa Indonesia identifikasi berarti penetapan (Hazin, 1994: 132). Jadi identifikasi dalam Penelitian merupakan penetapan masalah yang akan diteliti yaitu yang berkaitan dengan fungsi makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan di atas.
          Klasifikasi berarti memasukkan atau menempatkan fakta-fakta ke dalam suatu hubungan logis berdasarkan suatu sistem (Akhadiah, 1994: 39). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa klasifikasi merupakan kegiatan menempatkan fakta sesuai dengan hubungan logis. Dalam penelitian ini klasifikasi dilakukan untuk menempatkan fungsi antara fakta yang ada dengan penjelasan yang akan dilakukan Peneliti.




BAB IV
PEMBAHASAN

4.1.      Gambaran Umum Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Adapun mengenai gambaran umum desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya, Penulis akan menguraikan satu persatu antara lain: 
a.       Sejarah singkat desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
b.      Letak geografis desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
c.       Letak demografis desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
d.      Penduduk dan pekerjaan masyarakat desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
e.       Fasilitas social di desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Maka untuk lebih jelasnya dirincikan sub pokok pembahasan sebagai berikut:
A.    Sejarah Singkat Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Pringgabaya dikenal sejak zaman penjajahan, khususnya ketika Lombok Timur dibebaskan dari pendudukan belanda dan jepang. Kata Pringgabaya berasal dari kata pringga yang artinya hutan yang sangat lebat sedangkan baya artinya bahaya jadi kata Pringgabaya artinya hutan yang berbahaya, karena kalau sudah malam tiba tidak ada orang yang berani lewat untuk menyeberang dari arah timur kearah barat dan yang dari arah barat tidak berani melewati arah ketimur lewat Pringgabaya ini, karena kalau ada orang yang lewat ketika matahari telah tenggelam selalu ada korban jiwa yang menimpa mereka yang lewat Pringgabaya itu karena dibunuh oleh alam gaib, dan suatu ketika ada orang yang berusaha untuk menghentikan niat jahat alam gaib ini, namanya Raden Abdul Aziz beliau ini datang kehutan melakukan pertemuan dengan alam gaib ini dengan menggunakan menyan, waktu bertemu Raden Abdul Aziz ini mengeluh dengan kejadian yang sering terjadi korban kepada masyarakat setempat, lalu ketika alam gaib ini meminta kepada Raden Abdul Aziz ini, kejadian ini akan berakhir apa bila alam gaib ini diberikan empat puluh empat kepala manusia jadi tumbalnya, akhirnya Raden Abdul Aziz tidak menyetujuinya.
 Pertemuan yang kedua Raden Abdul Aziz datang lagi untuk bertemu dengan alam gaib itu dengan masalah yang sama, malam yang kedua alam gaib ini niatnya berubah dan dia meminta tumbal empat puluh kerbau yang disembelih. Karena karbau harganya sangat mahal dan sulit didapatkan waktu dulu dan permintaan alam gaib ini tidak disetujui oleh Raden Abdul Aziz. Pada malam ketiga yaitu malam terakhir untuk meminta permintaan alam gaib ini Raden Abdul Aziz sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meluluhkan hati alam gaib ini. Dengan ijin yang maha kuasa akhirnya alam gaib meminta tumbal dengan menyembelih ayam sebanyak empat puluh empat dengan empat warna yaitu warna hitam mulus, putih mulus, kuning sanggar dan tiga warna. Dan permintaan ini disanggupi oleh Raden Abdul Aziz. Semua masyarakat Pringgabaya berbondong-bondong mencari ayam tiga warna dan di sembelih untuk di jadikan tumbal. Dan sampai sekarang acara ini tetap dilakukan setiap tanggal 1 Muharram atau setahun sekali yang istilahnya disebut sekarang tetulak desa artinya mengenang kejadian yang sudah menimpa desanya dengan menelan korban jiwa pada massa itu.
B.     Letak Geografis Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Desa Pringgabaya merupakan salah satu dari lima desa di kecamatan Pringgabaya yang memiliki: 3209.900 ha, yang berlokasi  26 dari pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Adapun desa Pringgabaya terletak antara  0-50 M diatas permukaan laut dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara                 : Desa Labuan Lombok
Sebelah Selatan              : Batuyang
Sebelah Timur                : Selat Alas
Sebelah Barat                 : Selaparang
Dari luas wilayah seluas 3209.900 ha, desa Pringgabaya terbagi menjadi 12 wilayah kekadusan yang terdiri dari:
1.      Kadus Saimbang                  : Sutiman
2.      Kadus Karangkapitan          : Bp. Aminah
3.      Kadus Otak Desa                  : Aenudin Dahrun
4.      Kadus Embur                        : Muh. Yusuf
5.      Kadus Jejangka                    : L. Sadrah
6.      Kadus Belawong                  : Muksin
7.      Kadus Pucangsari                : Mustakim
8.      Kadus Ketapang                  : L. Mahfuz
9.      Kadus Dasan Lendang        : H. Muh. Saleh
10.  Kadus Cemporongan           : Usman
11.  Kadus Tinggir                      : L. Amiruddin
12.  Kadus Dasan Segara            : Khaerudin
C.    Kondisi Demografis Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Desa Pringgabaya sampai akhir tahun 2008 berpenduduk: 18.644 jiwa dengan rincian:
a.       Laki-laki                   : 8.977
b.      Perempuan               : 9.667
Jumlah KK                     : 5.921
Selanjutnya pemerintah desa dilengkapi oleh lembaga / institusi desa sebagai mitra kepala desa dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan, dan social kemasyarakatan . adapun lembaga / institusi tersebut terdiri dari:
1.      Badan Pemusyarawatan Desa (BPD)
2.      Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
3.      Bazisdes
4.      Karang Taruna
5.      TP. PKK
6.      Forum Komunikasi Masyarakat Hilir (FKMH)
7.      Remaja Masjid
8.      Kelompok Zikir
9.      Kelompok Asuhan Keluarga
10.  Kelompok Tani dan Peternakan
D.    Penduduk dan Pekerjaan Masyarakat Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Jumlah penduduk desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya adalah : 18.644 orang yang terdiri dari:
a.       Laki-laki                               : 8.977
b.      Perempuan                           : 9.667
Jumlah                                 : 18.644
Sebagian besar penduduk desa Pringgabaya banyak menggantungkan kehidupan mereka dari beberapa sector:
1.      Sektor Pertanian                   : 1.518 orang
2.      Sektor Buruh                        : 4.602 orang
3.      Sektor Perdagangan             : 220 orang
4.      Sektor PNS POLRI/TNI     : 200 orang
5.      Sektor Industri                     : 139 orang
6.      Sektor Angkutan                  : 53 orang
7.      Sektor Tukang Kayu/Batu   : 287 orang
8.      Sektor Guru                         : 177 orang
9.      Sektor Karyawan Swasta     : 102 orang
10.  Sektor Lain-lain                   : 344 orang
E.     Fasilitas Sosial di Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya
Desa Pringgabaya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat, kualitas derajat kesehatan masyarakat, kualitas pemahaman dan pengalaman terhadap ajaran agama serta memelihara budaya dari tahun ke tahun terbukti telah dibangun sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan dan meningkatkan SDM seutuhnya. Dapat digambarkan bahwa sarana pendidikan tingkat TK, SD/MI, SLTP/MTs, SMK/MA dan SMA baik negeri maupun swasta sebanyak 23 buah, guru 166 orang dengan murid sebanyak 4.225 orang siswa.
Di bidang kesehatan tingkat derajat kesehatan masyarakat desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya dari tahun ke tahun cukup menggembirakan, karena didukung oleh sarana dan prasarana yang cukup tinggi dalam mensukseskan program bidang kesehatan, dapat digambarkan bahwa jumlah sarana kesehatan Pustu 1 buah, Polindes 2 buah, Posyandu 27 buah, dengan 1 orang Dokter Umum, dan 14 paramedis dan dibantu 3 Bidan bersalin yang sudah terlatih.
Dalam bidang penghayatan dan pengalaman dalam bidang agama, desa Pringgabaya mempunyai kerukunan dan ketaatan yang cukup tinggi dalam melaksanakan ibadah setiap harinya. Ini terbukti meningkatnya pembangunan sarana dan prasarana pendidikan non formal seperti pondok pesantren, TPA/TPQ, Masjid-Masjid, Musalla dan Majlis Ta’lim dengan partisipasi masyarakat yang cukup tinggi. Dapat juga digambarkan bahwa jumlah Masjid sebanyak 18 buah, Musalla 23 buah, Majlis Ta’lim sebanyak 3 buah dengan pemeluk agama mayoritas Islam (demografis desa Pringgabaya kecamatan Pringgabaya, 2009).
4.2.      Deskripsi Hasil Penelitian
A.    Prosesi Adat Perkawinan Suku Sasak di Pringgabaya
Adat perkawinan pada masyarakat Lombok Timur khususnya di desa Pringgabaya dikaitkan dengan upacara adat sorong serah aji kerama. Seorang pemuda (terune) dapat memperoleh seorang istri berdasarkan adat dengan dua cara yaitu: pertama dengan solah (meminang kepada keluarga si gadis); kedua dengan cara merariq (melarikan si gadis), Setelah salah satu cara ini sudah dilakukan, maka keluarga pria akan melakukan tata cara perkawinan sesuai adat Sasaknya .
Upacara perkawinan di desa Pringgabaya sering dikaitkan dengan upacara adat perkawinan sorong serah aji kerama yang merupakan salah satu tradisi yang ada sejak zaman dahulu dan telah melekat dengan kuat serta utuh didalam tatanan kehidupan masyarakat suku Sasak di desa Pringgabaya, bahkan beberapa kalangan masyarakat baik itu tokoh agama dan tokoh masyarakat adat itu sendiri menyatakan bahwa jika tidak melaksanakan upacara adat ini akan menjadi aib bagi keluarga dan masyarakat setempat.
Sorong serah berasal dari kata sorong yang berarti mendorong dan serah yang berarti menyerahkan, jadi sorong serah merupakan suatu pernyataan persetujuan kedua belah pihak baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki dalam prosesi suatu perkawinan antara terune (jejaka) dan dedare (gadis) (19 Maret, 2010 http://www.....)
Prosesi upacara ini merupakan salah satu rangkaian upacara terpenting pada perkawinan adat Sasak di desa Pringgabaya. Adapun prosesi perkawinan yang dilakukan di desa Pringgabaya adalah sebagai berikut:
a.      Besejati
            Besejati maksudnya,dari keluarga pihak pengantin laki-laki mengutus beberapa orang tokoh masyarakat setempat atau tokoh adat untuk melaporkan kepada keliang atau kepala Dusun, untuk mempermaklumkan mengenai perkawinan tersebut tentang jati diri calon pengantin laki-laki, kemudian kepala Dusun akan menindak lanjutinya kepada keluarga pihak perempuan, dan keluarga perempuan akan memberi tahu semua keluarganya untuk bermusyawarah. Dari hasil musyawarahnya akan dipertahankan sampai pada proses perkawinan di antaranya beselabar dan sorongserah karena sesuai dengan adat budaya desanya sendiri .
b.      Beselabar
            Beselabar maksudnya, keluarga dari pihak laki-laki datang kerumah keluarga perempuan, untuk memepermaklumkan kepada keluarga perempuan yang ditindaklanjuti dengan pembicaraan adat istiadatnya meliputi aji kerama yang terdiri dari nilai-nilai strata sosial.
1.      Keturunan Bangsawan yang dikenal dengan kalangan menak aji keramanya Rp. 66.400
Maksudnya: enam puluh enam ribu empat ratus di ambil dari ajaran Islam yaitu enam tambah enam sama dengan dua belas artinya tetap dalam ajaran agama Islam yaitu ilmu dua belas. Dan adapun yang empat ratus itu adalah bentuk simbol dari empat unsur kehidupan antara lain: Air, angin, api, dan tanah
2.      Keturunan Berbape yang dikenal dengan kalangan Bapak aji keramanya Rp. 33.400
Maksudnya: tiga puluh tiga ribu empat ratus memiliki makna yang di ambil dari ajaran Islam yaitu tiga tambah tiga sama dengan enam yang diambil dari rukun iman yang artinya iman menurut bahasa adalah percaya sedangkan menurut istilah mengucapkan dengan lisan, membenarkan dalam hati dan mengerjakan dengan segenap anggota badan dengan demikian, orang sudah menyatakan beriman haruslah menyatupadukan antara ucapan, sikap dan prilaku anggota badan untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntutan iman. (Shalih, 2009: 3) Dasar pokok yang wajib diimani dalam Islam ada 6 antara lain:
a.  Beriman kepada Allah
Makna beriman kepada Allah telah ditegaskan oleh nabi Muhammad SAW “awwaluddin ma’rifatullah” yang artinya permulaan agama itu ialah mengenal Allah. Karena dialah asal segala ilmu fardhu ain atas tiap-tiap mukallaf (Shalih, 2009: 4).
Mengenal Allah itu harus didukung dengan mengenal sifat-sifat Allah yang wajib. Sifat wajib bagi Allah itu adalah sifat yang harus ada pada zat Allah SWT sebagai kesempurnaan baginya.  Allah SWT adalah khalik, zat yang memiliki sifat yang tidak sama dengan makhluk-Nya. Allah tidak bersifat kekurangan hanya bersifat kesempurnaan dan tidak ada yang menyerupai dia. Dia juga maha suci, maha mendengar, maha melihat dan maha mengetahui segala perbuatan mahluk-Nya yang zahir dan yang batin, lagi amat berkuasa dan hidup kekal selama-lamanya (Salih, 2009: 4).
b. Beriman kepada malaikat Allah
Makna beriman kepada malaikat-malaikat Allah adalah percaya kepada malaikat sebagai pesuruh Allah yang taat selamanya dalam menjalankan segala perintah Allah taala yang selalu diwajibkan kepadanya. Kepatuhan malaikat dan ketaatannya menjalankan perintah Allah digambarkan dalam Al-Quran surat at tahrim ayat 6 yang artinya”Hai orang-orang yang briman, pelihara dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6).
Malaikat itu bukanlah laki-laki bukan pula perempuan. Malaikat dijadikan oleh Allah dari badan yang halus tidak mempunyai hawa nafsu hanya mempunyai akal. Oleh sebab itu tidak pernah sama sekali ingkar kepada Allah. Adapun tempatnya memenuhi langit dan bumi, tetapi tiada menghendaki tempat seperti mahluk-mahluk lainnya sebab badannya itu seperti cahaya tidak membutuhkan tempat bagi dirinya. Dan keyakinan atas semua yang terkait dengan malaikat itulah yang disebut dengan beriman  (Shalih, 2009: 26-27)
c.  Beriman kepada rasul Allah
Makna beriman kepada rasul Allah ialah mempercayai bahwa Allah SWT telah mengutus rasul-rasulnya untuk membimbing dan menuntun umat manusia kejalan hidup yang benar diridhai oleh Allah SWT. Beriman kepada rasul artinya mempercayai sepernuh hati bahwa Allah SWT telah mengutus rasul untuk menyampaikan peraturan-peraturan dan hukum-hukum Allah SWT kepada ummat manusia. Rasul diutus Allah SWT dari kalangan manusia agar dapat berkomunikasi dengan ummatnya, mengajar, memberi tahukan tentang Allah SWT sebagi Khalik (Shalih, 2009: 32).
d.                                     Beriman kepada kitab-kitab Allah
Makna beriman kepada kitab Allah adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada para rasul untuk diajarkan kepada manusia sebagi petunjuk dan pedoman hidupnya. Kitab yang wajib diketahui ada 4 yaitu kitab taurat, zabur, injil dan Al-Quran. Dan suruh ummat manusia wajib meyakininya. Dan keyakinan itulah disebut sebagi iman kepada kitab-kitab Allah SWT (Ibid, 2009: 31)
e.  Beriman kepada hari kiamat
Percaya kepada hari kiamat atau hari pembalasan yang akan datang nanti. Entah kapankah datangnya, hanya Allah yang mengetahui. Didalam Al-Quran surat Al-a’raf ayat 187 dijelaskan tentang hari kiamat yang artinya “Mereka menanyakan kepadamu tentang hari kiamat: “bilakah terjadinya ?” katakanlah : “sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi tuhan ku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi mahluk) yang di langit dan di bumi.kiamat itu tidak akan dating kepada mu melainkan dengan tiba-tiba ”. meraka bertanya kepada mu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah :“sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah disisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Al-A’raf ayat 187). 
f. Beriman kepada Qadha dan Qadar
Qadha yaitu ketetapan atau ketentuan, yang dimaksudkan adalah ketetapan dan ketentuan Allah sejak zaman azali, yang belum diketahui dan belum diterima oleh mahluk-Nya sedangkan Qadar adalah ketetapan dan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT atas mahluk-Nya dan telah diterima serta telah berlaku bagi mahluk-Nya. Secara singkatnya Qadha merupakan garis perencanaan Allah yang akan diberlakukan kepada manusia sedangkan Qadar merupakan pelaksanaan dari rencana yang telah digariskan oleh Allah SWT (sering disebut takdir). Keimanan terhadap Qadha dan Qadar bahwa segala apa saja yang terjadi atas diri seseorang itu semuanya dari Allah SWT yaitu telah ditakdirkan oleh Allah SWT (Saleh. 2009: 40).
3.      Keturunan jajar karang yang dikenal dengan kalangan Amaq aji keramanya Rp. 5.400
Lima ribu empat ratus maksudnya lima di ambil dari rukun Islam yang ke-lima yaitu:
a)      Mengucapkan dua kalimah syahadat
Kalimah lailahaillalloh dibedakan menjadi empat bagian.
1).    La dikatakan kalimah syari’at La merupakan kalimah nafi artinya tiada sifat jalal (kebesaran tuhan kita). Kalimah La sendiri sifat-sifat Allah antara lain: Wujud, Qidam, Baka, Muqholafatuhulil Hawadits.
2).    Ilaha dikatakan kalimah thariqoh. Ilaha dalam kalimah lailahaillalloh merupakan kalimah manfiyu artinya meniadakan sifat jamal (keelokan). Kalimah Ilaha sendiri masuk sifat-sifat Allah antara lain: Sama, bashar, Kalam, Samiun, Mutakallimun, Bashirun.
3).    Illa dikatakan kalimah haqiqat. Illa dalam kalimah lailahaillalloh merupakan kalimah isba’at artinya menetapkan sifat qohar (kekuasaan). Kalimah Illa sendiri masuk sifat-sifat Allah antara lain Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat.
4).    Allah dikatakan kalimah itsbah. Allah dalam kalimah lailahaillalloh merupakan kalimah mutsbat artinya yang ditetapkan sifat kamal (kesempurnaan) (Saleh, 2009:18-19).
b)      Shalat lima waktu sehari semalam
Diantara kewajiban-kewajiban yang harus kita lakukan adalah shalat lima waktu sehari semalam. Subuh, zuhur, asyar, maghrib, dan isya. Shalat ini harus dilakukan oleh seorang mukallaf, meski dalam keadaan bagaimanapun kecuali jika ada halangan yang dibenarkan oleh agama atau uzur syar’i. Sedemikian pentingnya kepentingan shalat, maka perintah menjalankanyapun disampaikan langsung oleh Allah SWT kepada rasul Allah saat beliau dimi’rajkan. Betapa pentingnya dan utamanya waktu shalat lima waktu bagi umat Islam yang sudah mukallaf. Firman Allah dalam alquran surat an-nisa ayat 103 yang artinya “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin (QS. AN-Nisa’) (Asrori,1998:168).
c)      Puasa pada bulan ramadhan sekali setahun
Perintah melakukan puasa Ramadhan secara harfiah terbilang unik.  Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman telah diwajibkan shiyam (puasa )seperti juga diwajibkan (kepada orang beriman/umat ) sebelum kalian. Mudah-mudahan dengan melaksanakan puasa kamu menjadi orang-orang yang bertakwa (Laallakum tattaqun). Terbilang unik secara harfiah karena harfiahnya (kalimat) perintahnnya. Meskipun bunyinya agak berlainan tapi maknanya sama dan sasarannya sama yaitu  menahan dan mengendalikan .
Ayat tersebut berupa perintah melakukan shiyam, asal kata shoma yasumu shiyaman, artinya menahan atau mengendalikan. Kemudian ketika bersahur, ada waktu yang ditentukan yaitu waktu imsak. Imsak artinya menahan atau mengendalikan. Secara syariah jika telah masuk waktu imsak, hendaklah menahan mengendalikan perbuatan lahiriah yang membatalkan niat dan puasa itu, dari makan, minum dan seksual.
Setelah imsak berlalu maka batalkan perbuatan lahiriah dengan futur (buka). Artinya diperbolehkan melakukan fitrah manusia lagi seperti makan, minum dan seksual dengan istri/suami. Baru kemudian dengan hal tersebut mencapai dearajat tingkatan takwa. Tapi, harus dicermati bunyi firman Allah, dengan kata-kata: Laallakum Tataqun artinya semoga kalian bertakwa.   
d)     Membayar zakat jika sudah sampai nisabnya
Rukun Islam yang ke empat adalah membayar zakat, perintah membayar zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang beriman, allah SWT telah memeritahkan kepada ummat untuk membayar zakat sebagimana firmannya dalam surat Al-baqarah ayat 110 yang artinya:” Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah: 110).
e)      Naik haji kebaitullah bagi yang mampu
Rukun Islam yang ke lima adalah haji, dan haji wajib bagi seorang muslim yang telah mampu perjalanannya ke tanah suci, baik bekalnya maupun kebutuhan lain yang diperlukan. Jika diantara kita ada yang telah mampu untuk menunaikannya hendaklah segera pergi menunaikannya, jangan ditunda-tunda. Rasulallah SAW bersabda yang artinya “segeralah kalian menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya salah satu dari kalian tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.” (HR. Ahmad). (Asrori, 1998:284)
Dan adapun yang empat ratus itu adalah bentuk simbol dari empat unsur kehidupan antara lain: Air, angin, api, dan tanah
         Untuk mengetahui makna kata air, angin, api, dan tanah. Maka perlu adanya proyeksi fitur simantis dari kata-kata tersebut. Dan adapun proyeksi fitur tersebut antara lain:
1.      Air (ada, aktif, bergerak, tampak, dan sumber kehidupan);
2.      Angin (ada, aktif, bergerak, tidak tampak, dan sumber kehidupan);
3.      Api (ada, aktif, bergerak, tampak, dan sumber kehidupan) dan
4.      Tanah (ada, aktif, tidak bergerak, tampak, dan sumber kehidupan).
      Dari proyeksi fitur simantis kata air, angin, api, dan tanah, memiliki makna tersendiri dalam kehidupan rumah tangga ke dua mempelai.
§  Air maknanya memberikan kedamaian kepada ke dua mempelai yang aman dan sejahtera.
§  Angin maknanya memberikan kesejukan kepada ke dua mempelai dalam membangun rumah tangga yang harmonis.
§  Api maknanya memberikan semangat kepada ke dua mempelai dalam membangun rumah tangga untuk meraih cita-cita bersama.
§  Tanah maknanya memberikan ketentraman kepada ke dua mempelai dalam membina rumah tangga yang bahagia.
c.       Sorong Serah
            Inti dari pelaksanaan sorong serah ini adalah pengumuman resmi acara perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang disertai dengan penyerahan peralatan mempelai pihak laki-laki atau yang dikenal dengan nama ajen-ajen. Dalam acara sorong serah aji krama ini
pihak laki-laki dan perempuan masing-masing diwakili sekelompok masyarakat adat yang terdiri dari juru bahasa adat atau yang disebut pembayun, Kepala Desa sebagai pengemong adat dan Kepala Dusun sebagai pamong adat. Pada akhir proses sorong serah jika terjadi kesepakatan maka antar pembayun penyorong dari pihak laki-laki dan pembayun penampi dari pihak perempuan, akan menyatakan ”atas ijin dari sidang adat perempuan (maksudnya mempelai perempuan) saya terima, maksudnya perempuan ini diterima secara adat”.  Prosesi ini disebut pegat aji krama. Salah seorang tokoh adat akan diminta untuk megat tali jinah biasanya menggunakan kepeng bolong yang diikat kemudian diputus sebagai pertanda bahwa berakhirnya sorong serah.
d.      Akad Nikah
            Akad nikah ini adalah salah satu proses yang wajib harus dilakukan oleh kedua mempelai setelah melakukan proses yang sudah di paparkan di atas, akad nikah ini akan di hadiri oleh tokoh masyarakat tokoh agama dan tokoh adat untuk menyaksikan selama akad nikah di lakukan, akad nikah ini dilakukan di masjid, musolla dan bisa di rumah. Maka dari rombongan wali akan datang secara adat untuk menjemput wali di saat akad nikah akan dilaksanakan di kediaman laki-laki. Dari pihak laki-laki akan disiapkan kendaraan untuk menjemput rombongan keluarga perempuan.
            Semua biaya hingga akad nikah usai ditanggung oleh pihak laki-laki. Karena ini ketentuan adat, maka semua berlaku fair tidak ada yang saling merasa tidak enak soal biaya, karena telah dibicarakan dengan detil pada proses-proses adat sebelumnya katanya.
e.       Mandi Pengantin
            Dalam pelaksanaan mandi pengantin ini di lakuakan setelah akad nikah maupun sebelum akad nikah berlangsung, tujuan untuk mandi pengantin ini untuk membersihkan diri dari segala kotoran dan selalu dalam kesucian dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Mandi pengantin ini tidak hanya sekedar mandi biasa, tetapai dimandikan oleh tokoh adatnya atau sesepuh yang ada dalam masyarakatnya meliputi mantra-mantra bahan-bahan yang digunakan saat mandi pengantin diantaranya.
1.      Bokor
2.      Lekong
3.      Kunyit
4.      Kelapa
f.       Nyongkolan
            Dalam pelaksanaan nyongkolan keluarga pihak laki-laki disertai oleh kedua mempelai mengunjungi pihak keluarga perempuan yang diiringi oleh kerabat dan handai taulan dengan mempergunakan pakaian adat diiringi gamelan bahkan gendang beleq dan akan di sambut oleh keluarga dari pihak perempuan dengan menggunakan pakaian adat. Sekaligus adat ini sebagai pemberi tahuan kepada semua masyarakat bahwa dia telah menikah dan tidak di ganggu oleh laki-laki lain yang belum mengetahuinya, ini tujuannya dalam adat nyongkolan yang dilakukan oleh masyarakat Pringgabaya.
B.     Makna Simbolik Mantra dan benda yang digunakan Dalam Prosesi Adat Perkawinan Suku Sasak Di Pringgabaya.
a.      Makna Simbolik Lisan
            Makna simbolik lisan merupakan rangkaian upacara prosesi perkawinan yang dilakukan masyarakat Pringgabaya, makna simbolik lisan ini dilakukan pada rangkaian prosesi upacara perkawainan pada saat mandi pengantin sedang berlangsung. Yang bertugas atau yang berhak memandikan pengantin itu adalah mangku adat atau pawang  dan disaksikan oleh tokoh agama dan masyarakat sekitar. Makna simbolik lisan ini dapat mendatangkan daya gaib bagi orang yang meyakininya dan mendatangkan pengaruh bagi kehidupan rumah tangganya. Makna simbolik lisan atau mantra memiliki makna yang mengandung hikmah dan kekuatan gaib, makna simbolik lisan atau mantra ini dibacakan oleh orang-orang tertentu seperti pawang, dukun dan orang yang paling dihargai dimasyarakat itu sendiri. 
            Dua buah mantra dan empat diantaranya simbol yang digunakan saat acara adat perkawinan di Padamara Kecamatan Pringgabaya. Mantra yang dimaksud adalah Mantara untuk Pengantin Laki-laki dan Mantra untuk Pengantin Perempuan
1)      Mantra untuk Pengantin Laki-laki
Berbunyi “Roh nyawa anak manusia ngangen aku pardu atasku dengan karena Allah Ta’ala asih na menga atenbi ngangen aku berkat lailahaillAllah Muhammadurrasulullah”.
Arti kata : roh nyawa manusia mengingat aku wajib atas aku dengan karena Allah SWT, hatinya terbuka selalu mengingatku karena izin Allah dan Muhammad utusan Allah.
Uraian makna: Agar pengantin perempuan selalu ingat kepada suaminya di waktu menjalani hubungan rumah tangga, dan mengerti tanggung jawab sebagai seorang istri dan berbakti kepada suaminya dan apapun masalah yang dihadapi agar dijalani bersama dan tetap bertahan  tetap sayang seperti melebihi sayangnya waktu pacaran meskipun itu sangat menyakitkan dalam kehidupan rumah tangganya karena semua itu cobaan dari Allah.
2)      Mantra Untuk Pengantin Perempuan
Berbunyi “Pahit peria bi kaken belo tetanda bi entik berkat lailahaillAllah Muhammadurrasulullah”.
Arti kata: pahit pare dia makan panjang tanda kehidupan yang akan di jalani atau dipegang
Uraian makna: Dalam perjalanan berumah tangga tidak selamanya orang itu akan bahagia, akan tetapi kesusahan itu akan datang juga meskipun perjalanan itu menyakitkan dalam berumah tangga, kalau di jalani dengan tabah, hati yang sabar dan penuh keikhlasan, hubungan perkawinannya akan berjalan panjang karena segala sesuatu datangnya dari Allah.
b.      Makna Simbolik Benda
            Makna simbolik benda merupakan rangkaian prosesi adat perkawinan masyarakat Pringgabaya, benda yang dipakai dalam prosesi perkawinan ini memiliki makna tersendiri yang tidak terlepas dari ajaran Islam. Karena dasar hukum yang diikuti adalah semuanya dari ajaran Islam, tata kerama, kebaktian, sopan santun budi pekerti dan sebagainya ini adalah tuntutan dalam ajaran agama Islam bagi semua manusia . Maka  makna simbolik benda merupakan simbol kehidupan yang menjadi gambaran kepada kedua mempelai selama mejalani rumah tangga untuk medapatkan rumah tangga yang bahagia.
            Makna simbolik benda yang terkandung dalam Simbol-simbol dan yang digunakan dalam acara ritual khususnya mandi pengantin oleh masyarakat Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya antara lain :
1)      Bokor
Bokor terbuat dari besi kuningan yang bentuknya seperti bejana. Bokor ini merupakan simbol nilai kehidupan dimana dalam menjalani rumah tangga banyak sekali yang harus dibangun dan yang akan dijalani dalam kehidupan berumah tangga, diantara yang harus dibangun adalah mental yang kuat karena, mental salah satu menjadi tolok ukur untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang baik.
Bokor maksudnya dalam tatanan kehidupan untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan sejahtera harus memiliki tekad, mental yang kuat dan apa bila rizki yang di dapatkan laki-laki maupun perempuan itu adalah hartanya berdua dan dinikmati bersama-sama. Simbol ini merupakan untuk memperjuangkan cita-citanya semaksimal mungkin untuk membangun kehidupan rumah tangga yang sejati, mengerti dalam menjalani rumah tangganya dan tetap dalam lindungan yang Maha kuasa. Bokor ini tidak digunakan disembarang tempat atau dipakai setiap hari akan tetapi digunakan dalam acara-acara tertentu seperti acara perkawinan, hitanan dan aqiqah  (Informan: L.Wiranom, 75 Tahun).  
2)      Lekong
Lekong dalam bahasa Indonesia adalah kemiri yang bentuknya bulat lonjong dan keras. Lekong itu minyaknya sangat keras kalau dibandingkan dengan minyak kelapa, lekong merupakan simbol nilai sosial dalam rumah tangga perkawinan karena, salah satu untuk membangun rumah tangga yang aman adalah saling mengarahkan, saling bimbing dan saling bantu dalam hal yang positif.   
Lekong maksudnya agar mempelai laki-laki maupun perempuan tegas keras untuk saling mengayomi, membimbing dan saling melindungi dalam hal kebaikan untuk rumah tangganya, apa bila kita saling mengayomi, saling bimbing dan saling menasehati yang mengandung kebaikan kalau dipatuhi berarti hidupnya akan jadi selamat dunia dan akhirat, aman, sejahtera lahir dan batin. Sebagai seorang suami wajib membimbing istri agar dapat hidup aman dan tentram begitu juga seorang istri. Apa bila seorang suami atau istri ataupun orang lain memberikan nasihat maka harus diperhatikan dengan baik dan sungguh-sungguh, nasehat atau petunjuk dari seorang suami atau istri ataupun orang lain yang mengandung kebaikan hendaknya jangan dilanggar tetapi dilaksanakan. (Informan: L. Wiranom, 75 Tahun).
3)      Kunyit
Kunyit dalam bahasa Indonesia adalah kunyit yang bentuknya agak panjang dan warnanya kuning. Kunyit merupakan simbol dari nilai psikologis dalam menjalin rumah tangga karena, tanpa ada daya tarik atau ketertarikan  antara laki-laki dan perempuan dalam hati masing-masing tidak mungkin akan menjalin hubungan rumah tangga. Daya tarik atau ketertarikan psikologis yang dimaksud adalah kecantikan, ketampanan, tingkah laku, tata cara, dan budi pekerti.
Maksudnya menyinari hati kedua mempelai agar tetap menjalin cinta kasih untuk sehidup semati. Ikrar sehidup semati sebagai lambang perasaan cinta kasih agar tetap saling menyayangi, saling ingat dan tetap sayang dikala jauh, perasaan rasa sayang dan cinta kasih kedua mempalai tidak bisa dipisahkan oleh apapun. Jalinan cinta kasih yang telah dijalin dan diyakini harus dipertahankan dengan segala upaya untuk meraih cita-cita hidup bersama untuk membangun  rumah tangga yang bahagia. (Informan: L. Wiranom, 75 Tahun).  
4)      Nyiur
Nyiur dalam bahasa Indonesi nyiur itu adalah kelapa, Kelapa itu minyaknya tidak sekeras minyak lekong. Kelapa merupakan simbol dari nilai religius dalam menjalani rumah tangga karena, dalam acara akad nikah yang khususnya dalam khotbah nikah sering disampaikan oleh tuan guru dan para ustaz adalah berbakti kepada suami, dalam ajaran Islam hukumnya wajib bagi seorang istri berbakti kepada suami karena, dengan kebaktian seorang istri kepada suami memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kedua belah pihak untuk menuju rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warohmah.
Kelapa maksudnya agar kedua mempelai punya hati yang lemah lembut agar rasa kasih sayang selalu ada selama menjalani rumah tangga, saling menghormati, menghargai, sopan dan santun dan berbakti kepada  suami ataupun. Karena rasa saling menghormati, menghargai, sopan dan santun memiliki nilai yang berarti untuk menuju rumah tangga yang sakiynah, mawaddah dan warohmah. Jalinan rumah tangga yang dijalani dengan jalinan kasih dan sayang harus dipertahankan dengan cara saling menghormati dan saling menghargai dan kesopanan suami ataupun istri. Dan kalau ada masalah supaya salah satu diantara mereka ada yang mengalah agar tidak terjadi pertikaian  berkelanjutan di antara mereka karena mengalah untuk kebaikan itu adalah hal yang terbaik dalam hidup (Informan: L.Wiranom, 75 Tahun).
C.     Pengaruh Makna Simbolik Mantra dan benda yang digunakan dalam Prosesi Adat Perkawinan bagi Masyarakat Suku Sasak di Pringgabaya.
            Dalam hal perkawinan suku Sasak di Pringgabaya makna simbolik mantra dan benda yang digunakan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakatnya maupun desa lain. Di tengah-tengah perkembangan zaman modern saat sekarang ini budaya suku Sasak tentang makna simbolik mantra dan benda yang digunakan masih di pertahankan khususnya masyarakat desa Pringgabaya walaupun mengalami sedikit pergesaran atau perubahan pada beberapa aspek lainnya. Makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan ini tidak pernah terlepas dalam ajaran Islam karena komunitas masyarakatnya sebagian besar agama Islam, budaya ini merupakan salah satu peninggalan nenek moyangnya sejak zaman dahulu dan tetap di lakukan setiap acara prosesi perkawinan di desa Pringgabaya tersebut. Karena diyakini prosesi perkawinan seperti ini memberikan pengaruh bagi kehidupan kedua belah pihak mempelai maupun bagi masyarakat setempat. Salah satu pengaruh makna simbolik (tuturan) dalam prosesi adat perkawinan yang Peneliti temukan pada masyarakat Pringgabaya adalah sebagai berikut:
a.       Kebudayaan masyarakat yang kuat karena makna simbolik berkaitan dengan ajaran keagamaan dalam hal makna simbolik lisan dan makna simbolik benda.
b.      Dapat meningkatkan kelanggengan kehidupan berumah tangga baik bagi kedua mempelai maupun bagi kedua pihak keluarga kedua mempelai, sehingga meminimalkan tingkat perceraian dalam berumah tangga, karena prosesi adat pernikahan yang dilakukan membutuhkan suatu waktu dan biaya yang tidak sedikit serta perhargaan terhadap prosesi adat perkawinan tersebut, karena dalam prosesinya terdapat makna simbolik yang sakral.
c.       Mempengaruhi semangat gotong royong dan saling membantu antar masyarakat karena dalam prosesi adat pernikahan membutuhkan keitkutsertaan masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama.
d.      Dalam perkembangannya makna simbolik dalam prosesi adat pernikahan mengalami sedikit perubahan baik berupa penambahan maupun pengurangan dikarenakan beberapa faktor yakni: adanya sebagian masyarakat melakukan prosesi pernikahan lebih condong pada tata cara yang diajarkan agama, hanya prosesi syarat dan rukun nikah tanpa melalui prosesi adat, karena prosesi adat pernikahan membutuhkan biaya yang lebih besar. Hal ini banyak ditemukan pada masyarakat yang ekonomi menengah ke bawah.









BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
            Dari hasil hasil pembahasan di atas maka Penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa:
Prosesi perkawinan yang dilakukan di desa Pringgabaya adalah bersejati, berselabar, sorong serah, akad nikah, mandi penganten dan nyongkolan merupakan rangkaian upacara adat perkawinan di desa Pringgabaya.Makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan di Pringgabaya, terdiri dari makna simbolik lisan dan makna simbolik benda. Makna simbolik lisan di antaranya : mantra untuk pengantin laki- laki dan mantra untuk pengantin perempuan dengan makna dan tujuan untuk kelanggengan pasangan suami istri. Sedangkan makna simbolik benda yaitu: bokor, lekong,  kunyit dan nyiur yang masing-masing memiliki makna tersendiri yang berkaitan dengan propsesi adat perkawinan di desa Pringgabaya..
Semua simbol-simbol tuturan dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak di Pringgabaya tersebut memiliki makna yang sangat luas bagi yang menjalani maupun  kelurga serta kerabat lainnya. Pengaruh makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan bagi masyarakat suku Sasak di Pringgabaya dapat meningkatkan kelanggengan kehidupan berumah tangga baik bagi kedua mempelai maupun bagi kedua pihak keluarga kedua mempelai, dalam perkembangannya makna simbolik dalam prosesi adat perkawinan mengalami sedikit perubahan baik berupa penambahan maupun pengurangan dikarenakan faktor tertentu.
5.2 Saran-Saran
            Demikian banyak budaya daerah yang perlu mendapat perhatian untuk dikaji lebih dalam yang memiliki makna sangat luhur. Salah satunya adalah Makna simbolik mantra dan benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan suku Sasak di Pringgabaya. Penulis mengkaji tema tersebut karena merasa terpanggil untuk menggali nilai dan makna simbolik budaya-budaya yang memerlukan perhatian dan pelestarian oleh kita semua. Atas dasar hal tersebut, Penulis mengharap agar analisis ini dapat ditindaklanjuti untuk lebih berkualitas sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam pemeliharaan budaya dan sastra lainnya. Secara lebih khusus harapan sebagai saran ini, Penulis tujukan kepada:
1.      Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi NTB pada umumnya dan secara lebih khusus Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Lombok Timur bersama jajaranya  agar memberikan perhatiannya untuk pengalian budaya dan sastra lama serta menjaga perkembangannya sehingga dapat dinikmati oleh anak cucu keturunan Sasak.
2.       Lembaga pendidikan STKIP sebagai lembaga ilmiah pencetak sumber daya manusia agar memberikan jati dirinya sebagai lembaga tinggi yang berkembang pada komunitas masyarakat Sasak untuk memberikan kotribusinya terhadap perkembangan budaya dan sastra Lokal demi kelestarian budaya Sasak.
3.      Saudara mahasiwa-mahasiswi yang konsen terhadap perkembangan budaya dan sastra Sasak dapat memberikan kecintaanya terhadap perkembangannya sehingga dapat menjadi motivasi internal untuk mempelajari, mengkaji, meneliti  budaya-budaya yang terpendam.
4.      Bagi segenap pembaca, Penulis berharap dapat memberikan dorongan untuk pertumbuhan dan perkembangan,  serta pemeliharaan budaya dan sastra Sasak dengan bersedia mengumpulkan, mengoleksi, berbagai bentuk budaya dan sastra yang masih berkembang yang memiliki nilai-nilai luhur untuk dikembangkan..














DAFTAR PUSTAKA

-          Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan              Praktik. Jakarta: Balai Pustaka.
-          Chaer Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
-                      .    2007. Kajian Bahasa (Struktur Internal Pemakaian Dan   Pembelajaran). Jakarta: Rineka Cipta.
-          Depdiknas. 2005. Kamus besar bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta:      Balai Pustaka.
-          Djajasudarman Fatimah T. 1999. Semantik Pengantar Kearah Ilmu             Makna. Bandung: Refika Aditama.
-                       2008. Semantik Pengantar Kearah Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.
-          Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka          Cipta.
-          Ratna Khuta Nyoma. 2005. Sastra Dan Curtular Studies. Yogyakarta:        Pustaka Belajar.
-          Shaleh. L. 2009. Ilmu Tauhid Lengkap. Pondok Pesanteren Al. Aziziah.      Mataram.
-          Sirojudin. 1993. Persepsi Masyarakat Lombok Timur Terhadap Folklor      Lisan Lelakak Dan Relevansinya Dengan Tujuan Pendidikan    (Skripsi)
-          Sudirman. 2007. Diktat Semantik.STKIP Hamzanwadi Selong.
-          Sumarsono. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
-                               2009. Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar: