BAB VI
APLIKASI ANALISIS WACANA KRITIS
UMMataram
Kompetensi Dasar:
Mengetahui cara-cara menganalisis wacana menggunakan teknik analis wacana kritis
Indikator:
1.
Menjelaskan hakikat analisis
wacana kritis
2.
Memberikan contoh analisis wacana dengan teknik analisis wacana kritis
(Van Djick) .
3.
Memberikan contoh cara menganalisis wacana dengan teknik analisis wacana kritis (Milis).
B. Uraian Materi
1. Pengantar
Pada dasarnya, setiap tuturan
atau praktik berwacana yang dilakukan oleh seseorang memiliki maksud tertentu.
Maksud dalam praktik berwacana itu dapat disampaikan secara eksplisit dan
implisit. Dalam hal ini, praktik berwacana yang banyak terjadi di masyarakat
cenderung mengarah pada praktik berwacana yang mengimpisitkan maksud tertentu.
Dalam Linguistik, teori yang dapat digunakan untuk mengungkapkan maksud yang
terselubung dalam suatu praktik berwacana adalah teori wacana kritis atau
analisis wacana kritis (AWK). AWK merupakan suatu teori yang digunakan untuk
mengungkapkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Dalam konteks
sehari-hari, AWK dapat digunakan untuk membangun kekuasaan dan hegemoni. Selain
itu, AWK juga digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan,
menganalisis, dan mengeritik kehidupan sosial yang tercermin dalam analisis
teks atau ucapan.
Habermas
(dalam Darma, 2009:53) mengemukakan
bahwa AWK bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam
hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Tujuan AWK adalah mengembangkan
asumsi-asumsi dalam teks yang bersifat ideologis yang terkandung di balik
kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan. AWK bermaksud
untuk menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik
berwacana, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Jadi,
AWK dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas etnik, zaman, dan
jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang digunakan).
Setiap
praktik berwacana merujuk pada aturan, norma, perasaan, sosialisasi yang spesifik
dalam hubungannya dengan penerima pesan dan penerjemah pesan. Dalam hal ini,
AWK bertujuan menentukan bagaimana individu belajar berpikir, bertindak, dan
berbicara dalam berbagai posisi kehidupan sosial (konteks sosial). Menurut
Darma (2009:54), konteks sosial adalah tempat di mana wacana terjadi (di pasar,
ruang kelas, tempat bermain, tempat suci, dsb). Apapun konteks sosial yang
mendasari terjadinya praktik berwacana itu tidak pernah terlepas dari kekuasaan
dan ideologi. Oleh karena itulah, AWK dapat digunakan untuk membongkar
kekuasaan dan idelogi yang terselubung dalam suatu praktik berwacana.
2. Hakikat Analisis Wacana
Kritis
Ada tiga pandangan berbeda
mengenai bahasa dalam analisis wacana (Hikam, dalam Eriyanto,2001: 4). Pandangan pertama
diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Aliran ini menyatakan bahwa bahasa
dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya.
Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat langsung diekspresikan melalui
penggunaan bahasa tanpa adanya hambatan. Hal ini berlaku selama ia dinyatakan
dengan logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Dalam
kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut
adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif dari sebuah pernyataan, sebab
yang paling penting adalah apakah pernyataan itu sudah benar menurut kaidah
semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk
menggambarkan tata aturan bahasa sebagaimana dalam pandangan formal.
Pandangan
yang kedua diwakili oleh kaum konstruktivisme. Dalam aliran ini, bahasa tidak
dipandang sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang
dipisahkan oleh subjek sebagai penyampai pernyataan. Justru, konstruksivisme
memandang subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan wacana. Dalam hal ini,
bahasa dipahami sebagai pernyataan yang dihidupkan dengan tujuan tertentu.
Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan realitas sosial.
Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan
maksud tertentu. Analisis wacana adalah suatu upaya untuk membongkar maksud
penulis yang tersembunyi dalam wacana itu. Pandangan ini dikenal juga dengan
pandangan fungsional atau padangan paradigma interpretivisme.
Selanjutnya, pandangan ketiga
disebut sebagai pandangan kritis. Aliran ini mengoreksi pandangan
konstruksivisme yang kurang sensitif pada produksi dan reproduksi makna yang
terjadi, baik secara historis maupun institusional. Menurut aliran ini, paham
konstruksivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang
inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk
jenis-jenis subjek tertentu. Pemikiran inilah yang akan melahirkan paradigma
kritis. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan konstelansi kekuatan
yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Pemilihan bahasa dalam
paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk
subjek dan strategi tertentu. Oleh karena itulah, analisis wacana kritis
digunakan untuk membongkar praktik kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi
dalam wacana.
Ancangan atau paradigma kritis menurut J.L. Mey, R.E. Asher
(1998) (dalam
Jufri, 2006:24) merupakan suatu asumsi yang menguraikan aspek bahasa dan
menghubungkannya dengan tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu, perlu
digunakan pilihan bahasa yang tepat untuk menggambarkan tujuan tertentu dalam
praktik sosial.
Pada hakikatnya, tindakan digunakan untuk memahami suatu
wacana. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa konsekuensi bagaimana bahasa
dilihat. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan membujuk,
mengganggu, bereaksi, menanggapi, menyarankan, memperjuangkan,
memengaruhi, berdebat, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu
yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol, bukan sesuatu yang
diekspresikan atau dikendalikan di luar kesadaran. Dengan konsep tersebut,
wacana dipahami sebagai suatu bentuk interaksi yang berfungsi untuk menjalin
hubungan sosial. Dalam hal ini, penulis menggunakan bahasa untuk berinteraksi
dengan pembaca.
Dalam analisis wacana kritis
(AWK), perlu dikaji konteks suatu wacana, seperti latar, situasi, peristiwa,
dan kondisi. Wacana dalam hal ini dimengerti, diproduksi, dan dianalisis dalam
konteks tertentu. AWK juga mengkaji konteks dari komunikasi; siapa yang
mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa; dalam jenis khalayak dan dalam
situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe perkembangan
komunikasi, dan bagaimana perbedaan antara setiap pihak. Bahasa dalam hal ini
dipahami dalam konteks secara keseluruhan.
Ada tiga hal
sentral dalam pengertian teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya
kata-kata yang tercetak di lembar kertas, melainkan semua jenis ekspresi
komunikasi yang ada di dalamnya. Selanjutnya, pengertian konteks dalam hal ini,
yaitu memasukkan semua jenis situasi dan hal yang berada di luar teks dan
memengaruhi pemakaian bahasa, situasi di mana teks itu diproduksi, serta fungsi
yang dimaksudkan. Sementara itu, wacana dimaknai sebagai konteks dan teks
secara bersama. Titik
perhatiannya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara
bersama-sama dalam proses komunikasi. Dalam hal ini dibutuhkan proses kognisi
dan gambaran spesifik dari budaya yang dibawa dalam wacana tersebut.
Salah satu aspek penting untuk
bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis
tertentu. Sebagai contoh, kita melakukan analisis wacana teks selebaran
mengenai pertentangan terhadap kasus Century. Pemahaman mengenai wacana
teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis,
tempat teks itu diciptakan (bagaimana situasi sosial politik dan suasana pada
saat itu). Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis, perlu tinjauan untuk
mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa
bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
Analisis wacana kritis
mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan, atau
apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi
merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan
adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Kekuasaan dalam
hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut dengan kontrol.
Bentuk kontrol tersebut terhadap wacana bisa bermacam-macam. Kontrol terhadap
konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus
berbicara, dan siapa pula yang hanya mendengar dan mengiakan, atau siapa yang
mendominasi dan siapa yang didominasi. Selain konteks, kontrol dapat juga
diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana. Hal ini dapat dilihat dari
penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu.
Selain itu, ada konsep sentral
dalam AWK, yaitu ideologi. Pada hakikatnya, setiap bentuk teks, percakapan, dan
sebagainya adalah salah satu praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu.
Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana kelompok dominan mempersuasi
dan mengomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki, sehingga
absah dan benar. Semua karakteristik penting dari analisis wacana kritis,
tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi
penjelasan bagaimana wacana dikembangkan dan memengaruhi khalayak.
Pada hakikatnya, ideologi dan
kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Tidak bisa dimungkiri bahwa teks disajikan
sebagai cerminan dari suatu hegemoni (ideologi dan kekuasaan). Teori klasik
mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok dominan yang bertujuan untuk
memproduksi dan melegitiminasi dominasi mereka. Hegemoni dalam pandangan
Fairclough lebih menekankan pada teori kekuasaan dengan pemahaman bahwa
kekuasaan suatu komunitas yang dominan dapat menguasai komunitas yang lain.
Ada banyak
ranting aliran (variance) dalam paradigma analis wacana kritis, tetapi
semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari
ideologi, kepentingan, dan jaring-jaring kekuasaan. Karena itu, analisis wacana
kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai peranti untuk membongkar
kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan
berwacana.
Menurut
Rosidi (2007:11), dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana kritis
yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan Teun A.
Van Dijk. Dibanding sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih
jernih dalam merinci struktur, komponen, dan unsur-unsur wacana.
Teun A. Van
Dijk memperlakukan wacana sebagai entitas berstruktur. Karena itu, pendekatan
yang ditawarkan pun bertolak dari pencermatan atas tiga tingkatan struktur
wacana, yaitu: struktur supra, struktur mikro, dan struktur makro (superstructure,
micro structure, and macrostructure) (Rosidi, 2007:10).
Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti
kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan
dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian
mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi
kepentingan pembuat wacana. Sementara itu, struktur mikro menunjuk pada makna
setempat (local meaning) suatu wacana. Ini dapat digali dari aspek
semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Struktur makro menunjuk pada makna
keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik
yang diangkat oleh pemakaian bahasa dalam suatu wacana.
Dengan
menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi
sosial pembuat wacana. Secara teoretik, pernyataan ini didasarkan pada
penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak
dan struktur wacana yang dihasilkan. Bila dikehendaki sampai pada ihwal
bagaimana wacana tertentu bertali-temali dengan struktur sosial dan pengetahuan
yang berkembang dalam masyarakat, maka analisis wacana kritis ini harus
dilanjutkan dengan analisis sosial.
Melalui
analisis wacana kritis, bahasa telah digunakan sebagai peranti kepentingan.
Wacana publik, terutama pada kasus yang melibatkan kepentingan yang saling
berbenturan, terbukti telah dijadikan sebagai senjata, baik bagi yang kuat
maupun bagi yang lemah. Satu pihak menggunakan wacana sebagai sarana untuk
mengendalikan dan merekayasa batin yang lain. Sebaliknya, pihak lain, dengan
peranti wacana pula melakukan perlawanan, atau sekurang-kurangnya melakukan
pembangkangan.
2.1 Analisis
Wacana Kritis Van Djick
Pada kajian ini pemberitaan
mengenai kasus KPK Vs POLRI akan dianalisis berdasarkan karangka analisis
wacana kritis teori Teun A. van Dijk yang terdiri atas 3 langkah. Pertama,
teks pemberitaan KPK Vs POLRI dianalisis pada tingkat struktur teks. Pada
bagian ini teks berita dilihat berdasarkan struktur makro, superstruktur, dan
struktur mikro. Analisis struktur makro bertujuan untuk melihat makna global
dari teks pemberitaan KPK Vs POLRI yang dapat diamati dari topik atau tema yang
diangkat dalam teks pemberitaan. Analisis superstruktur untuk melihat kerangka
suatu teks sebagai wujud dari penguatan makna global yang ditimbulkan pada
topik, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan. Kemudian pada
analisis struktur mikro untuk mengetahui elemen-elemen terkecil dalam
pembentukan wacana atau makna lokal dari teks berita, dapat diamati dari
pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh teks berita. Analisis struktur
teks pemberitaan KPK Vs POLRI ini akan disajikan melalui tabel analisis.
Kedua, setelah mengetahui struktur teks, kemudian peneliti mendeskripsikan
elemen-elemen yang ditemukan untuk mengungkap makna yang tersembunyi dari teks
pemberitaan. Penjabaran atau pembahasan keterkaitan antara elemen satu dengan
elemen yang lain sehingga dapat terlihat pandangan atau sikap media tersebut
terhadap kasus KPK Vs POLR. Ketiga, pembahasan pandangan atau sikap Kompas
dan Republika terhadap berita tersebut.
Adapun 6
teks berita yang dijadikan data kemudian disebut data 1, 2, 3 sampai 6. Adapun
urutannya adalah “Pita Hitam Wujud untuk Matinya Keadilan“ Kompas edisi
3 November 2009 (data 1), “’Dagelan’ Hukum di Mahkamah Konstitusi” Kompas edisi
4 November 2009 (data 2), “Polri Jamin Tak Ada Rekayasa” Kompas edisi 6
November 2009 (data 3), “Pita Hitam Wujud keprihatinan Massal” Republika edisi
3 November 2009 (berita 4), “Sejarah Penting Penegakan Hukum” Republika edisi
4 November 2009 (data 5), dan “Robohnya Kredibilitas Aparat” Republika edisi
6 November 2009 (data 6).
Analisis Data
Judul : “Pita
Hitam Wujud untuk Matinya Keadilan“
Harian Umum : Kompas
Edisi : 3
November 2009
Tabel 4.1
Analisis Struktur Data 1
No.
|
Elemen wacana
|
Uraian
|
1.
|
Struktur Makro
(Tematik)
a. Topik
b. Sub topik
c. fakta
|
Wujud keprihatinan rakyat terhadap matinya
keadilan.
Paragraf 8, kalimat 1:
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam,
yang
merupakan episode lanjut dari pertarungan
”cicak
melawan buaya (istilah yang dipakai
seorang
petinggi Polri untuk instansinya)”, mulai
menyebar
di beberapa daerah.
Paragraf 7, kalimat 1-2:
Siang itu Bundaran Hotel Indonesia (HI)
ramai oleh
massa berpita hitam. Tak hanya di HI, di
beberapa kantor, karyawan juga memakai pita hitam atau baju
hitam.
Paragraf 9:
Di dunia maya, dukungan kian menggelembung.
Hingga pukul 21.00, hampir setengah juta
facebookers menyatakan dukungan terhadap
Bibit
dan Chandra.
Paragraf 17:
Malam itu, setelah lelah berpanas di HI,
Irma
Hidayana, anggota Komunitas Cicak, sibuk
di studio
rekaman. ”Sejumlah artis yang mendukung
KPK
tengah membuat ringtone untuk telepon
genggam.
Mereka adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’,
dan
Cholil ’ERK’. Besok ringtone ini mulai
beredar di
seluruh Indonesia. Gratis,” katanya.
|
2.
|
Superstruktur
(Skematik)
a. Summary
1. Judul
2. lead
b. story
1. situasi
2. komentar
|
Pita Hitam Wujud untuk Matinya Keadilan
-
Paragraf 7, kalimat 1-2:
Siang itu Bundaran Hotel Indonesia (HI)
ramai oleh
massa berpita hitam. Tak hanya di HI, di
beberapa
kantor, karyawan juga memakai pita hitam
atau baju
hitam.
Paragraf 8, kalimat 1-2:
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam,
yang
merupakan episode lanjut dari pertarungan
”cicak
melawan buaya (istilah yang dipakai
seorang petinggi
Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar
di
beberapa daerah. Pada hari yang sama,
unjuk rasa
terjadi di beberapa daerah. Unjuk rasa itu
dipicu
penahanan Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit
Samad
Rianto dan Chandra M Hamzah.
Paragraf 17:
Malam itu, setelah lelah berpanas di HI,
Irma
Hidayana, anggota Komunitas Cicak, sibuk
di studio
rekaman. ”Sejumlah artis yang mendukung
KPK
tengah membuat ringtone untuk telepon
genggam.
Mereka adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’,
dan
Cholil ’ERK’. Besok ringtone ini mulai
beredar di
seluruh Indonesia. Gratis,” katanya.
Paragraf 2, kalimat 4:
”Masyarakat maunya sederhana, yang benar
55
didukung dan yang korup diberantas,” kata
Dwi.
Paragraf 5, kalimat 2:
”Presiden berganti, pemerintahan berganti,
tetapi
mengapa rakyat tetap miskin? Ini karena
korupsi
tetap merajalela,” katanya.
Paragraf 6, kalimat 2:
”Saya tak rela reformasi hanya melahirkan
penguasa
yang tak mau berpihak kepada rakyat,”
katanya.
Paragraf 7, kalimat 3:
”Ini bukan karena ikut-ikutan, tetapi kami
secara
sadar mendukung gerakan melawan korupsi,”
kata
Susi Afianti (26), karyawati salah satu
bank swasta di
kawasan Sudirman.
Paragraf 10, kalimat 1-2:
“Gerakan ini berasal dari kesadaran
terdalam rakyat
yang muak dengan korupsi dan retorika
penguasa.
Walau tanpa dukungan dari partai oposisi,
gerakan
ini bisa menjadi kekuatan rakyat,”
ujarnya.
Paragraf 11, kalimat 2:
”Dukungan rakyat bila tidak mampu
dibendung
Presiden berpotensi berubah menjadi
kekuatan rakyat
atau people’s power,” katanya.
Paragraf 12, kalimat 3:
”Dari berbagai pengalaman, kekuatan rakyat
tidak
mungkin dihadapi dengan kekuasaan,”
ujarnya.
Paragraf 14, kalimat 2:
”Semakin lama mereka ditahan, semakin kuat
dukungan. Dukungan pun semakin lama
semakin
berpotensi untuk berubah menjadi kekuatan
rakyat,”
ujarnya.
Paragraf 16, kalimat 1 dan 2:
“Gerakan pita hitam bukan hanya simbol
melawan
ketidakadilan dalam proses hukum Bibit dan
Chandra”. “Tetapi, seharusnya menjadi
tonggak
untuk membenahi proses penegakan hukum.
Lebih
penting lagi, gerakan ini untuk melawan
korupsi.
Selama tim independen belum menyentuh
masalah
ini, kami akan terus bergerak,” katanya.
Paragraf 17, kalimat 2:
”Sejumlah artis yang mendukung KPK tengah
membuat ringtone untuk telepon genggam.
Mereka
adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’, dan
Cholil
’ERK’. Besok ringtone ini mulai beredar di
seluruh
Indonesia. Gratis,”
katanya.
|
3.
|
Struktur Mikro
a. Semantik
1. Latar
2. Detail
Panjang
Detail pendek
3. Maksud
4. Praanggapan
5. Nominalisasi
b. Sintaksis
1. Bentuk
Kalimat
2. Koherensi
Pengingkaran
Kondisional
3. Kata ganti
c. Stilistika
Leksikon
d. Retoris
1. Grafis
2. metafora
|
Paragraf 6:
Suasana siang itu mengingatkan Anwar pada
11
tahun silam menjelang era reformasi. ”Saya
tak rela
reformasi hanya melahirkan penguasa yang
tak mau
berpihak kepada rakyat,” katanya.
Paragraf 12:
Tahun 1986, kata Hikmahanto, kekuatan
rakyat di
Filipina mampu melengserkan Ferdinand
Marcos dari
kekuasaannya. Demikian pula di Indonesia
tahun
1998 kekuatan rakyat bisa melengserkan
Soeharto.
”Dari berbagai pengalaman, kekuatan rakyat
tidak
mungkin dihadapi dengan kekuasaan,”
ujarnya
Paragraf 1-5:
Dwi Deni (25), Senin (2/11) siang itu,
sengaja
meminta izin dari kantornya, konsultan
swasta untuk
Departemen Pekerjaan Umum. Izinnya, ”Ada
keperluan pribadi.” Namun, sebenarnya ia
melakukan
sesuatu yang disebutnya, ”Demi kepentingan
bangsa.” (Paragraf 1)
Siang itu, matahari terik membakar. Dwi
berbaur
dengan massa Cintai Indonesia Cintai KPK
(Cicak)
di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Pita
hitam
melingkar di lengan kirinya. ”Masyarakat
maunya
sederhana, yang benar didukung dan yang
korup
diberantas,” kata Dwi. (Paragraf 2)
Rakyat, papar Dwi, lelah dengan
janji-janji. Janji
Presiden untuk memberantas korupsi, tetapi
terlihat
berpihak kepada polisi yang justru ingin
melemahkan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
(Paragraf 3)
Semangat yang sama juga menggerakkan Anwar
Umar (80) untuk mengikuti aksi itu. Sama
seperti
Dwi, pita hitam erat melingkar di lengan
kirinya. Pita
hitam yang menjadi simbol perlawanan
terhadap
ketidakadilan dan korupsi. (Paragraf 4)
Dengan langkah berat dan lelah, serta
suara yang
bergetar, Anwar masih bersemangat.
”Presiden
berganti, pemerintahan berganti, tetapi
mengapa
rakyat tetap miskin? Ini karena korupsi
tetap
merajalela,” katanya. (Paragraf 5)
Paragraf 15 kalimat 1:
Namun, pada akhirnya, menurut Hikmahanto,
Presiden mulai mendengar suara kritis
dengan
membentuk Tim Independen Verifikasi Proses
Hukum terhadap Bibit dan Chandra
Paragraf 13:
Dalam konteks kisruh KPK dan Polri,
pernyataan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30
Oktober lalu ternyata tidak mampu
menyurutkan
dukungan masyarakat terhadap Bibit dan
Chandra.
-
Paragraf 4 kalimat 3:
Pita hitam yang menjadi simbol perlawanan
terhadap
ketidakadilan dan korupsi.
Paragraf 8 kalimat 1:
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam,
yang
merupakan episode lanjut dari pertarungan
”cicak
melawan buaya (istilah yang dipakai
seorang petinggi
Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar
di
beberapa daerah.
Paragraf 8 kalimat 3:
Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil
Ketua
(nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan
Chandra M
Hamzah.
Teks berita ini berjumlah 49 kalimat
terdiri atas 43
kalimat aktif dan 6 kalimat pasif. Contoh
kalimat
aktif:
Paragraf 2 kalimat 2:
“Dwi berbaur dengan massa Cintai Indonesia
Cintai
KPK (Cicak) di Bundaran Hotel Indonesia,
Jakarta”
Paragraf 3 kalimat 1:
Rakyat, papar Dwi, lelah dengan
janji-janji.
Paragraf 11 kalimat 1:
Guru besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
Hikmahanto Juwana mengimbau agar
pemerintah tak
meremehkan kekuatan rakyat.
Contoh kalimat pasif:
Paragraf 14 kalimat 1:
Bibit dan Chandra, kata Hikmahanto, telah
dijadikan
simbol oleh rakyat.
Paragraf 8 kalimat 3:
Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil
Ketua
(nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan
Chandra M
Hamzah.
Paragraf 3 kalimat 2:
Janji Presiden untuk memberantas korupsi, tetapi
terlihat berpihak kepada polisi yang
justru ingin
melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Paragraf 5 kalimat 2:
”Presiden berganti, pemerintahan berganti,
tetapi
mengapa rakyat tetap miskin? Ini karena
korupsi
tetap merajalela,” katanya.
Paragraf 16:
Illian Deta Arta Sari dari Komunitas Cicak
mengatakan, gerakan pita hitam bukan hanya
simbol
melawan ketidakadilan dalam proses hukum
Bibit
dan Chandra. ”Tetapi, seharusnya
menjadi tonggak
untuk membenahi proses penegakan hukum.
Lebih
penting lagi, gerakan ini untuk melawan
korupsi.
Paragraf 8 kalimat 1
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang
merupakan episode lanjut dari pertarungan
”cicak
melawan buaya (istilah yang dipakai
seorang petinggi
Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar
di
beberapa daerah.
Paragraf 10 kalimat 1
Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi
Hamid
mengatakan, gerakan ini berasal dari
kesadaran
terdalam rakyat yang muak dengan
korupsi dan
retorika penguasa.
Menggunakan orang ketiga (nama).
Pita hitam (paragraf 2), baju hitam
(paragraf 7), lelah
dengan janji-janji (paragraf 3),
melemahkan KPK
(paragraf 3), kekuatan rakyat (paragraf 10
dan 11).
Gambar Tim Independen Klarifikasi Fakta
dan
Proses Hukum Kasus Bibit-Chandra sedang
memberikan keterangan kepada wartawan
seusai
mengadakan pertemuan dengan Presiden
Susilo
Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden.
Ukuran huruf judul yang lebih besar
-
|
Berdasarkan
analisis struktur di atas, Kompas mengambil topik utama mengenai wujud
keprihatinan rakyat terhadap matinya keadilan di Indonesia. Dalam teks berita
di atas digambarkan berbagai wujud dukungan yang dilakukan oleh rakyat—dari
berbagai kalangan dan dengan berbagai cara-- yang diberikan kepada wakil ketua
(nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.
Dalam
mendukung topik yang dibuat, Kompas memunculkan subtopik pada paragraf
8, yaitu menceritakan mengenai menyebarnya gerakan pita hitam di berbagai
daerah. Gerakan pita hitam merupakan sebutan untuk gerakan yang menunjukkan
keprihatinan rakyat terhadap matinya keadilan di lingkungan penegak hukum
Indonesia.
Topik dan
subtopik ini didukung oleh uraian fakta sebagai penguat berita. Fakta pertama
terdapat pada paragraf 7 yang menyebutkan bahwa di bundaran Hotel Indonesia
(HI) ramai oleh massa yang memakai pita hitam. Juga karyawan di beberapa kantor
memakai pita hitam atau baju hitam sebagai wujud gerakan melawan korupsi.
Selain dukungan di dunia nyata, dalam teks berita di atas juga dimunculkan
fakta banyaknya dukungan rakyat di dunia maya, terdapat pada paragraf 9 yang
menyebutkan bahwa dukungan rakyat juga diberikan melalui facebook. Dalam
waktu singkat dukungan facebookers dapat mengumpulkan dukungan yang
sangat banyak. Fakta ketiga mengenai dukungan yang diberikan melalui pembuatan
ringtone telepon genggam (paragraf 17).
Tema teks
berita di atas didukung pula dengan urutan penceritaan atau skematik yaitu
bagaimana peristiwa satu dengan peristiwa lain dirangkai menjadi 60 satu teks
berita yang utuh. Dari segi skematik (superstruktur) ini diawali dengan
pemberian judul sebagai gambaran tema atau topik yang diangkat oleh penulis.
Teks berita di atas berjudul Pita Hitam untuk Matinya Keadilan. Pemberian
judul ini memberikan kesan berkabung kepada masyarakat pembaca. Simbol yang
dipakai dalam teks ini adalah pita hitam. Warna hitam sering diasumsikan
sebagai wujud bela sungkawa, kekecewaaan, keprihatinan dan sedih. Begitupun
simbol hitam dalam wacana ini. Pita yang berwarna hitam menjadi simbol
kesedihan, keprihatinan masyarakat terhadap hilangnya keadilan di lembaga hukum
Indonesia.
Sebagai
strategi urutan, teks berita di atas diawali dengan kisah antusiasme rakyat
berunjukrasa dengan memakai pita hitam dan baju hitam (paragraf 1-7).
Dilanjutkan dengan uraian penyebaran gerakan pita hitam di berbagai daerah
(paragraf 8), kemudian dikuatkan dengan paragraf 9 yang berisi uraian banyaknya
dukungan di dunia maya via facebook. paragraf 10 sampai paragraf 15
berisi uraian mengenai kekuatan rakyat dan tanggapannya. Paragraf 16 sampai
akhir berisi uraian dukungan dengan cara membuat ringtone yang berisi dukungan
untuk KPK.
Penulis
menampilkan kisah antusiasme rakyat diawal teks berita, penulis ingin
mengesankan dan manggambarkan begitu bersemangatnya masyarakat mengikuti aksi
gerakan pita hitam dimulai dari karyawan muda sampai orang tua yang berusia
renta, 80 tahun, sebagai gambaran juga bahwa masyarakat sudah bersemangat
melawan korupsi dan ketidakadilan.
Sebagai
pendukung urutan penceritaan, penulis menampilkan komentar-komentar dari
karyawan sampai seorang guru besar. Komentar yang pertama ditampilkan oleh
penulis adalah komentar dari seorang karyawan, Dwi Deni (25) yang ikut
bergabung dengan massa Cintai Indonesia Cintai KPK (KPK), “Masyarakat maunya
sederhana, yang benar didukung dan yang korup diberantas,”. Penggunaan kata masyarakat
pada komentar ini mengesankan bahwa yang berkomentar adalah dari masyarakat
seluruh Indonesia tanpa kecuali berkeinginan seperti yang dilontarkan oleh Dwi,
baik itu masyarakat bawah, menengah maupun para pejabat. Serta menegaskan bahwa
yang mereka dukung adalah yang benar. Dilanjutkan dengan komentar yang
mengkritik tindakan presiden yang berpihak kepada polisi dan dianggap telah
melemahkan KPK. Komentar dari masyarakat yang berusia 80 tahun sekaligus
menjadi latar ditampilkan pada paragraf 6: “Saya tak rela reformasi hanya
melahirkan penguasa yang tak mau berpihak kepada rakyat,”. Hal ini menunjukkan
kekecewaan yang mempunyai harapan adanya perubahan setelah masa reformasi yaitu
adanya keberpihakan penguasa kepada rakyat.
Gerakan atau
aksi pita hitam yang dilakukan bukan karena paksaan, terlihat dari komentar
seorang karyawan pada paragraf 7: ”Ini bukan karena ikutikutan, tetapi kami
secara sadar mendukung gerakan melawan korupsi,”. Hal ini menegaskan bahwa
mereka melakukan aksi karena kesadaran sendiri, bukan karena ikut-kutan.
komentar ini didukung komentar dari ketua Forum Rektor Indonesia yang
menyatakan bahwa gerakan yang dilakukan oleh masyarakat berasal dari kesadaran
terdalam rakyat yang muak dengan korupsi dan retorika
62 penguasa
dan akan berpotens menjadi kekuatan rakyat (paragraf 8). Besarnya pengaruh
dukungan masyarakat yang bisa menjadi kekuatan rakyat dipertegas oleh guru
besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana: Dukungan rakyat
bila tidak mampu dibendung Presiden berpotensi berubah menjadi kekuatan rakyat
atau people’s power,”.
Pada tingkat
mikro, teks ini mengisahkan dukungan yang diberikan rakyat kepada Bibit-Chandra
diawali dengan detail panjang mengenai gambaran antusiasme rakyat yang diwakili
oleh gambaran seorang karyawan muda dan orang tua berusia 80 tahun untuk
mengikuti unjuk rasa dengan memakai pita hitam di lengan kirinya sebagai simbol
perlawanan terhadap ketidak-adilan dan korupsi. Pada paragraf 5 diceritakan
bagaimana Anwar Umar (80) dengan langkah yang berat dan lelah, serta suara yang
bergetar masih bersemangat mangikuti aksi. Hal ini memberi kesan bahwa orang
tua yang sudah berumur 80 tahun bersemangat mengikuti aksi.
Detail
panjang yang disimpan di awal berita pada teks berita mengesankan bahwa
antusiasme rakyat sangat besar terhadap perlawanan ketidakadilan dan korupsi.
Selain itu penulis menulis detail mengenai kekuatan rakyat. Dalam teks ini
dijelaskan bahwa kekuatan rakyat berasal dari kesadaran terdalam yang muak
dengan korupsi dan retorika penguasa (paragraf 10). Didukung dengan adanya
latar mengenai dampak besarnya kekuatan rakyat pada paragraf 12: “Tahun 1986, kata
Hikmahanto, kekuatan rakyat di Filipina mampu melengserkan Ferdinand Marcos
dari kekuasaannya. Demikian pula di Indonesia tahun 1998 kekuatan rakyat bisa
melengserkan Soeharto”. Melalui latar yang 63 ditampilkan ini menunjukkan bahwa
kekuatan rakyat bisa mengalahkan kekuasaan. Apabila presiden tidak turun tangan
dalam kasus ini, kemungkinan besar akan lahir kekuatan rakyat yang besar dan
bisa menjatuhkan kekuasaan presiden.
Dukungan
yang ditujukan kepada Bibit-Chandra sebagai simbol perlawanan mereka kepada
korupsi dituliskan dengan panjang dan jelas yaitu pada paragraf 1-5. Sedangkan
pada paragraf 15 dengan ruang sedikit menjelaskan tindakan pemerintah sebagai
wujud respon terhadap tuntutan rakyat. Terlihat bahwa tidak ada ruang seimbang
antara aksi dukungan KPK sebagai tuntutan kepada pemerintah dengan apa yang
sudah dilakukan oleh pemerintah.
Terdapat
beberapa bentuk nominalisasi, yaitu pada Paragraf 4 kalimat 3: “Pita hitam yang
menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi”. Kata ketidakadilan
dalam kalimat di atas merupakan wujud nominalisasi yang menunjukkan wujud
keumuman bahwa pita hitam tersebut bukan hanya ditujukan kepada satu peristiwa
tetapi ketidakadilan secara umum. Selain itu terdapat juga pada Paragraf 8
kalimat 1: “Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang merupakan episode
lanjut dari pertarungan ”cicak melawan buaya (istilah yang dipakai seorang
petinggi Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di beberapa daerah”.
Paragraf 8 kalimat 3: “Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil Ketua (nonaktif)
KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah”. Kata penahanan pada
kalimat tersebut merupakan wujud penonjolan objek dengan tujuan agar objek
tersebut menjadi perhatian pembaca.
Dari segi
sintaksis, teks berita di atas banyak menggunakan kalimat aktif daripada pasif.
Dari 49 kalimat, terdapat 43 kalimat aktif dan 6 kalimat pasif. Ini menunjukkan
bahwa Kompas dalam teks berita di atas lebih banyak menampilkan subjek.
Seperti pada kalimat “Hingga pukul 21.00, hampir setengah juta facebookers
menyatakan dukungan terhadap Bibit dan Chandra”.
Terdapat
tiga pengingkaran yaitu pada paragraf 3 kalimat 2: “Janji Presiden untuk
memberantas korupsi, tetapi terlihat berpihak kepada polisi yang justru ingin
melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Dalam kalimat tersebut ada dua
pernyataan yang diperbandingkan. Pernyataan pertama mengenai janji presiden
untuk memberantas korupsi dikontraskan dengan keberpihakan presiden kepada
polisi yang ingin melemahkan KPK. Pernyataan kedua berarti secara jelas
menyatakan bahwa dalam konteks ini polisi bersalah dan seharusnya tidak
didukung oleh pemerintah. Terdapat juga pengingkaran pada paragraf 5 kalimat
ke-2: ”Presiden berganti, pemerintahan berganti, tetapi mengapa rakyat tetap
miskin? Ini karena korupsi tetap merajalela,”. Kalimat tersebut mengkontraskan
dua keadaan, yaitu pergantian presiden dan pemerintahan dengan keadaan rakyat
yang tetap miskin. Menegaskan bahwa walaupun presiden, pemerintahan berganti,
kalau korupsi masih ada, rakyat akan tetap miskin. Kunci pemberantasan
kemiskinan bukan berada pada bergantinya presiden tetapi pada pemberantasan
korupsi. Selain itu terdapat pula pengingkaran pada paragraf 16
“Illian Deta Arta Sari dari Komunitas Cicak
mengatakan, gerakan pita hitam bukan hanya simbol melawan ketidakadilan dalam
proses hukum Bibit dan Chandra. Tetapi, seharusnya menjadi tonggak untuk
membenahi proses penegakan hukum. Lebih penting lagi, gerakan ini untuk melawan
korupsi” (Kompas, 3/11/2009)
Dalam
kalimat di atas pengingkaran dengan kata tetapi memberi kesan penambahan
atau penegasan bahwa gerakan pita hitam bukan hanya sesaat, ketika kasus yang
dialami Bibit-Chandra saja tetapi harapannya bisa menjadi pembenahan dalam
penegakan hukum dan perlawanan terhadap korupsi.
Selain
pengingkaran terdapat pula koherensi kondisional pada paragraf 8 kalimat ke-1:
“Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang merupakan episode lanjut dari
pertarungan ”cicak melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi Polri
untuk instansinya)”, mulai menyebar di beberapa daerah”. Kata hubung yang pada
kalimat di atas menjadi penjelas bahwa gerakan pita hitam tersebut merupakan
episode perseteruan antara KPK dan POLRI. Adanya tambahan ini penulis ingin
mengingatkan kembali, menekankan dan menegaskan peristiwa yang sedang terjadi
antara KPK dan POLRI. Terdapat pula pada paragraf 10 kalimat ke-1: “Ketua Forum
Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, gerakan ini berasal dari
kesadaran terdalam rakyat yang muak dengan korupsi dan retorika penguasa”. Kata
yang pada kalimat ini menegaskan kepada pembaca mengenai keadaan,
perasaan rakyat terhadap korupsi dan rekayasa penguasa.
Kata ganti
yang digunakan dalam teks berita di atas sebagian besar menggunakan kata
memakai nama. Seperti pada paragraf 10, disebutkan yang memberi komentar
adalah Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid. Penulis menampilkan
pangkat sebagai ketua forum, mengesankan bahwa komentar yang dikeluarkan dari
seluruh anggota forum yang diwakili oleh ketua. Selain itu dengan menggunakan
pangkat mengesankan lebih besar dan sebagai langkah legitimasi.
Terdapat
beberapa diksi untuk menghasilkan kesan lebih dalam yaitu diksi pita hitam (paragraf
2) dan baju hitam (paragraf 7) mempunyai arti sebagai wujud atau
cerminan kekecewaan, keprihatinan, kesedihan terhadap peristiwa yang terjadi.
Warna hitam selalu diidentikkan dengan rasa yang kurang menyenangkan. Dalam
teks berita di atas pita hitam dan baju hitam menjadi simbol perlawanan
terhadap ketidakadilan dan korupsi. Terdapat pula diksi lelah dengan janji-janji
(paragraf 3). Lelah di sana bukan berarti lelah fisik, tetapi
menunjukkan bahwa rakyat tidak mau lagi mendengar janji-janji pejabat tanpa
bukti yang konkret. Kemudian pula diksi melemahkan KPK (paragraf 3).
Kata melemahkan di sana berarti membuat jadi lemah kinerja KPK dalam
memberantas korupsi. Diksi kekuatan rakyat (paragraf 10 dan 11) bukan
berarti kekuatan fisik dari seluruh rakyat Indonesia tetapi berupa dukungan
rakyat yang besar dan diwujudkan dengan desakan kepada pihak pemerintah untuk melakukan
atau mengambil keputusan terhadap suatu kejadian.
Dalam
mendukung teks berita, penulis memakai gambar Tim Independen Klarifikasi Fakta
sedang memberikan keterangan kepada wartawan seusai mengadakan pertemuan dengan
presiden. Gambar ini dipakai untuk mengesankan kepada pembaca keseriusan Tim
Independen Klarifikasi Fakta dalam menangani kasus korupsi.
2.2 Analisis
Wacana Kritis Sara Milis
Pada tahap
pertama, teks berita tindakan asusila pada perempuan akan dianalisis melalui
sebuah kartu data posisi Subjek. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi
subjek dalam teks berita. Tahap kedua, teks berita tindakan asusila pada
perempuan akan di analisis melalui sebuah kartu data posisi Objek. Hal tersebut
dilakukan untuk mengetahui posisi objek dalam teks berita. Tahap ketiga, teks
berita tindakan asusila pada perempuan akan di analisis melalui sebuah kartu
data posisi Penulis. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi penulis dalam
teks berita.
Tahap
keempat, teks berita tindakan asusila pada perempuan akan di analisis melalui
sebuah kartu data posisi Pembaca. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui
posisi pembaca dalam teks berita. Tahap terakhir teks berita tindakan asusila
pada perempuan akan di analisis melalui sebuah kartu data posisi Perempuan. Hal
tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi perempuan dalam teks berita. Teknik
pengolahan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis wacana
kritis. Setiap teks berita akan di analisis berdasarkan teori wacana yang
dikemukakan oleh Sara Mills, yakni teori wacana feminis.
Analisis Teks Pemberitaan Tindakan
Asusila Berdasarkan Tema Pencabulan
Analisis Posisi Subjek pada Teks
Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks berita
tindakan asusila pada perempuan.
Posisi Subjek
Tema:
Pencabulan
|
No.
|
Harian
Umum/Edisi/Judul
|
Variabel
|
Data
|
1.
|
Galamedia/Rabu, 19
November
2008/
Cabuli
Gadis Remaja,
Seorang
Duda Diciduk
|
Posisi
Subjek
|
Paragraf 5
Menurut
pengakuan tersangka DH yang juga duda
satu anak
ini kepada wartawan di Mapolsekta
Rancasari,
dirinya tidak menyangka akan ditahan
polisi
akibat perbuatannya itu. “Soalnya kita
melakukannya
suka sama suka, “ katanya.
|
2.
|
Galamedia/Rabu, 8
April
2009/Siswi SMA
dan SMK
Korban
Pencabulan
|
Posisi
Subjek
|
Teks
berita ini menceritakan dua kasus berbeda.
Teks
pertama, paragraf lima.
Menurut
keterangan, Ir diduga Melarikan SR, siswi
sebuah SMK
di Ciamis. Perkenalan Ir dengan SR
berawal
dari SMS nyasar, yang berlanjut dengan
perkenalan.
Ir dengan gencar mengirim rayuan
gombal
lewat SMS dan mengaku masih bujangan;
padahal
sudah punya anak istri.
Teks
berita kedua, paragraf pertama.
Sementara
itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok
Garyam.
Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab.
Indramayu
menjadi korban nafsu setan tetangganya,
Win (23).
Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi
bejat Win
terungkap saat massa menggerebek
tempatnya
dan menyerahkannya ke polisi.
|
3.
|
Galamedia/Kamis,
9
April
2009/Dukun
Cabul
Hamili Anak
Tiri
|
Posisi
Subjek
|
Paragraf
akhir.
Tersangka
Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat
melakukan
itu, karena sering melihat korban tidur
dengan
kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka
denga
korban tinggal dalam satu rumah. “Hampir
20 kali
saya menyetubuhi korban,” akunya.
|
Analisis:
Berdasarkan
tabel di atas, pada Galamedia, Rabu 19 November 2008 berjudul
“Cabuli Gadis Remaja, Seorang Duda Diciduk” ini menceritakan mengenai
perkosaan yang dilakukan oleh seorang duda berinisial DH (23) terhadap
gadis beinisial SN berumur 13 tahun, pelaku mengakui jika mereka berdua
baru saling mengenal tiga hari sebelum pemerkosaan terjadi pada SN. Teks
berita ini menempatkan DH sebagai subjek (pencerita) sementara SN sebagai
korban perkosaan ditempatkan sebagai objek (yang diceritakan). Awal
hingga akhir kejadian dalam berita diceritakan oleh DH selaku pelaku perkosaan,
sementara tak ada satupun kalimat atau pemaparan SN sebagai korban. DH
dalam teks berita ini adalah narator tunggal yang bebas menceritakan apa saja
yang ada dipikirannya. Terbukti pada paragraf lima, “Menurut pengakuan tersangka
DH yang juga duda satu anak ini kepada wartawan di Mapolsekta Rancasari,
dirinya tidak menyangka akan ditahan polisi akibat perbuatannya itu.
Soalnya kita
melakukannya suka sama suka, katanya”. DH ditempatkan sebagai Subjek atau
sebagai narator tunggal dapat terlihat pula pada paragraf penutup dalam kalimat
pertama berikut ini. “Dikatakannya, perbuatannya itu kembali diulanginya
setelah korban bangun sekitar pukul 18.00 WIB. “Begitu bangun, dia ke kamar
mandi. Terus kami main lagi di situ,” ujar DH yang bersikeras jika dirinya tidak
bersalah”. Sementara itu, pada Galamedia Rabu 8 April 2009 berjudul
Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan, teks berita ini menceritakan dua pelajar
dalam dua wilayah hukum berbeda, yakni wilayah Polres Ciamis dan Polres
Indramayu. Keduanya memiliki kesamaan yakni menjadi korban pencabulan.
Pada kisah pertama,
terjadi pada siswi SMK yang masih duduk di bangku salah satu SMK di Ciamis,
gadis berinisial SR (16). Dalam teks berita pertama, menempatkan Ir sebagai
subjek (pencerita) yang mengisahkan kronologi berita tersebut. Terbukti pada
paragraf lima berikut ini. Menurut keterangan, Ir diduga Melarikan SR, siswi
sebuah SMK di Ciamis. Perkenalan Ir dengan SR berawal dari SMS nyasar, yang
berlanjut dengan perkenalan. Ir dengan gencar mengirim rayuan gombal lewat SMS
dan mengakumasih bujangan; padahal sudah punya anak istri. Teks berita kedua,
tidak jauh berbeda dengan versi cerita pertama. Menceritakan seorang ABG, gadis
yang masih duduk di bangku SMU ini berinisial BD (17) yang menjadi korban nafsu
setan tetangganya, sedikit bebeda dengan cerita pertama. Sang korban sesaat
sebelum terjadi pencabulan dicekoki minuman keras terlebih dahulu. Berlaku
sebagai subjek adalah Win (Pelaku), hal tersebut terlihat pada paragraf
pertama.
Sementara
itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok Garyam. Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab.
Indramayu menjadi korban nafsu setan tetangganya, Win (23). Sebelumnya korban
dicekoki miras. Aksi bejat Win terungkap saat massa menggerebek tempatnya dan
menyerahkannya ke polisi. Kalimat kedua, “Sebelumnya korban dicekoki miras”.
Kalimat ini tentu berdasarkan pengakuan pelaku (Win). Atas dasar pertimbangan
itulah Win ditempatkan sebagai subjek. Teks berita ketiga, Galamedia 9
April 2009 berjudul Dukun Cabul Hamili Anak Tiri, teks berita ini mengisahkan
NCR (16) yang masih duduk di salah satu bangku SMU swasta di Desa Maruyung,
Kec. Pacet, Kab. Bandung. NCR melahirkan bayi perempuan kembar, namun satu
diantaranya meninggal dunia. Telah diselidiki lebih lanjut, ayah tirinya yang
telah dengan tega menghamilinya hingga NCR melahirkan anak. Ayah tirinya
bernama Ddg (35) yang dikenal berprofesi sebagai dukun tersebut mengakui jika
dirinya telah memperdayai NCR sebanyak 20 kali.
Dalam teks
berita ini berlaku sebagai subjek (pencerita) adalah Ddg atau pelaku pencabulan.
Hal tersebut dapat tergambarkan pada paragraf akhir. Tersangka Ddg kepada “GM”
mengatakan, ia nekat melakukan itu, karena sering melihat korban tidur dengan
kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka dengan korban tinggal dalam satu
rumah. “Hampir 20 kali saya menyetubuhi korban,” akunya. Kalimat dengan konsep
pengakuan Ddg, kronologis peristiwa menjadi lebih jelas terlihat, dan
pengungkapan tersebut berasal dari pengakuan pelaku (Ddg), atas pertimbangan itulah
Ddg ditempatkan sebagai subjek dalam teks berita ini.
Analisis Posisi Objek pada Teks
Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks
berita tindakan asusila pada perempuan.
Posisi Objek
Tema
|
No.
|
Harian
Umum/Edisi/Judul
|
Variabel
|
Data
|
1.
|
Galamedia/Rabu, 19
November 2008/ Cabuli
Gadis Remaja, Seorang
Duda Diciduk
|
Posisi Objek
|
Paragraf 6
Tersangka mengenal korban tiga
hari sebelum
kejadian. “Hari Jumat (14/11)
saya ketemu dengan dia
di daerah Rancabolang. Sabtunya
janjian untuk ketemu
lagi. Di situ saya nyatakan
kemauan saya dan dia
menerima. Terus janjian lagi
hari Minggu di tempat
yang sama,” aku DH.
|
2.
|
Galamedia/Rabu, 8 April 2009/Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan
|
Posisi objek
|
Teks berita pertama, pada paragraf 4
Ir ditangkap setelah dihadang di jembatan
Cirahong.
Sebelumnya petugas dari Ciamis mencarinya ke
Kec.
Jatiwaras, Tasikmalaya. Ternyata Ir baru saja
meninggalkan Jati Waras dengan membawa SR,
siswi
sebuah SMK di Ciamis. Petugas balik lagi dan
melakukan penghadangan di Jembatan Cirahong
hingga akhirnya tersangka pun ditangkap.
Teks berita kedua,
pada
paragraf 1
Sementara itu, BD (17), seorang ABG, warga
Blok
Garyam. Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab.
Indramayu
menjadi korban nafsu setan tetangganya, Win
(23).
Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi bejat
Win
terungkap saat masa menggerebek tempatnya dan
menyerahkannya ke
polisi.
|
3.
|
Galamedia/Kamis, 9 April 2009/Dukun Cabul
Hamili Anak Tiri
|
Posisi Objek
|
Paragraf akhir
Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan, ia
nekat
melakukan itu, karena sering melihat korban
tidur
dengan kondisi tubuh terbuka. Apalagi,
tersangka
denga korban tinggal dalam satu rumah.
“Hampir 20 kali saya menyetubuhi korban,”akunya.
|
Analisis Data:
Berdasarkan tabel di atas, dalam Galamedia Rabu, 19
November 2008 berjudul “Cabuli Gadis Remaja, Seorang Duda Diciduk”, teks berita
ini menempatkan SN sebagai korban perkosaan ditempatkan sebagai objek (yang
diceritakan). Kejadian diceritakan oleh DH selaku pelaku perkosaan, tidak
satupun kalimat atau pemaparan SN sebagai korban.
Posisi SN sebagai korban di ambil alih
sepenuhnya oleh DH, terlihat Pada
paragraf enam. Tersangka mengenal korban tiga hari sebelum kejadian.
“Hari Jumat (14/11) saya ketemu dengan dia di daerah
Rancabolang. Sabtunya janjian untuk ketemu lagi. Di situ saya nyatakan kemauan saya dan dia menerima.
Terus janjian lagi hari Minggu di tempat yang sama,”
aku DH.
Paragraf di atas menyatakan korban rela dan pasrah pada
seseorang laki-laki yang baru dia kenal, untuk janji berjumpa dalam
waktu yang relatif singkat, hingga peritiwa pemerkosaan menimpa perempuan dan
dalam teks berita ini tak ada penjelasan atau sekedar bantahan berasal dari
suara perempuan atau korban. Sementara itu, pada Galamedia Rabu 8 April
2009 teks berjudul “Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan”, Teks berita ini
menceritakan dua pelajar dalam dua wilayah hukum berbeda, yakni wilayah
Polres Ciamis dan Polres Indramayu. Keduanya memiliki kesamaan yakni menjadi
korban pencabulan. Teks berita pertama, berlaku sebagai objek adalah
SR (korban). Dalam teks ini SR tidak tergambarkan suaranya sedikitpun, semua
penjelasan milik wartawan atau subjek sepenuhnya. Hal tersebut terlihat pada
paragraf keempat. Ir ditangkap setelah dihadang di jembatan Cirahong.
Sebelumnya petugas dari Ciamis mencarinya ke Kec. Jatiwaras, Tasikmalaya.
Ternyata Ir baru saja meninggalkan Jati Waras dengan membawa SR, siswi
sebuah SMK di Ciamis. Petugas balik lagi dan melakukan penghadangan di
Jembatan Cirahong hingga akhirnya tersangka pun ditangkap. Paragraf di
atas, menginformasikan jika sosok SR hadir dan terlibat dalam peristiwa
tersebut, namun tak ada penjelasan atas nama SR, untuk memperjelas atau
hanya sekedar memberikan keterangan seputar peristiwa yang menimpa dirinya.
Sementara itu, pada cerita kedua tidak jauh berbeda dengan
versi cerita pertama. Berlaku sebagai objek adalah BD (korban) yang sesaat
sebelum terjadi pencabulan dicekoki minuman keras terlebih dahulu.
BD sendiri tak tergambarkan dengan baik dalam teks berita ini, hal tersebut
terlihat pada paragraf pertama. Sementara itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok
Garyam. Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab. Indramayu menjadi korban nafsu
setan tetangganya, Win (23). Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi bejat
Win terungkap saat massa menggerebek tempatnya dan menyerahkannya ke polisi. Penggerebekan
berlangsung sosok BD ikut hadir dalam peristiwa tersebut, namun tak ada
satupun kutipan pernyataan yang berasal dari BD sebagai korban.
Analisis Posisi
Penulis pada Teks Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil
analisis pada teks berita tindakan asusila pada perempuan.
Posisi Penulis
Tema:
Pencabulan
|
No.
|
Harian
Umum/Edisi/Judul
|
Variabel
|
Data
|
1.
|
Galamedia/Rabu, 19
November
2008/
Cabuli
Gadis Remaja,
Seorang
Duda Diciduk
|
Posisi
Subjek
|
Paragraf 5
Menurut
pengakuan tersangka DH yang juga duda
satu anak
ini kepada wartawan di Mapolsekta
Rancasari,
dirinya tidak menyangka akan ditahan
polisi
akibat perbuatannya itu. “Soalnya kita
melakukannya
suka sama suka, “ katanya.
|
2.
|
Galamedia/Rabu, 8
April
2009/Siswi SMA
dan SMK
Korban
Pencabulan
|
Posisi
Subjek
|
Teks
berita ini menceritakan dua kasus berbeda.
Teks
pertama, paragraf lima.
Menurut
keterangan, Ir diduga Melarikan SR, siswi
sebuah SMK
di Ciamis. Perkenalan Ir dengan SR
berawal
dari SMS nyasar, yang berlanjut dengan
perkenalan.
Ir dengan gencar mengirim rayuan
gombal
lewat SMS dan mengaku masih bujangan;
padahal
sudah punya anak istri.
Teks
berita kedua, paragraf pertama.
Sementara
itu, BD (17), seorang ABG, warga Blok
Garyam.
Desa/Kec. Kedokanbunder, Kab.
Indramayu
menjadi korban nafsu setan tetangganya,
Win (23). Sebelumnya
korban dicekoki miras. Aksi
bejat Win
terungkap saat massa menggerebek
tempatnya
dan menyerahkannya ke polisi.
|
3.
|
Galamedia/Kamis,
9
April
2009/Dukun
Cabul
Hamili Anak
Tiri
|
Posisi
Subjek
|
Paragraf
akhir.
Tersangka
Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat
melakukan
itu, karena sering melihat korban tidur
dengan
kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka
denga
korban tinggal dalam satu rumah. “Hampir
20 kali
saya menyetubuhi korban,” akunya.
|
Analisis:
Berdasarkan
tabel di atas dalam teks berita Galamedia Rabu 19 November 2008 berjudul
“Cabuli Gadis Remaja, Seorang Duda Diciduk”. DH bebas mengekspresikan semua
kata-katanya yang menceritakan setiap detil kejadian terjadinya pencabulan
tersebut, karena dalam teks ini DH adalah narator tunggal yang menceritakan
segalanya. Sementara itu, SN sebagai korban cukup puas dengan menerima suaranya
digambarkan oleh DH, karena tidak sekalipun kutipan pernyataan SN muncul dalam
teks berita ini. Penulis dalam teks ini sebagai laki-laki atau mengikuti arah pikiran dari DH sebagai
pelaku dan sebagai laki-laki, hal tersebut tergambarkan pada paragraf akhir. Dikatakannya,
perbuatannya itu kembali diulanginya setelah korban bangun sekitar pukul 18.00 WIB.
Begitu bangun, dia ke kamar mandi. Terus kami main lagi di situ,ungkap DH yang
bersikeras jika dirinya tidak bersalah, sebab apa yang dilakukannya itu atas
dasar suka sama suka. “Saya sudah bilang siap bertanggung jawab jika dia hamil,”
tegas DH.
Kalimat di
atas menyatakan, “sebab apa yang dilakukannya itu atas dasar suka sama suka”,
terlihat jelas jika wartawan lebih memprioritaskan semua ungkapan DH sebagai
pelaku dalam posisi laki-laki, dengan konsep berita seperti itu posisi
pembaca dalam teks berita ini diposisikan sebagai pihak laki-laki (DH). Pemosisian
seperti itu pembaca tidak akan banyak protes, karena selaras dengan apa yang
diinginkan penulis. Pada kalimat terakhir “Saya sudah bilang siap bertanggung jawab
jika dia hamil,” tegas DH. Jika SN hamil, laki-laki akan bertanggung jawab, itu
berarti jika SN tidak hamil dirinya tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya
yang telah melecehkan SN.
Akhirnya
antara penulis dan pembaca ini melestarikan bias gender yang terus ada dalam
masyarakat. Seolah laki-laki makhluk yang paling berkuasa dan bebas
mengungkapkan yang ada dalam pikirannya sendiri, tanpa harus memikirkan
bagaimana suara perempuan sebagai korban tidak tergambarkan sedikitpun dalam
berita tersebut. Sekalipun perempuan tersebut ikut andil terhadap kesalahan kasus
tersebut, tak ada salahnya paparan berasal dari dua pihak yang terlibat kasus
pemerkosaan tersebut.
Teks berita
pertama, dalam Galamedia, Rabu 8 April 2009 berjudul “Siswi
SMA dan SMK Korban Pencabulan”, penulis
atau wartawan tergolong orang lain yang kebetulan mengetahui kejadian tersebut. Hal
ini dapat terlihat pada paragraf kedua, yaitu “Kasus yang terjadi di wilayah hukum
Polres Ciamis menimpa SR (16), yang diduga di culik dan dicabuli”. Kalimat seperti itu seakan
mempertegas jika penulis adalah orang lain yang ikut mengetahui akan kejadian
pencabulan yang menimpa gadis berinisial SR (16) ini.
Penulis
memposisikan dirinya sebagai laki-laki, terlihat pada paragraf ketiga dalam
kalimat pertama, “Beberapa saat setelah ditangkap, Ir mencoba menggeretak
petugas dengan mengatakan ayahnya seorang caleg dari sebuah partai besar dan
mempunyai pesantren cukup besar”. Suara SR sebagai korban sama sekali tidak
tampak dari awal hingga akhir berita, sesekali nampak suara Ir sebagai pelaku
terdengar dalam berita ini. Seperti biasa suara Ir hadir
adalah untuk melakukan pembelaan agar dirinya tidak di gelandang polisi ke balik
jeruji besi. Untuk itulah Ir menggeretak polisi dengan mengaku jika dirinya
adalah anak dari orang yang cukup berpengaruh di daerah Ciamis, Ir mengaku
ayahnya adalah salah seorang Caleg dari partai besar dan memiliki sebuah
pesantren cukup besar. Kalimat tersebut seakan menjelaskan jika kekuasaan bisa
mendapatkan segalanya, sekalipun menghalalkan pencabulan pada gadis ABG ini.
Seakan semakin mempertegas jika perempuan tak ada artinya dibandingkan dengan
kekuasaan yang dimiliki seseorang, sekalipun perempuan ini telah kehilangan
harga dirinya dengan pencabulan ini. Teks berita kedua, Galamedia, Rabu 8 April
2009 berjudul “Siswi SMA dan
SMK Korban Pencabulan”, yang kebetulan jauh lebih pendek
dari teks berita pertama dalam pemberitaannya. Penulis masih menempatkan dirinya sebagai
orang ketiga atau orang lain yang ikut mengetahui kejadin tersebut, korban maupun
pelaku hanya menikmati porsi cerita dari versi wartawan yang menggambarkan
dirinya. Penulis memposisikan dirinya sebagai perempuan, tergambar pada paragraf
pertama, “Sebelumnya korban dicekoki minuman keras.
Aksi bejat
Win terungkap saat masa menggerebek tempatnya dan menyerahkannya ke
polisi”. Kalimat di atas terdapat klimat “dicekoki minuman” penulis mengungkapkan
dari sisi perempuan yang pada saat itu dalam posisi tersudutkan dengan dicekoki
miras oleh sang pelaku yang mempunyai sifat bejat..
Teks berita, Galamedia, Kamis 9
April 2009 berjudul “Dukun Cabul Hamili Anak Tiri”. Penulis lebih mengedepankan
suara laki-laki, yaitu Ddg
sebagai pelaku. Semua pengakuan atau kesaksian atas
kejadian pencabulan yang menimpa NCR berasal dari suara Ddg, sementara suara
perempuan dalam teks berita ini adalah NCR sebagai korban tak tertampilkan
dengan baik dalam kutipan yang berasal dari pengakuan NCR sendiri atau sekedar
klarifikasi atas penggambaran dirinya oleh Ddg (pelaku) yang terlanjur kurang
baik. Meski banyak kutipan kesaksian bukan berasal dari pengakuan Ddg, melainkan
dari keterangan kesaksian tetangga korban yang mengetahui kejadian tersebut,
juga keterangan dari polisi yang menjelaskan kejadian pada penulis yang meliput
berita tersebut. Dari runtutan kejadian yang seperti itu, dapat ditarik kesimpulan jika
penulis dalam teks berita ini digolongkan sebagai laki-laki.
Semua bukan
tanpa alasan, karena dari awal hingga akhir teks berita pengakuan demi pengakuan
berasal dari pengakuan Ddg sebagai laki-laki. Ada beberapa kutipan penjelasan yang
bukan berasal dari gagasan Ddg sebagai pelaku,
melainkan penjelasan yang berasal dari
polisi yang telah menyelidiki kasus tersebut, dapat di lihat pada paragraf kelima.
Menurut Iman, kasus pencabulan tersebut terungkap, setelah petugas menerima
laporan dan informasi dari warga setempat pada Jumat (3/4). Sebelumnya, korban
sempat melahirkan bayinya di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Majalaya, kamis (2/4).
Penjelasan
ini tidak banyak membantu menutupi kekosongan suara perempuan dalam hal ini
adalah NCR sebagai perempuan, karena tidak ada ungkapan berasal dari
suara korban.
Analisis Posisi Pembaca pada Teks
Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks berita
tindakan asusila pada perempuan.
POSISI PEMBACA
Tema:
Pencabulan
|
No.
|
Harian
Umum/Edisi/Judul
|
Variabel
|
Data
|
1.
|
Galamedia/Rabu, 19
November
2008/
Cabuli
Gadis Remaja,
Seorang
Duda Diciduk
|
Posisi
Subjek
|
Paragraf
akhir dalam kalimat 4
“sebab apa
yang dilakukannya itu atas dasar
suka sama
suka”.
|
2.
|
Galamedia/Rabu, 8
April
2009/Siswi SMA
dan SMK
Korban
Pencabulan
|
Posisi
Subjek
|
Teks
berita pertama, pada paragraf ketiga
dalam
kalimat pertama. “Beberapa saat
setelah
ditangkap, Ir mencoba menggeretak
polisi
dengan mengatakan ayahnya seorang
caleg dari
partai besar”.
Teks
berita kedua, pada paragraf pertama,
terdapat
kalimat “Sebelumnya korban
dicekoki
miras”
|
3.
|
Galamedia/Kamis,
9
April
2009/Dukun
Cabul
Hamili Anak
Tiri
|
Posisi
Subjek
|
Paragraf
terakhir, kalimat 3
“Hampir 20
kali saya menyetubuhi
korban,”akunya
|
Analisis:
Berdasarkan
tabel di atas dalam Galamedia, Rabu 19 November 2008 berjudul “Cabuli
Gadis Remaja, Seorang Duda Diciduk” terdapat kalimat “sebab apa yang
dilakukannya itu atas dasar suka sama suka”, terlihat jelas jika wartawan lebih
memprioritaskan semua ungkapan DH sebagai pelaku dalam posisi laki-laki, dengan
konsep berita seperti itu posisi pembaca dalam teks berita ini diposisikan sebagai
pihak laki-laki (DH). Pemosisian seperti itu pembaca tidak akan banyak protes, karena
selaras dengan apa yang diinginkan penulis. Pada akhirnya antara penulis dan
pembaca ini melestarikan bias gender yang terus ada dalam masyarakat.
Mengikuti
arah pikiran dari DH sebagai pelaku dan sebagai laki-laki, hal tersebut tergambarkan
pada paragraf akhir. Dikatakannya, perbuatannya itu kembali diulanginya setelah korban
bangun sekitar pukul 18.00 WIB. Begitu bangun, dia ke kamar mandi. Terus kami main lagi di
situ,ungkap DH yang bersikeras jika dirinya tidak bersalah, sebab apa yang
dilakukannya itu atas dasar
suka sama suka. “Saya sudah bilang siap
bertanggung jawab jika dia hamil, “ ujar DH.
Melalui
konsep pemberitaan yang seperti itu pembaca secara tidak langsung ikut
tergolong sama dengan penulis, menempatkan dirinya sebagai laki-laki yang lebih
berkuasa dibandingkan perempuan.Teks berita ini tidak menggambarkan kronologi
kejadian sampai terjadinya penculikan yang berujung pencabulan. Padahal jika
diruntut pelaku dan korban
telah diketahui oleh polisi setidaknya, hal ini dapat
dijadikan bahan penggalian
untuk mendapatkan keterangan dari keduanya atas kejadian
tersebut. Belum lagi tidak ada satupun kalimat yang menyatakan perlawanan dari perempuan
sebagai korban. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi pembaca, peristiwa asusila tersebut terjadi
karena, perempuan dalam teks berita tidak menolak saat diajak pergi oleh
pelaku. Hal tersebut terlihat pada paragraf keempat. Ir ditangkap setelah
dihadang di jembatan Cirahong. Sebelumnya petugas dari Ciamis mencarinya ke
Kec. Jatiwaras, Tasikmalaya. Ternyata Ir baru saja meninggalkan Jati Waras
dengan membawa SR, siswi sebuah SMK di Ciamis. Petugas balik lagi dan melakukan
penghadangan di Jembatan Cirahong hingga akhirnya tersangka pun ditangkap.
Teks berita Galamedia,
Rabu 8 April 2009 berjudul “Siswi SMA dan SMK Korban Pencabulan”.
Menceritakan dua kisah, cerita pertama, Penulis memposisikan dirinya sebagai
laki-laki, terlihat pada paragraf ketiga dalam kalimat pertama, “Beberapa saat
setelah ditangkap, Ir mencoba menggeretak petugas dengan mengatakan ayahnya
seorang caleg dari sebuah partai besar dan mempunyai pesantren cukup besar”. Suara
SR sebagai korban sama sekali tidak tampak dari awal hingga akhir berita,
sesekali nampak suara Ir sebagai pelaku dipaparkan kembali untuk diinformasikan
oleh penulis menjadi sebuah teks berita.
Sementara
itu, cerita kedua, pembaca menempatkan diri sebagai perempuan, terlihat pada
paragraf pertama, terdapat kalimat “Sebelumnya korban dicekoki miras”. Ungkapan
seperti itu menjadi acuan jika penulis berusaha mengungkapkan korban
benar-benar diperdayai oleh pelaku, hingga pada akhirnya pembaca akan
menempatkan posisinya pada saat dicekoki minuman keras.
Teks berita
dalam Galamedia, Kamis April 2009 berjudul “Dukun Cabul Hamili Anak Tiri”, pada
paragraf ke-14 terdapat kutipan ungkapan pelaku kepada penulis dan tergambarkan
dalam satu paragraf. “Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan, ia nekat
melakukan itu, karena sering melihat korban tidur dengan kondisi tubuh terbuka.
Apalagi, tersangka dengan korban tinggal dalam satu rumah. Hampir 20 kali
saya menyetubuhi korban, akunya”. Penulisan pada paragraf terakhir ini ingin
menerangkan jika pelaku tidak mendapatkan perlawanan dari korban, hingga dapat
menyetubuhi korban sebanyak 20 kali tanpa perlawanan yang berarti. Pembaca hanyut dalam
konsep berita seperti itu, dan mengikuti alur pemikiran teks berita yang
menginginkan laki-laki sebagai pencerita atau narator tunggal. Konsep teks berita
yang seperti itu, pembaca tergolong atau dianggap sebagai laki-laki. Sementara itu,
pihak korban atau perempuan dibiarkan tak ada, karena perempuan dalam teks
berita ini rela atau pasrah saat dirinya diperdayai oleh pelaku (laki-laki)
dalam teks berita ini.
Analisis Posisi Perempuan pada Teks
Pemberitaan Tindakan Asusila
Berikut ini hasil analisis pada teks berita
tindakan asusila pada perempuan.
Posisi
Perempuan
Tema:
Pencabulan
|
No.
|
Harian
Umum/Edisi/Judul
|
Variabel
|
Data
|
1.
|
Galamedia/Rabu, 19
November
2008/
Cabuli
Gadis Remaja,
Seorang
Duda Diciduk
|
Posisi
Perempuan
|
Paragraf 5
Menurut
pengakuan tersangka DH yang juga duda
satu anak ini kepada wartawan di Mapolsekta
Rancasari, dirinya tidak menyangka akan ditahan
polisi akibat perbuatannya itu. “Soalnya kita
melakukannya suka sama suka,” aku DH.
|
2.
|
Galamedia/Rabu, 8
April
2009/Siswi SMA
dan SMK
Korban
Pencabulan
|
Posisi
Perempuan
|
Teks
berita pertama, paragraf 5
Menurut
keterangan, Ir diduga melarikan SR,
siswi
sebuah SMK di Ciamis. Perkenalan Ir
dengan SR
berawal dari SMS nyasar, yang
berlanjut
dengan perkenalan. Ir dengan gencar
mengirim
rayuan gombal lewat SMS dan
mengaku
masih bujangan; padahal sudah punya
anak
istri.
Pada teks
berita kedua, pada paragraf tujuh
kalimat ketiga.
“Aksi bejat Win terungkap saat
masa
menggerebek tempatnya dan
menyerahkannya
ke polisi”.
|
3.
|
Galamedia/Kamis,
9
April
2009/Dukun
Cabul
Hamili Anak
Tiri
|
Posisi
Perempuan
|
Paragraf
1, kalimat 2
Akibat
perbuatannya, korban yang tinggal satu
rumah
dengan tersangka melahirkan bayi kembar perempuan, satu diantaranya meninggal
dunia.
|
Analisis:
Berdasarkan tabel di atas dalam teks berita Galamedia,
Rabu 19 November
2008 berjudul “Dukun Cabul Hamili Anak
Tiri”. Posisi perempuan tersisishkan dari posisi
laki-laki dalam teks berita ini menjadi narator tunggal yang berbicara semua rangkaian cerita dalam kejadian tersebut. Hal
tersebut dapat terlihat dari paragraf lima. “Menurut pengakuan tersangka DH yang juga duda satu anak
ini kepada wartawan di Mapolsekta Rancasari, dirinya tidak menyangka akan
ditahan polisi akibat perbuatannya itu. Soalnya kita melakukannya suka sama
suka”. Kalimat “suka sama suka” seakan dalam kasus yang disajikan teks berita
ini tidak ada unsur pemaksaan apalagi sampai terjadi pemerkosaan pada SN, dan dalam
kalimat seperti itu menyiratkan jika perempuan (SN) rela untuk diperdayai oleh
orang yang baru dia kenal beberapa hari, yakni DH sebagai pelaku
pencabulan terhadap
dirinya.
Teks berita pertama, Galamedia, Rabu 8 April 2009
berjudul “Siswi SMA
dan SMK Korban
Pencabulan”. Teks berita pertama, posisi perempuan melemah dan laki-laki
masih jauh lebih berkuasa dalam berkata-kata atau memberikan informasi perihal
peristiwa yang menimpa SR, belum lagi pada paragraf lima terdapat pernyaataan
yang mengatakan “Menurut keterangan, Ir diduga melarikan SR, siswi sebuah SMK
di Ciamis. Perkenalan Ir dengan SR berawal dari SMS nyasar, yang berlanjut dengan perkenalan. Ir dengan gencar
mengirim rayuan
gombal lewat SMS dan mengaku masih
bujangan; padahal sudah punya anak istri”.
Paragraf di atas memberikan keterangan jika SR sebagai
perempuan menurut saja di ajak berkenalan lewat SMS hingga mau di rayu oleh
orang yang belum dia kenal, sampai pada akhirnya mau di ajak bertemu. Ungkapan
demi ungkapan yang sebenarnya ingin membantu posisi SR agar terlihat
benar-benar menjadi korban, namun pada akhirnya justru semakin menyudutkan SR
sebagai korban, dan sebagai perempuan. Pasalnya tidak ada ungkapan atau
keterangan seputar peristiwa yang telah merugikan perempuan tersebut.
Posisi perempuan dalam teks berita kedua, tak kalah
lemahnya dengan teks
berita pertama,
karena perempuan korban BD (17) tergambar seakan mau saja meminum miras yang diberikan pelaku. Dalam teks berita
kedua ini tak terlihat satupun penggambaran yang
menyatakan penolakan atau perlawanan dari BD sebagai korban. Belum lagi dari penangkapan Win (23)
sebagai pelaku tidak tergambarkan karena pelaporan
pelecehan bukan berasal dari BD sendiri sebagai korban, melainkan dari masyarakat sekitar rumah BD. Hal ini
seakan tak ada inisiatif dari BD sebagai korban yang telah dilecehkan harga
dirinya, tidak menuntut keadilan untuk dirinya sendiri agar pelaku di tangkap
polisi dan menanggung akibat perbuataannya. Hal tersebut terlihat dalam
paragraf tujuh,
pada kalimat kedua dan kalimat ketiga
“Sebelumnya korban dicekoki miras. Aksi bejat Win
terungkap saat masa menggerebek tempatnya dan menyerahkannya ke polisi”.
Teks berita ini
disajikan dalam bentuk beberapa paragraf pendek (dapat di
lihat teks berita
utuh pada halaman lampiran), dengan penginformasian yang seperti itu banyak jawaban yang tidak didapatkan oleh para
pembaca, misalnya apakah BD mau saja saat
dicekoki minuman keras? Apakah BD sempat menolak atau melawan atas perlakuan Win tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak
mendapatkan jawaban dalam teks berita ini. Hal ini sangat berpengaruh bagi
pembaca untuk
mendapatkan informasi lengkap atas pemberitaan tindakan asusila
ini. Jika sudah
begini informasi akan simpang siur tentang keadaan perempuan pada saat terjadinya pelecehan.
Teks berita dalam, Galamedia, Kamis 9 April 2009 berjudul
“Dukun Cabul Hamili Anak Tiri”, posisi perempuan tak tampak sekalipun suaranya
sekedar memberikan pembelaan terhadap dirinya, semua telah di dominasi oleh Ddg
sebagai pelaku. Terlihat Paragraf pertama, kalimat kedua, “Akibat perbuatannya, korban yang tinggal satu rumah dengan tersangka melahirkan
bayi kembar perempuan, satu diantaranya meninggal dunia”. Posisi perempuan tergeser dengan suara atau pengakuan
cerita milik Ddg
sebagai laki-laki. Teks berita ini
memberikan satu sumbangan lagi penghilangan suara perempuan yang sering kali terjadi dan dibiarkan tak
ada dalam teks media massa, sementara perempuan
sesungguhnya ikut terlibat dalam peristiwa tersebut. Perempuan pula yang menjadi korban dan mengalami kerugian
yang jauh lebih
banyak dari pelaku. Di tambah dengan
konsekuensi yang harus diterima oleh perempuan
dalam teks ini adalah memiliki bayi yang belum dia inginkan.
Perempuan dalam teks ini harus berhenti dari bangku sekolahnya,
teks berita ini akan membuat masyarakat berpikir tidak adakah
perlawanan dari diri NCR sebagai perempuan? Bagaimana
peristiwa tersebut dapat terjadi? Bagaimana
pemerkosaan
tersebut bisa terjadi berulang hingga 20 kali? Pertanyaan yang muncul seperti itu tak mendapatkan jawaban dari perempuan
sebagai korban. Pada
saat wartawan mengutip
pernyataan pelaku, bermaksud ingin menyalahkan pelaku
atas perbuatannya
tersebut, namun kenyataannya tak banyak membantu perempuan sebagai korban dalam
teks berita ini. Hal tersebut dapat terlihat dalam
paragraf akhir yang
berbunyi seperti ini. Tersangka Ddg kepada “GM” mengatakan,
ia nekat melakukan itu, karena sering melihat korban tidur dengan kondisi tubuh terbuka. Apalagi, tersangka dengan korban
tinggal dalam satu rumah. “Hampir 20 kali saya
menyetubuhi korban,” akunya.
Kalimat pertama korban dianggap salah karena, saat tidur
kerap memperlihatkan sebagian tubuhnya. Hal ini yang
membuat Ddg merasa tergoda pada NCR. Jika kita telaah
lebih dalam, pada saat kita tertidur tentu tak akan menyadari posisi tidur kita seperti apa? Apalagi ada
beberapa bagian tubuhnya yang terlihat, karena pada
saat tidur siapapun itu tidak dapat mengendalikan diri, dalam teks berita ini kebetulan perempuan (NCR). Jika
memang laki-laki ini adalah ayah tiri yang baik mengapa tak menutupi bagian
tubuh anak tirinya ini dengan selimut yang dapat melindungi tubuh anak tirinya
tersebut. Pada kalimat kedua tak kalah kejam dengan pernyataan pelaku pada
kalimat pertama, pelaku dapat memperdayai korban sebanyak 20 kali tanpa
sekalipun digambarkan perlawanan pada diri NCR sebagai perempuan.
Namun, dalam teks berita ini perempuan di anggap sebagai salah satu pihak yang ikut
bersalah dengan cara memperlihatkan sebagian
tubuhnya pada saat tertidur. Pikiran laki-laki yang
berusaha menyelamatkan diri dengan menyudutkan posisi perempuan dalam teks berita memiliki alibi, andai
saja pada saat tidur NCR (perempuan) dapat lebih
mengontrol bagian tubuhnya itu tentu peristiwa pemerkosaan ini tak akan pernah terjadi. Pemikiran seperti
itu laki-laki sedikit terselamatkan dengan alasan peristiwa tersebut, bukan
sepenuhnya kesalahan laki-laki, karena perempuan ini membiarkan dirinya
dilecehkan oleh laki-laki.
B. Rangkuman
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam pandangan atau teori kritis, wacana terdiri atas struktur supra, mikro,
dan makro. Hal itu menunjukkan wacana
tidak bisa terlepas dari tindakan, teks, konteks, historis, kekuasaan, dan
ideologi yang melingkunginya. Dengan menganalisis keseluruhan komponen
struktural wacana, dapat diungkap kognisi (pengetahuan, ideologi, kepentingan,
dan sebagainya) sosial pembuat wacana. Oleh karena itu, teori kritis sangat
relevan digunakan dalam menganalisis wacana.
C. Umpan Balik
1.
Jelaskanlah
secara garis besar hakikat analisis wacana kritis !
2.
Buatlah contoh
analisis wacana kritis (Van Djick) dengan menggunakan petikan wacana dari salah
satu surat kabar nasional!
D. Daftar Pustaka
Darma,
Yoce A. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Eriyanto.2001. Analisis
Wacana Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara.
Jufri. 2006. Strukur
Wacana dalam Lontara La Galigo: Kajian Kritis. Disertasi. (Tidak
diterbitkan). Malang: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Program Pascasarjana.
Universitas Negeri Malang.
Rosidi, Sakban. 2007. Analisis Wacana Kritis
sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana. Makalah disajikan pada Sekolah
Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Bahasa, Universitas
Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007.