JUDUL………………………………………………………… i LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………. ii
ABSTRAK…………………………………………………………………... iii KATA PENGANTAR………………………………………………………. iv
DAFTAR ISI………………………………………………………………… v BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH…………………………………. 1 1.2. PEMBATASAN
MASALAH………………………………………... 1 1.3. RUMUSAN MASALAH…………………………………………….. 2 1.4.
TUJUAN MASALAH………………………………………………... 2 1.5. MANFAAT
PENELITIAN…………………………………………... 2 BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………… 4 2.1.
KAJIAN PUSTAKA…………………………………………………. 4 2.2. KAJIAN TEORI……………………………………………………… 5
BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………… 10 3.1. BENTUK & PROSEDUR
PENELITIAN…………………………..... 10 3.2. SUBJEK PENELITIAN………………………………………………. 10 3.3.
OBJEK PENELITIAN………………………………………………… 11 3.4. JADWAL KEGIATAN………………………………………………..
11 BAB IV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN…………………………. 13 4.1. PERKEMBANGAN
MANTRA DI DESA MANTINGAN…………... 13 4.2. KEHEBATAN BERBAGAI MACAM MANTRA DI
MANTINGAN. 15 4.3. PROSESI SESAJI YANG DISERTAI MANTRA DI MANTINGAN. 18 BAB V
PENUTUP……………………………………………………………. 24 5.1. KESIMPULAN……………………………………………………….. 24
5.2. SARAN………………………………………………………………… 24 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 25
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….. 26 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Masalah
Modernisasi teknologi dan ilmu pengetahuan di segala bidang,
kian menyerbu bangsa Indonesia. Ironisnya hal itu tidak didominasi kalangan
terpelajar yang berdomisili di kota-kota saja. Namun, telah merambah ke seluruh
pelosok nusantara dan seluruh lapisan masyarakat dari yang muda hingga yang
tua. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di segala bidang, tidak hanya
membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif. Sesuai dengan
kodrat manusia, akan melupakan hal yang lama setelah mendapat hal yang baru.
Canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi, hampir dipertuhankan oleh manusia.
Sehingga mereka percaya dengan kemampuan otak dan tidak lagi mempedulikan
adanya kekuatan lain di luar nalar. Akibatnya hal-hal yang berbau mistik atau
magis dianggap kuno dan tidak lagi diperlukan. Bahkan ajaran-ajaran agama pun
dinomorduakan. Untungnya dampak negatif kemajuan teknologi dan ilmu
pengatahuan, di Indonesia khususnya di Jawa tidaklah begitu drastis. Meski para
generasi mudanya berlomba untuk menguasainya, tetapi tidak mempengaruhi
kehidupan relegiusnya. Hal ini dapat kita buktikan di kalangan muda masih
tertarik mendalami agama. Begitu pula mesti terkena imbas dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, hal-hal yang berbau ketradisionalan sebagian
kalangan muda masih mempertahankan eksistentensinya. Satunya adalah kepercayaan
akan kekuatan magis dalam mantra. Mantra dalam Bahasa Jawa disebut dowo/dongo
berupa kidung atau doa. Dalam bahasa Indonesia disebut doa atau sajak/puisi
lama yang dibaca secara berulang-ulang. Sedangkan di kalangan pesantren
biasanya disebut ijazah atau wirid. Sedangkan secara harfiah mantra memiliki
arti sebagai pengucapan atau pelafalan yang mengandung unsur mistis yang
biasanya memiliki dasar maupun tidak. Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat pesat, terdapat pada pemikiran manusia yang lebih
mengutamakan kerasionalan sesuatu hal. Mantra yang irasional itu keberadaannya
dipertanyakan, sehingga ada yang tidak percaya dan ada yang percaya. Akibatanya
eksistensi mantra sedikit demi sedikit berkurang, dan tidak lagi mendominasi di
setiap perilaku kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian keberadaan mantra
tidak langsung punah. Sebab sebagai masyarakat yang masih mempercayai mantra
tetap mengamalkannya, untuk membantu perlindungan diri, pengasihan, bekerja,
bercocok-tanam dan demi tercapainya cita-cita. Bagi kalangan rasional
beranggapan, bahwa percaya adanya kekuatan mistik atau magis pada mantra adalah
suatu perbuatan tahayul dan syirik. Karena itu kalangan ini lebih mengutamakan
suatu perbuatan yang didasari rasional, tanpa peduli faktor di luar akal.
Sedangkan kalangan irasional yakin jika sebuah mantra merupakan sesuatu yang
mereka mengartikan doa adalah suatu permintaan kepada Tuhan. Sebab bagaimanapun
manusia berusaha dengan berbagai perhitungan rasional yang matang, Tuhan adalah
penentunya. Maka mantra adalah sebagai semangat dan sugesti dalam menggapai
cita-cita. Bedasarkan pemikiran di atas, maka dalam paparan yang sederhana ini
kami tim penulis ingin menguraikan eksistensi mantra. Karena keterbatasan
berbagai hal penulis hanya akan memfokuskan penelitian ini di sebuah desa yang
penulis anggap dapat mewakili beberapa desa di wilayah Kabupaten Pati dan
sekitarnya. 1.2. Pembatasan Masalah Dalam menyusun karya tulis ini, penulis
lebih memfokuskan pada pembahasan mengenai kepercayaan masyarakat terhadap
kekuatan mantra di Desa Mantingan, Jaken, Pati, serta praktik penggunaannya.
Selain itu penulis juga ingin memaparkan cara pelaksanaan adat sesaji yang
disertakan dengan mantra. Sehingga kemungkinan akan menimbulkan spekulasi yang
berbeda pada pembaca. 1.3. Rumusan Masalah Berbicara tentang mantra adalah
bicara tentang mistik atau klenik sesuatu yang dianggap memiliki daya/kekuatan
magis. Karena luasnya masalah mantra, baik yang berupa bahasa Arab, Jawa dan
bahasa daerah yang ada di seluruh pelosok Nusantara. Untuk membatasi permasalah
ini maka kami perlu merumuskan masalah agar materi yang kami bahas bisa
berfokus pada mantra yang masih digunakan orang-orang di kampung. Ada pun pokok
penulisan kami mengacu pada hal sebagai berikut: a. Bagaimana eksistensi mantra
bagi warga Desa Mantingan Kecamatan Jaken di era kekinian saat ini ? b. Apa
saja mantra yang masih sering digunakan warga Mantingan sampai saat ini? c.
Mantra-mantra berbahasa Arab atau berbahasa Jawakah yang lebih banyak dikuasai
oleh masyarakat di Desa Mantingan? d. Bagaimana proses pelaksanaan sesaji yang
disertai dengan mantra pada warga Desa Mantingan? 1.4. Tujuan Penelitian Adapun
tujuan penelitian yang sederhana ini bertujuan: a. Untuk mengetahui sejauh mana
kepercayaan warga Desa Mantingan Kecamatan Jaken terhadap eksistensi mantra. b.
Untuk mengetahui mantra yang digunakan warga Mantingan, dan apa kegunanaan
serta fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. c. Untuk mengetahui proses
pelaksanaan sesaji yang disertai dengan mantra pada warga Desa Mantingan. d.
Memberikan informasi kepada Dinas Kebudayaan akan keberadaan mantra, hingga
keberadaannya bisa dilestarikan sebagai pengetahuan. e. Memberikan informasi
kepada para siswa atau dapat dijadikan referensi guna diteliti lebih mendalam.
f. Diajukan dalam rangka mengikuti lomba penulisan karya ilmiah di LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). 1.5. Manfaat Penelitian Dalam penelitian
yang sederhana ini penulis berharap dapat memberikan suatu ilmu pengetahuan
kepada para pembaca tentang hal ihkwal yang berhubungan dengan mantra.
Sehubungan dengan itu penulis berharap tulisan ini dapat memberikan: a.
Informasi tambahan akan keberadaan mantra di kalangan khalayak khususnya kaula
muda. b. Agar keberadaan mantra di lingkungan warga Desa Mantingan Kecamatan
Jaken tetap dilestarikan dan kalau perlu dimodifikasi, sehingga masyarakat lain
tertarik juga. c. Untuk menambah wawasan bagi pembaca mengenai hal-hal yang
bersangkutan dengan mantra dan sesaji. d. Dipelajari dan didalami para kaula
muda untuk menambah kepercayaan diri atau pembangkit semangat dan sugesti
terhadap diri sendiri dan para kalayak ramai.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hakekat Mantra
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mengungkap semakna dengan kata
membuka. Sedangkan kata tabir memiliki arti semacam rahasia, atau sesuatu yang
sebelumnya tidak diketahui. Sehingga penerapannya pada karya tulis ini, yang
dibuka atau diungkap merupakan suatu hal yang sifatnya masih rahasia. Kata
mantra, yang juga berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap
mengandung kekuatan gaib, yang biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk
menandingi kekuatan gaib yang lain. Mantra juga dianggap sebagai bunyi, suku
kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mampu menciptakan perubahan
(misalnya perubahan spiritual), yang memiliki jenis dan kegunaan yang
berbeda-beda dan tergantung mahzab serta filsafat yang terkait dengan mantra
tersebut. Hakekat mantra dalam Bahasa Jawa disebut dowo/dongo/rapal, berupa
kidung, puisi atau susunan doa, dengan menggunakan bahasa daerah atau bahasa
Arab. Dalam bahasa Indonesia mantra disebut doa atau sajak/puisi lama yang
dibaca secara berulang-ulang. Di kalangan pesantren sebuah mantra biasanya
disebut ijazah atau wirid. Sedangkan secara harfiah mantra memiliki arti
sebagai pengucapan atau pelafalan yang mengandung unsur mistis/magis spiritual,
baik hal itu masuk akal atau tidak masuk akal, dan atau memiliki dasar maupun
yang tidak memiliki dasar. Dalam tradisi Jawa, mantra disebut pula dengan
japa-japi, japa mantra, kemad, peled, aji-aji, rajah, donga, sidikara yang
semuanya dianggap mempunyai daya kekuatan gaib. Mantra jika dibaca dengan
bersuara disebut di-mel-kan dan kalau hanya dibaca dalam hati disebut matek
mantra atau matek aji. Kemudian kata masyarakat memiliki makna sebagai sejumlah
manusia yang menempati suatu wilayah dan terikat oleh suatu kebudayaan yang
mereka anggap sama. Sedangkan Desa Mantingan merupakan salah satu nama desa
yang berada di Kecamatan Jaken Kabupaten Pati. Desa tersebut terkenal dengan
beberapa halnya, mulai dari makanan ada nasi jagung dan pasung (semacam apem
berbentuk kerucut). Kemudian pola hidup masyarakatnya yang mayoritas bekerja
sebagai petani. Pada rumah-rumah penduduknya, unsur ke-Jawa-annya pun masih
melekat, yakni berupa rumah Joglo yang alasnya masih dengan tanah.
2.2. Bentuk dan Fungsinya
Keberadaan mantra di dunia sudah ada sejak manusia
dilahirkan. Mantra adalah sebuah doa permintaan seorang hamba kepada Tuhannya.
Bahkan Nabi Muhammad sendiri banyak mengajarkan doa atau mantra. Karena itu
semua buku doa dan zikir berisi tentang mantra. Dari bangun tidur, ke kamar
kecil, bekerja hingga pulang ke rumah, bahkan kembali menjelang tidur lagi
dianjurkan selalu membaca mantra (A. Choodjim.Mistik dan makrifat:15). Adapun
dalam adat berdoa ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yaitu keyakinan dan
bahasa doa itu sendiri. Doa yang baik adalah doa yang disertai keyakinan yang
tinggi dan pengertian makna doa/mantra yang diucapkan. Berdasarkan pengertian
tersebut, Kanjeng Sunan Kalijaga, yang asli orang Jawa menyusun doa berbahasa Jawa,
yang kemudian disebut orang sebagai mantra, dowo atau rapal. Karena dengan
menggunakan Bahasa Jawa orang Jawa tentu akan lebih memahami makna dan maksud
ucapan yang diinginkan. Sebagian pendapat mengatakan mantra merupakan suku kata
dari bahasa Sanskerta dengan tulisan yantra. Sejatinya mantra merupakan
perwujudan pikiran yang merepresentasikan keilahian atau kekuatan kosmik, yang
menggunakan pengaruh mantra tersebut dengan getaran suara. Mantra juga dikenal
masyarakat Indonesia sebagai rapalan untuk maksud dan tujuan tertentu (maksud
baik maupun maksud kurang baik). Dalam dunia sastra, mantra adalah jenis puisi
lama yang mengandung daya magis. Setiap daerah di Indonesia umumnya memiliki
mantra, biasanya mantra di daerah menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Mantra memang warisan para leluhur yang memiliki kelebihan yang adiluhung.
Dalam bahasa pesantrennya memiliki karomah. Akan tetapi di zaman sekarang ini
justru terjadi komodifikasi. Mantra yang nyaris klasik, dihidupkan kembali.
Lewat teknologi, oleh hkecanggihan riset, dengan taburan citra, dan melalui
pengolahan opini publik. Titik serangan mantra dapat dilangsungkan di berbagai
bidang. Sehingga bukan pada medan intelektual dan wilayah rasional, melainkan
pada sisi persepsi, imajinasi, dan mimpi-mimpi manusia modern. Dari segi
bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas,
yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap
baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar
dipahami. Ada kalanya, pemiliknya sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra
yang dibaca. Seseorang hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa
tujuannya. Adapun dari segi penggunaannya, mantra sangat eksklusif, tidak boleh
dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap keramat dan tabu. Jika sampai
diketahui atau didengar orang lain kekuatan magisnya akan hilang. Dalam arti
mantra tersebut tidak berguna lagi. Mengenai wujud mantra ada beberapa macam di
antaranya sebagai berikut: a. Japa-japi, aji-aji, dan rapal. Merupakan mantra
dalam wujud kata-kata/puisi lisan yang dibaca dalam batin. b. Wirid dan zikir
menggunakan bahasa Arab dibaca setelah melaksanakan sholat. c. Rajah. Merupakan
mantra dalam wujud tulisan, misalnya tertulis pada kain, kertas, dan kulit. d.
Jimat, aji-aji. Merupakan mantra yang ditanam pada benda berwujud logam aji,
batu, perunggu, dan kayu. 2.3. Unsur-Unsur Mantra Di dalam mantra yang lengkap
tercakup berbagai unsur. Adapun unsur-unsur dalam mantra meliputi unsur judul,
unsur pembuka, unsur niat, unsur sugesti, unsur tujuan dan unsur penutup. Unsur
sugesti merupakan unsur yang paling penting dan paling pokok dalam struktur
mantra. Unsur sugesti memiliki daya atau kekuatan untuk membangkitkan potensi
kekuatan magis atau kekuatan gaib. Mengingat mantra memiliki spesifikasi, maka
unsur sugesti pada mantra berbeda-beda meskipun fungsinya bisa sama. Mantra dan
laku. Laku dan mantra. Dibolak balik tetap sama. Dua unsur pokok itu wajib ada
agar sebuah tujuan dapat tercapai. Laku mistik berhubungan dengan kepercayaan
dan keyakinan seseorang. Semakin sungguh-sungguh dan yakin seyakin-yakinnya,
saat menjalani laku amalan maka amalan ajian akan bisa berhasil. Namun,
sayangnya unsur sugesti sama sekali tidak berlaku jika tidak diikuti dengan
unsur laku. Jadi aspek magis mistis sebuah amalan berpusat pada unsur sugesti
dan laku mistik pengamalnya. Jika diperhatikan, unsur sugesti yang dianggap
memiliki daya magis dapat dibagi menjadi beberapa macam: a. Ungkapan magis yang
mendasarkan pada kekuatan alam, angin, api, tanah, air, binatang, bunga, dan
lain-lain. b. Ungkapan magis yang mendasarkan pada kekuatan mitos, tokoh, baik
dari dunia pewayangan maupun tokoh mitologi. c. Ungkapan magis yang mendasarkan
pada kekuatan Tuhan, Malaikat, Nabi, Dewa, Raja, Resi atau Pertapa. 2.4 Tradisi
Jawa Mengenal Laku Mistik: Sebuah mantra akan kosong bagai kepompong, tanpa
makna dan tanpa kekuatan magis, jika pelafal mantra tanpa melakukan lelaku.
Maka dalam istilah Jawa ada ungkapan yang sangat terkenal yakni, ngelmu iku
pitukone kanti laku (Ilmu itu mendapatkannya harus dengan prihatin). Lelaku ini
dalam bahasa pesantren sufi disebut suluk. Pelaksanaan ritual untuk memperoleh
ilmu tersebut ada beberapa cara, di antaranya: 1. Puasa, macamnya : a. Puasa
biasa seperti saat puasa Ramadhan. Ada juga yang hanya makan sekali saat tengah
malam. b. Puasa Mutih, hanya makan nasi putih, minum air putih. Mutih ada
beberapa cara, salah satunya yaitu Ngepel (Genggam) yakni banyaknya makan
diukur dengan jumlah hari lama berpuasa. Misalnya sekali makan tidak tambah,
makan hanya di waktu siang atau malam. c. Puasa Ngrowot, makan berasal dari
makanan yang berasal dari tanah dan harus tawar. Pelaksanaannya seperti puasa
biasa atau puasa mutih. d. Puasa Ngalong, yang dimakan hanya makanan jenis
buah-buahan dan harus tawar, pelaksanaannya seperti biasa. 2. Ngebleng, tidak
makan-minum, sehari semalam, juga tidak boleh keluar rumah. 3. Nlowong, tidak
makan minum, waktu sehari semalam, tidak terbatas ruangan. 4. Pati Geni, tidak
makan dan tidak minum, serta tidak boleh tidur sekalipun hanya mengantuk. Ada
yang selama satu hari satu malam, ada pula yang dilakukan selama tiga hari tiga
malam sesuai dengan tingkatan ilmu yang diinginkan. 5. Kungkum, berendam di air
sungai, menantang arus air atau di pertemuan arus sungai. 6. Melek, tidak tidur
siang malam, baik di dalam maupun di luar rumah. 7. Tapa Mendem/ Tapa Meluang,
mengubur diri di dalam tanah dengan udara secukupnya dengan sikap seperti orang
mati. 8. Ngedan, bertingkah seperti orang gila di tempat umum. 9. Mbisu, tidak
bicara selama waktu yang telah ditentukan sang guru sesuai dengan tuntuan ilmu
yang diinginkan. 10. Berjalan, tidak boleh duduk. Boleh istirahat, tidur,
makan, minum sambil berdiri. Tidak boleh masuk
BAB III METODE rumah/ruang. 11. Sesirik, menjauhi
segala kesenangan. PENELITIAN 3.1.
Bentuk dan Prosedur Penelitian Untuk menyusun karya tulis yang berjudul
Mengungkap Tabir Mantra di Balik Hiruk Pikuk Masyarakat Masa kini, di Desa
Mantingan Kecamatan Jaken penulis menggunakan beberapa metode, yakni observasi,
interview, dan studi literatur, serta memerlukan beberapa proses. Mulai dari
observasi ke beberapa wilayah yang terkenal dengan nasi jagung dan makanan
pasungnya (semacam apem yang bentuknya kerucut dibungkus dengan daun pisang dan
rasanya manis) di Desa Mantingan. Kemudian untuk melengkapi materi dan
memperdalam masalah penulis melanjutkan dengan mewawancarai beberapa narasumber
yang nantinya ditulis di subbab obyek penelitian. Setelah semua bahan terkumpul,
dan hasil analisanya sudah ada untuk menyusun laporan secara lengkap, penulis
melakukan studi literatur di Perpustakaan SMA N 2 Pati dan Perpustakaan Daerah
Pati, serta dengan browsing di internet. 3.2. Subjek Peneliti Karya tulis ini
membahas masalah mantra diteliti oleh beberapa siswa, yakni Ratih Kartika &
Sarah Dwi Indayantidari kelas X-4, kemudian Endang Marini dari kelas X-7, dari
SMA N 2 Pati pada tahun ajaran 2011/ 2012, serta tak lupa dengan adanya
motivasi dari guru pembimbing. 3.3. Objek Penelitian Objek yang kami teliti
merupakan sesuatu yang diketahui khalayak ramai. Namun, eksistensinya
dirahasikan, karena dianggap sebagai hal yang bernuansa mistik serta gaib,
yakni keberadaan mantra di Desa Mantingan Kecamatan Jaken Kabupaten Pati. Sedangkan
objek lainnya beberapa warga yang terdiri dari kalangan usia tua yakni seorang
dukun yang bernama Mbah Tajar. Untuk kalangan usia menengah, seorang petani
beliau adalah Bapak Rakijan. Kemudian untuk mewakili kaula mudanya penulis
sengaja memilih orang yang masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah tingkat
atas, yakni saudara Sholikin, Luluk Munawarah dan beberapa orang. 3.4. Jadwal
Penelitian No. Hari, Tanggal Waktu Tempat Agenda 1. Sabtu, 24-3-2012. a.
15.00-15.30 WIB. b. 15.00-16.00 WIB. a. Rumah Mbah Tajar. b. Rumah Sdr.
Sholikin. Observasi & wawancara. 2. Minggu, 25-3-2012. a. 15.00-15.30 WIB.
b. 15.00-16.00 WIB. a. Rumah Bapak Rakijan. b. Rumah Sdri. Luluk M. Observasi
& wawancara. 3. Senin, 26-3-2012. 12.30-15.00 WIB. Perpustakaan Daerah.
Mencari referensi & menyusun laporan. 4. Selasa, 27-3-2012 10.00-13.30 WIB.
Perpustakaan SMA N 2 Pati. Mencari referensi & menyusun laporan. 5. Sabtu,
21-4-2012 13.00-16.00 WIB. SMA N 2 Pati. Menyusun laporan. 6. Senin, 23-4-2012
14.00 – 16.00 WIB. SMA N 2 Pati Meyusun & Menyunting laporan. 7 Jumat, 27
-4- 2012 09.00 – 16.00 WIB. SMA N 2 Pati Menyunting laporan.
BAB IV HASIL
PENELITIAN & PEMBAHASAN 4.1. Eksistensi dan Kelestarian Mantra di Desa
Mantingan Pengelompokan usia sangat penting dalam masalah ini, karena hal ini
akan berpengaruh pada pola pikir, perilaku dan wawasan dalam memandang sesuatu.
Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman dan tingkat pendidikan yang
diperolehnya. Semakin tua usia seseorang yang bedomisili di desa Mantingan
Jaken, pada umumnya akan semakin rendah tingkat pendidikannya bahkan kebanyakan
di antara mereka sama sekali tidak mengenyam pendidikan. Sebab semakin tua usia
mereka, keadaan sosial dan tingkatan ekonomi waktu itu tidak memungkinkan untuk
sekolah. Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis membagi kelompok usia tua
adalah orang-orang yang dilahirkan tahun 1930-an hingga tahun 1950-an. Untuk
kelompok menengah adalah mereka yang dilahirkan tahun 1960-an sampai
tahun1970-an. Sedangkan kelompok muda mereka yang dilahirkan pada tahun 1985
hingga tahun 1995-an. a. Eksistensi Mantra pada Kalangan Usia Tua Mungkin
akibat keadaan sosial ekonomi pada kelompok usia tua yang menghimpit kehidupan
mereka, satu-satunya pendidikan yang murah dan mudah adalah mempelajari ilmu
kebatinan, baik dari orang tua, kakek-nenek, bapak-ibu, tetangga, dan orang
lain yang diangggap mengusai ilmu batin. Karena itu sampai sekarang bagi orang
kalangan tua, mantra masih sangat melekat dan digunakan dalam berbagai
keperluan dalam melaksanakan sesuatu. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola
pikiran tradisional tersebut, seperti dijelaskan di atas, penguasaan terhadap
mantra memiliki prestise tersendiri di kalangan masyarakatnya. Pada zaman
dahulu hingga era tahun 1970-an orang yang memiliki ilmu kanuragan dan ilmu
kebatinan sangat dihargai oleh masyarakat. Karena itu kepemilikan ilmu tersebut
seakan menjadi suatu keharusan. Maka wajar jika orang-orang tua yang masih
hidup sampai sekarang mereka tak mau melepaskannya. Bahkan masih ada beberapa
orang yang karena keahliannya terhadap mantra sekarang digunakan untuk menolong
sesama. Kemudian profesi itu disebut dengan dukun. Ironisnya meski sebagian
masyarakat kalangan usia mengengah ke bawah, kurang mempercayai keberadaan
mantra, tetapi ternyata dari pengamatan penulis, justru mereka yang berdatangan
setiap hari di rumah dukun, untuk kepentingan tetentu. Kepercayaan mantra
sangat erat hubungannya dengan kepercayaan terhadap benda-benda gaib. Maka
tidak mengherankan jika kelompok tua sampai sekarang masih banyak yang
menyimpan benda-benda yang dianggap bertuah. Benda-benda tersebut di antaranya:
keris, batu akik, uang logam zaman dahulu, dan benda-benda lainnya. Rata-rata
mereka memperoleh benda-benda tersebut merupakan benda peninggalan nenek moyang
mereka. Begitu juga pengetahuan mereka terhadap kasiat benda tersebut diperoleh
secara turun-temurun. Bahwa benda-benda tersebut memiliki kekuatan lebih, yang
tidak dimiliki oleh manusia. b. Eksistensi Mantra pada Kalangan Usia Tengah Di
kalangan tengah, kepercayaan terhadap mantra juga masih sangat melekat. Mereka
beralasan kalau mantra itu sendiri merupakan permintaan seorang hamba kepada
Tuhannya. Mantra merupakan alat komunikasi yang menyatakan permohonan dan
pertolongan Tuhan agar dapat manjur. Jadi tidak ada salahnya mempercayai
mantra. Sayangnya dari kalangan menengah ini tidak banyak yang mengusai
sendiri. Karena orang-orang kalangan usia menengah pada usia remajanya telah
disibukkan degan kegiatan pendidikan formal. Sehingga waktu senggang mereka
untuk melakukah riadah atau melakukan lelaku tidak ada. Selain itu pola
pemikiran rasional sedikit banyak telah mempengaruhi pola berpikir mereka.
Akibatnya jika sekarang mereka membutuhkan untuk meningkatkan kepercayaan
dirinya, rata-rata mereka menggunakan jasa dukun dan kiai untuk membantu usaha
mereka. c. Eksistensi Mantra pada Kalangan Usia Muda/Bawah Pengaruh majunya
ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah pola pikir dan cara padang hingga
mengubah gaya perilaku seseorang. Muculnya pandangan keberhasilan seseorang dan
suatu bangsa ditentukan oleh otak dan kreatifitas, maka hal-hal yang bersifat
irasional ditinggalkan. Bahkan kalangan radikal yang jauh dari ajaran agama,
mulai menuhankan pemikiran mereka. Akibatnya belajar mantra dianggap membuang
waktu sia-sia. Mantra tidak bisa menolong mereka dari kesulitan hidup. Tetapi
kreatifitaslah yang mampu mengangkat derajat dan martabat. Akibatnya mantra
tidak lagi memiliki prestise bagi pemiliknya. Apalagi dengan lahirnya
undang-undang anti kekerasan membuat orang semakin tak mau lagi belajar mantra.
Karena mantra tidak lagi berfungsi sebagai alat perlindungan diri dari lawan.
Begitu juga dengan mantra, tidak mampu menundukkan orang lain, tetapi ilmu,
harta dan jabatan yang bisa menambah kewibawaan dan menundukkan orang lain. Selain
faktor-faktor tersebut, peluang para generasi muda untuk melakukan riadah
ritual tidak ada lagi, karena hampir seluruh kehidupannya selama dua puluh jam
dihabiskan di bangku pendidikan formal. Wajar jika kalangan ini, kepercayaan
terhadap mantra sedikit demi sedikit mulai hilang. Malahan sebagian besar
mereka tidak percaya terhadap kekuatan mantra. Mereka beranggapan bahwa mantra
tidak mempunyai dasar yang falid. Mantra sesuatu hal yang ironis, irasional.
Pendapat mereka juga bertolak belakang terhadap kalangan tua yang mereka anggap
kolot dan majenun. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa mantra merupakan
perbuatan yang syirik karena tidak berdasarkan ajaran Tuhan. Bahkan mereka
beranggapan jika ada orang yang masih percaya terhadap mantra, mereka menganggap
kalau orang tersebut tidak punya pedoman untuk hidup dan tidak mengenal Tuhan.
Mereka pun juga tidak senang terhadap orang yang masih percaya terhadap
keberadaan mantra. Tapi, di sisi lain masih ada beberapa pemuda yang masih
percaya terhadap mantra. Mereka beralasan berdasarkan yang telah mereka alami,
mantra sangat membantu mereka. Bahkan dokter pun tidak lebih hebat dari pada
mantra. Salah satu contoh kasusnya yaitu, ada seorang pemuda yang jatuh cinta
dan ingin memiliki si gadis yang ditaksirnya. Hanya dengan melafalkan mantra
Jaran Goyang, tanpa susah payah dalam waktu yang tidak lama, gadis tersebut
langsung jatuh cinta terhadap si pemuda tersebut. Jika mantra tersebut gagal,
dan menyebabkan ditolaknya cinta, maka dukun adalah sasaran utama. Sehingga ada
ungkapan yang mengatakan “Cinta ditolak, dukun bertindak”. 4.2. Kehebatan Macam
Mantra Semua yang dibahas dalam literatur pada umumnya mantra dikaitkan dengan
kenyamanan badan, untuk memperoleh kesaktian atau kekuasaan bahkan wanita.
Fungsi dan manfaat ini jelas jauh dari tujuan kelahiran. Justru jika dengan
maksud tersebut dengan mantra, kita akan terjebak atau tersesat semakin jauh
dari maksud dan tujuan kehadiran kita di bumi. Namun, Tuhan akan senang sekali,
jika kita menguasai mantra untuk tujuan-tujuan ibadah. Bukan untuk melepaskan
diri dari keterikatan duniawi, jika hal ini dilakukan pasti Tuhan akan murka.
Dengan mengucapkan mantra sesungguhnya kita berupaya mengakses ke sumber energi
yakni kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Setiap mantra memancarkan vibrasi. Kata
atau kalimat yang sama memancarkan vibrasi yang sejenis. Kumpulan vibrasi ini
berupa energi atau aura yang mempengaruhi sugesti kita menjadi kuat dalam
menyakini sesuatu yang kita inginkan. Sayangnya eksistensi dan peran mantra sampai
saat ini masih disalahartikan sebagian kaum muda hingga menempatkan mantra di
tempat yang angker. Padahal fungsi dan manfaat mantra tidak semata-mata sebagai
alat atau bacaan mengusir setan ataupun hantu. Maka tidak mengherakan jika yang
terjadi bahkan sebaliknya. Mereka mendekat, karena hantu ataupun setan
merupakan ruh atau gumpalan mind yang terjebak dalam anggapannya sendiri. Sebab
menurut anggapan atau pikirannya, mereka belum meninggal. Mereka tidak sadar
bahwa sesungguhnya badan mereka sudah tiada. Sehingga sesungguhnya hantu tidak
bertujuan menakut-nakuti, hanya sekedar ingin berkomunikasi. Oleh karenanya
tujuan dari zikir yang dikirimkan untuk orang yang meninggal dimaksudkan untuk
mengingatkan bagi orang yang sudah meninggal. Ketika zikir diucapkan, akan
mengundang mereka datang untuk memperoleh cahaya kebenaran agar dapat
melanjutkan perjalanan ke tingkat lebih tinggi. Jadi sesungguhnya dengan
melantunkan zikir secara tidak langsung membantu mereka. Demikian pula saat ada
sekelompok orang membahas tentang upaya peningkatan kesadaran, saat itu banyak
makhluk halus ikut belajar. Dengan mendengarkan hal yang menyadarkan, mereka
mengalami peningkatan kelas. Jadi bukannya mereka takut atau menjauh karena
kepanasan. Manfaat lainnya adalah untuk menjauhkan setan-setan pikiran. Dengan
menjauhnya setan pikiran, kita menjadi tenang. Bukankah setan itu ada di dalam
otak kita? Sehingga orang yang takut melihat seseorang terhadap pemandangan rok
mini disebabkan pikirannya sendiri yang sudah membayangkan yang porno-porno.
Lantas yang disalahkan orang lain. Malu mengakui kelemahan sendiri, memang
paling mudah untuk menyalahkan orang lain. Dari beberapa literatur disebutkan
bahwa mantra bisa mengusir setan, peneyembuhan, kesaktian, dan lain-lain. Namun
yang disampaikan hampir semua literatur sesungguhnya tidak menyentuh manfaat
inti dari mantra bagi diri sendiri. Yang dimaksud manfaat tentu yang berkaitan
dengan evolusi jiwa. Di bidang kesehatan, mantra berperan sangat penting.
Mantra dapat mengobati pasien dengan cepat tanpa harus berobat ke dokter. Cara
pengobatannya yaitu : 1. Orang yang telah ahli, bisa dukun atau kiai mengambil
air putih. Setelah dilafalkan sebuah mantra, air tersebut telah berubah fungsi
sebagai obat . 2. Setelah selesai dibacakan mantra, segelas air diminumkan ke
pasien. Maka beberapa saat atau beberapa hari kemudian, pasien akan lekas
sembuh dari penyakit yang diderita, dengan izin Tuhan. Hal seperti ini, seperti
apa yang diperintahkan oleh Rasulullah kepada sahabatnya Abu Hurairah ketika sakit.
Saat datang menjenguknya, Nabi langsung memerintah Abu Hurairah bangkit dan
disuruh berdoa. Setelah apa yang diperintahkan Rasulullah dilakukan, beliau pun
sembuh dari sakitnya. Dalam praktek sehari-hari orang-orang yang datang ke
rumah dukun atau kiai cukup sederhana prosesnya. Biasanya pasien yang datang
membawa gula beberapa kilogram, rokok, maupun uang sebagai imbalan jasa. 4.3
Macam Mantra dan Manfaat Mantra. Berbagai jenis mantra jumlahnya tidak
terhitung. Bahkan jenis mantra hampir meliputi seluruh kebutuhan hidup manusia.
Begitu juga pemanfaatan mantra di desa Matingan juga meliputi segala hajat
masyarakat. Adapun jenis mantra yang masih dimiliki sebagai masyarakat
Mantingan di antaranya: a. Mantra Pertanian Mantra yang digunakan untuk keselamatan
dan perlindungan dalam bidang pertanian, agar tanaman yang telah ditanam dapat
tumbuh dengan subur tidak diserang hama dan memberikan hasil sesuai yang
diharapkan. Mereka menggunakan mantra ketika mulai mengolah tanah dan hendak
memanen. Adapun lafal mantranya yang digunakan adalah, Allahumma shalli
dhumateng ing jagad Ya nabi ya wali, kula aturi sunah rasul Titenana sak wicara
kula Titenana sak karep kula lan titenono sak dosa kula b. Mantra Untuk
Kekuatan Ada juga warga Desa Mantingan ketika ingin mendapatkan kekuatan dan
kemenangan saat kompetisi semacam judi, mereka menggunakan mantra Jaya
Kawijaya. Mantra yang digunakan misalnya saja mantra Semar Kuning, yang
bunyinya, Aku umbulna menyang Suralaya Jalukna Klambiku si Klonthong Wesi Sabet
nggeng, Lot kelot-kelot, Teguh alo, Ya iki klambiku si Klonthong Wesi c.
Kekebalan Senjata Jika ingin kebal dari tusukan senjata tajam dan pukulan
seorang lawan untuk menolak perbuatan jahat dan membuat bingung pihak lawan,
mantra yang sering digunakan yaitu mantra Panulakan. Salah satu contohnya yaitu
mantra Gumbala Geni, yang bunyinya, Kuci-kuci omahku Gumbala Geni Lurungku si
Alas Agung Ngarepku segara gunung Latarku latar bengawan Joganku jogan segara
Sapa sumedya tumerah ala marang aku Kena katujawa bingleng Teka bingleng teka
bungleng saking kersane Allah d. Mantra Pengasihan Bagi pemuda di Desa
Mantingan yang sedang kasmaran, biasanya memikat gadis yang diincar agar timbul
rasa cintanya dengan menggunakan mantra Pengasihan. Contohnya saja, yakni
mantra Jaran Goyang, yang bunyinya, Bismillahirrahmanirrahim Niyat ingsung
matek ajiku si Jaran Goyang Sabete sada lanang Tak sabetake gunung jugruk Tak
sabetake segara asat Tak sabetake lemah bongkah Sira mulya ingsun kongkon
Golekana jabang bayine … (nama dimaksud) Caketna marang jabang bayine …. (nama
diri) Yen bocah turu gugahen Yen wis nglilir lungguhna Yen wis ngadeg lakokna
Caketna marang jabang bayine … (nama diri) Ora suwe tak enteni Neng ngarep
lawang Medinah Aku durung pati-pati lunga Yen durung caket jabang bayine ….
(nama dimaksud) Wassalammu alaikum warrohmatullahi wabarokatuh e. Mantra
Palereman Jika ada orang lain sedang marah, untuk meredakan amarahnya, sebagian
warga Desa Mantingan menggunakan mantra Palereman. Kandungan kekuatannya mampu
menetralisir emosi negatif agar tenang dan netral. Misalnya Panglarutan, yang
berbunyi, Sukma rasa sira Sun kongkon laruten banyune Si ... (sebut nama
dimaksud) Cucupen banyune lan ilangana karepe Lemes lemes saking kersane Allah
Selain itu masih banyak jenis mantra lain yang beredar di masyarakat Mantingan.
Sayangnya mereka masih percaya akan ketabuhan, mantranya akan kehilangan
kekuatan jika dikatakan kepada orang lain. Akibatnya penulis merasa kesulitan
untuk mengungkap semuanya. 4.3. Prosesi Sesaji yang Disertai dengan Mantra di
Desa Mantingan Adat istiadat orang Jawa di Desa Mantingan masih sangat melekat.
Begitu pula dengan rutinitas pelaksanaan tradisi yang ada di daerah tersebut.
Salah satu adat yang masih melekat dari zaman kuno hingga sekarang, adalah
keberadaan sesaji. Menurut beberapa warga Desa Mantingan, sesaji merupakan
suatu ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi
kenikmatan tertentu. Ketika prosesi sesaji juga terdapat mantra. Misalnya saja
ketika mereka memperoleh panen yang lebih banyak daripada biasanya. Selain itu
sesajen juga digunakan dengan tujuan supaya segala sesuatu berjalan dengan
lancar dan tidak ada halangan suatu apapun. Bahkan biasanya juga untuk menjaga
keselamatan. Keselamatan di sini yaitu supaya penunggu/ danyang tidak marah
dengan membawa mala petaka. Akan tetapi, ketika menerima sesaji, sang danyang
akan ikut membantu keamanan manusia. Sayangnya, sebagian orang yang berfikir
rasiaonal saat melihat sesaji, mereka berpikir dan menuduh melaksanakan klenik,
bid'ah, takhayul, dan irasional. Sebab menurut mereka ritual tersebut tidak ada
tuntunannya dalam syariat Islam. Apapun pandangan kelompok rasional sampai saat
ini, sesaji masih menjadi adat yang sangat kuat, sehingga masyarakat Mantingan
tidak berani meninggalkannya. Jika ada salah satu warga yang mencoba tidak
melakukan ritual tersebut, sebagian yang lain akan menegur dengan ancaman salah
satu keluarganya akan mengalami musibah. Kebiasaan ritual yang sampai saat ini
masih lestari adalah ritual pertanian. Dengan memberikan sesaji di sawah,
tanaman akan tumbuh dengan baik serta membawa berkah untuk kelangsungan
kehidupan keluarga. Biasanya sesaji ini dilakukan pertama saat mulai mengolah
tanah ( ritual wiwit) setelah itu saat padi mulai berbuah, diadakan ritual malemi
dan ditutup dengan mengambil penganten saat mengambil panen. Adapun Uga Rampe
dalam ritual di sawah terdiri dari: 1. pisang raja setangkep 2. nasi putih 3.
sayur bayam atau sayur kelor 4. ikan pethek 5. sambal kedelai 6. Cengkaruk 7.
Takir dengan isinya uang logam, katul, ikan pethek, pisankluthuk dua buah, dan
pisang sepet 2 buah 8. Kemenyan dengan kembang setaman dan boreh 9. Telur ayam
kanpung sebagai pengganti ayam 10. Ikan bandeng, nasi ketan, dan nagasari
Setelah bahan-bahan sudah disiapkan, kemudian dibawa ke sawah. Bahan-bahan
tersebut diletakkan di pematang tengah sawah kemudian dilakukan upacara ritual
yang dipimpin seorang lelaki tidak boleh perempuan kecuali ritual malemi.
Dengan mantra, “Bismillahirrahmanirrahiim, Bapa Adam Ibu Hawa, Lan sing
mbaureksa, Sawah iki, Sepisan kurmat dumateng, nabi Muhammad, Ingkang Kaping
kalihipun kurmat dhateng Sunan Kalijaga, Ingkang njaga penguripanne manungsa,
Pojok lor etan, Pojok Lor kulon, Pojok kidul kulon, Pojok kidul etan, Iki dina
dikirim, Kanthi niat… (tergantung pada niat awal tanam atau panen). Setelah
mantra selesai dibaca, pemimpin doa, jika ritualnya itu awal penanaman, maka
dia menyangkul sawahnya, kemudian kemenyan yang dibakar dengan mantra di atas,
diletakkan di atas, disertai dengan bahan-bahan sesaji yang disiapkan. Akan
tetapi, jika ritual tersebut mengambil nganten padi, pemimpin ritual sambil
membaca mantra dan membakar kemenyan dilanjutkan memotong padi, jumlahnya
sesuai dengan hari ritual itu dilaksanakan. Setelah ritual selesai dilaksanakan,
biasanya diikuti dengan acara makan. Jika masih ada sisanya, boleh dibawa
pukang dengan mengucapkan “Gaok, Gaok, Gaok”. Sesaji tak hanya digunakan untuk
keselamatan di sawah saja, saat pernikahan dengan nuansa Jawa pun masih
digunakan, dan tentunya tidak lupa dengan diikutsertakannya mantra. Adapun
dongo (doa) atau mantra yang dibaca dukun rias ketika sedang merias pengantin,
adalah donga pengasihan tingkat pertama, bentuknya sebagai berikut, “Sembogo
Emas” Bismillah Mlebu emas Metu emas Yaiku dasare pengasihanku Rupaku Yen rina
kaya srengenge Yen bengi kaya lintang lan rembulan Ya aku Rara Mendut Kabeh
pada kerem marang aku Sembaga Emas tersebut ditiupkan di umbun-umbun pengantin
yang berkulit hitam agar nampak kuning dan cantik jelita. Sedangkan Sembaga
Emprit dibaca dukun pengantin, jika apabila san pengantin bertubuh gendut atau
besar agar tampak langsing dan cantik. Adapun bentuk mantranya sebagai berikut,
“Sembaga Emprit” Bismillah Ngunekno Sembaga Emprit Mlebu emprit Metu emprit
Yaiku dhasare pengasihanku Selain itu, pendukung lainnya adalah sesaji dengan
ugorambe-nya sebagai berikut: 1. Buah kelapa 2. Buah pisang 3. Telur 4. Makanan
lainnya Melalui buah kelapa tersebut, tuan rumah yang menggelar hajat
pernikahan, kedua temanten, panitia dan tamu undangan diingatkan kembali
tentang ilmu agama yang pernah mereka terima. Ilmu agama tersebut diumpamakan
seperti buah Kelapa yang jika tidak dikupas dan tidak dipecah kulitnya (batok),
maka selamanya kita tidak akan pernah menemukan kelapanya, lebih-lebih santan
dan minyak kelapanya. Begitu juga dengan ilmu agama yang kita dapatkan
mempunyai pengertian yang berlapis-lapis. Bila kita hanya berhenti pada
kulitnya saja atau luarnya saja, maka kita tidak akan pernah tahu isinya buah
kelapa. Kita hanya tahu dan mendapatkan sabutnya saja. Perlu ketahui, bahwa
dengan buah Pisang tersebut, seluruh hadirin yang menghadiri resepsi pernikahan
akan diingatkan kembali tentang perjuangan hidup ini. Pohon pisang tidak mau
mati sebelum berbuah. Buahnya bermanfaat bagi manusia. Sebelum mati, pohon
pisang telah meninggalkan banyak tunas (anakan) sebagai penerusnya. Kita
diingatkan melalui sesaji tersebut, jadilah seperti pohon pisang. Sebelum
meninggalkan dunia yang fana ini, tinggalkan ilmu atau karya atau sesuatu
lainnya yang bermanfaat bagi orang lain. Di samping itu, tidak lupa
mempersiapkan kader-kader yang akan meneruskan perjuangan kita di dunia ini.
Dan bahan yang terakhir, yakni telur. Melalui telur dalam sesaji tersebut, kita
juga diingatkan kembali tentang asal usul dalam kehidupan ini. Dari telur dapat
menetas menjadi anak ayam, itik, angsa dan sebagainya. Semula anak ayam
tersebut tidak ada kemudian ada dan hidup di dunia ini. Sama saja dengan halnya
manusia, yang berasal dari tanah yang telah ditiupkan ruh oleh Tuhan kepadanya.
Dan setelah meninggal dunia, manusia akan kemana ? Apakah telur itu ada dengan
sendirinya / tidak ada yang menciptakan ? Apakah manusia itu ada dengan
sendirinya / tidak ada yang menciptakan ? Apakah alam semesta ini ada dengan
sendirinya / tidak ada yang menciptakan ? Siapakah yang menciptakan alam
semesta ini ? Dan semua itu terjawab dengan adanya Tuhan. Makanan dalam sesaji
tersebut jumlahnya cukup dalam keadaan bersih, terpilih dan halal. Melalui
sesaji tersebut, seluruh hadirin utamanya kedua temanten yang akan mengarungi
samudra kehidupan rumah tangga hendaknya bijak dalam menyikapi tentang makanan.
Mencari rezeki dengan cara yang baik dan halal. Bukan dengan jalan yang tidak
baik dan merugikan orang lain. Ketika makan, maka akan berhenti sebelum
kenyang. Tidak akan makan, sebelum merasa lapar. Makanan dalam sesaji tersebut
dibungkus dengan rapi. Semua itu memiliki makna, bahwa kita diingatkan ketika
mempunyai rezeki yang cukup tidak lupa dengan fakir miskin dan yatim piatu
dengan memberikan bantuan dan santunan. Jadi sebenarnya sesaji dalam pernikahan
Jawa tersebut hanyalah simbol-simbol pengingat bagi kita yang masih hidup di
dunia. Isi sesaji tersebut berbicara kepada kita dengan bahasa isyarat.
Dapatkah kita mendengar dan menangkap isyaratnya ? Bukan sebagai bentuk
persembahan kepada jin, setan, tuyul, makhluk halus dan sebagainya. Pernikahan
adalah salah satu momen penting dalam perjalanan hidup. Semuanya tentu
menginginkan sukses, selamat dan sejahtera dunia akhirat. Tidak ada yang ingin
celaka dan gagal dalam hidup ini. Hanya kepada-Nya-lah kita menyembah dan BAB V PENUTUP hanya kepada-Nya juga kita memohon pertolongan. 5.1. Kesimpulan 1. Mantra merupakan suatu
ucapan, kata maupun kalimat yang mempunyai tujuan tertentu sesuai yang terkait
dengan mantra tersebut. 2. Mantra mempunyai manfaat yang cukup besar di
kalangan masyarakat Desa Mantingan Kecamatan Jaken, dalam berbagai aspek. 3.
Mayoritas masyarakat di desa Mantingan Kecamatan Jaken masih melestarikan
keberadaan adat istiadat berupa mantra dan sesaji. 5.2. Saran 1. Sebaiknya
mantra tetap dipertahankan karena mengingat manfaatnya yang begitu besar. 2.
Tidak semua mantra bersifat syirik sehingga masyarakat tidak perlu khawatir
takut berdosa jika menggunakan mantra. 3. Lebih baik mantra diterapkan dengan
tetap berpegang teguh pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa. DAFTAR PUSTAKA Chodjim, Achmad. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.
Serambi. Jakarta. K. Mahfud-Syaroni. 1997. Kumpulan Mantra Wirid Doa dan Obat
Tradisional/ Silahul Mukmin. Apel Suci. Surabaya. Bahasa, Balai. 2001. Kamus
Basa Jawa. Kanisius (Anggota IKAPI): Yogyakarta. Fajri, Mm. Zul dan Ratu
Aprilia Senja. 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Edisi Revisi. Difa
Publisher dan Aneka Ilmu. Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Balai Pustaka: Jakarta.
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. PT. Asdi Mahasatya: Jakarta.
Shadily, Hassan.1999. Sosiologi Untuk Indonesia. Rineka cipta: Jakarta. http:
//www.balihub.com// http: //www.duniamantra.blogspot.com// http:
//www.kampussamudrailmuhikmah.wordpress.com// http:
//www.kamusbahasaindonesia.org// http: //www.streamplasa.com// http:
//www.wikipedia.org// http: //www.wongalus.wordpress.com// DAFTAR GAMBAR Kediaman Rumah Dukun Mbah Tajar di Desa
Mantingan. Seusai Wawancara Penulis Dengan Narasumber Mbah Tajar Foto Bersama.
Kediaman Rumah Bapak Rakijan di Desa Mantingan. Seusai Wawancara Penulis Dengan
Narasumber Bp. Rakijan Foto Bersama. Beberapa Uang Logam Zaman Kuno Sebagai
Benda Ghaib yang Masih Dioercaya Warga Desa Mantingan Kecamatan Jaken Sit
Ilmu
Pengetahuan Sosial
MENGUNGKAP TABIR MANTRA
DI BALIK HIRUK PIKUK KEKINIAN MASYARAKAT
DESA MANTINGAN KECAMATAN JAKEN
Disusun
Oleh
1.
Endang Marini
(9958353204)
2. Ratih Kartika
(9968433006)
3. Sarah Dwi
Indiyanti (9968419512)
4. Tri Hastuti
(9958536073)
SMA NEGERI
2 PATI
Jalan
Achmad Yani No. 4 Pati
DINAS
PENDIDIKAN NASIONAL KABUPATEN PATI
2012
LEMBAR
PENGESAHAN
Karya
tulis yang berjudul:
Mengungkap
Tabir Mantra
Di
Balik Hiruk Pikuk Kekinian Masyarakat
Desa
Mantingan Kecamatan Jaken
Telah
disetujui dan disahkan sebagai karya tulis SMA N 2 Pati, dan diajukan untuk
Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Bumiputera tahun 2012 pada :
Hari
: Jum’at
Tanggal
: 27 April 2012
Mengetahui,
Kepala SMA N 2
Pati
Pembimbing
Drs. Soetowo
M.Pd.
Dandang A. Dahlan
NIP.
191003071986031011
NIP. 196404171991121002
ABSTRAK
Kebudayaan (culture) merupakan keseluruhan dari
hasil manusia hidup bermasyarakat yang
berisikan aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat.
Jenis kebudayaan itu sendiri terbagi menjadi tiga,
yakni kebudayaan umum, kebudayaan daerah, kebudayaan populer/selera. Pada kebudayaan daerah biasanya terdapat suatu adat
istiadat di dalamnya. Sehingga kebudayaan daerah akan lebih sulit hilang
dibandingkan kebudayaan populer maupun kebudayaan umum, karena adanya adat
istiadat.
Kebudayaan
dan adat istiadat masyarakat pedesaan sulit dipisahkan, bagaikan perangko yang
selalu menempel di amplop surat. Begitu pula dengan Desa Mantingan Kecamatan
Jaken. Desa yang terletak di sebelah Kabupaten Pati tersebut, sebagian masyarakatnya
masih mempercayai keberadaan mantra sebagai sesuatu yang dianggap sakral.
Untuk mengetahui perkembangan mantra (Dowo dalam istilah jawa) serta seluk-beluk mengenai mantra, dan berbagai
hal yang bersangkutan dengan mantra di Desa Mantingan Kecamatan Jaken, penulis mencoba memaparkan keberadaan mantra di
era yang dianggap modern.
Dalam upaya tersebut,
diperlukan beberapa tahapan. Mulai dari observasi langsung di Desa Mantingan,
kemudian mewawancarai beberapa warga yang kami temui di rumah
masing-masing, dari kalangan
usia tua, usia menengah dan usia muda. Selain itu kami juga bertanya pada
sesepuh desa, yang dianggap pandai ilmu kanuragan, kebatinan dan pengobatan.
Selanjutnya untuk melengkapi paparan ini penulis juga melakukan studi pustaka baik media
buku maupun internet.
Kesimpulannya keberadaan
mantra di desa Mantingan sudah ada sejak zaman nenek moyang. Diperkirakan keberadaan mantra sejak
zaman animisme dan dinamisme. Hebatnya meski mereka sudah beragama
Islam, beberapa warga percaya pada mantra dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak sedikit yang yakin, mantra memiliki kekuatan magis yang dapat membantu keberhasilan seseorang dalam
berbagai tujuan sesuai dengan kemauan dan
keinginan masing-masing.
Adanya anggapan kekuatan magis suatu mantra akan hilang
jika diperdengarkan pada orang lain yang tidak satu perguruan, maka kepemilikannya
dirahasiakan. Akibatnya meski bentuk dan jumlahnya universal, sebagian besar masyarakat tidak mengatahui. Keberadaan dan perkembangan mantra di Desa Mantingan, bisa berkemungkinan akan punah jika
tidak ada usaha penurunan. Pemaparan ini
adalah salah satu cara penjelasan kepada khalayak untuk ikut
serta mendalami dan melestarikan mantra sebagai motivasi dan sugesti dalam
menggapai kebahagiaan hidup.
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirrabbil’alamiin, rasa syukur
kami haturkan kepada Allah SWT. Karena atas rahmat,
kenikmatan, dan hidayah yang telah
diberikan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan karya tulis
yang berjudul “Mengungkap Tabir Mantra di Balik Hiruk Pikuk Kekinian Masyarakat
Desa Matingan Kecamatan Jaken”. Karya tulis ini dimaksudkan untuk menengok, mempelajari,
dan mendalami budaya adiluhung, para leluhur kita, sehingga tidak hilang tanpa
bekas.
Diakui atau tidak, keberadaan mantra
hingga kini, masih eksis di kalangan masyarakat Jawa, Indonesia bahkan
dunia. Sayangnya generasi muda kurang mendalami sekalipun mereka percaya.
Karena syarat-syarat kepemilikan dan penguasaan sebuah mantra agar memiliki
kekuatan magis, diperlukan mujahadah (lelaku Bahasa Jawa) yang
tidak semua orang mampu melaksanakannya. Akibatnya mereka enggan
memilikinya.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak motivator kami, Drs. Soetowo
M.Pd.
2. Sahabat serta bapak pembimbing kami,
Dandang A. Dahlan.
3. Para narasumber Mbah Tajar dari usia
tua, Bapak Rakijan dari usia menengah, dan Saudara Sholikin serta Saudari Luluk
Munawarah sebagai usia muda.
4. Orang tua, teman-teman, dan seluruh
pihak lainnya yang telah ikut berpartisipasi untuk mendukung pemaparan ini.
Karya
tulis ini tentu masih jauh dari sempurna. Maka, kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan. Semoga karya tulis ini
bermanfaat, terutama bagi penulis dan para pembaca. Amin.
April 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL…………………………………………………………
i
LEMBAR
PENGESAHAN………………………………………………….
ii
ABSTRAK…………………………………………………………………...
iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
iv
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………
v
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………
1
1.1. LATAR BELAKANG
MASALAH………………………………….
1
1.2. PEMBATASAN
MASALAH………………………………………...
1
1.3. RUMUSAN
MASALAH……………………………………………..
2
1.4. TUJUAN
MASALAH………………………………………………...
2
1.5. MANFAAT
PENELITIAN…………………………………………...
2
BAB II KAJIAN
PUSTAKA…………………………………………………
4
2.1. KAJIAN
PUSTAKA………………………………………………….
4
2.2. KAJIAN
TEORI………………………………………………………
5
BAB III METODE
PENELITIAN……………………………………………
10
3.1. BENTUK & PROSEDUR
PENELITIAN…………………………..... 10
3.2. SUBJEK
PENELITIAN……………………………………………….
10
3.3. OBJEK PENELITIAN…………………………………………………
11
3.4. JADWAL
KEGIATAN………………………………………………..
11
BAB IV HASIL PENELITIAN &
PEMBAHASAN………………………….
13
4.1. PERKEMBANGAN MANTRA DI DESA
MANTINGAN…………... 13
4.2. KEHEBATAN BERBAGAI MACAM MANTRA
DI MANTINGAN. 15
4.3. PROSESI SESAJI YANG DISERTAI
MANTRA DI MANTINGAN. 18
BAB V
PENUTUP…………………………………………………………….
24
5.1.
KESIMPULAN………………………………………………………..
24
5.2.
SARAN…………………………………………………………………
24
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
25
DAFTAR
GAMBAR…………………………………………………………..
26
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Modernisasi
teknologi dan
ilmu pengetahuan di segala bidang, kian
menyerbu bangsa Indonesia. Ironisnya hal
itu tidak didominasi kalangan terpelajar yang berdomisili di kota-kota saja.
Namun, telah merambah ke seluruh pelosok nusantara dan seluruh lapisan
masyarakat dari yang muda hingga yang tua.
Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di
segala bidang, tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak
negatif. Sesuai dengan kodrat manusia, akan melupakan hal yang lama
setelah mendapat hal yang baru. Canggihnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, hampir
dipertuhankan oleh manusia. Sehingga mereka percaya dengan kemampuan otak dan
tidak lagi mempedulikan adanya kekuatan lain di luar nalar. Akibatnya hal-hal
yang berbau mistik atau magis dianggap kuno dan tidak lagi diperlukan. Bahkan
ajaran-ajaran agama pun dinomorduakan.
Untungnya dampak negatif kemajuan
teknologi dan ilmu pengatahuan, di Indonesia khususnya di Jawa tidaklah begitu
drastis. Meski para
generasi mudanya berlomba untuk menguasainya, tetapi
tidak mempengaruhi kehidupan relegiusnya. Hal ini dapat kita buktikan di
kalangan muda masih tertarik mendalami agama. Begitu pula mesti terkena imbas
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hal-hal yang berbau ketradisionalan sebagian
kalangan muda masih mempertahankan eksistentensinya. Satunya adalah kepercayaan
akan kekuatan magis dalam mantra.
Mantra dalam Bahasa
Jawa disebut dowo/dongo berupa kidung atau doa. Dalam bahasa Indonesia
disebut doa atau sajak/puisi lama yang dibaca secara berulang-ulang. Sedangkan
di kalangan pesantren biasanya disebut ijazah atau wirid. Sedangkan secara
harfiah mantra memiliki arti
sebagai pengucapan atau pelafalan yang mengandung unsur mistis yang biasanya
memiliki dasar maupun tidak.
Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat pesat, terdapat pada
pemikiran manusia yang lebih mengutamakan kerasionalan sesuatu hal. Mantra yang
irasional itu keberadaannya dipertanyakan, sehingga ada yang tidak percaya dan
ada yang percaya. Akibatanya eksistensi mantra sedikit demi sedikit
berkurang, dan tidak lagi mendominasi di setiap perilaku kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian keberadaan
mantra tidak langsung punah. Sebab sebagai masyarakat yang masih mempercayai
mantra tetap mengamalkannya, untuk
membantu perlindungan diri, pengasihan,
bekerja, bercocok-tanam dan
demi tercapainya cita-cita.
Bagi kalangan rasional beranggapan,
bahwa percaya adanya kekuatan mistik atau magis pada mantra adalah suatu
perbuatan tahayul dan syirik. Karena itu kalangan ini lebih mengutamakan suatu
perbuatan yang didasari rasional, tanpa peduli faktor di luar akal.
Sedangkan kalangan irasional yakin jika
sebuah mantra merupakan sesuatu yang mereka
mengartikan doa adalah suatu permintaan kepada Tuhan. Sebab bagaimanapun
manusia berusaha dengan
berbagai perhitungan rasional yang matang, Tuhan adalah penentunya. Maka mantra
adalah sebagai semangat dan sugesti dalam menggapai cita-cita.
Bedasarkan pemikiran di atas, maka dalam
paparan yang sederhana ini kami tim penulis ingin menguraikan eksistensi
mantra. Karena keterbatasan berbagai hal penulis hanya akan memfokuskan
penelitian ini di sebuah desa yang penulis anggap dapat mewakili beberapa desa
di wilayah Kabupaten
Pati dan sekitarnya.
1.2. Pembatasan Masalah
Dalam
menyusun karya tulis ini, penulis lebih memfokuskan pada pembahasan mengenai
kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan mantra di Desa Mantingan, Jaken, Pati, serta praktik
penggunaannya. Selain itu penulis juga ingin memaparkan cara pelaksanaan adat sesaji
yang disertakan dengan mantra. Sehingga kemungkinan akan menimbulkan spekulasi
yang berbeda pada pembaca.
1.3. Rumusan Masalah
Berbicara tentang mantra adalah bicara tentang
mistik atau klenik sesuatu yang dianggap memiliki daya/kekuatan magis. Karena
luasnya masalah mantra, baik yang
berupa bahasa Arab,
Jawa dan bahasa daerah yang ada
di seluruh pelosok
Nusantara. Untuk membatasi permasalah ini maka kami perlu merumuskan masalah
agar materi yang kami bahas bisa berfokus pada mantra yang masih digunakan orang-orang di kampung.
Ada pun pokok penulisan kami mengacu pada hal sebagai berikut:
a.
Bagaimana eksistensi mantra bagi
warga Desa Mantingan Kecamatan Jaken di era kekinian saat ini ?
b.
Apa saja mantra yang masih sering digunakan warga Mantingan sampai saat
ini?
c.
Mantra-mantra
berbahasa Arab atau berbahasa Jawakah yang lebih banyak dikuasai oleh
masyarakat di Desa Mantingan?
d.
Bagaimana proses pelaksanaan sesaji
yang disertai dengan mantra pada warga Desa Mantingan?
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang sederhana ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui sejauh mana kepercayaan warga Desa Mantingan
Kecamatan Jaken terhadap eksistensi mantra.
b. Untuk mengetahui mantra yang
digunakan warga Mantingan, dan apa kegunanaan serta
fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.
c. Untuk mengetahui proses pelaksanaan
sesaji yang disertai dengan mantra pada warga Desa Mantingan.
d. Memberikan
informasi kepada Dinas Kebudayaan akan
keberadaan mantra, hingga keberadaannya bisa dilestarikan sebagai pengetahuan.
e. Memberikan
informasi kepada para siswa atau dapat
dijadikan referensi
guna diteliti lebih mendalam.
f. Diajukan dalam rangka mengikuti
lomba penulisan karya ilmiah di
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
1.5. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian yang sederhana ini
penulis berharap dapat memberikan suatu ilmu
pengetahuan kepada para pembaca tentang hal
ihkwal yang
berhubungan dengan mantra. Sehubungan dengan itu penulis berharap tulisan
ini dapat memberikan:
a.
Informasi
tambahan akan keberadaan
mantra di kalangan khalayak khususnya
kaula muda.
b.
Agar keberadaan mantra di lingkungan
warga Desa Mantingan Kecamatan Jaken tetap dilestarikan dan kalau perlu
dimodifikasi, sehingga masyarakat lain tertarik juga.
c.
Untuk menambah wawasan bagi pembaca mengenai hal-hal
yang bersangkutan dengan mantra dan sesaji.
d.
Dipelajari dan
didalami para kaula muda untuk menambah kepercayaan diri atau pembangkit semangat dan sugesti terhadap diri
sendiri dan para kalayak ramai.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1. Hakekat Mantra
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mengungkap semakna dengan kata membuka.
Sedangkan kata tabir memiliki arti semacam rahasia, atau sesuatu yang
sebelumnya tidak diketahui. Sehingga penerapannya pada karya tulis ini, yang
dibuka atau diungkap merupakan suatu hal yang sifatnya masih rahasia.
Kata
mantra, yang juga berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap
mengandung kekuatan gaib, yang biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk
menandingi kekuatan gaib yang lain. Mantra juga dianggap sebagai bunyi,
suku kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mampu menciptakan
perubahan (misalnya perubahan spiritual), yang memiliki jenis dan kegunaan yang
berbeda-beda dan tergantung mahzab serta filsafat yang terkait dengan mantra
tersebut.
Hakekat mantra dalam Bahasa Jawa disebut dowo/dongo/rapal, berupa kidung,
puisi atau susunan doa, dengan menggunakan bahasa
daerah atau bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia mantra disebut doa atau
sajak/puisi lama yang dibaca secara berulang-ulang. Di kalangan pesantren
sebuah mantra biasanya disebut ijazah atau wirid.
Sedangkan secara harfiah mantra memiliki arti sebagai pengucapan
atau pelafalan yang mengandung unsur mistis/magis spiritual, baik hal itu masuk akal atau tidak
masuk akal, dan atau memiliki dasar maupun yang tidak memiliki dasar.
Dalam
tradisi Jawa, mantra disebut pula dengan japa-japi, japa mantra, kemad,
peled, aji-aji, rajah, donga, sidikara yang semuanya dianggap mempunyai
daya kekuatan gaib. Mantra jika dibaca dengan bersuara disebut di-mel-kan
dan kalau hanya dibaca dalam hati disebut matek mantra atau matek aji.
Kemudian
kata masyarakat memiliki makna sebagai sejumlah manusia yang menempati suatu
wilayah dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan
Desa Mantingan merupakan salah satu nama desa yang berada di Kecamatan Jaken
Kabupaten Pati. Desa tersebut terkenal dengan beberapa halnya, mulai dari
makanan ada nasi jagung dan pasung (semacam apem berbentuk kerucut). Kemudian
pola hidup masyarakatnya yang mayoritas bekerja sebagai petani. Pada
rumah-rumah penduduknya, unsur ke-Jawa-annya
pun masih melekat, yakni berupa rumah Joglo yang alasnya masih dengan tanah.
2.2. Bentuk dan
Fungsinya
Keberadaan mantra di dunia sudah ada
sejak manusia dilahirkan. Mantra adalah sebuah doa permintaan seorang
hamba kepada Tuhannya. Bahkan Nabi Muhammad sendiri banyak mengajarkan doa atau
mantra. Karena itu semua buku doa dan zikir berisi tentang mantra. Dari bangun
tidur, ke kamar kecil, bekerja hingga pulang ke rumah, bahkan kembali
menjelang tidur lagi dianjurkan selalu membaca mantra (A. Choodjim.Mistik dan
makrifat:15).
Adapun dalam adat berdoa ada dua hal
yang perlu diperhatikan. Yaitu keyakinan dan bahasa doa itu sendiri. Doa yang
baik adalah doa yang
disertai keyakinan yang tinggi dan pengertian makna doa/mantra yang diucapkan.
Berdasarkan pengertian tersebut, Kanjeng Sunan
Kalijaga, yang asli
orang Jawa menyusun doa berbahasa Jawa, yang
kemudian disebut orang sebagai mantra, dowo atau rapal. Karena
dengan menggunakan Bahasa Jawa orang Jawa tentu akan
lebih memahami makna dan maksud ucapan yang diinginkan.
Sebagian pendapat mengatakan mantra merupakan suku kata dari
bahasa Sanskerta dengan tulisan yantra. Sejatinya mantra merupakan perwujudan
pikiran yang merepresentasikan keilahian atau kekuatan kosmik, yang menggunakan
pengaruh mantra tersebut dengan getaran suara.
Mantra juga dikenal masyarakat Indonesia sebagai rapalan
untuk maksud dan tujuan tertentu (maksud baik maupun maksud kurang baik). Dalam
dunia sastra, mantra adalah jenis puisi lama yang mengandung daya magis. Setiap
daerah di Indonesia umumnya memiliki mantra, biasanya mantra di daerah
menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Mantra memang warisan para leluhur yang
memiliki kelebihan yang adiluhung. Dalam bahasa pesantrennya memiliki
karomah. Akan tetapi di
zaman sekarang ini justru terjadi komodifikasi. Mantra yang nyaris klasik,
dihidupkan kembali. Lewat teknologi, oleh kecanggihan riset, dengan taburan
citra, dan melalui pengolahan opini publik. Titik serangan mantra dapat
dilangsungkan di berbagai bidang. Sehingga bukan pada medan intelektual dan
wilayah rasional, melainkan pada sisi persepsi, imajinasi, dan mimpi-mimpi
manusia modern.
Dari
segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi
bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam
setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang
sukar dipahami. Ada kalanya, pemiliknya sendiri
tidak memahami arti sebenarnya mantra yang dibaca. Seseorang hanya memahami kapan mantra
tersebut dibaca dan apa tujuannya.
Adapun dari segi penggunaannya,
mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya
dianggap keramat dan tabu. Jika sampai diketahui atau didengar orang lain
kekuatan magisnya akan hilang. Dalam arti mantra tersebut tidak berguna
lagi.
Mengenai
wujud mantra ada beberapa macam di antaranya sebagai berikut:
a.
Japa-japi, aji-aji, dan rapal. Merupakan mantra dalam wujud
kata-kata/puisi lisan yang dibaca dalam batin.
b.
Wirid dan zikir menggunakan bahasa Arab dibaca setelah
melaksanakan sholat.
c.
Rajah. Merupakan mantra dalam wujud
tulisan, misalnya tertulis pada kain, kertas, dan kulit.
d.
Jimat, aji-aji. Merupakan mantra yang ditanam pada
benda berwujud logam aji, batu, perunggu,
dan kayu.
2.3. Unsur-Unsur Mantra
Di
dalam mantra yang lengkap tercakup berbagai unsur. Adapun unsur-unsur dalam mantra meliputi unsur judul, unsur pembuka, unsur niat,
unsur sugesti, unsur tujuan dan unsur penutup.
Unsur
sugesti merupakan unsur yang paling penting dan paling pokok dalam struktur
mantra. Unsur sugesti memiliki daya atau kekuatan untuk membangkitkan potensi
kekuatan magis atau kekuatan gaib. Mengingat mantra memiliki spesifikasi, maka
unsur sugesti pada mantra berbeda-beda meskipun fungsinya bisa sama.
Mantra
dan laku. Laku dan mantra.
Dibolak balik tetap sama. Dua unsur pokok itu wajib ada agar sebuah tujuan
dapat tercapai. Laku mistik berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan
seseorang. Semakin sungguh-sungguh dan yakin seyakin-yakinnya, saat menjalani
laku amalan maka amalan ajian akan bisa berhasil. Namun, sayangnya unsur sugesti sama sekali
tidak berlaku jika tidak diikuti dengan unsur laku. Jadi aspek magis mistis
sebuah amalan berpusat pada unsur sugesti dan laku mistik pengamalnya. Jika
diperhatikan, unsur sugesti yang dianggap memiliki daya magis dapat dibagi
menjadi beberapa macam:
a. Ungkapan magis yang mendasarkan pada
kekuatan alam, angin, api, tanah, air, binatang, bunga, dan lain-lain.
b. Ungkapan magis yang mendasarkan pada
kekuatan mitos, tokoh, baik dari dunia pewayangan maupun tokoh mitologi.
c. Ungkapan magis yang mendasarkan pada
kekuatan Tuhan, Malaikat, Nabi, Dewa, Raja, Resi atau Pertapa.
2.4 Tradisi
Jawa Mengenal
Laku
Mistik:
Sebuah mantra akan kosong bagai kepompong, tanpa
makna dan tanpa kekuatan magis, jika pelafal
mantra tanpa melakukan lelaku. Maka dalam istilah Jawa ada ungkapan yang sangat
terkenal yakni, ngelmu iku pitukone kanti
laku (Ilmu itu mendapatkannya harus dengan prihatin). Lelaku
ini dalam bahasa pesantren sufi disebut suluk. Pelaksanaan
ritual untuk memperoleh ilmu tersebut ada beberapa
cara, di antaranya:
1. Puasa, macamnya :
a. Puasa biasa seperti saat puasa Ramadhan.
Ada juga yang hanya makan sekali saat tengah malam.
b. Puasa Mutih, hanya makan nasi putih, minum air
putih. Mutih ada beberapa cara, salah satunya yaitu Ngepel (Genggam) yakni banyaknya makan diukur dengan
jumlah hari lama berpuasa. Misalnya sekali makan tidak tambah, makan hanya di
waktu siang atau malam.
c. Puasa Ngrowot, makan berasal dari makanan yang
berasal dari tanah dan harus tawar. Pelaksanaannya seperti puasa biasa atau
puasa mutih.
d. Puasa Ngalong, yang dimakan hanya makanan jenis
buah-buahan dan harus tawar, pelaksanaannya seperti biasa.
2. Ngebleng, tidak makan-minum, sehari semalam, juga tidak boleh keluar rumah.
3. Nlowong, tidak makan minum, waktu sehari
semalam, tidak terbatas ruangan.
4. Pati Geni, tidak makan dan tidak minum, serta
tidak boleh tidur sekalipun hanya mengantuk. Ada yang selama satu hari satu
malam, ada pula yang dilakukan selama tiga hari tiga malam sesuai dengan
tingkatan ilmu yang diinginkan.
5. Kungkum, berendam di air sungai, menantang
arus air atau di pertemuan arus sungai.
6. Melek, tidak tidur siang malam, baik di
dalam maupun di luar rumah.
7. Tapa Mendem/ Tapa Meluang, mengubur diri di dalam tanah
dengan udara secukupnya dengan sikap seperti orang mati.
8. Ngedan, bertingkah seperti orang gila di
tempat umum.
9. Mbisu, tidak bicara selama waktu
yang telah ditentukan sang guru sesuai dengan tuntuan ilmu yang diinginkan.
10. Berjalan, tidak boleh duduk. Boleh
istirahat, tidur, makan, minum sambil berdiri. Tidak boleh masuk rumah/ruang.
11. Sesirik, menjauhi segala kesenangan.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1. Bentuk dan Prosedur Penelitian
Untuk
menyusun karya tulis yang berjudul Mengungkap Tabir Mantra di Balik Hiruk Pikuk
Masyarakat Masa kini, di
Desa Mantingan Kecamatan Jaken penulis menggunakan beberapa metode, yakni
observasi, interview, dan studi literatur, serta memerlukan beberapa proses.
Mulai dari observasi ke beberapa wilayah yang terkenal dengan nasi jagung dan
makanan pasungnya (semacam apem yang bentuknya kerucut dibungkus dengan daun
pisang dan rasanya manis) di Desa Mantingan.
Kemudian untuk melengkapi materi dan
memperdalam masalah penulis melanjutkan dengan mewawancarai beberapa narasumber yang nantinya
ditulis di subbab obyek
penelitian. Setelah semua bahan
terkumpul, dan hasil analisanya
sudah ada untuk
menyusun laporan secara lengkap, penulis melakukan studi literatur di Perpustakaan SMA
N 2 Pati dan Perpustakaan Daerah Pati, serta dengan browsing di
internet.
3.2. Subjek Peneliti
Karya
tulis ini membahas masalah mantra diteliti oleh beberapa
siswa, yakni Ratih Kartika & Sarah Dwi Indayantidari kelas X-4, kemudian
Endang Marini dari kelas X-7, dari SMA N 2 Pati pada tahun ajaran 2011/ 2012,
serta tak lupa dengan adanya motivasi dari guru pembimbing.
3.3. Objek Penelitian
Objek
yang kami teliti merupakan
sesuatu yang diketahui khalayak ramai. Namun, eksistensinya dirahasikan, karena dianggap sebagai hal yang bernuansa mistik serta gaib, yakni
keberadaan mantra di Desa
Mantingan Kecamatan Jaken Kabupaten Pati.
Sedangkan objek lainnya beberapa warga
yang terdiri dari kalangan usia tua yakni seorang dukun yang bernama Mbah
Tajar. Untuk kalangan usia menengah, seorang
petani beliau adalah Bapak
Rakijan. Kemudian
untuk mewakili kaula mudanya penulis sengaja
memilih orang yang masih
mengenyam pendidikan di bangku sekolah tingkat atas, yakni saudara Sholikin,
Luluk Munawarah dan beberapa orang.
3.4. Jadwal Penelitian
No.
|
Hari,
Tanggal
|
Waktu
|
Tempat
|
Agenda
|
1.
|
Sabtu, 24-3-2012.
|
a. 15.00-15.30 WIB.
b. 15.00-16.00 WIB.
|
a. Rumah Mbah Tajar.
b. Rumah Sdr. Sholikin.
|
Observasi
& wawancara.
|
2.
|
Minggu, 25-3-2012.
|
a. 15.00-15.30 WIB.
b. 15.00-16.00 WIB.
|
a. Rumah Bapak Rakijan.
b. Rumah Sdri. Luluk M.
|
Observasi
& wawancara.
|
3.
|
Senin, 26-3-2012.
|
12.30-15.00 WIB.
|
Perpustakaan Daerah.
|
Mencari referensi & menyusun
laporan.
|
4.
|
Selasa, 27-3-2012
|
10.00-13.30 WIB.
|
Perpustakaan SMA N 2 Pati.
|
Mencari referensi & menyusun
laporan.
|
5.
|
Sabtu, 21-4-2012
|
13.00-16.00 WIB.
|
SMA N 2 Pati.
|
Menyusun laporan.
|
6.
|
Senin, 23-4-2012
|
14.00 – 16.00 WIB.
|
SMA N 2 Pati
|
Meyusun & Menyunting laporan.
|
7
|
Jumat, 27 -4- 2012
|
09.00 – 16.00 WIB.
|
SMA N 2 Pati
|
Menyunting laporan.
|
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN & PEMBAHASAN
4.1. Eksistensi dan
Kelestarian Mantra
di Desa Mantingan
Pengelompokan usia sangat penting dalam
masalah ini, karena hal ini akan berpengaruh pada pola pikir, perilaku dan
wawasan dalam memandang sesuatu. Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman dan
tingkat pendidikan yang diperolehnya. Semakin tua usia seseorang yang
bedomisili di desa Mantingan Jaken, pada umumnya akan semakin rendah tingkat pendidikannya
bahkan kebanyakan di antara mereka sama sekali tidak mengenyam
pendidikan. Sebab semakin tua usia mereka, keadaan sosial dan
tingkatan ekonomi
waktu itu tidak memungkinkan untuk
sekolah.
Berdasarkan pemikiran di atas
maka penulis membagi kelompok usia tua adalah orang-orang yang dilahirkan tahun
1930-an hingga tahun 1950-an. Untuk kelompok
menengah adalah mereka yang dilahirkan tahun 1960-an sampai tahun1970-an.
Sedangkan kelompok muda mereka yang dilahirkan pada tahun 1985
hingga tahun 1995-an.
a. Eksistensi
Mantra pada Kalangan
Usia Tua
Mungkin akibat keadaan sosial
ekonomi pada kelompok usia tua yang menghimpit
kehidupan mereka, satu-satunya pendidikan yang murah dan mudah adalah
mempelajari ilmu kebatinan, baik dari orang tua, kakek-nenek, bapak-ibu, tetangga, dan orang lain
yang diangggap
mengusai ilmu batin. Karena itu sampai sekarang bagi orang kalangan tua, mantra masih sangat
melekat dan digunakan dalam berbagai keperluan dalam melaksanakan
sesuatu.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pola pikiran tradisional tersebut, seperti
dijelaskan di atas, penguasaan
terhadap mantra memiliki prestise tersendiri
di kalangan masyarakatnya. Pada zaman dahulu hingga era tahun 1970-an
orang yang memiliki ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan sangat dihargai
oleh masyarakat. Karena itu kepemilikan ilmu tersebut seakan menjadi suatu
keharusan.
Maka wajar jika orang-orang tua yang
masih hidup sampai sekarang mereka tak mau melepaskannya. Bahkan masih ada beberapa orang yang
karena keahliannya terhadap mantra sekarang digunakan untuk
menolong sesama. Kemudian
profesi itu disebut dengan
dukun.
Ironisnya meski sebagian masyarakat
kalangan usia mengengah ke bawah, kurang mempercayai keberadaan mantra,
tetapi ternyata dari pengamatan penulis, justru mereka yang berdatangan setiap hari di rumah dukun, untuk kepentingan tetentu.
Kepercayaan
mantra sangat
erat hubungannya dengan
kepercayaan terhadap
benda-benda gaib. Maka tidak mengherankan jika kelompok tua sampai
sekarang masih banyak yang menyimpan benda-benda
yang dianggap
bertuah. Benda-benda tersebut di antaranya:
keris, batu akik, uang logam zaman dahulu, dan benda-benda lainnya. Rata-rata
mereka memperoleh benda-benda tersebut merupakan benda peninggalan nenek moyang mereka. Begitu
juga pengetahuan mereka
terhadap kasiat benda tersebut diperoleh secara turun-temurun. Bahwa
benda-benda tersebut
memiliki kekuatan lebih, yang tidak dimiliki oleh manusia.
b. Eksistensi
Mantra pada Kalangan
Usia Tengah
Di
kalangan tengah, kepercayaan terhadap mantra juga masih sangat melekat. Mereka
beralasan kalau mantra itu sendiri merupakan permintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Mantra merupakan alat
komunikasi yang menyatakan permohonan
dan pertolongan Tuhan agar dapat manjur. Jadi tidak ada salahnya mempercayai
mantra.
Sayangnya dari kalangan
menengah ini tidak banyak yang mengusai sendiri.
Karena orang-orang kalangan usia menengah pada usia remajanya telah disibukkan
degan kegiatan pendidikan formal. Sehingga waktu senggang mereka untuk
melakukah riadah atau melakukan lelaku tidak ada. Selain itu pola
pemikiran rasional sedikit banyak telah mempengaruhi pola berpikir mereka.
Akibatnya jika sekarang mereka membutuhkan untuk meningkatkan kepercayaan dirinya,
rata-rata mereka menggunakan jasa dukun dan kiai untuk membantu usaha mereka.
c. Eksistensi
Mantra pada Kalangan
Usia Muda/Bawah
Pengaruh majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi, mengubah pola pikir dan cara padang hingga mengubah gaya perilaku
seseorang. Muculnya pandangan keberhasilan seseorang dan suatu bangsa
ditentukan oleh otak dan kreatifitas, maka hal-hal yang bersifat irasional ditinggalkan. Bahkan
kalangan radikal yang jauh dari ajaran agama, mulai menuhankan pemikiran
mereka. Akibatnya belajar mantra dianggap membuang waktu sia-sia. Mantra tidak
bisa menolong mereka dari kesulitan hidup. Tetapi kreatifitaslah yang mampu mengangkat derajat dan
martabat.
Akibatnya mantra tidak lagi memiliki
prestise bagi pemiliknya. Apalagi dengan lahirnya undang-undang
anti kekerasan membuat orang semakin
tak mau lagi belajar mantra. Karena mantra tidak lagi berfungsi sebagai alat
perlindungan diri
dari lawan. Begitu juga dengan mantra,
tidak mampu
menundukkan orang lain, tetapi ilmu, harta
dan jabatan yang bisa menambah kewibawaan dan menundukkan orang lain.
Selain faktor-faktor tersebut, peluang para
generasi muda untuk melakukan riadah ritual tidak ada lagi, karena
hampir seluruh kehidupannya
selama dua puluh jam dihabiskan di bangku pendidikan formal.
Wajar jika kalangan ini, kepercayaan
terhadap mantra sedikit
demi sedikit mulai hilang. Malahan sebagian besar mereka tidak percaya terhadap kekuatan mantra. Mereka beranggapan bahwa mantra
tidak mempunyai dasar yang falid. Mantra sesuatu hal yang ironis, irasional.
Pendapat mereka juga bertolak belakang terhadap kalangan tua yang mereka
anggap kolot dan majenun. Selain itu mereka juga beranggapan
bahwa mantra merupakan perbuatan yang syirik karena tidak berdasarkan ajaran
Tuhan.
Bahkan mereka beranggapan jika ada orang yang masih percaya
terhadap mantra, mereka menganggap kalau orang tersebut tidak punya pedoman
untuk hidup dan tidak mengenal Tuhan. Mereka pun juga tidak senang terhadap
orang yang masih percaya terhadap keberadaan mantra.
Tapi,
di sisi lain masih ada beberapa pemuda yang masih percaya terhadap mantra.
Mereka beralasan berdasarkan yang telah mereka alami, mantra sangat membantu
mereka. Bahkan dokter pun tidak lebih hebat dari pada mantra.
Salah
satu contoh kasusnya yaitu, ada seorang pemuda yang jatuh cinta dan ingin
memiliki si gadis yang ditaksirnya. Hanya
dengan melafalkan mantra
Jaran Goyang, tanpa susah payah dalam waktu yang
tidak lama, gadis tersebut langsung jatuh cinta terhadap si pemuda tersebut.
Jika
mantra tersebut gagal, dan menyebabkan ditolaknya cinta, maka dukun adalah
sasaran utama. Sehingga ada ungkapan yang mengatakan “Cinta ditolak,
dukun bertindak”.
4.2. Kehebatan Macam Mantra
Semua yang dibahas dalam literatur
pada umumnya mantra dikaitkan dengan kenyamanan badan, untuk memperoleh
kesaktian atau kekuasaan bahkan wanita. Fungsi dan manfaat ini jelas jauh dari tujuan
kelahiran. Justru jika dengan maksud tersebut dengan mantra, kita akan terjebak
atau tersesat semakin jauh dari maksud dan tujuan kehadiran kita di bumi. Namun, Tuhan akan senang sekali, jika kita menguasai mantra untuk tujuan-tujuan ibadah. Bukan untuk melepaskan diri dari keterikatan
duniawi, jika hal ini
dilakukan pasti Tuhan akan murka. Dengan mengucapkan mantra
sesungguhnya kita berupaya mengakses ke sumber energi yakni kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Setiap mantra memancarkan
vibrasi. Kata atau kalimat yang sama memancarkan vibrasi yang sejenis. Kumpulan
vibrasi ini berupa energi atau aura yang mempengaruhi sugesti kita menjadi kuat dalam
menyakini sesuatu yang kita inginkan.
Sayangnya eksistensi dan peran mantra sampai saat ini masih disalahartikan
sebagian kaum muda
hingga menempatkan mantra di tempat yang angker. Padahal fungsi dan manfaat mantra tidak semata-mata sebagai alat atau bacaan
mengusir setan ataupun hantu. Maka tidak
mengherakan jika yang terjadi bahkan sebaliknya.
Mereka mendekat, karena hantu
ataupun setan merupakan ruh atau gumpalan mind yang terjebak dalam anggapannya
sendiri. Sebab menurut
anggapan atau pikirannya,
mereka belum meninggal. Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya badan mereka
sudah tiada. Sehingga sesungguhnya hantu tidak bertujuan menakut-nakuti, hanya
sekedar ingin berkomunikasi. Oleh karenanya tujuan dari zikir yang dikirimkan untuk orang yang
meninggal dimaksudkan untuk mengingatkan bagi orang yang sudah meninggal.
Ketika zikir diucapkan, akan
mengundang mereka datang untuk memperoleh cahaya kebenaran agar dapat
melanjutkan perjalanan ke tingkat lebih tinggi. Jadi sesungguhnya dengan
melantunkan zikir secara tidak langsung membantu mereka. Demikian pula saat ada
sekelompok orang membahas tentang upaya peningkatan kesadaran, saat itu banyak
makhluk halus ikut belajar. Dengan mendengarkan hal yang menyadarkan, mereka
mengalami peningkatan kelas. Jadi bukannya mereka takut atau menjauh karena
kepanasan.
Manfaat lainnya adalah untuk
menjauhkan setan-setan pikiran. Dengan menjauhnya setan pikiran, kita menjadi
tenang. Bukankah setan itu ada di dalam otak kita? Sehingga orang yang takut
melihat seseorang terhadap pemandangan rok mini disebabkan pikirannya sendiri
yang sudah membayangkan yang porno-porno. Lantas yang disalahkan orang lain.
Malu mengakui kelemahan sendiri, memang paling mudah untuk menyalahkan orang
lain.
Dari
beberapa literatur disebutkan bahwa mantra bisa mengusir setan, peneyembuhan, kesaktian, dan lain-lain. Namun yang
disampaikan hampir semua literatur sesungguhnya tidak menyentuh manfaat inti
dari mantra bagi diri sendiri. Yang dimaksud manfaat tentu yang berkaitan
dengan evolusi jiwa.
Di
bidang kesehatan, mantra berperan sangat penting. Mantra dapat mengobati pasien
dengan cepat tanpa harus berobat ke dokter. Cara pengobatannya yaitu :
1. Orang yang telah ahli, bisa dukun
atau kiai mengambil air putih. Setelah
dilafalkan sebuah mantra, air
tersebut telah berubah fungsi sebagai obat .
2. Setelah selesai dibacakan mantra,
segelas air diminumkan ke pasien. Maka beberapa saat atau beberapa hari
kemudian, pasien akan lekas sembuh dari penyakit yang diderita, dengan izin
Tuhan.
Hal seperti ini, seperti apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah kepada sahabatnya Abu
Hurairah ketika sakit.
Saat datang menjenguknya,
Nabi langsung memerintah Abu Hurairah bangkit dan
disuruh berdoa. Setelah apa yang diperintahkan Rasulullah dilakukan, beliau pun sembuh dari
sakitnya.
Dalam praktek sehari-hari orang-orang
yang datang ke rumah dukun atau kiai cukup
sederhana prosesnya. Biasanya pasien yang datang membawa gula beberapa
kilogram, rokok, maupun uang sebagai imbalan jasa.
4.3 Macam Mantra dan Manfaat
Mantra.
Berbagai jenis mantra jumlahnya tidak
terhitung. Bahkan jenis mantra hampir meliputi seluruh kebutuhan hidup manusia.
Begitu juga pemanfaatan mantra di desa Matingan juga meliputi segala hajat
masyarakat. Adapun jenis mantra yang masih dimiliki sebagai
masyarakat Mantingan di antaranya:
a.
Mantra
Pertanian
Mantra
yang digunakan untuk keselamatan dan perlindungan dalam bidang pertanian, agar tanaman yang telah ditanam dapat
tumbuh dengan subur tidak diserang hama dan memberikan hasil sesuai yang
diharapkan. Mereka
menggunakan mantra ketika mulai mengolah tanah dan hendak memanen. Adapun
lafal mantranya yang
digunakan adalah,
Allahumma
shalli dhumateng ing jagad
Ya
nabi ya wali, kula aturi sunah rasul
Titenana
sak wicara kula
Titenana
sak karep kula lan titenono sak dosa kula
b.
Mantra Untuk Kekuatan
Ada
juga warga Desa Mantingan ketika ingin mendapatkan kekuatan dan kemenangan saat
kompetisi semacam judi, mereka menggunakan mantra Jaya Kawijaya. Mantra
yang digunakan misalnya saja mantra Semar Kuning, yang bunyinya,
Aku
umbulna menyang Suralaya
Jalukna
Klambiku si Klonthong Wesi
Sabet
nggeng, Lot kelot-kelot, Teguh alo,
Ya
iki klambiku si Klonthong Wesi
c.
Kekebalan Senjata
Jika
ingin kebal dari tusukan senjata tajam dan pukulan seorang lawan untuk menolak
perbuatan jahat dan membuat bingung pihak lawan, mantra yang sering digunakan
yaitu mantra Panulakan. Salah satu contohnya yaitu mantra Gumbala
Geni, yang bunyinya,
Kuci-kuci
omahku Gumbala Geni
Lurungku
si Alas Agung
Ngarepku
segara gunung
Latarku
latar bengawan
Joganku
jogan segara
Sapa
sumedya tumerah ala marang aku
Kena
katujawa bingleng
Teka
bingleng teka bungleng saking kersane Allah
d. Mantra
Pengasihan
Bagi
pemuda di Desa Mantingan yang sedang kasmaran, biasanya memikat gadis yang
diincar agar timbul rasa cintanya dengan menggunakan mantra Pengasihan.
Contohnya saja, yakni mantra Jaran Goyang, yang bunyinya,
Bismillahirrahmanirrahim
Niyat
ingsung matek ajiku si Jaran Goyang
Sabete
sada lanang
Tak
sabetake gunung jugruk
Tak
sabetake segara asat
Tak
sabetake lemah bongkah
Sira
mulya ingsun kongkon
Golekana
jabang bayine … (nama dimaksud)
Caketna
marang jabang bayine …. (nama diri)
Yen
bocah turu gugahen
Yen
wis nglilir lungguhna
Yen
wis ngadeg lakokna
Caketna
marang jabang bayine … (nama diri)
Ora
suwe tak enteni
Neng
ngarep lawang Medinah
Aku
durung pati-pati lunga
Yen
durung caket jabang bayine …. (nama dimaksud)
Wassalammu
alaikum warrohmatullahi wabarokatuh
e.
Mantra Palereman
Jika
ada orang lain sedang marah, untuk meredakan amarahnya, sebagian warga Desa
Mantingan menggunakan mantra Palereman. Kandungan kekuatannya mampu
menetralisir emosi negatif agar tenang dan netral. Misalnya Panglarutan,
yang berbunyi,
Sukma
rasa sira
Sun kongkon laruten banyune Si ... (sebut nama dimaksud)
Cucupen
banyune lan ilangana karepe
Lemes
lemes saking kersane Allah
Selain itu masih banyak jenis
mantra lain yang beredar di masyarakat Mantingan. Sayangnya mereka masih
percaya akan ketabuhan, mantranya akan kehilangan kekuatan jika dikatakan
kepada orang lain. Akibatnya penulis merasa kesulitan untuk mengungkap
semuanya.
4.3. Prosesi Sesaji yang Disertai
dengan Mantra di Desa Mantingan
Adat
istiadat orang Jawa di Desa Mantingan masih sangat melekat. Begitu pula dengan
rutinitas pelaksanaan tradisi yang ada di daerah tersebut. Salah satu adat yang
masih melekat dari zaman kuno hingga sekarang, adalah keberadaan sesaji.
Menurut
beberapa warga Desa Mantingan, sesaji merupakan suatu ungkapan rasa syukur
terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi kenikmatan tertentu. Ketika
prosesi sesaji juga terdapat mantra. Misalnya saja ketika mereka
memperoleh panen yang lebih banyak daripada biasanya. Selain itu sesajen juga
digunakan dengan tujuan supaya segala sesuatu berjalan dengan lancar dan tidak
ada halangan suatu apapun. Bahkan biasanya juga untuk menjaga keselamatan.
Keselamatan di sini yaitu supaya penunggu/ danyang tidak marah dengan
membawa mala petaka. Akan tetapi, ketika menerima sesaji, sang danyang akan
ikut membantu keamanan manusia.
Sayangnya,
sebagian orang yang berfikir rasiaonal saat melihat sesaji, mereka berpikir dan
menuduh melaksanakan klenik, bid'ah, takhayul, dan irasional. Sebab menurut
mereka ritual tersebut tidak ada tuntunannya dalam syariat Islam.
Apapun
pandangan kelompok rasional sampai saat ini, sesaji masih menjadi adat yang
sangat kuat, sehingga masyarakat Mantingan tidak berani meninggalkannya. Jika
ada salah satu warga yang mencoba tidak melakukan ritual tersebut, sebagian
yang lain akan menegur dengan ancaman salah satu keluarganya akan mengalami
musibah.
Kebiasaan
ritual yang sampai saat ini masih lestari adalah ritual pertanian. Dengan
memberikan sesaji di sawah, tanaman akan tumbuh dengan baik serta membawa
berkah untuk kelangsungan kehidupan keluarga. Biasanya sesaji ini dilakukan
pertama saat mulai mengolah tanah ( ritual wiwit) setelah itu saat padi mulai
berbuah, diadakan ritual malemi dan ditutup dengan mengambil penganten
saat mengambil panen. Adapun Uga Rampe dalam ritual di sawah terdiri dari:
1. pisang raja setangkep
2. nasi putih
3. sayur bayam atau sayur kelor
4. ikan pethek
5. sambal kedelai
6. Cengkaruk
7. Takir dengan isinya uang
logam, katul, ikan pethek, pisankluthuk dua buah, dan pisang sepet 2 buah
8. Kemenyan dengan kembang setaman dan
boreh
9. Telur ayam kanpung sebagai
pengganti ayam
10. Ikan bandeng, nasi ketan, dan
nagasari
Setelah
bahan-bahan sudah disiapkan, kemudian dibawa ke sawah.
Bahan-bahan
tersebut diletakkan di pematang tengah sawah kemudian dilakukan upacara ritual
yang dipimpin seorang lelaki tidak boleh perempuan kecuali ritual malemi.
Dengan mantra, “Bismillahirrahmanirrahiim, Bapa Adam Ibu Hawa, Lan sing
mbaureksa, Sawah iki, Sepisan kurmat dumateng, nabi Muhammad, Ingkang Kaping kalihipun
kurmat dhateng Sunan Kalijaga, Ingkang njaga penguripanne manungsa, Pojok lor
etan, Pojok Lor kulon, Pojok kidul kulon, Pojok kidul etan, Iki dina dikirim,
Kanthi niat… (tergantung pada niat awal tanam atau panen).
Setelah
mantra selesai dibaca, pemimpin doa, jika ritualnya itu awal penanaman, maka
dia menyangkul sawahnya, kemudian kemenyan yang dibakar dengan mantra di atas,
diletakkan di atas, disertai dengan bahan-bahan sesaji yang disiapkan. Akan
tetapi, jika ritual tersebut mengambil nganten padi, pemimpin ritual sambil
membaca mantra dan membakar kemenyan dilanjutkan memotong padi, jumlahnya
sesuai dengan hari ritual itu dilaksanakan. Setelah ritual selesai
dilaksanakan, biasanya diikuti dengan acara makan. Jika masih ada sisanya,
boleh dibawa pukang dengan mengucapkan “Gaok, Gaok, Gaok”.
Sesaji
tak hanya digunakan untuk keselamatan di sawah saja, saat pernikahan dengan
nuansa Jawa pun masih digunakan, dan tentunya tidak lupa dengan
diikutsertakannya mantra.
Adapun dongo (doa) atau mantra yang dibaca
dukun rias ketika sedang merias pengantin, adalah donga pengasihan tingkat
pertama, bentuknya sebagai berikut,
“Sembogo Emas”
Bismillah
Mlebu emas
Metu emas
Yaiku dasare pengasihanku
Rupaku
Yen rina kaya srengenge
Yen bengi kaya lintang lan rembulan
Ya aku Rara Mendut
Kabeh pada kerem marang aku
Sembaga Emas tersebut ditiupkan di
umbun-umbun pengantin yang berkulit hitam agar nampak kuning dan cantik jelita.
Sedangkan Sembaga Emprit dibaca
dukun pengantin, jika apabila san pengantin bertubuh gendut atau besar agar
tampak langsing dan cantik. Adapun bentuk mantranya sebagai berikut,
“Sembaga Emprit”
Bismillah
Ngunekno Sembaga Emprit
Mlebu emprit
Metu emprit
Yaiku dhasare pengasihanku
Selain itu, pendukung lainnya adalah
sesaji dengan ugorambe-nya sebagai berikut:
1.
Buah kelapa
2.
Buah pisang
3.
Telur
4.
Makanan lainnya
Melalui
buah kelapa tersebut, tuan rumah yang menggelar hajat pernikahan, kedua
temanten, panitia dan tamu undangan diingatkan kembali tentang ilmu agama yang
pernah mereka terima. Ilmu agama tersebut diumpamakan seperti buah Kelapa yang
jika tidak dikupas dan tidak dipecah kulitnya (batok), maka selamanya kita
tidak akan pernah menemukan kelapanya, lebih-lebih santan dan minyak kelapanya.
Begitu juga dengan ilmu agama yang kita dapatkan mempunyai pengertian yang
berlapis-lapis. Bila kita hanya berhenti pada kulitnya saja atau luarnya saja,
maka kita tidak akan pernah tahu isinya buah kelapa. Kita hanya tahu dan
mendapatkan sabutnya saja.
Perlu
ketahui, bahwa dengan buah Pisang tersebut, seluruh hadirin yang menghadiri
resepsi pernikahan akan diingatkan kembali tentang perjuangan hidup ini. Pohon
pisang tidak mau mati sebelum berbuah. Buahnya bermanfaat bagi manusia. Sebelum
mati, pohon pisang telah meninggalkan banyak tunas (anakan) sebagai penerusnya.
Kita diingatkan melalui sesaji tersebut, jadilah seperti pohon pisang. Sebelum
meninggalkan dunia yang fana ini, tinggalkan ilmu atau karya atau sesuatu
lainnya yang bermanfaat bagi orang lain. Di samping itu, tidak lupa mempersiapkan
kader-kader yang akan meneruskan perjuangan kita di dunia ini.
Dan
bahan yang terakhir, yakni telur. Melalui telur dalam sesaji tersebut, kita
juga diingatkan kembali tentang asal usul dalam kehidupan ini. Dari telur dapat
menetas menjadi anak ayam, itik,
angsa dan sebagainya. Semula anak ayam tersebut tidak ada kemudian ada dan
hidup di dunia ini. Sama saja dengan halnya manusia, yang berasal dari tanah
yang telah ditiupkan ruh oleh Tuhan kepadanya. Dan setelah meninggal dunia,
manusia akan kemana ? Apakah telur itu ada dengan sendirinya / tidak ada yang
menciptakan ? Apakah manusia itu ada dengan sendirinya / tidak ada yang
menciptakan ? Apakah alam semesta ini ada dengan sendirinya / tidak ada yang
menciptakan ? Siapakah yang menciptakan alam semesta ini ? Dan semua itu
terjawab dengan adanya Tuhan.
Makanan
dalam sesaji tersebut jumlahnya cukup dalam keadaan bersih, terpilih dan halal.
Melalui sesaji tersebut, seluruh hadirin utamanya kedua temanten yang akan
mengarungi samudra kehidupan rumah tangga hendaknya bijak dalam menyikapi
tentang makanan. Mencari rezeki dengan cara yang baik dan halal. Bukan dengan
jalan yang tidak baik dan merugikan orang lain. Ketika makan, maka akan
berhenti sebelum kenyang. Tidak akan makan, sebelum merasa lapar. Makanan dalam
sesaji tersebut dibungkus dengan rapi. Semua itu memiliki makna, bahwa kita
diingatkan ketika mempunyai rezeki yang cukup tidak lupa dengan fakir miskin
dan yatim piatu dengan memberikan bantuan dan santunan.
Jadi
sebenarnya sesaji dalam
pernikahan Jawa tersebut hanyalah simbol-simbol pengingat bagi kita yang masih
hidup di dunia. Isi sesaji tersebut berbicara kepada kita dengan bahasa
isyarat. Dapatkah kita mendengar dan menangkap isyaratnya ? Bukan sebagai
bentuk persembahan kepada jin, setan, tuyul, makhluk halus dan sebagainya.
Pernikahan
adalah salah satu momen penting dalam perjalanan hidup. Semuanya tentu
menginginkan sukses, selamat dan sejahtera dunia akhirat. Tidak ada yang ingin
celaka dan gagal dalam hidup ini. Hanya kepada-Nya-lah kita menyembah dan hanya
kepada-Nya juga kita memohon pertolongan.
BAB
V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Mantra merupakan suatu ucapan, kata
maupun kalimat yang mempunyai tujuan tertentu sesuai yang terkait dengan
mantra tersebut.
2. Mantra mempunyai manfaat yang cukup
besar di kalangan masyarakat Desa Mantingan Kecamatan Jaken, dalam berbagai
aspek.
3. Mayoritas masyarakat di desa
Mantingan Kecamatan Jaken masih melestarikan keberadaan adat istiadat
berupa mantra dan sesaji.
5.2. Saran
1. Sebaiknya mantra tetap dipertahankan
karena mengingat manfaatnya yang begitu besar.
2. Tidak semua mantra bersifat syirik
sehingga masyarakat tidak perlu khawatir takut berdosa jika menggunakan mantra.
3. Lebih baik mantra diterapkan dengan
tetap berpegang teguh pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR
PUSTAKA
Chodjim, Achmad. 2003. Mistik dan
Makrifat Sunan Kalijaga. Serambi. Jakarta.
K. Mahfud-Syaroni. 1997. Kumpulan
Mantra Wirid Doa dan Obat Tradisional/ Silahul Mukmin. Apel Suci. Surabaya.
Bahasa, Balai. 2001. Kamus Basa
Jawa. Kanisius
(Anggota IKAPI): Yogyakarta.
Fajri, Mm. Zul dan Ratu Aprilia Senja. 2001. Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia. Edisi Revisi. Difa Publisher
dan Aneka Ilmu.
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Edisi III. Balai Pustaka:
Jakarta.
Koentjaraningrat.
2003. Pengantar Antropologi I. PT. Asdi Mahasatya: Jakarta.
Shadily,
Hassan.1999. Sosiologi Untuk Indonesia.
Rineka cipta: Jakarta.
http:
//www.balihub.com//
http:
//www.duniamantra.blogspot.com//
http:
//www.kampussamudrailmuhikmah.wordpress.com//
http:
//www.kamusbahasaindonesia.org//
http:
//www.streamplasa.com//
http:
//www.wikipedia.org//
http:
//www.wongalus.wordpress.com//
Tidak ada komentar:
Posting Komentar